Monday, December 15, 2014

Wawancara Skripsi Part 2 | Mei, 2007 | by Diah Ismawardani


PENULISAN ARTIKEL DI DALAM BLOG DEE-IDEA 

Saat saya membaca artikel Anda ide yang dibuat terkadang bukan hal yang baru, namun Anda melontarkan argumen yang cukup kuat. Apakah hal ini sering terjadi pada saat Anda menulis. Mengapa demikian?

Saya sendiri baru mulai mencoba menulis artikel dengan lebih intensif sejak tahun lalu, jadi sebetulnya saya juga masih meraba-raba bentukan khas artikel saya itu seperti apa. Sekarang-sekarang ini memang sudah mulai ketahuan benang merahnya. Saya senang membuat artikel yang sifatnya menggugah, temanya tidak jadi masalah apakah sederhana atau tidak. Yang penting mampu mengajak pembaca untuk merenung. Dan barangkali itulah ciri khas artikel saya.

Kebanyakan dari ide artikel Anda adalah hasil pengamatan sehari-hari, namun apakah Anda tidak takut bila pembaca beranggapan ”itu adalah hal yang biasa”, dan artikel Anda menjadi tidak dibaca?

Semua artikel saya memang berawal dari pengamatan sehari-hari. Dan saat saya menulis, saya tidak terlalu memikirkan pembaca saya beranggapan apa, yang penting saya jujur dulu menuliskan apa yang saya pikir atau rasa. Syukur kalau pembaca menyukai atau terinspirasi, kalu tidak juga tidak apa-apa. Saya tidak terlalu memikirkan. Semua itu terserah pembaca, dan penulis tidak bisa terlalu mengendalikan.

Apa yang melandasi ide konvensional yang ada dalam beberapa artikel Anda namun tetap Anda tulis dan ternyata dimuat dalam harian, apakah atas dasar nama besar Anda saja?

Bagi saya, artikel itu tidak harus bertemakan sesuatu yang ‘aneh’ atau ‘tidak biasa’. Karena toh yang kita hadapi dalam hidup kebanyakan adalah hal-hal yang rutin kita temui, biasa, dan tidak aneh-aneh, tapi di balik semua itu banyak perenungan yang kita lupakan. Saya tertarik untuk menggali hal-hal kecil yang cenderung dilupakan tersebut. Saya pikir, setiap harian punya kebijaksaan tertentu, kalau memang tulisannya tidak layak standar mereka, siapa pun penulisnya, ya, tidak akan dimuat. 

Terus terang saya sangat menyukai gaya penulisan artikel Anda yang tidak jauh dari seperti menulis novel. Apakah tidak pernah ada komplain dari pihak media massa yang memuat artikel Anda?

Tidak. 

Apakah Anda pernah melihat orang lain melakukan ide yang Anda tulis dalam artikel Anda?

Belum. Tapi saya suka gaya penulisan artikel Goenawan Mohamad, menurut saya dia esais yang sangat hebat. 

Apakah ada yang beranggapan bahwa artikel Anda tidak selayaknya sebuah artikel karena gaya penulisan Anda yang seperti menulis novel ini?  Lalu bagaimana Anda menyikapinya?

Bagi saya, tidak ada garis kaku antara ‘gaya artikel’ dan ‘gaya novel’, yang membedakan adalah fiksi atau nonfiksi. Gayanya bisa apa saja. Saya malah suka bingung, kenapa artikel maupun karya-karya tulis sepertinya wajib ditulis dengan gaya akademis yang cenderung berat dan membosankan, kan tidak harus begitu melulu? Mungkin juga karena saya penulis novel, jadi ada pengaruh kuat dari gaya penulisan fiksi. Tapi menurut saya, gaya adalah pilihan, dan juga karakteristik. Saya tidak akan menulis artikel dengan gaya orang lain, hanya karena alasan gaya tsb ‘wajib’ atau ‘selayaknya’. Semua penulis tetap harus menemukan otentisitasnya masing-masing. 

Bagi Anda, apa artikel itu sebenarnya?

Secara definisi saya tidak tahu pasti, barangkali  bisa ditemukan di buku-buku teks.
Yang jelas, artikel itu karya nonfiksi. Bisa ditujukan untuk kepentingan akademis, jurnalistik, dsb. 

Dalam beberapa artikel Anda sering menggunakan Intro yang mendeskripsikan kehidupan Anda sehari-hari. Apakah memang kehidupan sehari-hari Anda cukup menarik bila dijadikan sebuah intro artikel? Atau hanya sebatas gaya penulisan Anda saja?

