Showing posts with label 2018. Show all posts
Showing posts with label 2018. Show all posts

Saturday, April 4, 2020

BeritaBaik.ID | Penulis & Media Sosial | Sept, 2018 | Chaedar Ambadar


Bagaimana Dewi Lestari melihat sosial media saat ini sebagai penulis? Apakah ide tulisan bisa muncul dari sana?

Media sosial saat ini menjadi media saya berkomunikasi dengan pembaca. Konten media sosial saya upayakan lebih banyak ke pekerjaan ketimbang personal, karena saya memang lebih ingin teridentifikasi dengan karya saya daripada kehidupan pribadi. Ide tulisan pada dasarnya bisa didapat dari mana saja, termasuk media sosial, karena isi media sosial sangat beragam, mulai dari berita sampai gunjingan. Jadi, sama saja seperti kita berhadapan dengan kehidupan riil. Namun, saya belum pernah mengangkat cerita khusus dari media sosial. Kalau terbantu untuk riset, sering. Cukup sering saya melempar pertanyaan lewat media sosial, seperti nama tempat, atau narasumber, dan cukup sering saya terbantu.  


Sekarang ini sepertinya sedang tren penulis membuat karya secara online (seperti di Wattpad), setelah banyak respons positif dan banyak permintaan untuk diterbitkan baru dibuat buku fisik. Bagaimana Dewi Lestari melihat ini?

Dari sisi kreator, semua kanal yang bisa dipakai berbagi, tentunya menjadi celah baginya berkarya. Menurut saya ini baik, karena para kreator tidak harus lagi bergantung kepada jalur-jalur konvensional untuk bisa berkarya dan membagikan karyanya. Jika kemudian penerbit yang mengubah manuvernya, berburu penulis dan bukan lagi diburu, saya rasa itu adalah perkembangan wajar mengingat kondisi di era teknologi ini. Informasi semakin tidak bisa dibendung. Termasuk kreativitas. Perkembangan yang kita lihat sekarang ini tak lain tak bukan adalahP demokratisasi informasi. Dan, pada akhirnya, pembacalah yang menentukan diterima atau tidaknya sebuah karya.  

Dari seluruh karya Dewi Lestari, mana yang prosesnya paling singkat? Buku apa dan berapa lama pembuatannya dari ide, penulisan hingga akhirnya terbit?

Yang sifatnya antologi atau kumpulan cerpen, seperti Filosofi Kopi dan Madre, biasanya perampungannya lebih singkat dibandingkan novel. Singkat, karena sebagian besar isinya merupakan stok karya yang sudah saya kerjakan 5 bahkan 10 tahun sebelum kumcernya terbit. Jadi, “singkat” di sini adalah waktu yang dibutuhkan untuk penulisan beberapa karya baru. Mungkin 3-4 bulan untuk penulisan 3-4 cerita baru, dan 1-2 bulan ekstra untuk penyuntingan keseluruhan antologi, dan 1 bulan lagi untuk produksi serta distribusi. Tapi, jika dihitung-hitung, buku-buku kumcer saya sebagian isinya sudah ditulis bertahun-tahun yang lampau. Akibatnya, dipandang singkat atau tidak jadi tergantung perspektif kita melihatnya bagaimana.   


Apakah lama tidaknya proses pembuatan buku memengaruhi kepuasan penulis akan karyanya? Sekaligus tips bagi penulis pemula yang mungkin kerap ingin segera melihat karyanya di toko buku tapi kurang matang tulisannya.

Lama tidaknya proses pembuatan buku menurut saya tidak berpengaruh kepada kualitas maupun kepuasan. Ada tendensi untuk kita menilai bahwa buku yang bagus itu ditulisnya pasti lama, sementara buku yang ditulisnya kilat itu cenderung tidak bermutu. Sebetulnya tidak sesederhana itu. Buku sendiri wujudnya bermacam-macam. Kita tidak bisa menyamakan novelet 10.000 kata dengan novel epik 100.000 kata, walau hasil akhirnya sama-sama jadi satu buku. Yang mengerjakan 10.000 kata pasti akan lebih cepat daripada yang 100.000 kata, tapi belum tentu yang 10.000 bakal lebih jelek hasilnya. Jadi, lama atau tidaknya pengerjaan kembali kepada jenis buku apa yang hendak ditulis serta tingkat kesulitannya, tetapi tidak berarti yang ditulis lama hasilnya bakal berkualitas. Bisa saja lamanya itu karena ternyata tidak digarap dengan sungguh-sungguh, disambi dengan banyak pekerjaan lain, nulisnya berhenti-berhenti, dsb.
Matang atau tidaknya penulisan kadang tidak bisa jernih dinilai oleh penulisnya sendiri. Yang kita tulis hari ini bisa saja kita anggap mahakarya, tapi 10 tahun lagi sudah kita anggap sampah. Untuk penulis pemula yang ingin berkarya, luangkanlah waktu dan sumber dayamu untuk penyuntingan yang baik. Ada editor-editor lepasan yang bisa membantu memoles naskah kita. Jangan cepat berpuas diri. Menulis adalah keahlian yang harus terus digali seumur hidup. Selalu belajar. Ketika kamu membaca karya orang lain, baca bukan cuma untuk terhibur, melainkan juga untuk sambil belajar.


Siapa saja sih penulis yang menginspirasi Dewi Lestari? Kenapa?

Terlalu banyak untuk disebut satu-satu. Saat ini saya sedang sangat menyukai tulisannya Yuval Noah Harari. Kemampuannya mengolah materi, kejernihan dan ketajamannya bertutur sangat mengagumkan.

