Showing posts with label 2007. Show all posts
Showing posts with label 2007. Show all posts

Sunday, December 21, 2014

Wawancara Skripsi | Supernova AKAR | Januari, 2007 | by Isma Noor Anggraeni

-->
Apa yang mendorong Dee untuk menulis Supernova? 

Saya tergerak menulis Supernova awalnya karena terjadi pergeseran paradigma dalam diri saya mengenai ketuhanan dan spiritualitas. Pada saat itu saya melihat bahwa akar segala konflik dan perpecahan manusia adalah karena pemahaman akan diri dan Tuhan yang  terpecah pula. Manifestasinya bisa dilihat di mana-mana, salah satunya adalah perpecahan antara sains dan agama. Saya mulai bergeser menuju paradigma holistik yakni melihat realitas sebagai fenomena utuh yang melampaui dualitas hitam-putih. Dan Supernova menjadi wahana bagi saya untuk berbagi sudut pandang ini. Pada dasarnya, Supernova adalah ‘sharing’ saya perihal spiritualitas yang dikemas dalam bentuk fiksi.

Dari mana muncul ide khusus untuk episode Akar? 

Akar adalah bagian dari babak ke-2 Supernova, yakni pengenalan empat tokoh baru yang mewakili empat karakter pencarian jatidiri yang berbeda-beda, tiga yang lainnya adalah: Petir, Partikel, dan Gelombang. Jadi episode Akar merupakan bagian intrinsik bersama-sama tiga episode lainnya. Akar dan Petir saling bercermin, Partikel saling bercermin dengan Gelombang. Jadi Akar dan Petir adalah bagian yang secara konseptual tidak terpisahkan, karena Akar yang merupakan elemen bumi melambangkan pencarian ke dalam diri, berpasangan dengan Petir yang merupakan elemen langit melambangkan pencarian ke luar diri. Kedua-duanya saling melengkapi. 

Dari mana munculnya inspirasi mengenai tokoh Bodhi? 

Saya ingin menciptakan tokoh yang seolah ‘tercerabut’ dari akarnya. Bodhi adalah tokoh soliter; yatim-piatu, independen, selalu hidup dalam lingkungan komunitas dan menemukan arti keluarga pada orang-orang yang tidak sedarah dengannya, dan dia juga dianugerahi kelebihan yang malah membuatnya semakin teralienasi. Jadi Bodhi digambarkan sebagai tokoh yang terobsesi untuk mencari akarnya: siapa dia, mengapa dia bisa terlahir seperti itu, dsb. Dan itu disesuaikan dengan tema pencarian jatidiri untuk episode Akar yang tentunya akan berbeda-beda dengan episode lain.

Mengapa Dee menamai tokoh utamanya dengan nama Bodhi? 

Bodhi saya ambil dari pohon bodhi, tempat Siddhartha Gautama bersemadi dan beroleh pencerahan. Ada keselarasan ‘bodhi’ sebagai pohon yang bisa dibilang sakral dengan tema ‘akar’ itu sendiri. Dan untuk itu saya sengaja membuat tokoh Buddhis sehingga keseluruhan cerita selaras dengan elemen-elemen yang saya pilih. 

Mengapa Bodhi digambarkan memiliki ciri fisik yang anomali? 

Bodhi memang tokoh digambarkan sebagai tokoh misterius. Dia overloaded dengan kemampuan indera ke-enam, asal usulnya tidak jelas, dan fisiknya juga tidak biasa. Dan pergelutannya adalah bagaimana menjadi ‘normal’. Anomali fisiknya termasuk dari penekanan karateristik dia yang misterius. Bodhi akan selalu mendapat tantangan yang datang dari ‘keanehan’ dirinya hingga pada akhirnya nanti ia mampu mengetahui rahasia dirinya dan menerima peran serta fungsinya. Tidak bisa saya jelaskan lebih lanjut karena ini adalah bagian dari episode Supernova selanjutnya. 

Mengapa tema Buddhisme dan Punk mendominasi episode Akar? 

Saya memilih Buddhisme secara khusus karena pendekatan ajaran Buddha dalam mendedah realitas selaras dengan paradigma holistik yang mampu menjembatani jurang antara sains dan religi, yang saya ungkap di no 1 di atas.

Menurut Dee, salahkah jika saya meneliti Buddhisme dan Punk sebagai budaya? 

Menurut saya, Buddhisme tidak terlalu tepat jika dipahami sebagai budaya. Buddhisme pada esensinya adalah ajaran Sang Buddha untuk memahami realitas hidup dan diri. Buddhisme sebagai budaya hanyalah ‘by-product’. Asimilasi Buddhisme dan budaya termanifestasi dalam bentuk bermacam-macam, misalnya aliran-aliran dalam ajaran Buddhisme (Tibetan, Mahayana, Hinayana, dll) yang di dalamnya terdapat perbedaan-perbedaan yang bersifat ritualistik saja. Jadi apabila Buddhisme diteliti sebagai budaya, harus sangat berhati-hati untuk menentukan budaya yang mana, karena asimilasi Buddhisme dengan budaya sudah sangat banyak ragamnya. Sementara untuk meneliti Punk sebagai budaya tidak ada masalah, menurut saya.

Apakah Bodhi menganut dan meyakini ajaran Buddha, atau hanya menjalaninya sebagai kebiasaan yang dibawa sedari kecil? Jika iya, aliran manakah yang diikuti Bodhi? 

Dilema Bodhi justru terletak pada menemukan makna baru dalam keyakinannya. Jadi Bodhi menganut dan meyakini ajaran Buddha, dan itu sekaligus dikarenakan ia dibesarkan dalam lingkungan vihara.  Perjalanan batin yang terungkap dalam Akar menunjukkan kebimbangan sekaligus kerinduannya untuk bertemu kesejatian diri lewat apa yang sudah ia dapat dari ajaran Buddha namun perlu ia maknai ulang. Saya tidak mengungkap secara eksplisit aliran yang diikuti Bodhi, walaupun kecenderungan yang saya pakai adalah Mahayana. Tapi sebetulnya Buddhisme dalam Akar dipakai esensinya saja, jadi lepas dari denominasi.

Apakah Bodhi mengakui dan meyakini filosofi Punk? Jika iya mengapa? 

Dalam posisinya, Bodhi tidak ‘mengakui’ atau ‘meyakini’, tapi dia dekat dan bergaul dengan lingkungan punk. Filosofi punk sendiri diwakili oleh Bong, dan bukan Bodhi. Kedekatan Bodhi dengan lingkungan Punk dikarenakan gaya hidup dan profesi yang dia pilih, yakni independensi dan tattoo. Saya memilih Punk karena implikasi yang dibawanya selaras dengan kehidupan Bodhi yang ingin saya bentuk. Bodhi sebatang kara tapi ia mampu mandiri, punya penghasilan. Punk memiliki filosofi D.I.Y yaitu Do It Yourself, dan menurut hasil riset yang saya lakukan di komunitas Punk, profesi yang ‘lumayan menghasilkan’ dalam dunia itu adalah tindik dan tattoo, atau jadi bandar ganja/narkoba. Yang terakhir jelas tidak mungkin untuk Bodhi, dan saya memilih tattoo karena ada simbol2 yang ingin digambarkan dalam Akar jadi tattoo sebagai seni bisa menjadi wahana yang tepat. Dalam Punk juga ada aliran Straight Edge, dan ini bisa menjadi ‘kedok’ bagi anomali Bodhi di tengah komunitas Punk. 

Mengapa Bodhi merasa nyaman di lingkungan Punk? 

Bodhi menghargai kemerdekaan berpikir, resistensi terhadap sistem opresif, dan juga kemandirian yang diusung oleh filosofi Punk. Tentunya tidak semua anak Punk sampai pada level sedalam itu, tapi di sini Bodhi menemukan role model dari tokoh Bong, yang memang digambarkan sebagai anak cerdas dan pemikir sejati.

