PENULISAN
ARTIKEL DI DALAM BLOG DEE-IDEA
Saat
saya membaca artikel Anda ide yang dibuat terkadang bukan hal yang baru, namun
Anda melontarkan argumen yang cukup kuat. Apakah hal ini sering terjadi pada
saat Anda menulis. Mengapa demikian?
Saya
sendiri baru mulai mencoba menulis artikel dengan lebih intensif sejak tahun
lalu, jadi sebetulnya saya juga masih meraba-raba bentukan khas artikel saya
itu seperti apa. Sekarang-sekarang ini memang sudah mulai ketahuan benang
merahnya. Saya senang membuat artikel yang sifatnya menggugah, temanya tidak
jadi masalah apakah sederhana atau tidak. Yang penting mampu mengajak pembaca
untuk merenung. Dan barangkali itulah ciri khas artikel saya.
Kebanyakan
dari ide artikel Anda adalah hasil pengamatan sehari-hari, namun apakah Anda
tidak takut bila pembaca beranggapan ”itu adalah hal yang biasa”, dan artikel
Anda menjadi tidak dibaca?
Semua
artikel saya memang berawal dari pengamatan sehari-hari. Dan saat saya menulis,
saya tidak terlalu memikirkan pembaca saya beranggapan apa, yang penting saya
jujur dulu menuliskan apa yang saya pikir atau rasa. Syukur kalau pembaca
menyukai atau terinspirasi, kalu tidak juga tidak apa-apa. Saya tidak terlalu
memikirkan. Semua itu terserah pembaca, dan penulis tidak bisa terlalu mengendalikan.
Apa
yang melandasi ide konvensional yang ada dalam beberapa artikel Anda namun
tetap Anda tulis dan ternyata dimuat dalam harian, apakah atas dasar nama besar
Anda saja?
Bagi
saya, artikel itu tidak harus bertemakan sesuatu yang ‘aneh’ atau ‘tidak
biasa’. Karena toh yang kita hadapi dalam hidup kebanyakan adalah hal-hal yang
rutin kita temui, biasa, dan tidak aneh-aneh, tapi di balik semua itu banyak
perenungan yang kita lupakan. Saya tertarik untuk menggali hal-hal kecil yang
cenderung dilupakan tersebut. Saya pikir, setiap harian punya kebijaksaan
tertentu, kalau memang tulisannya tidak layak standar mereka, siapa pun
penulisnya, ya, tidak akan dimuat.
Terus
terang saya sangat menyukai gaya penulisan artikel Anda yang tidak jauh dari seperti
menulis novel. Apakah tidak pernah ada komplain dari pihak media massa yang
memuat artikel Anda?
Tidak.
Apakah
Anda pernah melihat orang lain melakukan ide yang Anda tulis dalam artikel
Anda?
Belum.
Tapi saya suka gaya penulisan artikel Goenawan Mohamad, menurut saya dia esais
yang sangat hebat.
Apakah
ada yang beranggapan bahwa artikel Anda tidak selayaknya sebuah artikel karena
gaya penulisan Anda yang seperti menulis novel ini? Lalu bagaimana Anda
menyikapinya?
Bagi saya, tidak ada garis kaku antara ‘gaya artikel’ dan ‘gaya novel’, yang
membedakan adalah fiksi atau nonfiksi. Gayanya bisa apa saja. Saya malah suka
bingung, kenapa artikel maupun karya-karya tulis sepertinya wajib ditulis
dengan gaya akademis yang cenderung berat dan membosankan, kan tidak harus
begitu melulu? Mungkin juga karena saya penulis novel, jadi ada pengaruh kuat
dari gaya penulisan fiksi. Tapi menurut saya, gaya adalah pilihan, dan juga
karakteristik. Saya tidak akan menulis artikel dengan gaya orang lain, hanya
karena alasan gaya tsb ‘wajib’ atau ‘selayaknya’. Semua penulis tetap harus
menemukan otentisitasnya masing-masing.
Bagi
Anda, apa artikel itu sebenarnya?
Secara
definisi saya tidak tahu pasti, barangkali bisa ditemukan di buku-buku
teks.
Yang
jelas, artikel itu karya nonfiksi. Bisa ditujukan untuk kepentingan akademis,
jurnalistik, dsb.
Dalam
beberapa artikel Anda sering menggunakan Intro yang mendeskripsikan kehidupan
Anda sehari-hari. Apakah memang kehidupan sehari-hari Anda cukup menarik bila
dijadikan sebuah intro artikel? Atau hanya sebatas gaya penulisan Anda saja?
