Madre
ini buku yang keberapa?
Yang ketujuh, setelah Perahu Kertas (2009).
Kenapa memilih kembali menghadirkan bentuk antologi?
Karya-karya saya termasuk cukup beragam bentuknya, tidak hanya novel. Ada cerita pendek, novelet, puisi, dan lain-lain. Jadi, format antologi ini saya gunakan untuk menampung karya-karya non-novel, yang ketika sudah berjalan sekian tahun, volumenya semakin banyak dan bisa diterbitkan menjadi buku. Filosofi Kopi, misalnya, adalah kumpulan variasi karya saya selama satu dekade. Madre juga seperti itu bentuknya, yakni kumpulan variasi karya saya selama lima tahun terakhir.
Ada berapa cerita pendek dalam antologi Madre?
13 cerita.
Berapa lama menyelesaikan Madre?
Karena Madre berbentuk antologi selama lima tahun terakhir, beberapa di antaranya sudah banyak yang selesai, meski semua naskah tetap harus disunting ulang. Tapi ada juga naskah baru yang memang dibuat tahun ini, yakni Madre itu sendiri. Selain itu ada juga beberapa naskah lama yang saya tulis ulang dan selesaikan, seperti "Menunggu Layang-layang" dan "Have You Ever?".
Mengapa terpikir untuk meminta Sitok Srengenge sebagai editor untuk Madre? Ada pertimbangan khusus?
Saya kenal Mas Sitok secara pribadi, dan mengagumi karya-karyanya. Sebetulnya waktu itu saya justru tanya ke Mas Sitok, editor mana yang ia rekomendasikan. Mas Sitok tahu-tahu malah menawarkan diri, padahal jadwal beliau sangat padat. Bagi saya, ini kesempatan yang sangat istimewa. Mas Sitok punya kepekaan bahasa yang baik, dan karena beliau juga bergerak di bidang penerbitan, ia terbiasa jeli menghadapi naskah. Jadi, kemampuan beliau sangat unik.
Kisah Madre sendiri, mengapa tergerak membuat cerita tentang roti?
Saya senang masak dan makan. Sejak dulu ingin sekali membuat cerita tentang makanan. Memilih roti sebenarnya tidak diniatkan sejak awal. Ide itu baru terpicu ketika saya ikut kursus membuat roti, dan instruktur saya bercerita tentang bedanya ragi instan dan ragi yang dikulturkan, yang biasanya disebut starter dough atau adonan biang. Saya langsung tertarik. Setelah saya riset, saya makin kagum. Bayangkan, adonan biang bisa bertahan ratusan tahun dan menjadi ibu bagi entah berapa banyak roti, seperti Boudin Bakery di San Fransisco. Waktu kecil, saya pun pernah berlangganan roti seperti itu. Sayangnya, toko roti tersebut tergusur zaman dan sekarang tutup. Bagi saya semua hal tadi memiliki elemen yang sangat kaya untuk diwujudkan dalam cerita.
Kalau melihat secara keseluruhan, kisah paling favorit dari antologi Madre?
Itu pertanyaan sulit, karena bagi saya semua cerita punya pemicu, kenangan, dan proses kreatif yang berbeda-beda. Kisah berjudul "Madre" tentunya istimewa karena saya memang sudah lama ingin membuat cerita tentang makanan, dan "Madre" memang menjadi cerita utama di buku. Saya juga punya kesan mendalam pada cerita "Semangkok Acar untuk Cinta dan Tuhan", bagi saya cerita itu sangat merepresentasikan apa yang saya rasakan dan alami secara spiritual.
Apa yang membuat Madre berbeda dari karya-karya Dee sebelumnya?
Sejauh ini, setiap buku saya memang beda-beda, ya. Madre, misalnya, walaupun mirip formatnya dengan Filosofi Kopi, tapi jika ditelaah isinya "citarasa"-nya berbeda. Menurut saya, yang "khas" dari Madre ini adalah tema-tema yang diangkat. Benang merahnya cukup jelas. Tema spiritualitas, re-birth, reinkarnasi, banyak muncul dalam antologi Madre.
Sudah adakah rencana untuk buku berikutnya?
Untuk 2-3 tahun ke depan, saya memang berencana untuk menulis marathon. Jadi proses kerja saya hampir tak terputus. Sesudah ini saya mau menyelesaikan serial Supernova, Sudah setahun ini, sejak mempersiapkan Madre, saya mengurangi aktivitas di luar untuk fokus menulis dulu. Target saya sesudah ini adalah buku keempat Supernova yakni "Partikel".
Apakah buku Madre juga berencana dibuat film?