Ubud Writers Readers Festival | Q&A with Speakers | Juli, 2018 | Tiara Mahardika


Kapan dan apa yang membuat Anda mulai menulis?

Saya menulis karena senang mengkhayal. Sejak kecil, dalam benak saya, mudah dan alamiah sekali rasanya merangkai cerita. Setiap membaca buku, selalu ada perasaan ingin ikut mencoba menulis demi menyalurkan khayalan-khayalan dalam benak saya. Kelas 5 SD, saya mulai mencoba-coba menulis cerita yang saya saat itu bayangkan akan menjadi sebuah buku.

Dari karya-karya Anda yang telah terbit, manakah yang meninggalkan kesan mendalam dalam proses penulisannya? Ceritakan kepada kami.

Buku yang paling berkesan bagi saya selalu buku terakhir yang saya tulis. Novel terakhir saya terbit Maret 2018 lalu, berjudul Aroma Karsa. Jadi, Aroma Karsa-lah yang saat ini terasa paling berkesan. Selain mengangkat tema penciuman yang saya rasa masih jarang digarap dalam dunia fiksi, Aroma Karsa merupakan karya yang proses kreatifnya paling lengkap saya dokumentasikan. Untuk itu, baru di Aroma Karsa saya berkesempatan menceritakan perjalanan riset berbagai keputusan kreatif saya kepada pembaca. Proses kreatif itu kemudian menjadi buku tersendiri, berjudul Di Balik Tirai, yang terbit bulan Juli 2018.

Apa yang biasa Anda lakukan saat mengalami ‘writer’s block’?

Writer’s Block ada dua jenis, menurut saya. Pertama, yang berakar dari kejenuhan atau kelelahan mental. Kedua, yang berakar dari kesalahan teknis dalam penulisan. Manifestasi keduanya terasa serupa, yakni kebuntuan menulis. Namun, dua hal itu ditangani dengan cara yang berbeda. Yang pertama menurut saya lebih mudah, karena biasanya cukup dengan rihat sejenak, melakukan kegiatan penyegaran, dan sebagainya. Yang kedua lebih sulit dan butuh upaya, karena perlu proses penulisan ulang, merombak struktur, mengganti elemen cerita, dan seterusnya. Namun, yang paling penting adalah, ketika kebuntuan datang, identifikasi dulu datangnya dari mana dan masalahnya apa.

Menurut Anda, hal apa saja yang bisa memberi ‘nyawa’ dalam sebuah karya tulis?

Kecermatan menjalin fakta ke dalam fiksi, menjadikan karakter kita semanusiawi mungkin sekaligus sedramatis mungkin. Meski “nyawa” cerita terdengar abstrak, menurut saya pada akhirnya akan kembali ke penguasaan teknik menulis dan jam terbang penulisnya. Tulisan yang bernyawa bukan semata-mata karena berdasarkan kisah personal penulis ataupun diangkat dari kisah nyata ataupun ditulis dengan emosional, melainkan tulisan yang jernih serta mampu berkomunikasi secara tepat dengan pembaca sehingga pembaca merasa menemukan kehidupan di dalamnya.

Adakah pesan yang ingin disampaikan untuk mereka yang berminat menekuni dunia kepenulisan?

Berani mencoba, berani gagal, berani menghadapi keberhasilan, dan mau terus belajar. Menulis menurut saya adalah kemampuan yang harus diasah seumur hidup.

Adakah topik yang ingin Anda eksplorasi di UWRF18?
Mengenai riset serta seni menjalin fakta ke dalam fiksi.

Kompas | Pembajakan Buku | Agustus, 2018 | Melati Mewangi


1.     Bagaimana pendapat dan tanggapan Mbak Dee tentang buku-buku bajakan yang banyak dijual murah, baik yang dijual secara daring maupun biasa?

Buku bajakan tentunya merupakan kejahatan ekonomi terhadap penulis karena dalam buku bajakan tidak ada komponen timbal balik royalti kepada penulis, penerbit, dan pihak-pihak lain yang bekerja keras untuk melahirkan sebuah buku.  Buku bajakan murni keuntungan pembajak dan jaringannya. Tidak ada penghargaan terhadap penulis atas karya cipta intelektualnya. Semua buku bajakan, daring atau tidak, merugikan penulis. Di buku bajakan, yang ada hanyalah keuntungan penjual. Bajakan daring sesungguhnya sedikit lebih mudah karena bisa ditelusuri dan bisa ditegur. Akan lebih sulit melakukan itu ke buku bajakan yang berada di pasar-pasar dan asongan. Tentunya peran pembaca sangat penting di sini. Kita perlu mengedukasi pembaca untuk menghargai hak intelektual penulis dengan tidak membeli bajakan dan mau menabung demi buuku, jika isunya tidak mampu, ada solusi perpustakaan dan taman bacaan.

2.     Hingga saat ini, langkah atau upaya apa yang telah dan akan ditempuh oleh Mbak Dee dan komunitas penulis untuk menyikapi buku-buku bajakan yang dijual murah itu di toko daring?