Gaya hidup Bodhi yang seperti bikkhu membuatnya tampak seperti penganut Straight Edge di tengah-tengah komunitas Punk. Apakah itu merupakan unsur kesengajaan dari Dee untuk menunjukkan kepaduan  antara Buddhisme dan Punk dalam dirinya? 

Ya, seperti yang sudah saya jelaskan di atas, Straight Edge menjadi ‘excuse’ dari sterilnya Bodhi, sehingga dia tidak dianggap aneh di kalangan Punk berhubung pilihan hidupnya yang vegetarian, tidak merokok, tidak minum/mabuk, dsb. 

Apa kekhususan Episode Akar? 

Karakteristik khusus Akar terletak pada Bodhi. Demikian juga Petir yang kekhususannya terletak pada Elektra. Ini kembali lagi kepada konsep bahwa empat buku yang termasuk babak ke-2 Supernova ini memang dikhususkan untuk menceritakan per tokoh dengan mendetail. Mereka adalah empat manusia berbeda dengan pergulatan batin yang berbeda-beda, tapi mereka bermuara dalam satu pencarian jatidiri. Akar sangat kental unsur kontemplasinya, petualangan, traveling, dan Buddhisme. 

Bagaimana Pandangan, Kepercayaan, Stereotipe, dan Prasangka Dee  terhadap Buddhisme dan Punk? 

Buddhisme bagi saya identik dengan keheningan, penerimaan realitas sebagaimana adanya, dan ketiadaan diri. Sementara Punk identik dengan musik gaduh, resistensi, dan peneguhan kekuatan individu. Walaupun seperti bertolak belakang tapi baik Buddhisme dan Punk sama-sama menuntut upaya mandiri seseorang untuk membebaskan dirinya. Buddhisme menekankan pembebasan diri dari ilusi dan dukkha (penderitaan) dengan pembuktian sendiri (prinsip ehipassiko: lihat dan buktikan). Buddha selalu mengatakan ia tidak bisa memberikan pencerahan, ia hanya bisa menunjukkan jalannya. Punk menekankan pembebasan diri dari sistem opresif yang diwakili oleh kapitalisme, di mana setiap orang harus disadarkan bahwa selama ini mereka hanya sapi-sapi perah mesin kapitalis. Jadi menurut saya, keduanya bergerak dengan semangat pembebasan walaupun dalam level kedalaman yang berbeda. 

Seperti apa Representasi Mental Dee yang tercurahkan dalam Episode Akar? Apa saja nilai-nilai pribadi Dee yang tercermin dalam Episode Akar? 

Semua pencarian jatidiri dalam tokoh-tokoh saya adalah pencarian saya juga. Jadi kegelisahan Bodhi adalah kegelisahan saya, pencerahan dia adalah pencerahan saya, dsb. Saya menghargai filosofi Punk, saya juga merasa selaras dengan kebenaran dalam ajaran Buddha. Saya juga merasa ada konektivitas kuat antara mitos (yang diwakili oleh Star dan Kell) dan realitas sehari-hari yang diwakili matematika geometri suci, dll. Pada prinsipnya, saya menulis apa yang saya percaya. 

Bagaimana proses penulisan Episode Akar mempengaruhi Dee baik sebagai pribadi maupun sebagai penulis? 

Akar mempengaruhi saya cukup dalam. Setelah menulis Akar, saya tergerak untuk mempelajari ajaran Buddha lebih intens. Dari segi kepenulisan, di Akar untuk pertama kalinya saya mencoba teknik narasi mengalir tanpa tanda petik, menekan keakuan penulis dan membiarkan karakter saya Bodhi yang mengambil alih penceritaan. Teknik yang sama saya terapkan di Petir, dan akan dipakai lagi untuk Partikel dan Gelombang. 

Apa yang ingin Dee sampaikan kepada pembaca melalui Episode Akar? 

Saya hanya sharing penelusuran spiritual saya dalam kemasan fiksi, yang dalam Akar diwakili oleh Bodhi. Itu saja. Semua pesan dalam Supernova sebenarnya sama adanya, yakni pendekatan memahami realitas dengan paradigma holistik.

Saturday, December 20, 2014

Majalah PESONA | Profil | Juli, 2007


Bagaimana Anda beralih dari penyanyi menjadi penulis? 

Debut saya dalam dunia kepenulisan dimulai tahun 2001 waktu menerbitkan Supernova 1: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh. 

Apakah dulu memang sempat bercita-cita menjadi penulis? Kalau ya, sejak kapan? 

Sebetulnya hobi menulis sudah saya jalankan sejak kecil, beriringan juga dengan eksplorasi saya dalam musik. Seingat saya, tulisan serius pertama saya dibuat waktu umur 9 tahun. Tipe tulisannya juga sudah seperti buku. Awalnya sih karena memang hobi mengkhayal. Jadi menulis menjadi penyaluran bagi saya. Dulu saya tidak terpikir bahwa menulis akan menjadi profesi, tapi saya memang ingin sekali memproduksi sebuah buku. 

Berbeda dengan penulis lain, Anda menerbitkan buku sendiri. Apa alasan Anda? 

Alasannya simpel. Waktu itu saya ingin Supernova menjadi hadiah ulang tahun saya ke-25, dan jatuhnya di bulan Januari. Sementara draft Supernova saya selesaikan bulan November. Setelah sempat tanya-tanya, ternyata rentang itu terlalu mepet untuk penerbit, jadi saya mulai melihat kemungkinan lain yakni menerbitkan sendiri. Setelah konsultasi dengan teman yang kerja di penerbitan, kesimpulan saya waktu itu ternyata tidak terlalu rumit untuk menerbitkan sendiri. Kebetulan ada beberapa teman yang mau ikut membantu, akhirnya saya jalankan. Sekarang ini saya lebih memilih kerja sama dengan penerbit, tapi sistemnya fifty-fifty, jadi saya tetap menanamkan modal dan memiliki kontrol ke produksi, karena bagi saya pribadi lebih memuaskan secara idealisme, dan juga lebih menguntungkan dari segi bisnis. 

Bagaimana proses singkat sampai Anda menulis buku Supernova dan triloginya? Apa ada saran dari mentor, perencanaan tertentu untuk membuat buku best-seller? 

Supernova betul-betul saya rilis tanpa ekspektasi apa-apa. Tidak terpikir bahwa akan jadi best-seller. Waktu itu target saya hanya balik modal saja. Tidak ada mentor juga, selain teman saya yang memberi info soal cara kerja di industri buku, jadi sifatnya lebih teknis. Kalau masalah pemasaran, promosi, dsb, semuanya didapat sambil berjalan. Kebanyakan intuisi dan common-sense saja. Karena saya datang dari industri musik di mana promosi yang aktif dan ekspansif itu adalah hal biasa, jadi ketika saya coba terapkan itu di industri buku, hal itu menjadi luar biasa karena selama itu industri buku biasanya pasif dan lebih menunggu bola ketimbang menjemput bola. 

Anda ingin disebut sebagai penulis, sastrawan, atau apa? 

Penulis sepertinya lebih pas. Karena saya tidak hanya ingin menulis sastra atau fiksi, sekarang ini saya juga ada proyek non-fiksi. Genre yang saya ingin coba pun cukup banyak. Satu hari saya ingin juga menulis buku anak, masalah well-being, pokoknya topik-topik yang ada dalam spektrum ketertarikan saya. Lebih luas lagi, barangkali istilah yang lebih tepat adalah seniman. Karena saya juga bekerja di bidang seni lain, yaitu musik, yang menurut saya sama pentingnya juga dengan karier kepenulisan saya. 

Pernahkah Anda terbayang bahwa buku Anda menjadi best-seller? 