Karena
kebanyakan saya menulis artikel diawali oleh perenungan terhadap hidup saya
sehari-hari, saya pasti memasukkan unsur-unsur itu. Dan menurut saya, artikel
yang menarik adalah artikel yang personal. Kalau kita membaca majalah-majalah
internasional, setiap wawancara berkelas adalah wawancara yang kental dengan
personalitas si penulisnya, bukan sekadar pemaparan info. Dan saya menyukai
tipe artikel seperti itu. Karenanya, saya pun selalu menuliskan artikel yang
sifatnya personal.
Terkadang
dalam penulisan artikel seolah Anda tidak memperhatikan kemampuan pembaca
mencerna kata-kata yang anda munculkan. Dan tak sedikit kata-kata yang sukar
pembaca mengerti. Bagaimana Anda berani seperti itu?
Justru
supaya pembaca penasaran, dan mencari tahu. Kalaupun dia tidak cari tahu,
minimal dia jadi tahu apa yang dia tidak tahu. Saya pribadi menyukai dengan
tulisan yang menantang saya untuk tahu lebih, memberi info lebih. Menurut saya
itu salah satu cara untuk kita tidak malas dan terus menggali pengetahuan.
Saat menulis artikel,
apakah Anda memperhatikan abstraksi media mana yang akan memuat tulisan Anda?
Atau tidak?
Saya
tentu menyesuaikan juga, tapi lebih ke masalah temanya dan contoh-contoh yang
saya pakai. Untuk Imagosentris dan Sinkronisitas, karena saya tahu pembaca
majalah Trolley kebanyakan anak muda, saya pakai contohnya dengan nama musisi,
dsb. Gaya penulisan dan bobot sih biasanya sama-sama saja, karena menurut saya
itu bagian dari karakteristik saya sebagai penulis.
Saya
pernah membaca beberapa artikel anda di harian Pikiran Rakyat, dan ada yamg
satu yang sangat saya sukai “Menembus Tingkap Kaca” dan “Satu Orang Satu
pohon”, dan beberapa artikel lain seperti “imagosentris” menurut Anda artikel
Anda yang paling bagus yang mana? Bisakah dilampirkan?
Saya
tidak bisa memilih mana yang paling bagus. Semuanya memiliki pesan yang saya
pikir layak dan cukup penting untuk disampaikan. Pembacalah yang menentukan
tulisan mana yang paling beresonansi dengan mereka, dan pastinya setiap orang
akan memiliki opini yang berbeda-beda.
Artikel
seperti apa yang menurut Anda bagus?
Artikel
yang menggugah, mengedukasi, memberi info berguna, dan personalitas penulisnya
terasa.
Artikel
bisa dikategorikan sebagai karya jurnalistik, lalu bagaimana menurut Anda
tentang tulisan Seno Gumira Ajidarma dalam bukunya “Ketika Jurnalisme
dibungkam, sastra berbicara? Apakah Anda pernah mengalami hal itu sebagai
penulis artikel dan sastra?
Kebetulan
saya mulai menulis ketika masa reformasi, di mana semua orang lebih bebas
bersuara dan saya tidak merasakan opresi yang dirasakan banyak penulis saat
rezim Orde Baru, jadi saya tidak bisa terlalu memberikan banyak pendapat soal
ini. Lagipula, saya kurang tertarik dengan masalah-masalah politik, jadi
tulisan-tulisan saya tidak terlalu berisiko pembungkaman.
Bagaimana
menurut Anda tentang lingkungan Indonesia khususnya pemanasan global, karena
kebanyakan yang saya baca dari artikel Anda lebih mengarah ke lingkungan?
Karena
saya sangat peduli soal lingkungan, dan menurut saya krisis lingkungan adalah
hal yang sangat krusial untuk dunia sekarang ini.
Apakah
Anda menulis setiap hari? Kapan terakhir menulis artikel?
Saya
menulis jurnal setiap hari. Kalau berkarya sih sebagaimana ada ide dan minatnya
saja. Artikel terakhir bulan Mei ada di blog saya, judulnya Pacarku Ada Lima.
PEREMPUAN
PENULIS & DUNIA PERBUKUAN INDONESIA
Sebagai
seorang wanita, bagaimana perkembangan penulis wanita di Indonesia saat ini?
Untuk
perempuan, kondisinya sedang menguntungkan, karena sekarang justru para penulis
perempuan yang lebih banyak disorot, bukan berarti lebih bagus dari yang
laki-laki. Tapi media sedang berkiblat ke arah ekspos para penulis perempuan.