Saya dan suami sempat menelusuri buku-buku bajakan saya yang dijual di lapak-lapak daring. Kami tegur satu-satu dan kami jelaskan bahwa perbuatan mereka merugikan. Dalam tiga hari, sekitar 50 toko akhirnya menurunkan judul-judul buku saya. Tapi, itu baru buku saya, belum buku-buku lain. Jadi, bisa dibayangkan upayanya jika tidak ada yang mau meluangkan waktu untuk memberi teguran. Suami saya juga sempat mengontak para founder tiga besar pasar daring di Indonesia yang di dalamnya banyak lapak buku bajakan. Satu sudah menyambut baik, yakni Tokopedia. Saat ini di aturan Tokopedia sudah disebutkan larangan menjual buku bajakan. Kami berharap pasar-pasar daring besar lainnya ikut menyusul. Jadi, jika terjadi pelanggaran – dan saya yakin ada – setidaknya ada perangkat aturan yang bisa dijadikan dasar. Selama ini larangan tersebut hanya disebutkan untuk produk musik, belum buku.  Sejauh ini memang belum ada upaya menyeluruh dan serentak dari para pihak berkepentingan untuk menindak lebih jauh perihal pembajakan buku, meski secara sporadis sudah banyak pembicaraan yang terjadi.

3.     Menurut Mbak Dee, bagaimana pemerintah seharusnya bersikap mengenai peredaran dan penjualan buku bajakan di pasaran? Adakah usulan?

Pembajakan buku marak salah satunya karena pembiaran. Pemerintah harus menyiapkan aturan dan strategi efektif untuk mencegah, meniadakan, dan minimal mempersempit ruang gerak pembajak. Mungkin tidak semua penulis mau turun tangan menegur satu demi satu lapak, untuk itu harus ada sumber daya yang disediakan oleh penerbit dan pihak-pihak berkepentingan lain untuk mengawasi, menegur, dan melaporkan. Karena terlalu lama didiamkan, akhirnya kondisi buku bajakan ini dianggap sebagai “the new normal”. Dan, itu salah menurut saya.

4.     Menurut Mbak Dee, fenomena maraknya penjualan buku bajakan itu menunjukkan apa?

Kurangnya apresiasi maupun pemahaman kita terhadap karya intelektual. Buku bajakan subur karena ada yang beli. Jika alasannya buku asli itu mahal, sebenarnya ada cara lain untuk menyiasatinya. Yang paling umum tentunya adalah meminjam ke perpustakaan atau taman bacaan. Dan, tidak berarti juga harga buku tidak bisa diperbaiki agar lebih terjangkau. Untuk itu, harus ada insentif dari pemerintah, misalnya dengan meniadakan PPn buku tanpa kecuali (bukan hanya buku pendidikan dan agama), meringankan pajak impor untuk bahan baku buku, dan juga membuat aturan yang lebih “menarik” bagi pajak royalti penulis sebagai hulu dari industri buku agar geliat perbukuan semakin hidup.

5.     Sebagai penulis, pesan apa yang ingin disampaikan Mbak Dee kepada masyarakat terkait maraknya penjualan buku bajakan secara daring?


Tidak membeli buku bajakan adalah salah satu cara terefektif untuk meredakan pembajakan. Menabunglah demi buku, daripada membeli murah tapi sebenarnya mematikan penulis. Jika tetap sulit, pinjamlah ke perpustakaan. Sekarang beberapa penerbit sudah melakukan terobosan kok, seperti penerbit digital Bookslife (yang sudah menerbitkan dua buku saya), yakni dengan menjual buku dengan sistem per bagian (“parts”) yang per bagiannya hanya 5000 rupiah agar terjangkau dan bisa “dicicil” bacanya oleh pembaca.

Kompas | Pajak Royalti & Pembajakan Buku | Juli, 2018 | Sekar Gandhawangi


Apa pendapat Dee tentang pajak royalti bagi penulis yang tinggi?
Sesungguhnya saat ini perlakuan pajak royalti kepada penulis sudah ada perbaikan, antara lain pencantuman profesi penulis dalam daftar pemakaian norma, dan karena sempat ramai dibincangkan, ada semacam klarifikasi dari Ditjen Pajak kepada KPP maupun masyarakat tentang norma ini. Namun, apakah masih perlu ada perbaikan? Tentu ada. Pertama, menurut saya norma yang digunakan saat ini (50%) masih terlalu tinggi dan belum mencerminkan sifat profesi penulis yang siklus produksinya panjang dan terjadi penundaan pembayaran royalti diakibatkan oleh sistem keuangan dan pencatatan stok di toko buku. Penulis, tidak seperti penyanyi yang jika pentas dibayar cash-and-carry dan sama-sama berada di kategori norma seniman, harus menunggu lama untuk bisa merasakan pendapatan royaltinya. Kedua, jika norma diturunkan, efeknya adalah kecenderungan lebih bayar pajak, karena pajak royalti dipungut duluan oleh pemerintah (dalam hal ini pemerintah “berutang kepada penulis), dan baru dikalklasi ulang saat penghitungan pendapatan di pelaporan tahunan. Sementara, kita tahu, karena sistem retribusi pajak selama ini belum terkomputerisasi dan masih harus diajukan manual, banyak kendala di lapangan bagi mereka yang mengurus kelebihan bayar pajak di KPP. Apalagi kalau jumlah lebih bayarnya besar, repot juga jika harus bolak-balik audit setiap tahun. Ketiga, PPh 15% sangat tinggi. Setahu saya (mohon dikonfirmasi), besaran royalti 15% ini berbasiskan industri tambang. Sementara, sebagai produk intelektual, saya rasa harus ada kebijakan yang segar dan kondusif untuk meringankan royalti penulis. Jika royalti dan norma bisa sama-sama turun, baru hasil akhirnya bisa lebih seimbang. 