Tidak. Waktu pertama kali cetak buku, saya pergi ke percetakannya, dan melihat 1500 buku saya siap diangkut. Saya tidak terbayang 1500 buku itu bisa habis, karena kelihatannya banyak sekali. Saya pikir: ‘memangnya ada ya yang mau baca?’ 

Dibandingkan dengan sebagai penyanyi, nilai kepuasan apa yang didapat dengan menjadi penulis? (misal: secara finansial, mana yang lebih memuaskan antara menjadi penyanyi dan penulis?) 

Kalau soal kepuasan, saya tidak bisa membandingkan mana yang lebih, karena keduanya memang bagian integral dari diri saya yang selalu saya butuhkan untuk berekspresi. Tapi menulis memang lebih relaks, karena tidak ada tuntutan kostum, panggung, dsb. Dalam menulis juga ada interaksi, karena kita bisa bertanya jawab langsung dengan pembaca kita. Soal finansial, buku lebih stabil walaupun mungkin tidak sebesar pendapatan bernyanyi. Tapi menulis adalah profesi seumur hidup, tidak kenal usia dan keriput, jadi bisa jalan terus sampai kapan pun. 

Kesuksesan menurut Anda adalah? Apakah Anda merasa sudah cukup sukses saat ini? 

Kesuksesan bagi saya adalah totalitas kita untuk mengenal dan menerima diri. Proses sampai akhirnya saya yakin dan menerima talenta saya pun memakan waktu puluhan tahun, dimulai sejak kecil. Saya merasa beruntung pada akhirnya saya menemukan apa yang saya bisa, saya suka, dan saya bisa mencari nafkah dari sana. Untuk hal itulah saya merasa ‘sukses’. Uang, materi, keterkenalan, menurut saya adalah efek samping—yang bisa da bisa tidak. Jadi ukuran sukses menurut saya bukan dari materi atau karier yang sifatnya ‘tangible’ tapi lebih halus dari itu, yakni integrasi kita dengan potensi diri kita sendiri. 

Setelah sukses, apakah ini jalur pekerjaan yang Anda inginkan dan bisa memberi kebahagiaan? Atau mungkin Anda punya obsesi mencoba hal lain di masa yang akan datang? 

Sejauh ini, saya merasa optimalisasi diri saya berada di jalur buku dan musik, dan ‘bensin’ yang menggerakkan mesin kreativitas saya adalah masalah spiritualitas. Selebihnya adalah pengembangan. Saya tidak mentargetkan sesuatu yang spesifik. Karena dalam dua bidang ini pun masih banyak yang ingin saya eksplorasi. 

Boleh sharing tip kesuksesan Anda sebagai penulis? 

Menulis harus digerakkan oleh rasa cinta, bukan karena ingin laku, eksis, atau beken. Kita menulis pada intinya untuk diri kita sendiri, jadi kejujuran, integritas, adalah modal agar tulisan kita punya karakter dan ciri. Untuk menghidupkan tulisan kita juga harus banyak membaca. Jadi jangan dipisahkan kegiatan antara menulis dan membaca. Ibarat napas, keduanya harus dijalankan dengan seimbang. 

Mata Baca | Self Publishing | Februari, 2007 | by Agus Setiadi


Pada tahun 2001 atau tepatnya 16 Februari 2001 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Anda merilis novel Supernova: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh. Novel ini merupakan novel pertama Anda di mana Anda pun bertindak sebagai penerbit. Bisa cerita mengapa Anda memilih menerbitkan novel itu sendiri? 

Sebetulnya alasan saya menerbitkan sendiri sederhana sekali, saya ingin menerbitkan Supernoa tepat pada ulang tahun saya, dan saat itu yang saya tahu kebanyakan penerbitan biasanya harus mengantre untuk menerbitkan naskah. Dan keberanian saya menerbitkan sendiri lebih banyak justru karena ketidaktahuan saya tentang seluk-beluk dunia penerbitan, jadinya modal nekat saja. Waktu itu saya hanya minta tips dari teman saya yang kebetulan direktur sebuah penerbitan di Bandung, dan beliau berbaik hati memberi tahu langkah-langkah dasar dari mulai ke percetakan, mendaftar ISBN, dsb. 

Berapa banyak oplah novel tersebut saat pertama kali dicetak?

Saya mencetak 7000 eksemplar. Itu juga karena ketidaktahuan. Waktu itu ada uangnya segitu ya saya cetak saja secukupnya uang saya. Baru belakangan saya tahu kalau rata-rata cetakan pertama sebuah judul berkisar di 3000 eks. Untungnya 7000 eks itu habis di dua minggu pertama. 

Berapa dana yang dikeluarkan untuk menerbitkan buku itu? 

Untuk produksi saja sekitar 30 juta-an, ada dana sedikit untuk launching, benar-benar ngepas. Untungnya yang menangani launching buku saya itu (Musyawarah Burung) punya jaringan yang cukup kuat sehingga acara yang bisa dibilang sederhana itu punya gaung yang bagus. 

Sampai hari ini sudah memasuki cetakan keberapa? 

Sampai Supernova ke-3 saya tidak punya patokan baku untuk jumlah eks  tiap cetakan, beda dengan penerbit2 pada umumnya. Supernova 1 itu kadang-kadang bisa cetak sekali langsung 12.000 bahkan 20.000 eks. Sekarang sudah memasuki cetakan ke-7, total 103.000 eks.

Apakah untuk cetak ulang, novel tersebut masih ditangani Anda atau ditangani penerbit lain? 

Untuk cetak ulang Supernova 1, 2, 3 saya tangani sendiri. Baru dilempar ke distributor. Tapi awal2 saya sempat bekerja sama dengan penerbit lain, Supernova 2 dengan Bark Comm dan Supernova 3 dengan AKOER, tapi sekarang ini semua Supernova kembali saya produksi sendiri. Khusus untuk Filosofi Kopi saya bekerja sama dengan Gagas Media, kami join modal dan bagi hasil. 

Selain novel tersebut, adakah novel-novel karya Anda yang lain yang Anda terbitkan sendiri? 

Jawaban sudah ada di atas, ya. Saya juga merilis album solo Out of Shell yang juga saya produksi sendiri, distribusinya baru titip edar. 

Bagaimana Anda memasarkan novel-novel tersebut? 

Sebetulnya setelah pengalaman dari Supernova 1, jaringan buku dan juga pemasarannya sudah kelihatan polanya, jadi tidak terlalu susah. Dulu saya sempat distribusi independen juga, tapi terlalu repot karena SDM-nya harus cukup banyak dan kuat, sementara Truedee itu isinya hanya 3 orang. Jadi saya lempar saja ke distribusi dan mereka yang memasarkan. Untuk promosi, karena yang masih program promo hanyalah Filosofi Kopi, jadi saya dibantu oleh Gagas Media. Tapi pada prinsipnya, karya-karya itu saling mendukung. Jadi, kalau ada judul baru, yang lama juga ikut terangkat lagi. 

Kendala yang Anda hadapi saat menerbitkan dan memasarkan novel-novel karya Anda tersebut? 

Suka-dukanya banyak sekali. Pertama-tama, saya harus mengenal sistem produksi dan pemasaran buku dengan baik. Dulu tidak tahu apa-apa, dan terpaksa belajar karena kalau tidak merugi. Saya sempat juga mandek mencetak karena modal terlambat kembali meskipun buku ludes, untung ada investor yang mau membantu jadi bisa cetak ulang. Saya juga sempat dibantu jaringan mahasiswa dan agen-agen lepasan, dari sisi promosi memang baik sekali, tapi karena mereka kerjanya temporer dan bukan badan usaha jadi susah dipegang. Kerja sama dengan penerbit pun belum tentu mulus, semuanya berpulang pada komitmen dan itikad baik. Sejauh ini saya cukup puas dengan pola Filosofi Kopi, yakni sistem join production dan bagi hasil. 

