Apa
pendapat Dee tentang pajak royalti bagi penulis yang tinggi?
Sesungguhnya saat ini perlakuan pajak royalti
kepada penulis sudah ada perbaikan, antara lain pencantuman profesi penulis
dalam daftar pemakaian norma, dan karena sempat ramai dibincangkan, ada semacam
klarifikasi dari Ditjen Pajak kepada KPP maupun masyarakat tentang norma ini.
Namun, apakah masih perlu ada perbaikan? Tentu ada. Pertama, menurut saya norma
yang digunakan saat ini (50%) masih terlalu tinggi dan belum mencerminkan sifat
profesi penulis yang siklus produksinya panjang dan terjadi penundaan pembayaran
royalti diakibatkan oleh sistem keuangan dan pencatatan stok di toko buku.
Penulis, tidak seperti penyanyi yang jika pentas dibayar cash-and-carry dan sama-sama berada di kategori norma seniman,
harus menunggu lama untuk bisa merasakan pendapatan royaltinya. Kedua, jika
norma diturunkan, efeknya adalah kecenderungan lebih bayar pajak, karena pajak
royalti dipungut duluan oleh pemerintah (dalam hal ini pemerintah “berutang
kepada penulis), dan baru dikalklasi ulang saat penghitungan pendapatan di pelaporan
tahunan. Sementara, kita tahu, karena sistem retribusi pajak selama ini belum
terkomputerisasi dan masih harus diajukan manual, banyak kendala di lapangan
bagi mereka yang mengurus kelebihan bayar pajak di KPP. Apalagi kalau jumlah
lebih bayarnya besar, repot juga jika harus bolak-balik audit setiap tahun.
Ketiga, PPh 15% sangat tinggi. Setahu saya (mohon dikonfirmasi), besaran
royalti 15% ini berbasiskan industri tambang. Sementara, sebagai produk
intelektual, saya rasa harus ada kebijakan yang segar dan kondusif untuk
meringankan royalti penulis. Jika royalti dan norma bisa sama-sama turun, baru
hasil akhirnya bisa lebih seimbang.
Bagaimana
pajak royalti penulis yang tinggi ini memengaruhi kreativitas dan produktivitas
para penulis di Indonesia?
Pertama-tama, perihal pajak ini masih
merupakan topik “gelap” bagi banyak penulis. Banyak sekali penulis yang tidak
tahu hak dan kewajibannya yang berkenaan dengan pajak. Jadi, penulis harus
terlebih dahulu “dimelekkan” soal pajak, yang mungkin bisa dibantu dengan
sosialisasi lebih gencar. Saat ini hanya segelintir penulis yang bisa hidup
murni dari royalti bukunya. Produktivitas dan kreativitas tentu merupakan hal
yang kompleks, ditentukan oleh skill dan motivasi individual, juga atmosfer
kreativitas yang melingkupinya. Namun, peran pemerintah untuk menyokong itu
bisa dilakukan dengan memberi insentif, salah satunya lewat perlakuan pajak
yang lebih kondusif. Semua profesi punya keistimewaan, tapi untuk kondisi
Indonesia ini, saya rasa profesi penulis patut diberi dukungan lebih karena
berkenaan dengan kondisi literasi kita yang memerlukan banyak perbaikan. Saya
percaya, dengan pajak yang lebih menarik, otomatis profesi penulis juga jadi
lebih menarik, dan banyak orang yang akhirnya bisa bekerja penuh sebagai penulis.
Otomatis, karya-karya yang muncul akan lebih berpotensi untuk berkualitas.
Bagaimana
cara Dee secara personal menyikapi pajak royalti yang tinggi? Dee dapat
dikatakan sebagai salah satu penulis yang produktif dalam berkarya, apakah isu
pajak itu tidak memengaruhi kreativitas Dee? Bagaimana pandangan Dee mengenai
hal ini?
Saya berkarya memang bukan karena pajak atau
royalti, tapi pertamanya karena kecintaan. Jadi, tentu apa pun kondisinya, saya
akan tetap berkarya. Namun, ketika sudah jelas terlihat ada masalah, menurut
saya akan menjadi salah jika kita berdiam diri. Jadi, upaya saya adalah
bersuara mengenai isu tersebut lewat saluran apa pun yang saya bisa.
Bagaimana
pendapat Dee tentang buku-buku bajakan yang banyak dijual, khususnya yang
dijual secara daring?