Bagaimana pajak royalti penulis yang tinggi ini memengaruhi kreativitas dan produktivitas para penulis di Indonesia?
Pertama-tama, perihal pajak ini masih merupakan topik “gelap” bagi banyak penulis. Banyak sekali penulis yang tidak tahu hak dan kewajibannya yang berkenaan dengan pajak. Jadi, penulis harus terlebih dahulu “dimelekkan” soal pajak, yang mungkin bisa dibantu dengan sosialisasi lebih gencar. Saat ini hanya segelintir penulis yang bisa hidup murni dari royalti bukunya. Produktivitas dan kreativitas tentu merupakan hal yang kompleks, ditentukan oleh skill dan motivasi individual, juga atmosfer kreativitas yang melingkupinya. Namun, peran pemerintah untuk menyokong itu bisa dilakukan dengan memberi insentif, salah satunya lewat perlakuan pajak yang lebih kondusif. Semua profesi punya keistimewaan, tapi untuk kondisi Indonesia ini, saya rasa profesi penulis patut diberi dukungan lebih karena berkenaan dengan kondisi literasi kita yang memerlukan banyak perbaikan. Saya percaya, dengan pajak yang lebih menarik, otomatis profesi penulis juga jadi lebih menarik, dan banyak orang yang akhirnya bisa bekerja penuh sebagai penulis. Otomatis, karya-karya yang muncul akan lebih berpotensi untuk berkualitas. 

Bagaimana cara Dee secara personal menyikapi pajak royalti yang tinggi? Dee dapat dikatakan sebagai salah satu penulis yang produktif dalam berkarya, apakah isu pajak itu tidak memengaruhi kreativitas Dee? Bagaimana pandangan Dee mengenai hal ini?
Saya berkarya memang bukan karena pajak atau royalti, tapi pertamanya karena kecintaan. Jadi, tentu apa pun kondisinya, saya akan tetap berkarya. Namun, ketika sudah jelas terlihat ada masalah, menurut saya akan menjadi salah jika kita berdiam diri. Jadi, upaya saya adalah bersuara mengenai isu tersebut lewat saluran apa pun yang saya bisa.

Bagaimana pendapat Dee tentang buku-buku bajakan yang banyak dijual, khususnya yang dijual secara daring?
Semua buku bajakan, daring atau tidak, merugikan penulis. Di buku bajakan, yang ada hanyalah keuntungan penjual. Tidak ada komponen apresiasi terhadap penulis, penerbit, dan pihak-pihak yang bekerja keras untuk melahirkan sebuah buku. Bajakan daring sesungguhnya sedikit lebih mudah karena bisa ditelusuri dan bisa ditegur. Akan lebih sulit melakukan itu ke buku bajakan yang berada di pasar-pasar dan asongan. Tentunya peran pembaca sangat penting di sini. Kita perlu mengedukasi pembaca untuk menghargai hak intelektual penulis dengan tidak membeli bajakan dan mau menabung demi buuku, jika isunya tidak mampu, ada solusi perpustakaan dan taman bacaan.

Apa langkah Dee dan komunitas penulis untuk menyikapi buku-buku bajakan yang dijual di pasaran?
Saya dan suami sempat menelusuri buku-buku bajakan saya yang dijual di lapak-lapak daring. Kami tegur satu-satu dan kami jelaskan bahwa perbuatan mereka merugikan. Dalam tiga hari, sekitar 50 toko akhirnya menurunkan judul-judul buku saya. Tapi, itu baru buku saya, belum buku-buku lain. Jadi, bisa dibayangkan upayanya jika tidak ada yang mau meluangkan waktu untuk memberi teguran. Suami saya juga sempat mengontak para founder tiga besar pasar daring di Indonesia yang di dalamnya banyak lapak buku bajakan. Satu sudah menyambut baik, yakni Tokopedia. Saat ini di aturan Tokopedia sudah disebutkan larangan menjual buku bajakan. Kami berharap pasar-pasar daring besar lainnya ikut menyusul. Jadi, jika terjadi pelanggaran – dan saya yakin ada – setidaknya ada perangkat aturan yang bisa dijadikan dasar. Selama ini larangan tersebut hanya disebutkan untuk produk musik, belum buku. 

Menurut Dee, bagaimana pemerintah seharusnya bersikap mengenai pajak bagi penulis dan buku bajakan? Apakah ada usulan?
Pembajakan buku ada salah satunya karena pembiaran. Pemerintah harus menyiapkan aturan dan strategi efektif untuk mencegah, meniadakan, dan minimal mempersempit ruang gerak pembajak. Mungkin tidak semua penulis mau turun tangan menegur satu demi satu lapak, untuk itu harus ada sumber daya yang disediakan oleh penerbit dan pihak-pihak berkepentingan lain untuk mengawasi, menegur, dan melaporkan. Karena terlalu lama didiamkan, akhirnya kondisi buku bajakan ini dianggap sebagai “the new normal”. Dan, itu salah menurut saya.

Apakah Dee sedang menyiapkan proyek menulis dalam waktu dekat? Proyek apakah itu? Jika ada proyek menulis dalam waktu dekat, bagaimana persiapan yang sudah dilakukan?
Setelah Aroma Karsa dilansir bulan Maret lalu, sebentar lagi saya akan melansir buku nonfiksi saya pertama, yakni Di Balik Tirai Aroma Karsa, sebuah buku tentang proses kreatif, riset, dan teknik penulisan Aroma Karsa.