Saat ini apakah penerbitan (Truedee) yang Anda kelola masih aktif? 

Masih. Tapi saya belum merambah ke karya-karya penulis lain, jadi sejauh ini hanya menerbitkan karya sendiri saja. 

Sampai saat ini masih banyak penulis yang coba menerbitkan dan memasarkan karya mereka sendiri. Tanggapan Anda mengenai "Indie" (self) Publisher? 

Menurut saya, gejala ini baik sekali dan patut didukung. Pertama, saya melihat dari semangat entrepreneurship-nya. Kedua, sebaik atau seburuk apapun hasilnya pasti usaha self-publishing itu akan mendatangkan segudang pengalaman bagi para penulis. Ketiga, jangan sungkan untuk belajar dari mereka yang lebih berpengalaman, juga ke penerbit-penerbit besar, karena sebaiknya sebelum terjun ke self-publishing kita harus tahu banyak dulu mengenai sistem industri perbukuan. 

Saat ini, ada novel lagi yang sedang Anda tulis? Bisa cerita sedikit tentang novel itu? 

Saya sedang mengerjakan dua proyek sekaligus. Yang pertama adalah Supernova seri selanjutnya yakni Partikel. Kedua, sebuah karya eksperimental bernama Rectoverso, yang konsepnya adalah penggabungan dua jenis seni yakni sastra dan musik. Kebetulan saya memang bergerak di kedua bidang tersebut, jadi saya pikir tidak ada salahnya saya mencoba bereksperimen dengan menggabungkan keduanya. Jadi saya menggubah lirik menjadi cerpen, barangkali namanya fiksikalisasi musik/lirik. Ada sepuluh lagu dan sepuluh cerpen yang saling bercermin (Rectoverso). Jadi nanti buku dan CD-nya bergabung jadi satu.

Friday, December 19, 2014

Koran Anak BERANI | Profil | Mei, 2007 | by Vivin


Saya membaca kalau menurut Mbak, menulis itu kebutuhan. Apa maksudnya, Mbak? Apakah seperti kebutuhan manusia akan air, udara? Atau bagaimana? 

Tentunya saya tidak berbicara tentang manusia secara umum, tapi bagi saya pribadi, menulis memang merupakan kebutuhan. Jadi, saya menulis bukan karena sekadar didesak penerbit, atau ingin tulisan saya masuk media, mau ada yang baca atau tidak, saya tetap akan menulis. Saya setiap hari menulis jurnal, dan itu sudah seperti ritual sehari-hari. Tujuannya, ya, ingin melonggarkan benak saja, dengan menumpahkannya dalam bentuk tulisan.

Mbak menulis sejak kecil, persisnya sejak umur berapa? Apakah tulisan pertama Mbak? Saat itu, Mbak menulis di mana dan diapakan tulisannya? Bagaimana perasaan Mbak setelah menyelesaikan tulisan pertama itu?

Saya menulis serius pertama kali waktu kelas 5 SD, umur saya waktu itu 9 tahun. Saya membuat kisah seorang anak kecil yang mendamba kuda poni. Saya menulis di sebuah buku tulis, yang saya penuhi semua jadi menyerupai buku. Waktu saya mulai menulis, saya baru tersadar betapa saya jatuh cinta pada kegiatan itu, karena susah sekali berhenti. 

Pernahkah Mbak berhenti menulis? Apa yang mendorong Mbak untuk berhenti ataupun terus menulis? 

Rasanya saya terus berkarya dari waktu kecil itu sampai sekarang. Tidak semuanya menjadi sesuatu, memang. Banyak yang nggak selesai, atau selesai terus saya buang karena merasa nggak oke, dan saya menulis dalam bentuk macam-macam, ada cerita pendek, cerita panjang, puisi, lirik lagu, dsb. Kalau berhenti dalam arti istirahat ya pernah, misalnya kalau saya lagi disibukkan oleh satu kegiatan seperti bernyanyi, atau bikin skripsi, atau sekadar jenuh, biasanya saya berhenti dulu. Saya terus menulis karena kebutuhan tadi. Kalau namanya sudah butuh, tidak harus dituntut oleh pihak mana pun saya akan terus menulis. 

Bagaimana perasaan Mbak saat tulisannya dimuat di majalah? Bagaimana perasaan Mbak saat tulisannya menjadi novel?

Tulisan saya dimuat di majalah pertama kali adalah cerpen Rico de Coro yang dimuat tahun 1997 di majalah Mode. Rasanya senang sekali, kayak mimpi. Membayangkan ada orang-orang di luar sana yang membaca karya saya rasanya luar biasa, karena sebelumnya saya cuma berani kasih lihat ke teman-teman atau keluarga. Waktu buku pertama saya terbit tahun 2001, itu lebih dahsyat lagi rasanya. Karena sejak kecil saya bercita-cita ingin sekali punya buku sendiri. 

Buat Mbak, apa bedanya menyanyi dan menulis? Kok Mbak bisa ya mengembangkan keduanya? Bagaimana caranya, sih? 

Saya sendiri tidak terlalu memikirkan bedanya, keduanya sama-sama media untuk berekspresi. Dan karena sejak kecil saya sudah menyanyi dan menulis, jadi rasanya alamiah saja. Pengembangan ke musik memang lebih dulu terjadi karena sejak SD saya sudah aktif nyanyi di Paduan Suara sekolah dan juga di gereja. SMP dan SMA saya juga aktif di vokal group, sampai kemudian jadi backing vokal tahun 1993 dan berkarier di RSD tahun 1995, dan rasanya mengalir saja. Justru menulis yang dilakukan sendirian, karena saya nggak pernah kirim tulisan saya ke majalah, hanya satu-dua kali, itu pun karena diminta. Pokoknya, pada prinsipnya saya hanya menjalankan apa yang saya cinta. Saya cinta musik dan menulis, dan terus berupaya untuk berkarya. 

Menurut Mbak, menulis yang baik itu seperti apa? Adakah tips-nya untuk anak-anak yang ingin menulis, bahkan menjadi penulis? 

Tulisan yang baik adalah tulisan yang jujur, mampu menunjukkan karakter penulisnya, unik, dan mampu meyakinkan pembacanya untuk ikut masuk ke dalam cerita. Untuk menjadi penulis, setiap orang harus berani memulai, berani kreatif (yakni mencoba sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya), berani gagal, dan juga berani sukses—karena belum tentu semua orang mampu menangani tekanan dari sukses tulisannya. Kalau gagal, orang tinggal mencoba, kalau sukses orang harus mempertahankan, dan biasanya itu malah lebih susah.  
 

Monday, December 15, 2014

Wawancara Skripsi Part 2 | Mei, 2007 | by Diah Ismawardani


PENULISAN ARTIKEL DI DALAM BLOG DEE-IDEA 

Saat saya membaca artikel Anda ide yang dibuat terkadang bukan hal yang baru, namun Anda melontarkan argumen yang cukup kuat. Apakah hal ini sering terjadi pada saat Anda menulis. Mengapa demikian?

Saya sendiri baru mulai mencoba menulis artikel dengan lebih intensif sejak tahun lalu, jadi sebetulnya saya juga masih meraba-raba bentukan khas artikel saya itu seperti apa. Sekarang-sekarang ini memang sudah mulai ketahuan benang merahnya. Saya senang membuat artikel yang sifatnya menggugah, temanya tidak jadi masalah apakah sederhana atau tidak. Yang penting mampu mengajak pembaca untuk merenung. Dan barangkali itulah ciri khas artikel saya.

Kebanyakan dari ide artikel Anda adalah hasil pengamatan sehari-hari, namun apakah Anda tidak takut bila pembaca beranggapan ”itu adalah hal yang biasa”, dan artikel Anda menjadi tidak dibaca?

