Menurut Anda,
bagaimana melihat beberapa penulis yang memilih pensiun dari dunia kepenulisan?
Apa yang terjadi? Itu menunjukan fenomena apa?
Saya rasa, terlepas dari renjana kita apa,
pada dasarnya kita punya kebutuhan ekonomi yang harus dipenuhi, dan pemenuhan
itu biasanya datang dari apa yang kita kerjakan, yang kita sebut profesi.
Ketika profesi tersebut tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan ekonomi kita,
tentunya kita harus mencari cara lain. Dalam kasus penulis, yang biasanya
pendapatan utamanya dari royalti bukunya, ketika seorang penulis tidak bisa
lagi mengandalkan royalti sebagai penopang hidup, ia harus memikirkan cara
lain. Sebetulnya sesederhana itu. Kita tahu memang hanya segelintir penulis di
Indonesia yang bisa menyandarkan hidupnya dari royalti buku. Negara ini tingkat literasinya masih rendah dan industri
bukunya masih terbilang kecil dibandingkan sektor ekonomi kreatif lain. Fenomena
tersebut menurut saya tak lain adalah potret realistis dari kondisi tersebut.
Menurut
Anda, apakah memungkinkan di Indonesia menjadikan profesi menulis itu menghidupkan perekonomian? Alasannya?
Mungkin, tetapi prosentasenya kecil. Pertama,
volume penjualan bukunya harus besar alias laris di pasaran. Kedua, penulis
harus produktif. Karena hanya dengan menulis terus, penulis dapat menjadikan
karyanya tetap relevan di pasar, dan royalti yang ia peroleh merupakan
akumulasi dari judul yang terus bertambah. Buku baru yang laris sekalipun
biasanya masa keemasannya hanya empat bulan, setelah itu mulai terjadi tren
penurunan, terkecuali kalau ada faktor lain seperti dibuat film, dsb. Untuk
itu, penulis harus produktif agar buku barunya dapat menjadi sumber income yang segar serta mendongkrak
buku-buku terbitan sebelumnya.
Bagaimana
melihat bisnis penulisan di Indonesia? Apa yang sebaiknya perlu diubah dalam
budaya bisnis penulisan?
PPn dihapus untuk semua buku tanpa kecuali,
“kue” PPn tersebut dapat dibagi ekstra ke penulis agar prosentase royaltinya
lebih besar. Rabat toko kalau bisa ditekan, karena saat ini sangat tinggi, bisa
mencapai 50-55% dari harga jual buku. Toko buku online dan direct selling
bisa menjadi solusi alternatif karena rabatnya lebih rendah. Harga buku pun
bisa ditekan, dengan cara meringankan pajak impor bagi bahan baku, maupun
pemberian subsidi bagi produksi buku. Di level institusi pendidikan, keahlian
membaca distrukturkan menjadi mata pelajaran, yang sifatnya inquiry. Membaca sebenarnya lebih dari
sekadar mengeja atau memahami huruf, tapi memaknai konteks, dan ini
pembelajaran penting yang barangkali lebih berguna daripada banyak pelajaran
yang diajarkan di sekolah saat ini. Membaca sebagai kemampuan analisis dan
pemahaman akan meningkatkan budaya literasi, bukan cuma sekadar bebas buta
huruf.
Melihat
tren minat baca di Indonesia ini bagaimana? Apakah cukup tinggi atau sebaliknya?
Apakah berpengaruh pada royalti penulis?
Sulit mengukur royalti hanya dari minat baca.
Minat tinggi tapi buku tak terjangkau, misalnya, atau tidak ada akses ke buku.
Royalti pada dasarnya merefleksikan pendapatan, dan untuk itu ada banyak faktor
yang perlu ditinjau. Perlakuan pajak yang tepat atas royalti dapat mengubah
skema pendapatan penulis secara signifikan. Begitu pula prosentase dari harga
jual yang selama ini berlaku dan dianggap baku, yakni sekitar 7,5% - 15 % dari
harga jual. Apa benar harus segitu terus? Kalau PPn dihapus, kalau rabat toko
ditekan, bisakah penulis bisa jadi punya royalti lebih besar?
Mengapa
Anda tetap menulis buku? (Meskipun ada karya Anda yang mungkin dibajak ataupun
mungkin ada peraturan pajak atau royalti yang tidak sejalan dengan yang Anda
harapkan?
Sederhananya karena saya menyukainya. Saya
termasuk segelintir yang beruntung, yang pendapatan royaltinya cukup signifikan
untuk menopang hidup. Tapi, kalau satu hari kondisi berubah, dan royalti buku
tidak lagi cukup, tentu saya pun harus mencari cara lain. Ada banyak
diversifikasi yang bisa dijalani penulis sebenarnya, tergantung minat dan
talenta masing-masing. Menjadi narasumber untuk talkshow / seminar / workshop
menulis, mengerjakan proyek-proyek menulis honorer, dsb. Royalti buku bisa jadi
tidak selamanya menjadi sumber pendapatan utama, tapi saya yakin akan terus
menulis. Apa pun bentuknya.
Harapan
ke depannya untuk para penulis?
Ekosistem perbukuan yang lebih baik, apresiasi
masyarakat yang lebih tinggi serta pemahaman yang lebih dalam terhadap profesi
penulis, serta penulis dapat memiliki kehidupan yang lebih makmur.
Tanggapannya
tentang penerbit indie dan
harapan pada penerbit buku arusutama (mainstream)?
Penerbit indie dan penerbit besar punya
kekurangan dan kelebihan masing-masing, bergantung kebutuhan dan prioritas
kita. Penerbit indie, biasanya lebih bisa fokus karena tidak menangani judul
buku terlalu banyak. Namun, secara kapital terbatas. Sementara penerbit
mainstream biasanya tidak bisa memberikan perhatian lebih kepada sebuah judul buku
(kecuali jika sangat laku), karena begitu banyak judul yang harus dikelola
secara bersamaan. Tapi, kapital penerbit mainstream lebih besar, jaringan lebih
kuat, dan posisi tawar di toko lebih tinggi. Manuver penerbit indie biasanya
lebih fleksibel sehingga bisa melakukan inovasi-inovasi pemasaran, meski tidak
tertutup kemungkinan inovasi pun lahir dari penerbit mainstream, biasanya
penerbit mainstream sudah punya pakem yang lebih baku untuk promosi dan
pemasaran. Dengan mengetahui perbedaan karakteristik tersebut, penulis bisa
tahu kurang lebih apa yang dihadapinya, dan menyesuaikan ekspektasinya.
Apakah
ada rencana untuk menerbitkan karya lewat penerbit indie atau tetap menerbitkan
karya di penerbit umum? Kenapa?
Karena buku saya sudah harus dicetak dalam
volume besar, penerbit yang saya ajak kerja sama sudah harus siap dengan
kapital yang besar juga. Sudah sulit bagi saya bekerja sama dengan penerbit
indie, ataupun menerbitkan sendiri, karena modal serta SDM yang dibutuhkan
untuk mengelola volume cetak yang sedemikian besar sudah terlalu mahal dan
kompleks.
Saat ini saya sebetulnya ada kerja sama dengan
penerbit yang bisa dibilang penerbit baru, bukan penerbit mainstream, yakni
Bookslife (untuk judul Aroma Karsa dan Di Balik Tirai Aroma Karsa), tapi hanya
dalam format digital. Format digital tidak membutuhkan modal cetak, jadi kerja
sama tersebut masih memungkinkan. Untuk versi cetak, saya harus bekerja sama
dengan penerbit mainstream.