Mengenai Supernova, bagaimana persiapan dari kelanjutan buku Inteligensi Embun Pagi?
Kemungkinan akan menjadi agenda kerja saya berikutnya, walau belum ingin saya pastikan sekarang.

Dalam setiap buku yang ditulis, Dee selalu melakukan riset mendalam untuk memperkaya cerita. Bagaimana cara Dee membagi waktu antara riset, menulis, dan menyediakan waktu untuk keluarga?
Jika sudah berkomitmen untuk melahirkan satu karya, biasanya saya memang mendedikasikan waktu panjang dan intens untuk itu. Pada saat seperti itu, prioritas saya hanya dua, keluarga dan berkarya. Konsekuensinya, di luar dari kegiatan menulis, saya mengurangi drastis porsi pekerjaan saya yang lain seperti tampil di media, mengisi seminar, talkshow, dll. Saya juga tidak membuka ikatan kerja kreatif intensif lainnya dengan pihak lain. Otomatis pada saat berkarya saya jadi lebih banyak di rumah.

Bagaimana bentuk dukungan dari keluarga terhadap pekerjaan Dee sebagai penulis?
Di luar dari dukungan moril, suami saya, Reza Gunawan, membantu saya secara manajerial. Kami mendiskusikan dan menyusun berbagai strategi pemasaran, komunikasi, dan promosi. Anak-anak saya, dengan cara dan kapasitasnya masing-masing, juga sangat suportif. Tiap kali harus menandatangani ribuan buku di rumah, mereka ikut membantu menata lembarnya, menyusun, dll. Sungguh saya merasa bersyukur bisa berkarya dalam atmosfer yang saya dapatkan di rumah. Keluarga adalah penyeimbang sekaligus penyokong utama bagi saya.

Kompas | Profesi Penulis | Juli, 2018 | Melati


Menurut Anda, bagaimana melihat beberapa penulis yang memilih pensiun dari dunia kepenulisan? Apa yang terjadi? Itu menunjukan fenomena apa?
 
Saya rasa, terlepas dari renjana kita apa, pada dasarnya kita punya kebutuhan ekonomi yang harus dipenuhi, dan pemenuhan itu biasanya datang dari apa yang kita kerjakan, yang kita sebut profesi. Ketika profesi tersebut tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan ekonomi kita, tentunya kita harus mencari cara lain. Dalam kasus penulis, yang biasanya pendapatan utamanya dari royalti bukunya, ketika seorang penulis tidak bisa lagi mengandalkan royalti sebagai penopang hidup, ia harus memikirkan cara lain. Sebetulnya sesederhana itu. Kita tahu memang hanya segelintir penulis di Indonesia yang bisa menyandarkan hidupnya dari royalti buku. Negara ini  tingkat literasinya masih rendah dan industri bukunya masih terbilang kecil dibandingkan sektor ekonomi kreatif lain. Fenomena tersebut menurut saya tak lain adalah potret realistis dari kondisi tersebut.

Menurut Anda, apakah memungkinkan di Indonesia menjadikan profesi menulis itu  menghidupkan perekonomian? Alasannya?
 
Mungkin, tetapi prosentasenya kecil. Pertama, volume penjualan bukunya harus besar alias laris di pasaran. Kedua, penulis harus produktif. Karena hanya dengan menulis terus, penulis dapat menjadikan karyanya tetap relevan di pasar, dan royalti yang ia peroleh merupakan akumulasi dari judul yang terus bertambah. Buku baru yang laris sekalipun biasanya masa keemasannya hanya empat bulan, setelah itu mulai terjadi tren penurunan, terkecuali kalau ada faktor lain seperti dibuat film, dsb. Untuk itu, penulis harus produktif agar buku barunya dapat menjadi sumber income yang segar serta mendongkrak buku-buku terbitan sebelumnya.

Bagaimana melihat bisnis penulisan di Indonesia? Apa yang sebaiknya perlu diubah dalam budaya bisnis penulisan? 
 
PPn dihapus untuk semua buku tanpa kecuali, “kue” PPn tersebut dapat dibagi ekstra ke penulis agar prosentase royaltinya lebih besar. Rabat toko kalau bisa ditekan, karena saat ini sangat tinggi, bisa mencapai 50-55% dari harga jual buku. Toko buku online dan direct selling bisa menjadi solusi alternatif karena rabatnya lebih rendah. Harga buku pun bisa ditekan, dengan cara meringankan pajak impor bagi bahan baku, maupun pemberian subsidi bagi produksi buku. Di level institusi pendidikan, keahlian membaca distrukturkan menjadi mata pelajaran, yang sifatnya inquiry. Membaca sebenarnya lebih dari sekadar mengeja atau memahami huruf, tapi memaknai konteks, dan ini pembelajaran penting yang barangkali lebih berguna daripada banyak pelajaran yang diajarkan di sekolah saat ini. Membaca sebagai kemampuan analisis dan pemahaman akan meningkatkan budaya literasi, bukan cuma sekadar bebas buta huruf.

Melihat tren minat baca di Indonesia ini bagaimana? Apakah cukup tinggi atau sebaliknya? Apakah berpengaruh pada royalti penulis? 
 