Semua artikel saya memang berawal dari pengamatan sehari-hari. Dan saat saya menulis, saya tidak terlalu memikirkan pembaca saya beranggapan apa, yang penting saya jujur dulu menuliskan apa yang saya pikir atau rasa. Syukur kalau pembaca menyukai atau terinspirasi, kalu tidak juga tidak apa-apa. Saya tidak terlalu memikirkan. Semua itu terserah pembaca, dan penulis tidak bisa terlalu mengendalikan.

Apa yang melandasi ide konvensional yang ada dalam beberapa artikel Anda namun tetap Anda tulis dan ternyata dimuat dalam harian, apakah atas dasar nama besar Anda saja?

Bagi saya, artikel itu tidak harus bertemakan sesuatu yang ‘aneh’ atau ‘tidak biasa’. Karena toh yang kita hadapi dalam hidup kebanyakan adalah hal-hal yang rutin kita temui, biasa, dan tidak aneh-aneh, tapi di balik semua itu banyak perenungan yang kita lupakan. Saya tertarik untuk menggali hal-hal kecil yang cenderung dilupakan tersebut. Saya pikir, setiap harian punya kebijaksaan tertentu, kalau memang tulisannya tidak layak standar mereka, siapa pun penulisnya, ya, tidak akan dimuat. 

Terus terang saya sangat menyukai gaya penulisan artikel Anda yang tidak jauh dari seperti menulis novel. Apakah tidak pernah ada komplain dari pihak media massa yang memuat artikel Anda?

Tidak. 

Apakah Anda pernah melihat orang lain melakukan ide yang Anda tulis dalam artikel Anda?

Belum. Tapi saya suka gaya penulisan artikel Goenawan Mohamad, menurut saya dia esais yang sangat hebat. 

Apakah ada yang beranggapan bahwa artikel Anda tidak selayaknya sebuah artikel karena gaya penulisan Anda yang seperti menulis novel ini?  Lalu bagaimana Anda menyikapinya?

Bagi saya, tidak ada garis kaku antara ‘gaya artikel’ dan ‘gaya novel’, yang membedakan adalah fiksi atau nonfiksi. Gayanya bisa apa saja. Saya malah suka bingung, kenapa artikel maupun karya-karya tulis sepertinya wajib ditulis dengan gaya akademis yang cenderung berat dan membosankan, kan tidak harus begitu melulu? Mungkin juga karena saya penulis novel, jadi ada pengaruh kuat dari gaya penulisan fiksi. Tapi menurut saya, gaya adalah pilihan, dan juga karakteristik. Saya tidak akan menulis artikel dengan gaya orang lain, hanya karena alasan gaya tsb ‘wajib’ atau ‘selayaknya’. Semua penulis tetap harus menemukan otentisitasnya masing-masing. 

Bagi Anda, apa artikel itu sebenarnya?

Secara definisi saya tidak tahu pasti, barangkali  bisa ditemukan di buku-buku teks.
Yang jelas, artikel itu karya nonfiksi. Bisa ditujukan untuk kepentingan akademis, jurnalistik, dsb. 

Dalam beberapa artikel Anda sering menggunakan Intro yang mendeskripsikan kehidupan Anda sehari-hari. Apakah memang kehidupan sehari-hari Anda cukup menarik bila dijadikan sebuah intro artikel? Atau hanya sebatas gaya penulisan Anda saja?

Karena kebanyakan saya menulis artikel diawali oleh perenungan terhadap hidup saya sehari-hari, saya pasti memasukkan unsur-unsur itu. Dan menurut saya, artikel yang menarik adalah artikel yang personal. Kalau kita membaca majalah-majalah internasional, setiap wawancara berkelas adalah wawancara yang kental dengan personalitas si penulisnya, bukan sekadar pemaparan info. Dan saya menyukai tipe artikel seperti itu. Karenanya, saya pun selalu menuliskan artikel yang sifatnya personal.

Terkadang dalam penulisan artikel seolah Anda tidak memperhatikan kemampuan pembaca mencerna kata-kata yang anda munculkan. Dan tak sedikit kata-kata yang sukar pembaca mengerti. Bagaimana Anda berani seperti itu?

Justru supaya pembaca penasaran, dan mencari tahu. Kalaupun dia tidak cari tahu, minimal dia jadi tahu apa yang dia tidak tahu. Saya pribadi menyukai dengan tulisan yang menantang saya untuk tahu lebih, memberi info lebih. Menurut saya itu salah satu cara untuk kita tidak malas dan terus menggali pengetahuan.

Saat menulis artikel, apakah Anda memperhatikan abstraksi media mana yang akan memuat tulisan Anda? Atau tidak?
 
Saya tentu menyesuaikan juga, tapi lebih ke masalah temanya dan contoh-contoh yang saya pakai. Untuk Imagosentris dan Sinkronisitas, karena saya tahu pembaca majalah Trolley kebanyakan anak muda, saya pakai contohnya dengan nama musisi, dsb. Gaya penulisan dan bobot sih biasanya sama-sama saja, karena menurut saya itu bagian dari karakteristik saya sebagai penulis.

Saya pernah membaca beberapa artikel anda di harian Pikiran Rakyat, dan ada yamg satu yang sangat saya sukai “Menembus Tingkap Kaca” dan “Satu Orang Satu pohon”, dan beberapa artikel lain seperti “imagosentris” menurut Anda artikel Anda yang paling bagus yang mana? Bisakah dilampirkan?

Saya tidak bisa memilih mana yang paling bagus. Semuanya memiliki pesan yang saya pikir layak dan cukup penting untuk disampaikan. Pembacalah yang menentukan tulisan mana yang paling beresonansi dengan mereka, dan pastinya setiap orang akan memiliki opini yang berbeda-beda. 

Artikel seperti apa yang menurut Anda bagus?

Artikel yang menggugah, mengedukasi, memberi info berguna, dan personalitas penulisnya terasa. 

Artikel bisa dikategorikan sebagai karya jurnalistik, lalu bagaimana menurut Anda tentang tulisan Seno Gumira Ajidarma dalam bukunya “Ketika Jurnalisme dibungkam, sastra berbicara? Apakah Anda pernah mengalami hal itu sebagai penulis artikel dan sastra?

Kebetulan saya mulai menulis ketika masa reformasi, di mana semua orang lebih bebas bersuara dan saya tidak merasakan opresi yang dirasakan banyak penulis saat rezim Orde Baru, jadi saya tidak bisa terlalu memberikan banyak pendapat soal ini. Lagipula, saya kurang tertarik dengan masalah-masalah politik, jadi tulisan-tulisan saya tidak terlalu berisiko pembungkaman. 

Bagaimana menurut Anda tentang lingkungan Indonesia khususnya pemanasan global, karena kebanyakan yang saya baca dari artikel Anda lebih mengarah ke lingkungan?

Karena saya sangat peduli soal lingkungan, dan menurut saya krisis lingkungan adalah hal yang sangat krusial untuk dunia sekarang ini.

Apakah Anda menulis setiap hari? Kapan terakhir menulis artikel? 

Saya menulis jurnal setiap hari. Kalau berkarya sih sebagaimana ada ide dan minatnya saja. Artikel terakhir bulan Mei ada di blog saya, judulnya Pacarku Ada Lima.


PEREMPUAN PENULIS & DUNIA PERBUKUAN INDONESIA 

Sebagai seorang wanita, bagaimana perkembangan penulis wanita di Indonesia saat ini?

Untuk perempuan, kondisinya sedang menguntungkan, karena sekarang justru para penulis perempuan yang lebih banyak disorot, bukan berarti lebih bagus dari yang laki-laki. Tapi media sedang berkiblat ke arah ekspos para penulis perempuan. Yang jelas, banyak penulis perempuan yang berani dan lebih jujur mengungkapkan masalah-masalah politik, gender, seksualitas, dan datang dari sudut perempuan, jadi cukup menarik untuk dikaji—khususnya peminat masalah-masalah gender.