Karena kebanyakan saya menulis artikel diawali oleh perenungan terhadap hidup saya sehari-hari, saya pasti memasukkan unsur-unsur itu. Dan menurut saya, artikel yang menarik adalah artikel yang personal. Kalau kita membaca majalah-majalah internasional, setiap wawancara berkelas adalah wawancara yang kental dengan personalitas si penulisnya, bukan sekadar pemaparan info. Dan saya menyukai tipe artikel seperti itu. Karenanya, saya pun selalu menuliskan artikel yang sifatnya personal.

Terkadang dalam penulisan artikel seolah Anda tidak memperhatikan kemampuan pembaca mencerna kata-kata yang anda munculkan. Dan tak sedikit kata-kata yang sukar pembaca mengerti. Bagaimana Anda berani seperti itu?

Justru supaya pembaca penasaran, dan mencari tahu. Kalaupun dia tidak cari tahu, minimal dia jadi tahu apa yang dia tidak tahu. Saya pribadi menyukai dengan tulisan yang menantang saya untuk tahu lebih, memberi info lebih. Menurut saya itu salah satu cara untuk kita tidak malas dan terus menggali pengetahuan.

Saat menulis artikel, apakah Anda memperhatikan abstraksi media mana yang akan memuat tulisan Anda? Atau tidak?
 
Saya tentu menyesuaikan juga, tapi lebih ke masalah temanya dan contoh-contoh yang saya pakai. Untuk Imagosentris dan Sinkronisitas, karena saya tahu pembaca majalah Trolley kebanyakan anak muda, saya pakai contohnya dengan nama musisi, dsb. Gaya penulisan dan bobot sih biasanya sama-sama saja, karena menurut saya itu bagian dari karakteristik saya sebagai penulis.

Saya pernah membaca beberapa artikel anda di harian Pikiran Rakyat, dan ada yamg satu yang sangat saya sukai “Menembus Tingkap Kaca” dan “Satu Orang Satu pohon”, dan beberapa artikel lain seperti “imagosentris” menurut Anda artikel Anda yang paling bagus yang mana? Bisakah dilampirkan?

Saya tidak bisa memilih mana yang paling bagus. Semuanya memiliki pesan yang saya pikir layak dan cukup penting untuk disampaikan. Pembacalah yang menentukan tulisan mana yang paling beresonansi dengan mereka, dan pastinya setiap orang akan memiliki opini yang berbeda-beda. 

Artikel seperti apa yang menurut Anda bagus?

Artikel yang menggugah, mengedukasi, memberi info berguna, dan personalitas penulisnya terasa. 

Artikel bisa dikategorikan sebagai karya jurnalistik, lalu bagaimana menurut Anda tentang tulisan Seno Gumira Ajidarma dalam bukunya “Ketika Jurnalisme dibungkam, sastra berbicara? Apakah Anda pernah mengalami hal itu sebagai penulis artikel dan sastra?

Kebetulan saya mulai menulis ketika masa reformasi, di mana semua orang lebih bebas bersuara dan saya tidak merasakan opresi yang dirasakan banyak penulis saat rezim Orde Baru, jadi saya tidak bisa terlalu memberikan banyak pendapat soal ini. Lagipula, saya kurang tertarik dengan masalah-masalah politik, jadi tulisan-tulisan saya tidak terlalu berisiko pembungkaman. 

Bagaimana menurut Anda tentang lingkungan Indonesia khususnya pemanasan global, karena kebanyakan yang saya baca dari artikel Anda lebih mengarah ke lingkungan?

Karena saya sangat peduli soal lingkungan, dan menurut saya krisis lingkungan adalah hal yang sangat krusial untuk dunia sekarang ini.

Apakah Anda menulis setiap hari? Kapan terakhir menulis artikel? 

Saya menulis jurnal setiap hari. Kalau berkarya sih sebagaimana ada ide dan minatnya saja. Artikel terakhir bulan Mei ada di blog saya, judulnya Pacarku Ada Lima.


PEREMPUAN PENULIS & DUNIA PERBUKUAN INDONESIA 

Sebagai seorang wanita, bagaimana perkembangan penulis wanita di Indonesia saat ini?

Untuk perempuan, kondisinya sedang menguntungkan, karena sekarang justru para penulis perempuan yang lebih banyak disorot, bukan berarti lebih bagus dari yang laki-laki. Tapi media sedang berkiblat ke arah ekspos para penulis perempuan. Yang jelas, banyak penulis perempuan yang berani dan lebih jujur mengungkapkan masalah-masalah politik, gender, seksualitas, dan datang dari sudut perempuan, jadi cukup menarik untuk dikaji—khususnya peminat masalah-masalah gender.