Sulit mengukur royalti hanya dari minat baca. Minat tinggi tapi buku tak terjangkau, misalnya, atau tidak ada akses ke buku. Royalti pada dasarnya merefleksikan pendapatan, dan untuk itu ada banyak faktor yang perlu ditinjau. Perlakuan pajak yang tepat atas royalti dapat mengubah skema pendapatan penulis secara signifikan. Begitu pula prosentase dari harga jual yang selama ini berlaku dan dianggap baku, yakni sekitar 7,5% - 15 % dari harga jual. Apa benar harus segitu terus? Kalau PPn dihapus, kalau rabat toko ditekan, bisakah penulis bisa jadi punya royalti lebih besar?

Mengapa Anda tetap menulis buku? (Meskipun ada karya Anda yang mungkin dibajak ataupun mungkin ada peraturan pajak atau royalti yang tidak sejalan dengan yang Anda harapkan?
 
Sederhananya karena saya menyukainya. Saya termasuk segelintir yang beruntung, yang pendapatan royaltinya cukup signifikan untuk menopang hidup. Tapi, kalau satu hari kondisi berubah, dan royalti buku tidak lagi cukup, tentu saya pun harus mencari cara lain. Ada banyak diversifikasi yang bisa dijalani penulis sebenarnya, tergantung minat dan talenta masing-masing. Menjadi narasumber untuk talkshow / seminar / workshop menulis, mengerjakan proyek-proyek menulis honorer, dsb. Royalti buku bisa jadi tidak selamanya menjadi sumber pendapatan utama, tapi saya yakin akan terus menulis. Apa pun bentuknya.

Harapan ke depannya untuk para penulis?
 
Ekosistem perbukuan yang lebih baik, apresiasi masyarakat yang lebih tinggi serta pemahaman yang lebih dalam terhadap profesi penulis, serta penulis dapat memiliki kehidupan yang lebih makmur.

Tanggapannya tentang penerbit indie dan harapan pada penerbit buku arusutama (mainstream)?
 
Penerbit indie dan penerbit besar punya kekurangan dan kelebihan masing-masing, bergantung kebutuhan dan prioritas kita. Penerbit indie, biasanya lebih bisa fokus karena tidak menangani judul buku terlalu banyak. Namun, secara kapital terbatas. Sementara penerbit mainstream biasanya tidak bisa memberikan perhatian lebih kepada sebuah judul buku (kecuali jika sangat laku), karena begitu banyak judul yang harus dikelola secara bersamaan. Tapi, kapital penerbit mainstream lebih besar, jaringan lebih kuat, dan posisi tawar di toko lebih tinggi. Manuver penerbit indie biasanya lebih fleksibel sehingga bisa melakukan inovasi-inovasi pemasaran, meski tidak tertutup kemungkinan inovasi pun lahir dari penerbit mainstream, biasanya penerbit mainstream sudah punya pakem yang lebih baku untuk promosi dan pemasaran. Dengan mengetahui perbedaan karakteristik tersebut, penulis bisa tahu kurang lebih apa yang dihadapinya, dan menyesuaikan ekspektasinya.

Apakah ada rencana untuk menerbitkan karya lewat penerbit indie atau tetap menerbitkan karya di penerbit umum? Kenapa?
 
Karena buku saya sudah harus dicetak dalam volume besar, penerbit yang saya ajak kerja sama sudah harus siap dengan kapital yang besar juga. Sudah sulit bagi saya bekerja sama dengan penerbit indie, ataupun menerbitkan sendiri, karena modal serta SDM yang dibutuhkan untuk mengelola volume cetak yang sedemikian besar sudah terlalu mahal dan kompleks.
Saat ini saya sebetulnya ada kerja sama dengan penerbit yang bisa dibilang penerbit baru, bukan penerbit mainstream, yakni Bookslife (untuk judul Aroma Karsa dan Di Balik Tirai Aroma Karsa), tapi hanya dalam format digital. Format digital tidak membutuhkan modal cetak, jadi kerja sama tersebut masih memungkinkan. Untuk versi cetak, saya harus bekerja sama dengan penerbit mainstream.

Arkuma Kidz Magz | Cita-cita Penulis | Juni, 2018 | Debby Lukito


Adakah peristiwa seru yang membuat Kak Dee suka menulis? Apakah ini cita-cita sejak kecil? Siapa tokoh yang menginspirasi dalam bidang literasi?

Saya sudah senang menulis sejak kecil. Walau tidak pernah mencantumkan cita-cita sebagai penulis, sejak umur 9 tahun saya sudah mulai mencoba menulis novel dan mengangankan satu hari akan melihat buku saya dijual di rak toko buku. Memutuskan senang menulis karena awalnya saya senang berkhayal, senang merangkai cerita, dan ingin membagikannya ke orang lain. Saya merasa hal itu bisa terfasilitasi dengan baik lewat menulis.

Kak Dee sempat eksis sebagai penyanyi, adakah keinginan untuk kembali ke dunia tarik suara dan apa rencana ke depan dalam bidang penulisan?

Keinginan untuk kembali berkarya di bidang musik tetap ada, tetapi saya belum tahu pasti kapan. Mudah-mudah bisa di tahun 2018 ini. Untuk di bidang penulisan, dalam waktu dekat saya akan melansir buku tentang proses kreatif.

Jika ada pembaca cilik yang nantinya ingin menjadi seorang penulis, apa kiat-kiat / "do atau don't" yang ingin Kak Dee bagikan untuk mereka?

Do: Banyak membaca, banyak mencoba, dan upayakan setiap tulisanmu bisa tamat. Menulis adalah keahlian yang harus terus diasah. Jam terbang sangat menentukan.
Don’t: Takut gagal, takut tulisan kita jelek. Fase itu harus dilewati, menulislah sampai kamu benar-benar puas dengan hasil tulisanmu.