Apakah pernah ada tanggapan negatif pembaca terhadap tulisan Anda? 

Kritik selalu ada. Supernova 1 cukup keras juga mengalami gelombang kritik. Tapi saya rasa semua karya seperti itu, ada yang memuji dan juga ada yang mengkritik. Hal itu biasa, karena kritik sastra adalah bagian inheren dari sastra itu sendiri. 

Apakah tanggapan Anda tentang penulis Indonesia yang sok “nginggris” pada judul buku, namun isinya bahasa Indonesia?
 
Sebetulnya sah-sah saja, selama punya konsep yang jelas, memang nyambung dan relevan dengan isi buku, dan juga mengandung nilai jual (misalnya gampang diingat, dsb) supaya mendukung buku itu sendiri. Tapi saya pribadi, selama masih ada pilihan yang sama baiknya dalam Bahasa Indonesia, saya pasti akan memilih dalam Bahasa Indonesia.

Lalu, bagaimana dengan tayangan televisi yang seperti kasus di atas?

Idem. Selama ada konsep jelas, nyambung, dan ada nilai jual, kenapa tidak? Tapi kalau ada padanan Bahasa Indonesia yang sama baiknya, kenapa juga tidak dicoba dulu dengan Bahasa Indonesia?

Dalam dunia tulis menulis, terdapat dua paham yang menyatakan bahwa seorang penulis itu dilahirkan (sangat ditentukan bakat), kedua seorang penulis dibentuk (melalui proses pelatihan/ pendidikan). Bagaimana pendapat Anda mengenai paham ini?

Saya pernah baca kutipan, bahwa faktor bakat itu cuma 1%. 99% kerja keras dan keberanian. Saya sendiri bukan lahir dari keluarga penulis, dan banyak penulis yang saya tahu juga orang tuanya bukan penulis. Tapi mereka menyukai menulis, lalu berani mencoba, dan bekerja keras untuk mengembangkan kemampuannya. Jadi bukan bakat yang paling penting, tapi minat. Selama minatnya ada, tinggal disusul oleh komitmen. Tapi, kalau minatnya nggak ada, mau orang tuanya pasangan sastrawan, ya, tidak akan tumbuh bakatnya.

Anda sendiri termasuk yang mana?

Saya punya minat, nekat dan komitmen. Soal bakat, saya tidak yakin. Mungkin ada, mungkin tidak.
 
Apa dan bagaimana penilaian Anda terhadap para penulis Indonesia sekarang?

Banyak penulis baru, terutama dari genre chicklit dan teenlit. Saya mendukung keberanian dan kreativitas para penulis baru ini. Tapi kalau fiksi dewasa saya masih melihat ada kesenjangan antara karya sastra dan populer. Sementara yang bermain di tengah-tengah, yang bisa berfungsi sebagai jembatan, agak kurang jumlahnya. Jadi menurut saya sekarang ini tercipta kesenjangan yang cukup lebar antara penulis remaja dan penulis dewasa. Dan tema-tema yang dipilih para penulis remaja ini cenderung agak jenuh, sementara yang penulis dewasa mungkin agak terlalu serius, jadi para pembaca muda cenderung kurang berminat untuk mengikuti. 

Apakah penulis harus menguasai Bahasa Indonesia, terutama tata bahasanya?

Kalau mau jadi penulis profesional: harus. Kalau cuma untuk jadi diary atau dibaca oleh teman-teman dekat, nggak harus. Kalau kita sudah jadi penulis profesional, kita bertanggung jawab untuk edukasi bahasa yang baik bagi pembaca kita, karena saya sendiri dulu pun merasakan betul akibat dari kurangnya pengetahuan soal tata bahasa ini menjadikan saya banyak tidak tahu soal penulisan, ejaan, dll. Setelah cerita saya diedit saya baru mulai belajar, dan menyadari bahwa selama ini saya belajar dari sumber-seumber yang memang ‘kurang bertanggungjawab’. Iklan kita banyak yang ngaco, penulisan di majalah juga ngaco, sementara seberapa sering kita baca buku teks pelajaran Bahasa Indonesia? Jadi sebagai penulis profesional, kita harus menguasai. Bahkan menurut saya, profesionalisme si penulis bisa dinilai, salah satunya, adalah dengan melihat tata bahasanya.

Wawancara Skripsi Part 1 | Mei, 2007 | by Diah Ismawardani


AWAL MENULIS & PROFESI PENULIS

Sejak kapan Anda mulai mengenal dan tertarik pada dunia tulis menulis?

Sejak kecil, seingat saya sejak kelas 5 SD, umur saya 9 tahun waktu itu. Saya memulai dengan menulis cerita di buku tulis, judulnya “Rumahku Indah Sekali”, bercerita tentang seorang anak perempuan yang mendamba kuda poni. Saya menulis tanpa berhenti, dan sangat asyik dengan segala prosesnya, sejak itu saya tahu saya jatuh cinta pada dunia fiksi.

Sejak kapan mulai menekuninya secara intensif?

Sejak saya menulis “Rumahku Indah Sekali”, saya terus berkarya. Temanya, ya, sesuai umur. Waktu SMP misalnya, mulai bikin cerpen cinta. Waktu SMA mulai membuat artikel yang lebih reflektif, membuat koran sekolah. Waktu kuliah mulai membuat novel dengan tema lebih dewasa. Intinya, proses menulis saya memang tidak pernah berhenti, hanya saja tidak pernah dipublikasi jadi tidak banyak orang tahu. Hanya untuk kalangan terbatas saja, teman-teman atau keluarga.

Bagaimana ceritanya Anda bisa menjadi penulis seperti sekarang?

Tahun 2000, saya mulai membuat draf Supernova. Waktu itu niat saya ingin membuat novel dengan tema spiritualitas, tapi dikemas dalam fiksi bertema cinta, ada sainsnya, ada puisinya, pokoknya eklektik—sesuai dengan minat saya yang beragam. Ketika draf itu selesai, seketika intuisi saya mengatakan bahwa Supernova akan menjadi buku pertama saya yang dipublikasikan. Dan saya iseng-iseng bertekad untuk meluncurkannya tepat saat ulang tahun saya yakni 20 Januari 2001. Karena waktu yang mepet, dan saya dengar dari beberapa sumber bahwa naskah yang masuk ke penerbit biasanya harus menunggu lama, akhirnya saya putuskan untuk mencetak sendiri demi mengejar deadline ultah tadi. Dan begitu Supernova dipublikasi, ternyata gaungnya sangat besar, jauh dari dugaan saya. Akhirnya, saya pun tergiring untuk menjadi penulis profesional, hingga sekarang.

Apakah orangtua Anda memiliki darah penulis sehingga berpengaruh pada Anda?

Sepertinya tidak secara langsung. Yang jelas, ayah saya seorang pencerita yang luar biasa, dan ibu saya orangnya sangat sistematis. Mungkin gabungan keduanya menghasilkan saya yang seperti ini. Mungkin. Tapi yang jelas, orang tua saya bukan penulis. 

Siapa penulis yang Anda kagumi? Penulis asing dan luar negeri? Mengapa?

Sapardi Djoko Damono – karena metaforanya yang luar biasa. Ayu Utami – menurut saya dia penulis yang sangat detail dan rapi. Seno Gumira Ajidarma – karena dia mampu mengetengahkan tema-tema segar namun masih dengan napas sastra yang kental. Ana Castillo – tulisannnya sangat romantis, deskriptif dan menyentuh. Dave Eggers – karena penuturannya lucu, cerdas, otentik, dan tak terduga. Rattawut Lapcharoenshap (penulis Thailand yang tinggal di Amerika) – seorang pengamat dan pencerita yang luar biasa.

Dari sekian banyak buku yang Anda baca buku apa yang memberikan pengaruh besar dalam kehidupan Anda sebagai penulis?

