Apa
saja kesibukan Anda sekarang?
Menyelesaikan beberapa proyek menulis: tahap
terakhir skenario film Perahu Kertas, mulai menulis Partikel, sekaligus
mengedit ulang seri Supernova untuk cetak baru. Saya banyak kerja dari rumah,
sih. Jadi kesibukannya nggak di luar rumah.
Kalau
tidak salah, ada tulisan Anda yang diangkat menjadi film. Apa motivasi Anda
untuk mau mencoba mentransformasi tulisan tersebut?
Film menjadi dunia baru bagi saya, dan itu
tantangan yang cukup menarik. Dari sejak menulis Perahu Kertas, saya memang
sudah membayangkannya menjadi film. Jadi rasanya sepantasnya saya mengantarkan
kisah itu ke dalam bentuk skenario. Saya menganggap bahwa itu yang terbaik yang
bisa saya lakukan untuk berperan dalam transisi novel Perahu Kertas ke dalam
bentuk skenario. Untuk urusan lain-lainnya, sudah ada orang-orang yang ahli
dalam bidangnya untuk menangani.
Jika
harus mendeskripsikan gaya penulisan Anda sendiri, seperti apakah
penjelasannya?
Jujur, nggak tahu. Saya rasa itu tugasnya
kritikus sastra. Yang jelas, tema yang mendorong saya berkarya biasanya adalah
tema spiritualitas, pencarian jati diri, dan ajakan untuk mempertanyakan ulang
apa yang sudah kita yakini betul dalam hidup ini. Soal gaya penulisan, saya
sadar saya punya ciri khas, tapi untuk membahasakan itu apa dan bagaimana,
rasanya orang lain lebih pas untuk itu.
Boleh
dibilang Anda merupakan salah satu penulis yang mewakili generasi yang
sekarang. Seperti apakah generasi yang sekarang ini menurut kacamata Anda?
Saya rasa semua penulis mencerminkan zaman
yang menjadi konteks kehidupannya. Jadi, kalau zaman berubah, otomatis apa yang
akan kita dapatkan dalam sastra pun akan berubah. Sebatas apa yang saya amati,
penulis generasi sekarang konteksnya banyak setting urban, modern, penggunaan
bahasa yang lebih cair antara keseharian, lebih lentur dalam menyerap frase
bahasa asing. Selain itu, tema "fiksi otobiografis" sepertinya cukup
dominan.
Kira-kira
apa arti dunia sastra saat ini bagi kalangan generasi tersebut?
Saya hanya bisa mereka-reka, dan sepertinya
jawaban saya tidak bisa mewakili total realitas yang ada. Saya merasa generasi
kini justru tak lagi tertarik dengan dikotomi sastra atau nonsastra. Saya
sendiri nggak pernah memusingkan apakah karya saya termasuk sastra atau bukan,
ngepop atau enggak, jadi ketika kemudian buku-buku saya menjadi referensi dalam
pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah, saya cukup surprised. Soalnya saya merasa, saya ini penulis otodidak yang
nggak pernah berangkat dari teori menulis maupun teori kritik sastra. Apa
adanya saja. Buat saya ini cukup flattering.
Topik-topik
apa saja yang sebenarnya perlu dibahas lebih lanjut di sastra di masa sekarang?
Tidak pernah ada kata "harus" dan
"perlu" dalam sastra, bagi saya. Prinsip saya dalam berkarya
sederhana, tulislah buku yang ingin kita baca. Dan yang dimaksud dengan
"kita" tentunya adalah individu-individu yang beragam dan punya minat
sendiri-sendiri. Saya cenderung membiarkan penulis menemukan
"suara"-nya sendiri, yang berangkat dari minat pribadi yang otentik.
Untuk
di Jakarta sendiri, menurut anda apa yang kurang untuk mendongkrak minat
masyarakat terhadap sastra? Apakah teknologi yang lebih canggih? Toko buku
lebih banyak?
Semuanya berperan serta. Dari mulai toko buku
(fisik tokonya, pelayananannya), judul buku yang tersedia, dan juga teknologi
yang mendukung pemasarannya, kesemuanya itu punya peranan dalam mendongkrak
minat baca masyarakat. Menurut saya, gelombang tren juga punya peran penting.
Jika sebuah judul mampu menciptakan atau berada dalam sebuah gelombang tren,
otomatis masyarakat akan terdorong untuk membaca, dan itu bisa mendorong
buku-buku lain secara umum juga ikut terdongkrak.
Adakah
ambisi-ambisi personal dalam karier yang masih belum tercapai saat ini?
Saya ingin segera menuntaskan serial
Supernova hingga bukunya yang ke-6. Tapi rasanya itu sudah bukan di level
ambisi lagi, melainkan sudah dalam To-Do-List.
Siapa
penulis Indonesia favorit Anda? Kenapa?
Sapardi Djoko Damono, beberapa bukunya pernah
sangat mempengaruhi saya dalam menulis lirik dan dalam membuat irama kata. Seno
Gumira Ajidarma, karena mampu membuat tulisan yang hidup. Ayu Utami, karena
ketekunannya dalam mengulik bahasa.
Apa
makanan kesukaan Anda?
Masakan Indonesia saya hampir suka semua.
Terutama masakan Sunda, yang cenderung simpel tapi segar.