Yang jelas, banyak penulis perempuan yang berani dan lebih jujur mengungkapkan
masalah-masalah politik, gender, seksualitas, dan datang dari sudut perempuan,
jadi cukup menarik untuk dikaji—khususnya peminat masalah-masalah gender.
Apakah
pernah ada tanggapan negatif pembaca terhadap tulisan Anda?
Kritik
selalu ada. Supernova 1 cukup keras juga mengalami gelombang kritik. Tapi saya
rasa semua karya seperti itu, ada yang memuji dan juga ada yang mengkritik. Hal
itu biasa, karena kritik sastra adalah bagian inheren dari sastra itu sendiri.
Apakah
tanggapan Anda tentang penulis Indonesia yang sok “nginggris” pada judul buku,
namun isinya bahasa Indonesia?
Sebetulnya
sah-sah saja, selama punya konsep yang jelas, memang nyambung dan relevan
dengan isi buku, dan juga mengandung nilai jual (misalnya gampang diingat, dsb)
supaya mendukung buku itu sendiri. Tapi saya pribadi, selama masih ada pilihan
yang sama baiknya dalam Bahasa Indonesia, saya pasti akan memilih dalam Bahasa
Indonesia.
Lalu,
bagaimana dengan tayangan televisi yang seperti kasus di atas?
Idem.
Selama ada konsep jelas, nyambung, dan ada nilai jual, kenapa tidak? Tapi kalau
ada padanan Bahasa Indonesia yang sama baiknya, kenapa juga tidak dicoba dulu
dengan Bahasa Indonesia?
Dalam
dunia tulis menulis, terdapat dua paham yang menyatakan bahwa seorang penulis
itu dilahirkan (sangat ditentukan bakat), kedua seorang penulis dibentuk
(melalui proses pelatihan/ pendidikan). Bagaimana pendapat Anda mengenai paham
ini?
Saya
pernah baca kutipan, bahwa faktor bakat itu cuma 1%. 99% kerja keras dan
keberanian. Saya sendiri bukan lahir dari keluarga penulis, dan banyak penulis
yang saya tahu juga orang tuanya bukan penulis. Tapi mereka menyukai menulis,
lalu berani mencoba, dan bekerja keras untuk mengembangkan kemampuannya. Jadi
bukan bakat yang paling penting, tapi minat. Selama minatnya ada, tinggal
disusul oleh komitmen. Tapi, kalau minatnya nggak ada, mau orang tuanya
pasangan sastrawan, ya, tidak akan tumbuh bakatnya.
Anda
sendiri termasuk yang mana?
Saya
punya minat, nekat dan komitmen. Soal bakat, saya tidak yakin. Mungkin ada,
mungkin tidak.
Apa
dan bagaimana penilaian Anda terhadap para penulis Indonesia sekarang?
Banyak
penulis baru, terutama dari genre chicklit dan teenlit. Saya mendukung
keberanian dan kreativitas para penulis baru ini. Tapi kalau fiksi dewasa saya
masih melihat ada kesenjangan antara karya sastra dan populer. Sementara yang
bermain di tengah-tengah, yang bisa berfungsi sebagai jembatan, agak kurang
jumlahnya. Jadi menurut saya sekarang ini tercipta kesenjangan yang cukup lebar
antara penulis remaja dan penulis dewasa. Dan tema-tema yang dipilih para
penulis remaja ini cenderung agak jenuh, sementara yang penulis dewasa mungkin
agak terlalu serius, jadi para pembaca muda cenderung kurang berminat untuk
mengikuti.
Apakah
penulis harus menguasai Bahasa Indonesia, terutama tata bahasanya?
Kalau
mau jadi penulis profesional: harus. Kalau cuma untuk jadi diary atau
dibaca oleh teman-teman dekat, nggak harus. Kalau kita sudah jadi penulis
profesional, kita bertanggung jawab untuk edukasi bahasa yang baik bagi pembaca
kita, karena saya sendiri dulu pun merasakan betul akibat dari kurangnya
pengetahuan soal tata bahasa ini menjadikan saya banyak tidak tahu soal penulisan,
ejaan, dll. Setelah cerita saya diedit saya baru mulai belajar, dan menyadari
bahwa selama ini saya belajar dari sumber-seumber yang memang ‘kurang
bertanggungjawab’. Iklan kita banyak yang ngaco, penulisan di majalah juga
ngaco, sementara seberapa sering kita baca buku teks pelajaran Bahasa Indonesia?
Jadi sebagai penulis profesional, kita harus menguasai. Bahkan menurut saya,
profesionalisme si penulis bisa dinilai, salah satunya, adalah dengan melihat
tata bahasanya.