Ide
awal Dee untuk menulis Madre datang dari mana? Apakah Dee sendiri penggemar
roti?
Idenya datang ketika saya ikut kursus membuat roti, dan saat
itu instruktur saya menceritakan tentang adonan biang, dan bedanya dengan
pengembang roti instan. Saat itu rasanya saya kecantol dengan adonan biang itu,
saya merasa adonan biang memiliki aspek cerita yang sangat menarik. Sepulang
kursus, saya langsung googling dan mencari tahu lebih banyak tentang adonan
biang. Dalam kepala saya berkembanglah cerita, dan itu yang kemudian saya
tuangkan menjadi novelet Madre.
Siapa
yang pertama kali mengajukan untuk mengangkat Madre menjadi film?
Yang mengajukan adalah pihak produser tentunya, yakni Mizan
Production. Setelah membaca Madre, Pak Putut Widjanarko dari Mizan Production
mengontak saya dan mengungkapkan ketertarikannya untuk menjadikan Madre sebagai
film. Proses kontraknya tidak langsung, kira-kira setengah tahun setelah ide
itu terlontar, baru betulan diikat dalam kontrak dan Mizan mulai ancang-ancang
produksi.
Ada
persyaratan khusus yang diajukan ke produser yang ingin mengadaptasi novel Dee
ke film?
Tergantung, sih. Untuk Perahu Kertas, saya memang ingin
terlibat sebagai penulis skenario dan ikut proses casting. Barangkali karena
itu kisah saya yang pertama kali diangkat jadi film, dan menulis skenario
Perahu Kertas merupakan impian saya sejak lama. Tapi untuk yang sesudahnya,
Rectoverso dan Madre, saya sebetulnya sudah lebih melepas proses tersebut ke
tangan produser dan sutradara. Saat itu memang saya tidak dimungkinkan secara
waktu untuk terlibat proyek lain berhubung sedang intensif menulis Partikel.
Karena begitu nyebur ke dalam produksi film, nggak bisa tanggung-tanggung.
Jadi, buat saya lebih baik melepas sekalian. Meski begitu untuk Rectoverso saya
masih dilibatkan sebagai konsultan informal. Sementara untuk Madre saya sempat
kasih masukan untuk plotnya. Tapi, keterlibatan saya bisa dibilang minimal.
Madre
itu novelet dengan cerita yang nggak terlalu panjang. Saat harus diangkat ke
layar lebar ada beberapa penambahan skenario di filmnya. Apakah ide di film Dee
yang membuat atau tim dari film yang membuatnya?
Untuk Madre, pengembangannya dilakukan sepenuhnya oleh Benni
Setiawan, penulis skenario sekaligus sutradara dari film Madre. Kalau
Rectoverso, saya cukup banyak kasih masukan ke sutradara, walaupun saya nggak
ngedit langsung skenarionya.
Opini
Dee tentang Benni Setiawan? Apa yang Dee suka dari dia?
Ini adalah kerja sama saya pertama kali dengan Benni
Setiawan. Yang saya tangkap dari beliau adalah keseriusannya. Membuat setting
Madre tidak mudah, tapi Benni mengarapnya dengan sungguh-sungguh.
Pernah
merasa beban nggak saat novelnya diangkat menjadi film?
Kadang-kadang. Waktu Perahu Kertas, karena proyek perdana,
terasa lebih berbeban. Sekarang sih rasanya enggak. Sejak saya terlibat
produksi, saya lebih memahami kompleksitas produksi dan industri film, jadi
saya lebih bisa menerima keterbatasan sekaligus kelebihan medium film.
Menurut
Dee, keuntungan saat sebuah film mengambil cerita dari sebuah novel? Kalau
kesulitannya?
Keuntungannya karena sudah ada penonton yang
"pasti", yang terdiri dari fans sang pembaca, prosentase dari jumlah
pembeli buku, dll. Jadi sudah lebih terukur derajat keberhasilannya. Sementara
kesulitannya tentu karena film yang diadaptasi akan mengalami pembandingan dari
pembacanya, yang bisa suka atau nggak suka, sehingga otomatis beban para
pembuat film lebih berat.
Dari
semua karya Dee. Ada nggak yang paling ingin diangkat jadi film?
Yang paling saya inginkan adalah Perahu Kertas dan sudah
terwujud. Judul-judul lain bagi saya adalah bonus, kalau terwujud dan hasilnya
bagus ya syukur. Kalau tidak jadi film pun tidak apa-apa.
Apakah
Dee punya film favorit yang ceritanya diangkat dari novel? Kenapa?
Lords of the Rings. Karena nonton filmnya lebih nikmat dan
mudah daripada baca bukunya.