Semua buku bajakan, daring atau tidak,
merugikan penulis. Di buku bajakan, yang ada hanyalah keuntungan penjual. Tidak
ada komponen apresiasi terhadap penulis, penerbit, dan pihak-pihak yang bekerja
keras untuk melahirkan sebuah buku. Bajakan daring sesungguhnya sedikit lebih
mudah karena bisa ditelusuri dan bisa ditegur. Akan lebih sulit melakukan itu
ke buku bajakan yang berada di pasar-pasar dan asongan. Tentunya peran pembaca
sangat penting di sini. Kita perlu mengedukasi pembaca untuk menghargai hak
intelektual penulis dengan tidak membeli bajakan dan mau menabung demi buuku,
jika isunya tidak mampu, ada solusi perpustakaan dan taman bacaan.
Apa
langkah Dee dan komunitas penulis untuk menyikapi buku-buku bajakan yang dijual
di pasaran?
Saya dan suami sempat menelusuri buku-buku
bajakan saya yang dijual di lapak-lapak daring. Kami tegur satu-satu dan kami
jelaskan bahwa perbuatan mereka merugikan. Dalam tiga hari, sekitar 50 toko
akhirnya menurunkan judul-judul buku saya. Tapi, itu baru buku saya, belum
buku-buku lain. Jadi, bisa dibayangkan upayanya jika tidak ada yang mau
meluangkan waktu untuk memberi teguran. Suami saya juga sempat mengontak para founder tiga besar pasar daring di
Indonesia yang di dalamnya banyak lapak buku bajakan. Satu sudah menyambut
baik, yakni Tokopedia. Saat ini di aturan Tokopedia sudah disebutkan larangan
menjual buku bajakan. Kami berharap pasar-pasar daring besar lainnya ikut
menyusul. Jadi, jika terjadi pelanggaran – dan saya yakin ada – setidaknya ada
perangkat aturan yang bisa dijadikan dasar. Selama ini larangan tersebut hanya
disebutkan untuk produk musik, belum buku.
Menurut Dee, bagaimana pemerintah seharusnya
bersikap mengenai pajak bagi penulis dan buku bajakan? Apakah ada usulan?
Pembajakan buku ada salah satunya karena
pembiaran. Pemerintah harus menyiapkan aturan dan strategi efektif untuk
mencegah, meniadakan, dan minimal mempersempit ruang gerak pembajak. Mungkin
tidak semua penulis mau turun tangan menegur satu demi satu lapak, untuk itu
harus ada sumber daya yang disediakan oleh penerbit dan pihak-pihak
berkepentingan lain untuk mengawasi, menegur, dan melaporkan. Karena terlalu
lama didiamkan, akhirnya kondisi buku bajakan ini dianggap sebagai “the new
normal”. Dan, itu salah menurut saya.
Apakah
Dee sedang menyiapkan proyek menulis dalam waktu dekat? Proyek apakah itu? Jika
ada proyek menulis dalam waktu dekat, bagaimana persiapan yang sudah dilakukan?
Setelah Aroma Karsa dilansir bulan Maret lalu,
sebentar lagi saya akan melansir buku nonfiksi saya pertama, yakni Di Balik
Tirai Aroma Karsa, sebuah buku tentang proses kreatif, riset, dan teknik
penulisan Aroma Karsa.
Mengenai
Supernova, bagaimana persiapan dari kelanjutan buku Inteligensi Embun Pagi?
Kemungkinan akan menjadi agenda kerja saya
berikutnya, walau belum ingin saya pastikan sekarang.
Dalam
setiap buku yang ditulis, Dee selalu melakukan riset mendalam untuk memperkaya
cerita. Bagaimana cara Dee membagi waktu antara riset, menulis, dan menyediakan
waktu untuk keluarga?
Jika sudah berkomitmen untuk melahirkan satu
karya, biasanya saya memang mendedikasikan waktu panjang dan intens untuk itu.
Pada saat seperti itu, prioritas saya hanya dua, keluarga dan berkarya.
Konsekuensinya, di luar dari kegiatan menulis, saya mengurangi drastis porsi
pekerjaan saya yang lain seperti tampil di media, mengisi seminar, talkshow, dll. Saya juga tidak membuka
ikatan kerja kreatif intensif lainnya dengan pihak lain. Otomatis pada saat
berkarya saya jadi lebih banyak di rumah.
Bagaimana
bentuk dukungan dari keluarga terhadap pekerjaan Dee sebagai penulis?
Di luar dari dukungan moril, suami saya, Reza
Gunawan, membantu saya secara manajerial. Kami mendiskusikan dan menyusun
berbagai strategi pemasaran, komunikasi, dan promosi. Anak-anak saya, dengan
cara dan kapasitasnya masing-masing, juga sangat suportif. Tiap kali harus
menandatangani ribuan buku di rumah, mereka ikut membantu menata lembarnya,
menyusun, dll. Sungguh saya merasa bersyukur bisa berkarya dalam atmosfer yang
saya dapatkan di rumah. Keluarga adalah penyeimbang sekaligus penyokong utama
bagi saya.