Hujan Bulan Juni (Sapardi Djoko Damono), Saman (Ayu Utami), Peel My Love Like An Onion (Ana Castillo), Sightseeing (Rattawut Lapcharoenshap), The Heartbreaking Work Of A Staggering Genius (Dave Eggers).

Menurut Anda apakah di Indonesia orang bisa hidup hanya dengan hanya mengandalkan kemampuan menulisnya? Dengan kata lain apakah menulis bisa dijadikan sebagai satu-satunya mata pencaharian?

Rata-rata penulis di Indonesia memiliki profesi sampingan, entah sebagai dosen, jurnalis, seniman, dll. Jarang ada yang benar-benar mengandalkan menulis saja. Tapi sebetulnya bisa saja, selama bukunya laku. Dan penulis tersebut berkomitmen untuk terus berkarya. Karya ini tidak hanya berupa buku yang diterbitkan, bisa juga membuat artikel untuk majalah, cerbung di koran, memberi pelatihan kepenulisan, bikin skenario (kalau berminat), dsb. Jadi si penulis sendiri harus kreatif untuk mengolah pasar. 

Bisakah Anda menceritakan suka dan duka Anda selama menulis? 

Sukanya, saya ketemu banyak orang-orang hebat, sesama penulis, para pembaca kritis, yang kesemuanya memberikan saya motivasi dan inspirasi. Dukanya, waktu pertama kali dikritik karena belum biasa, jadi masih dimasukkan ke hati. Saya pernah kirim cerpen ke majalah waktu SMP dulu, dan nggak diterima, jadi sempet kecewa juga. Duka lainnya, kadang-kadang kalau promo buku yang sudah sangat intensif, dan harus ngomong hal yang sama berulang-ulang, jenuh juga. Kadang-kadang promo buku sangat menyita waktu sehingga saya malah jadi tidak sempat berkarya untuk buku selanjutnya. 

Berapa jumlah honor yang pertama kali Anda dapat? 

Lupa. Sepertinya waktu cerpen saya Rico de Coro dimuat di majalah Mode, saya dapat honor, tapi lupa lagi, sepertinya sekitar 250 ribu. Tapi esai saya pernah jadi juara di majalah remaja, dan dapat hadiah 750 ribu plus wisata ke Lombok. 

Bisa diceritakan pengalaman-pengalaman unik Anda selama menjadi penulis? 

Wah. Terlalu banyak. Tapi promo Supernova 1 adalah masa-masa paling melelahkan sekaligus mendatangkan begitu banyak pengalaman bagi saya. Waktu itu, dirata-rata, saya diskusi buku tiga hari sekali nonstop selama 4 bulan. Sangat-sangat melelahkan, tapi juga pengalaman yang saya dapat dari sana banyak sekali. Yang berkesan juga saat saya harus ikut festival penulis di Byron Bay, Australia, waktu itu saya masih menyusui anak saya yang umurnya 2 tahun, jadi belum bisa pisah. Sementara di Australia sedang musim dingin. Tapi akhirnya saya nekat bawa dia ikut festival selama seminggu, dan meskipun banyak tantangan tapi semuanya bisa dilewati dengan baik. 

Buku terakhir yang saya baca adalah kumpulan cerpen Anda “Filosofi Kopi” dan itu muncul tahun 2006, mengapa sekarang Anda jarang menerbitkan buku lagi? Terhalang oleh kesibukan apa? Dan buku apa yang akan Anda terbitkan dalam waktu dekat? 

Setiap penulis memiliki kecepatannya masing-masing, saya paling cepat memang membuat satu buku dalam satu tahun. Jadi, menurut saya pribadi, Filosofi Kopi merupakan pemenuhan target yang tepat, tidak termasuk dalam kategori ‘jarang’. Saya sibuk dengan keluarga dan pekerjaan yang mengharuskan saya banyak keliling dan ke luar kota.  Buku yang mau terbit Rectoverso, kumpulan cerpen plus lagu.

Bagaimana perkembangan karier menyanyi Anda? 

Sementara off dulu, mudah-mudahan dengan keluarnya Rectoverso—karena ada lagunya—saya bisa kembali menyanyi. 

Apakah Anda punya obsesi atau cita-cita yang belum terwujud? 

Kepingin menerbitkan Supernova dalam bahasa Inggris dan penerbitnya langsung dari luar Indonesia, jadi bukan penerbit lokal. 

Mana yang lebih menyenangkan, menulis atau menyanyi? Mungkin keduanya, namun mana yang akan Anda pilih jika Anda harus memilih satu di antaranya? 

Dua-duanya menyenangkan, tentu. Tapi menulis menurut saya adalah profesi yang lebih awet dan langgeng. 

Bagaimana peran keluarga dalam kehidupan Anda? 

Mereka adalah penopang dan rumah saya untuk berpulang. Peran mereka sangat besar, terutama dalam pendukung mental dan hati.


MINAT BACA & KEBIASAAN MEMBACA

Bagaimana tanggapan Anda tentang reading habit masyarakat Indonesia, khususnya pelajar, mahasiswa, dosen? 

Dibandingkan dulu, sebelum rezim Reformasi, karena kreativitas agak dibungkam, menurut saya minat baca juga agak lesu, karena materi bacaan yang ada di pasaran tidak terlalu banyak. Tapi sejak reformasi dan orang lebih bebas bersuara, makin banyak orang yang berani berkarya, dan masyarakat pun memiliki bahan bacaan baru, akhirnya penerbit pun semakin banyak. Jadi kalau saya lihat sekarang, sebetulnya ada peningkatan. Terbukti dari banyaknya penulis baru yang bermunculan, penerbit baru juga bermunculan, toko-toko buku baik yang besar maupun kecil tambah banyak, taman bacaan juga mulai menjamur. Tapi kalau dibandingkan dengan minat baca di negara-negara yang lebih maju, tentu saja Indonesia masih jauh ketinggalan. Terutama dari segi mutu bacaan itu sendiri. Jumlah semakin banyak, tapi masih seputar bacaan ‘ringan’. Tapi menurut saya tidak apa-apa, karena membaca sebagai sebuah kebiasaan juga butuh pelatihan dan proses, tidak bisa serta merta. Jadi, menurut saya ada harapan yang cukup cerah soal reading habit ini. 

Banyak orang yang beralasan tidak membaca buku atau media massa cetak karena harganya mahal. Menurut Anda? 

Menurut saya tidak terlalu beralasan. Buktinya orang-oranbg yang mengeluh buku mahal masih bisa beli pulsa buat SMS atau telepon. Menurut saya mereka yang mengeluh begitu kebanyakan masih belum mengapresiasi buku sebagai kebutuhan. Soal mahal atau tidak lebih cocok ditujukan untuk buku-buku sekolah, menurut saya ini yang paling pertama harus disokong oleh pemerintah dan masyarakat agar harga jualnya bisa murah karena menyangkut pendidikan dasar. Baru mungkin menyusul buku-buku ‘tersier’. Jadi kalau pun ada pergerakan ke arah buku murah, ya butuh proses juga. Pemerintah bisa memulai dengan memberikan subsidi, misalnya. Karena kalau bicara ongkos cetak dan harga kertas, kita akan bicara industri yang lebih makro lagi, dan ini sulit untuk dikendalikan. 

Bagaimana cara menurunkan harga buku dan media massa cetak? 

Tidak tahu. Hehe. Menurut saya paling mungkin adalah subsidi. Dan memperbanyak taman bacaan, sehingag mereka yang tidak mampu beli minimal tetap punya akses untuk mendapatkan info atau bacaan yang mereka mau.

Apakah Anda rutin membaca? 

Selagi ada waktu, saya pasti usahakan untuk membaca. 

Apakah membaca dan menulis adalah kebutuhan primer bagi Anda? 

Ya. Untuk menulis saya butuh bahan, inspirasi, aspirasi, dan itu saya dapatkan dari membaca. 