Apakah pernah ada tanggapan negatif pembaca terhadap tulisan Anda? 

Kritik selalu ada. Supernova 1 cukup keras juga mengalami gelombang kritik. Tapi saya rasa semua karya seperti itu, ada yang memuji dan juga ada yang mengkritik. Hal itu biasa, karena kritik sastra adalah bagian inheren dari sastra itu sendiri. 

Apakah tanggapan Anda tentang penulis Indonesia yang sok “nginggris” pada judul buku, namun isinya bahasa Indonesia?
 
Sebetulnya sah-sah saja, selama punya konsep yang jelas, memang nyambung dan relevan dengan isi buku, dan juga mengandung nilai jual (misalnya gampang diingat, dsb) supaya mendukung buku itu sendiri. Tapi saya pribadi, selama masih ada pilihan yang sama baiknya dalam Bahasa Indonesia, saya pasti akan memilih dalam Bahasa Indonesia.

Lalu, bagaimana dengan tayangan televisi yang seperti kasus di atas?

Idem. Selama ada konsep jelas, nyambung, dan ada nilai jual, kenapa tidak? Tapi kalau ada padanan Bahasa Indonesia yang sama baiknya, kenapa juga tidak dicoba dulu dengan Bahasa Indonesia?

Dalam dunia tulis menulis, terdapat dua paham yang menyatakan bahwa seorang penulis itu dilahirkan (sangat ditentukan bakat), kedua seorang penulis dibentuk (melalui proses pelatihan/ pendidikan). Bagaimana pendapat Anda mengenai paham ini?

Saya pernah baca kutipan, bahwa faktor bakat itu cuma 1%. 99% kerja keras dan keberanian. Saya sendiri bukan lahir dari keluarga penulis, dan banyak penulis yang saya tahu juga orang tuanya bukan penulis. Tapi mereka menyukai menulis, lalu berani mencoba, dan bekerja keras untuk mengembangkan kemampuannya. Jadi bukan bakat yang paling penting, tapi minat. Selama minatnya ada, tinggal disusul oleh komitmen. Tapi, kalau minatnya nggak ada, mau orang tuanya pasangan sastrawan, ya, tidak akan tumbuh bakatnya.

Anda sendiri termasuk yang mana?

Saya punya minat, nekat dan komitmen. Soal bakat, saya tidak yakin. Mungkin ada, mungkin tidak.
 
Apa dan bagaimana penilaian Anda terhadap para penulis Indonesia sekarang?

Banyak penulis baru, terutama dari genre chicklit dan teenlit. Saya mendukung keberanian dan kreativitas para penulis baru ini. Tapi kalau fiksi dewasa saya masih melihat ada kesenjangan antara karya sastra dan populer. Sementara yang bermain di tengah-tengah, yang bisa berfungsi sebagai jembatan, agak kurang jumlahnya. Jadi menurut saya sekarang ini tercipta kesenjangan yang cukup lebar antara penulis remaja dan penulis dewasa. Dan tema-tema yang dipilih para penulis remaja ini cenderung agak jenuh, sementara yang penulis dewasa mungkin agak terlalu serius, jadi para pembaca muda cenderung kurang berminat untuk mengikuti. 

Apakah penulis harus menguasai Bahasa Indonesia, terutama tata bahasanya?

Kalau mau jadi penulis profesional: harus. Kalau cuma untuk jadi diary atau dibaca oleh teman-teman dekat, nggak harus. Kalau kita sudah jadi penulis profesional, kita bertanggung jawab untuk edukasi bahasa yang baik bagi pembaca kita, karena saya sendiri dulu pun merasakan betul akibat dari kurangnya pengetahuan soal tata bahasa ini menjadikan saya banyak tidak tahu soal penulisan, ejaan, dll. Setelah cerita saya diedit saya baru mulai belajar, dan menyadari bahwa selama ini saya belajar dari sumber-seumber yang memang ‘kurang bertanggungjawab’. Iklan kita banyak yang ngaco, penulisan di majalah juga ngaco, sementara seberapa sering kita baca buku teks pelajaran Bahasa Indonesia? Jadi sebagai penulis profesional, kita harus menguasai. Bahkan menurut saya, profesionalisme si penulis bisa dinilai, salah satunya, adalah dengan melihat tata bahasanya.