Pesan Kak Dee untuk 'kids jaman now'?

Galilah minatmu, seluas-luasnya. Hari ini mungkin kamu suka melukis, besok suka menyanyi, tidak apa-apa. Eksplorasi saja. Begitu ketemu bidang atau hobi yang kamu suka, coba tekuni dengan semangat ingin menjadi yang terbaik.

Wawancara Skripsi | NPPN Profesi Penulis | Juni, 2018 | Ari Syahrizal


Setahu saya Teh Dee awalnya adalahnya penyanyi, sekarang kelihatannya lebih aktif menulis. Dua profesi ini proses bisnisnya, dari perencanaannya sampai dapat penghasilan sepertinya sangat berbeda. Bolehkah terlebih dahulu dijelaskan proses bisnis kedua profesi ini? Pola penghasilannya juga berbeda, ya, Teh Dee? Bisakah memberikan gambaran pola pendapatan dari masing-masing profesi?


Ada beberapa jalur potensi pendapatan baik untuk penyanyi maupun penulis.
Penyanyi akan mendapatkan royalti dari album dan lagu yang dinyanyikannya, seperti halnya penulis mendapatkan royalti dari buku yang ditulisnya. Jika penyanyi menulis sendiri lagunya, maka ia akan mendapatkan royalti ekstra dari penciptaan lagu. Jika tidak, maka hanya dari menyanyinya saja. Dari jalur lain, penyanyi bisa mendapatkan honor dari pentas, dari iklan, dan turunan lainnya. Sementara, penulis bisa mendapatkan honor dari seminar, workshop, dsb. Tetapi, jika dilihat dari kondisi industri saat ini, jarang penyanyi yang masih mengandalkan pendapatan dari album saja, biasanya mereka lebih mengandalkan dari pentas. Saat ini kondisi penjualan album tidak sebesar industri delapan-sepuluh tahun yang lalu. Akibat pembajakan dan juga pergeseran tren, musik saat ini lebih berkonotasi sebagai produk gratis. Pada penulis, sumber pendapatan utama mereka biasanya dari royalti bukunya sendiri. Tidak semua penulis memiliki kesempatan untuk mengajar, seminar, dsb, seperti halnya penyanyi memang “mempertanggungjawabkan” albumnya dengan cara mementaskannya. Sementara, proses pembuatan sebuah buku biasanya berlangsung lama (6 bulan-1 tahun untuk fiksi). Selama enam bulan hingga setahun, penulis biasanya harus fokus berkarya. Setelah karyanya terbit, lazimnya penulis baru menerima pendapatan enam bulan sesudah bukunya dirilis karena penghitungan sales dari toko buku memakan waktu. Karena itu, perencanaan keuangan antara penulis dan penyanyi, meski sama-sama mengecap PPh royalti, bisa sangat berbeda. Penyanyi akan lebih mengandalkan pentas yang sifatnya cash and carry, langsung dibayar. Sementara, penulis yang mengandalkan royalti akan mengalami penundaan bayar untuk kerja kerasnya yang juga membutuhkan waktu panjang. 


Pekerja seni, termasuk novelis bisa menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) untuk menghitung penghasilan netonya (50% dari penghasilan bruto). Setujukah Teteh penulis  disamakan normanya dengan pekerja seni lainnya (aktor, penari, pemahat, penyanyi, dan lainnya sesuai Lampiran PER-17/PJ/2015)?


Berdasarkan penjelasan saya sebelumnya, saya merasa tidak tepat jika NPPN penulis disamakan dengan pekerja seni lainnya, dikarenakan nature pekerjaan menulis yang membutuhkan waktu relatif panjang untuk menghasilkan karya, dan membutuhkan waktu panjang juga untuk menerima hasilnya/royalti.


Apa kekurangan NPPN untuk novelis yang berlaku saat ini? Serta adakah saran untuk penerapan NPPN untuk novelis?

Saya melihat penghitungan NPPN untuk penulis saat ini masih belum dengan dasar pemahaman menyeluruh tentang nature maupun cara kerja profesi penulis. Sepertinya masih disimplifikasi sebagai sama-sama pekerja seni, padahal industrinya maupun pola pekerjaan dan pendapatannya berbeda. Jika bisa direduksi atau disamakan dengan NPPN penggiat bahasa/budaya yang saat ini angkanya di 35%, menurut saya masih lebih cocok. Saran saya, NPPN penulis diringankan agar lebih proporsional dengan pola pekerjaan/pendapatannya.

Wawancara Skripsi | Analisis Penerapan Pajak terhadap Penulis | Maret, 2018 | David Ganda Martua


Berapa kira-kira jumlah buku yang biasanya diterbitkan dalam setahun?
Kecepatan saya rata-rata adalah 1 buku per 1,5 tahun.

Apakah ada jenis-jenis  penghasilan lain yang diterima oleh Mbak Dee selain menerbitkan buku? Boleh tolong disebutkan dan dijelaskan.
Sebagai narasumber / pembicara, sebagai pengisi acara (musik/menyanyi), sebagai brand ambassador produk komersial, jasa penulisan lain (untuk perusahaan, dsb) dan penjurian.

Berapa kira-kira besaran royalti yang diterima oleh Mbak Dee dalam menerbitkan sebuah buku?
Sejauh ini saya pernah menerima antara 15-17,5 %.

Berapa jumlah buku yang dicetak menurut kontrak pada satu periode pencetakan buku?
Kontrak buku biasanya berakhir dan perlu diperbaharui ulang setelah lima tahun atau setelah 100.000 buku terjual (tergantung mana yang lebih dulu).

