Friday, April 3, 2020

Medcom.ID | Aroma Karsa & Ekranisasi | Maret, 2018 | Sobih Adnan


Ada bayangan untuk Aroma Karsa diadopsi dalam bentuk film? Kira-kira, tantangan apa saja yang muncul ketika Aroma Karsa diekranisasi?

Kemungkinan diadopsi menjadi film selalu ada. Namun, tidak menjadi agenda saya saat ini. Posisinya lebih wait and see. Saya pribadi merasa perlu jeda dulu juga setelah melansir Aroma Karsa. Tingkat kesulitannya jika Aroma Karsa diekranisasi menurut saya cukup tinggi, antara lain ceritanya yang panjang. Novel Aroma Karsa tergolong novel ukuran epik, di atas 100.000 kata, memangkasnya menjadi skenario pasti tidak mudah. Beberapa setting dan adegan akan membutuhkan special effect.

Alih wahana novel ke film kian marak. Menurut Mbak Dee, apakah pola ini berpengaruh pada grafik minat baca di Indonesia?

Yang saya amati, penjualan buku setelah diadaptasi, terutama jika filmnya sukses, ikut meningkat. Dalam hal ini, adopsi ke film bisa mempengaruhi penjualan buku dan memanjangkan napasnya. Di sisi lain, mereka yang mungkin tipe pembaca, memiliki opsi untuk menikmati sebuah cerita setelah ceritanya diangkat menjadi film.

Plus-minus/pengalaman terlibat dalam adopsi novel ke film?

Sebetulnya setiap film pasti akan mendapat reaksi puas dan tidak puas dari penonton. Hanya saja, dalam kasus film adaptasi, pembaca yang tidak puas lebih punya validasi karena ia sudah mengetahui cerita aslinya. Banyak penonton yang pembaca biasanya menonton film adaptasi dengan modus membandingkan, tidak sekadar lagi menikmati. Dan, ini adalah proses yang nyaris tidak terhindarkan. Jadi, lebih sukar memuaskan penonton film adaptasi.

Apa yang kurang dari teknik ekranisasi di Indonesia?

Secara umum, penulisan skenario masih merupakan kunci utama. Hal ini sebetulnya juga berlaku untuk film yang bukan adaptasi. Ekranisasi itu kan sebetulnya cuma materi ceritanya saja. Teknik lainnya sama. Perlu investasi waktu dan ketelitian yang lebih panjang untuk membangun cerita sampai benar-benar solid baru difilmkan. Jangan sampai terburu-buru.

Kelumrahan anggapan bahwa hasil ekranisasi novel ke film kerap berbeda, itu termasuk kelemahan atau keunggulan? Mengapa? 

Saya rasa memang demikian adanya. Format buku dan film adalah dua format berbeda, aturan mainnya juga lain. Namun, belum semua orang bisa menerima itu atau memahami itu, bahkan mungkin di kalangan penulisnya juga. Film adalah kerja kolaborasi banyak pihak dengan berbagai kepentingan, sementara dalam karya fiksi penulis lebih bebas dan mandiri menentukan segala hal. Saya tidak melihatnya sebagai kelemahan maupun keunggulan, melainkan kenyataan yang harus disadari. Film yang baik, adaptasi atau bukan, tetap menjadi film yang baik. Begitu pula sebaliknya. Jadi, faktor kualitas tidak ditentukan oleh sebuah film diadaptasi dari buku atau bukan, melainkan dari keseluruhan aspek pengerjaan filmnya.