Adakah pengalaman literasi menarik
(dikasih hadiah buku oleh ibu/ayah/paman/guru)? Apa latar belakang pengalaman
menarik itu?
Saya anak
keempat dari lima bersaudara, dan tiga kakak saya gemar membaca, jadi saya
banyak membaca buku-buku maupun majalah milik mereka. Bacaan saya semasa kecil
tergolong ringan dan sesuai usia. Keluarga kami pelanggan Donal Bebek
bertahun-tahun, kami suka komik, cergam, dan fiksi-fiksi terjemahan seperti
karya Enid Blyton, Alfred Hitchcock, Sydney Sheldon, dsb, yang populer pada
zamannya. Saya senang mengkhayal dan menulis dari kecil. Salah satu pengalaman
berkesan adalah ketika dipuji oleh ibu saya. Beliau bilang saya berbakat
menulis. Ucapan beliau menyemangati saya untuk terus menulis meski cuma sebatas
iseng dan kebanyakan disimpan sendiri.
Siapa tokoh literasi idola Dee?
Saya tidak
punya tokoh tertentu yang diidolakan, tapi saya kagum pada para rekan penulis
yang punya komitmen dan dedikasi untuk tidak sekadar menulis tapi juga membina
komunitas penulis dan pembaca, seperti Gola Gong dan Helvy Tiana Rossa. Saya
belum sanggup seperti mereka.
Apa penilaian Dee terhadap gerakan
literasi di sekolah dan di masyarakat pada hari ini? Apa yang kurang? Bagaimana
sebaiknya sekolah dan masyarakat (khususnya orangtua) dalam upaya membangun
kultur literasi? Apa pendapat Dee soal subsidi buku?
Akar masalah
kita bukan hanya industri melainkan juga kultur. Tradisi lisan di masyarakat
kita ketimbang tulisan. Namun, dengan tuntutan zaman, mau tak mau kita harus
memperkuat tradisi tulisan. Upaya perbaikan itu tentu butuh waktu panjang dan
menyeluruh, tidak cuma dari pemerintah dan sekolah, tapi dari unit keluarga.
Sedini mungkin keluarga mengenalkan bacaan kepada anak lebih baik. Kita bisa
dedikasikan sebuah sudut di rumah untuk menjadi semacam sudut baca dan sudut
kreativitas, di mana ada rak buku dan tempat nyaman bagi anak bisa membaca.
Akses kepada
bacaan perlu dipermudah. Kesadaran akan pentingnya membaca perlu terus
digaungkan. Dan, industri buku perlu diberi insentif agar lebih bergairah dan
produksi buku lebih murah. Berkaitan dengan subsidi buku, menurut saya perlu
ada perluasan kategori subsidi buku, tidak cuma sebatas buku pelajaran atau
agama tapi termasuk buku populer, karena pengajaran bahasa dan ilmu tidak
berbatas pada buku pendidikan saja.
Apa dampaknya bagi masa depan
Indonesa bila warga bangsa tidak memiliki tradisi literasi?
SDM kita
jalan di tempat dan kalah saing dibandingkan dengan negara-negara yang tradisi
literasinya lebih kuat.
Adakah hubungan antara gerakan
literasi yg lambat dan dinamika sastra pada bangsa ini? Mengapa dunia
sastra kita lemah? Sejak kapan itu terjadi?
Saya tidak merasa
dunia sastra kita lemah, tetapi industri bukunya yang kurang berkembang pesat.
Ini termasuk ke regenerasi penulis dan harga buku. Jadi, bicara sastra tidak
bisa lepas dari industri buku secara keseluruhan. Saya tidak bisa jelaskan
kapan persisnya terjadi karena itu bukan keahlian saya. Namun, dari sebatas
yang saya tahu dari rekan-rekan di industri buku, baik dari penerbit, penulis,
maupun toko buku, selama buku masih mahal dan tidak mudah diakses secara
merata, yang bergerak lambat bukan hanya dunia sastra saja, tapi tingkat
literasi bangsa ini. Sastra hanya sebagian dari dunia literasi. Saya rasa kita
tidak kekurangan kreativitas maupun talenta, hanya untuk bisa mengembangkannya
sampai ke taraf “excellent” baik dari
segi kualitas maupun kemapanan hidup, hanya segelintir yang bisa. Ini perlu
diperbaiki secara sistemik dan menyeluruh.
Apa kesibukan Dee paling menarik/gres
pada belakangan ini? Terkait literasi? Kegiatan sosial?
Sedang
mempersiapkan rilis buku terbaru saya Aroma Karsa yang rencananya terbit
pertengahan Maret. Saat ini Aroma Karsa versi digital sudah bisa dinikmati
dalam format cerita bersambung melalui platform Bookslife (www.bookslife.co).
Tentang Aroma Karsa bisa disimak di website saya www.deelestari.com. Di luar itu, saya masih aktif
mengajar workshop dan seminar tentang kepenulisan.
Bagaimana Dee menjaga etos literasi
selama ini?
Saya kurang
paham yang dimaksud dengan “etos literasi”. Intinya, saya berkomitmen untuk
berkarya setiap 1,5 – 2 tahun sekali. Dan dalam setiap karya saya coba
menggarapnya semaksimal mungkin dan memberikan diri saya sendiri
tantangan-tantangan baru, entah dari tema, kebutuhan riset, maupun format
cerita dan cara marketing yang belum pernah saya coba.
Apa mimpi Dee yang belum tercapai?
Menulis buku
resep masakan dan buku cerita anak-anak.