Bagaimana jangka periode pembayaran buku yang tertera di kontrak dan disepakati oleh penerbit dan Mbak Dee?
Pelaporan dan penyetoran hasil royalti dilakukan setiap dua kali setahun.

Bagaimana  pendapat mengenai tarif pajak royalti 15% terhadap penghasilan penulis yang dipotong oleh penerbit?
Sangat besar, dan karena peraturan mengharuskan pajak royalti dipotong langsung oleh penerbit maka bisa dibilang pemerintah menahan uang penulis, angka itu baru dikonsolidasi di pembayaran SPT tiap tahun.

Bagaimana pendapat Mbak Dee mengenai penghasilan royalti penulis yang dianggap “passive income”?
Bergantung dari produktivitas penulis, menurut saya baiknya penghasilan royalti penulis dibagi dua, yakni untuk penulis yang pasif (hanya mengeluarkan satu judul, dan tidak pernah direvisi), dan untuk penulis aktif (mengeluarkan beberapa judul, ada cetak ulang atau revisi ulang, aktif mempromosikan karyanya). Untuk penulis kategori pertama, maka royalti yang didapatkannya bisa dibilang adalah pendapatan pasif, karena tidak ada kegiatan ekstra lainnya yang harus dialokasikan penulis untuk mengembangkan kepenulisannya maupun karyanya. Sementara, untuk kategori kedua, royalti yang didapatkan tidak pasif, meski namanya bisa saja tetap royalti, hakikat pendapatannya tidak lagi pendapatan pasif melainkan aktif. Dalam hal ini menurut saya peletakan anggapan pukul rata bahwa royalti merupakan pendapatan pasif perlu diluruskan dan dikategorikan denagn lebih sesuai.  

Apa saja kira-kira pengeluaran yang dilakukan dalam menerbitkan sebuah buku?
Maksudnya, pengeluaran saya atau pengeluaran penerbit? Penerbit akan mengeluarkan biaya produksi/percetakan, promosi, distribusi. Penulis mengeluarkan biaya riset dan investasi waktu yang dialokasikannya untuk menulis serta promosi buku.

Apakah Mbak Dee mengetahui bahwa ada mekanisme penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Netto yang dapat digunakan oleh penulis untuk menghitung penghasilannya?
Sudah.

Bagaimana pendapat Mbak Dee perihal mekanisme Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) sebagai insentif pajak yang diberikan pemerintah?
Dengan adanya penulis di dalam daftar profesi yang bisa menggunakan NPPN ini jelas membantu. Pertama, tidak semua penulis melakukan pembukuan. Kedua, pencantuman penulis ke dalam daftar tersebut berarti sudah mengakui absah profesi penulis di mata pajak.

Bagaimana pendapat Mbak Dee perihal tarif NPPN sebesar 50% yang dapat dijadikan dasar sebagai mengitung penghasilan netto?
Saat ini profesi penulis berada di kategori pekerja seni. Saya merasa kategori ini bisa diperbaiki dan dirinci dengan lebih tepat, sebetulnya. Karena, tidak semua pekerja seni memiliki siklus pendapatan yang sama, meski banyak yang beranggapan bahwa menulis adalah seni. Penulis punya siklus produksi yang khusus. Kami bekerja bisa satu-dua tahun untuk sebuah buku, menikmati hasilnya pun hanya 2x setahun dari pembayaran royalti. Jenis pembayaran tunda semacam ini agak berbeda dengan pekerja seni lain yang sifatnya cash and carry (penyanyi yang pentas, dsb). Saya lebih sepakat jika penulis disamakan dengan jasa kebudayaan dan bahasa, yang jika tidak salah (perlu dicek ulang datanya) NPPN-nya di kisaran 30-35%.

Apakah Mbak Dee mengetahui perihal kebijakan perpajakan di negara lain? (Benchmark ke negara lain)
Pemisahan royalti aktif dan pasif diberlakukan di Inggris dan Amerika Serikat.

Apakah ada sosialisasi yang diberikan oleh DJP perihal kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi oleh penulis?
Terkecuali setelah kasus Tere Liye yang kemudian menggulirkan diskusi demi diskusi hingga akhirnya ada infografis dari Ditjen Pajak mengenai NPPN Penulis dsb, saya belum pernah mengetahui perihal sosialisasi ini sebelumnya.

Bagaimana saran yang dapat diberikan terhadap pengenaan pajak penulis oleh pemerintah?
·      Mekanisme pemotongan royalti secara langsung oleh penerbit menyebabkan potensi tidak balansnya laporan keuangan yang kemudian harus disesuaikan lagi melalui revisi/koreksi/retribusi. Ini merepotkan kedua belah pihak, baik pihak penulis maupun pihak perpajakan.  
·      Pemotongan tersebut sama saja berarti pemerintah menahan uang penulis yang seharusnya berpotensi untuk menyejahterakan kehidupan penulis.
·      Mekanisme retribusi yang bisa dilakukan online dan tata cara yang memudahkan.
·      Penyesuaian tarif NPPN, tidak di kategori seniman, melainkan di kategori tersendiri atau disamakan dengan jasa budaya/bahasa.
·      Pembedaan royalti sebagai pendapatan pasif dan aktif. Atau sekalian pendapatan royalti diberlakukan pajak final 1%.
·      Penurunan tarif PPh 23 atau pemberlakuan sekalian pajak finak 1%.