Berapa rupiahkah belanja buku dan bahan bacaan lainnya yang Anda keluarkan setiap bulan? 

Tidak tentu. Kalau memang ada satu tema tertentu yang lagi saya cari, bisa beli banyak buku dalam sebulan, bisa sampai jutaan rupiah. Jumlahnya tidak tentu. Kekerapannya juga tidak tentu. Tergantung kebutuhan.   

Apakah hubungan antara membaca dengan menulis? 

Membaca dan menulis bagi saya ibarat napas. Dengan menulis, kita mengembuskan napas, yakni berbagi isi hati dan pikiran kita bagi orang lain. Membaca, seperti menarik napas, kita menabung informasi, referensi, bahkan inspirasi, yang memperkaya diri kita dan tulisan kita. 

Seberapa besar pengaruh aktivitas membaca dan menulis terhadap diri seseorang? 

Orang yang banyak membaca dan menulis pastinya lebih kreatif, ekspresif, konstruktif, dan kaya wawasan, ketimbang yang tidak suka membaca dan menulis. 

Apakah Anda setuju apabila menulis dijadikan sebagai life skill para mahasiswa dan dosen? Bagaimana cara mendidik dan melatihnya? 

Bukan hanya mahasiswa dan dosen, tapi masyarakat pada umumnya. Caranya dengan meningkatkan minat membaca dan menulis, dengan merangsang kreativitas baik di sekolah maupun di rumah. Tidak ada cara lain. Semuanya harus bermula dari minat. Dan minat bisa ditumbuhkan hanya dengan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk seseorang bisa kreatif.


PROSES KREATIF  

Bagaimana proses kreatif Anda dalam menulis? Apakah Anda menulis berdasarkan ide Anda sendiri atau orang lain? 

Proses kreatif dalam menulis dimulai dengan mengamati. Yang diamati itu bisa apa saja, dan sangat luas. Dari mulai perasaan orang lain sampai perasaan sendiri, dari mengamati tingkah laku orang lain sampai mengamati tingkah laku sendiri. Ide bisa muncul dari mana saja. Yang penting kita harus perseptif, reseptif, dan sensitif. Saya jarang menulis dari ide orang lain secara bulat-bulat. Biasanya faktor eksternal lebih seperti pemancing saja, sisanya saya olah sendiri lewat proses permenungan saya sendiri. 

Tolong ceritakan bagaimana proses kreatif menulis Anda dengan rinci (cara menemukan ide, pengembangan ide, proses penulisan, pengiriman dst)? 

Pertama-tama, saya tidak tahu cara menemukan ide, karena menurut saya idelah yang menemukan saya. Pengembangan ide biasanya hadir seketika, ibarat benih, kalau benihnya bagus dan kebetulan pikiran saya beresonansi dengan ide tsb, akhirnya pikiran saya seolah-olah menjadi tanah yang subur bagi ide itu berkembang. Ide sih banyak, tapi belum tentu semua bertumbuh. Sisanya ya tinggal ditulis. Kadang-kadang ceritanya putus di jalan, kadang-kadang selesai. Kita terima saja apa adanya. Karena bisa saja sebuah ide ber-evolusi lagi menjadi karya yang benar-benar berbeda dari yang direncanakan. Kita tidak pernah tahu. Yang kita bisa lakukan hanya berusaha terus menuangkan. Pengiriman sih sudah masalah teknis. Kalau buat majalah ya dikirim, kalau mau diterbitkan ya cari penerbit. Karena kebanyakan saya menerbitkan sendiri, ya tinggal hubungi desainer untuk tata letak dan desain sampul, lalu menghubungi percetakan. Kalau sudah jadi, tinggal hubungi distributor untuk disebarluaskan.  

Dalam buku Hernowo yang berjudul Quantum Writing disebutkan bahwa menulis itu menyehatkan. Apakah Anda pernah merasakannya sendiri? 

Saya rasa menulis memang ada efek terapetik. Karena dalam menulis, kita berhadapan langsung dengan perasaan kita, pikiran kita, prosesnya seperti mengupas lapis demi lapis. Dan itu bisa menyehatkan karena kita bisa menumpangkan tumpukan perasaan ataupun pikiran kita dalam tulisan, seperti proses defrag kalau dalam komputer. Dan akibatnya kita bisa merasa lebih lega, karena berhasil mengeluarkan ‘tumpukan’ yang ada dalam diri kita dan mentransformasikannya dalam bentuk sebuah karya. 

Adakah hambatan-hambatan yang Anda rasakan pada saat menulis? 

Sekarang ini lebih ke hambatan waktu, karena kesibukan dan juga keluarga, saya susah menemukan waktu yang panjang untuk menulis. 

Apakah Anda menulis berdasarkan mood? 

Bisa iya, bisa tidak. Sekarang ini lebih berdasarkan pada tujuan. Kalau saya memang ada tujuan atau motivasi tertentu untuk menulis sesuatu, biasanya saya pasti akan selesaikan, apa pun hambatannya. Kalau dulu sewaktu menulis cuma jadi hobi dan bukan profesi, memang lebih banyak mengandalkan mood, kalau sekarang lebih kepada komitmen.

Selain dari pengamatan sehari-hari dari mana Anda mendapatkan ide yang orisinal? Membaca? Menulis? 

Mengamati. Merenung. Melamun. 

Dapatkah Anda menuliskan kiat dan tips kepada saya menjadi penulis hebat seperti Anda? 

Sederhana sebetulnya. Untuk menjadi penulis kita harus berani mencoba, berani gagal, dan berani sukses. Karena belum tentu semua orang bisa menangani beban dan konsekuensi yang dihadirkan oleh kesuksesan. Jadi seorang penulis harus siap dengan segala skenario, baik gagal maupun berhasil. Dan terus mencoba untuk berkarya, dan berkarya.

Bagaimana komentar anda tentang trilogi Supernova yang dibahas banyak orang, bahkan dijadikan judul skripsi? Jelas trilogi itu sangat sukses, dari mana Anda mendapatkan ide menulis Supernova? 

Sebetulnya Supernova itu heksalogi, jadi ada enam buku. Masih ada tiga lagi. Idenya berawal dari niat saya untuk menuliskan masalah spiritualitas dalam kemasan fiksi, karena selain masalah lingkungan, menurut saya dunia ini pun sedang mengalami krisis spiritualitas, terbukti dari banyaknya orang-orang yang masih saling membunuh atas nama agama, dan semua orang merasa paling benar. Menurut saya, gambaran kita mengenai Tuhan dan iman sangat menentukan keputusan-keputusan yang kita ambil dalam hidup. Karena itu saya mengetengahkan tema spiritualitas yang sifatnya universal dan holistik, karena dunia yang kita huni sekarang sudah sangat terpecah-pecah. Dan saya hanya ingin berbagi sudut pandang saja, syukur-syukur jika banyak yang terinspirasi, bahkan sepakat. 

Selain penulis buku, artikel atau cerpen Anda adalah penulis lagu, menurut Anda mana yang lebih sulit? 

Menulis lagu lebih sulit, karena ada melodinya, dan antara melodi dan lirik harus sejiwa. Lagu lebih mengandalkan momentum dan kreativitasnya lebih banyak di level hati dan rasa. Kalau artikel atau cerpen lebih banyak di level pikiran. Jadi proses pengerjaan dan intensitasnya berbeda. 

Bagaimana sensasi menulis lagu, novel, cerpen, puisi dan artikel? 

Berbeda-beda, tapi ujungnya sama, kalau karya itu selesai, kita merasa puas dan lega.

Menurut Anda kriteria tulisan yang bagus itu seperti apa? 

Tulisan yang jujur, otentik, berhasil menyampaikan maksud dan pesan si penulisnya, sekaligus memberikan inspirasi bagi para pembacanya.