Untuk produksi film tidak pernah menjadi target buat saya. Kalau ada yang tertarik, dan rasanya berjodoh, ya mungkin bisa jalan. Tapi kalau tidak pun tidak apa-apa.
Apakah buku Madre ini juga punya karya musik pendamping, misalnya soundtrack?
Tidak ada, karena memang konsepnya Madre ini murni buku fiksi saja.
Apakah sekarang berencana lebih fokus ke menulis saja, ketimbang di bidang musik?
Meski musik merupakan minat dan profesi saya, dalam menetapkan prioritas saya lebih melihat situasi. Saat ini saya sedang ingin lebih banyak di rumah, membesarkan anak-anak, terutama Atisha yang belum 2 tahun. Untuk itu, saat ini saya lebih condong ke menulis karena saya dimungkinkan lebih banyak di rumah ketimbang jika saya beraktivitas di musik.
Seberapa jauh efektivitas media sosial yang Dewi gunakan untuk meluncurkan buku terbaru kali ini?
Media sosial, khususnya Twitter, sekarang adalah sarana utama saya berkomunikasi dengan pembaca. Lewat media sosial, saya bisa kasih informasi, bikin kuis, berinteraksi, dari yang sifatnya pekerjaan sampai ngalor ngidul. Bahkan untuk Madre, melalui Twitter saya dan penerbit bisa membuat momen pre-sale yang cukup sukses.
Bagaimana selama ini menyeimbangkan waktu dan tenaga antara proses menulis dengan merawat bayi, terutama waktu membuat Madre?
Jujur saja, tidak terlalu mudah. Saya harus membiasakan diri kerja dengan interval pendek-pendek karena nggak bisa meninggalkan anak saya terlalu lama. Padahal kalau menulis itu saya terbiasa menghabiskan waktu berjam-jam sekali duduk. Tapi saat ini, sih, sudah mulai terbiasa dengan itu. Konsekuensinya ya saya nggak terima pekerjaan di luar rumah dulu.
Baru-baru ini Supernova edisi pertama diterbitkan dalam bahasa Inggris. Bagaimana ceritanya, apakah memang ditargetkan karya-karya lain juga akan dibuat versi Inggrisnya?
Untuk penerjemahan juga tidak menjadi target saya, karena memang hal tersebut sifatnya situasional. Artinya, jika ada penerbit yang merasa sebuah naskah asing memiliki pangsa pasar dan bisa memasarkan, maka tawaran itu datang. Hal tersebut juga berkaitan dengan ketertarikan masyarakat internasional pada karya sastra Indonesia. Tentunya saya akan merasa sangat senang jika ada tawaran penerjemahan karya-karya saya, tapi bagi saya itu bukan hal yang jadi prioritas.
Yang ketujuh, setelah Perahu Kertas (2009).
Kenapa memilih kembali menghadirkan bentuk antologi?
Karya-karya saya termasuk cukup beragam bentuknya, tidak hanya novel. Ada cerita pendek, novelet, puisi, dan lain-lain. Jadi, format antologi ini saya gunakan untuk menampung karya-karya non-novel, yang ketika sudah berjalan sekian tahun, volumenya semakin banyak dan bisa diterbitkan menjadi buku. Filosofi Kopi, misalnya, adalah kumpulan variasi karya saya selama satu dekade. Madre juga seperti itu bentuknya, yakni kumpulan variasi karya saya selama lima tahun terakhir.
Ada berapa cerita pendek dalam antologi Madre?
13 cerita.
Berapa lama menyelesaikan Madre?
Karena Madre berbentuk antologi selama lima tahun terakhir, beberapa di antaranya sudah banyak yang selesai, meski semua naskah tetap harus disunting ulang. Tapi ada juga naskah baru yang memang dibuat tahun ini, yakni Madre itu sendiri. Selain itu ada juga beberapa naskah lama yang saya tulis ulang dan selesaikan, seperti "Menunggu Layang-layang" dan "Have You Ever?".
Mengapa terpikir untuk meminta Sitok Srengenge sebagai editor untuk Madre? Ada pertimbangan khusus?
Saya kenal Mas Sitok secara pribadi, dan mengagumi karya-karyanya. Sebetulnya waktu itu saya justru tanya ke Mas Sitok, editor mana yang ia rekomendasikan. Mas Sitok tahu-tahu malah menawarkan diri, padahal jadwal beliau sangat padat. Bagi saya, ini kesempatan yang sangat istimewa. Mas Sitok punya kepekaan bahasa yang baik, dan karena beliau juga bergerak di bidang penerbitan, ia terbiasa jeli menghadapi naskah. Jadi, kemampuan beliau sangat unik.
Kisah Madre sendiri, mengapa tergerak membuat cerita tentang roti?
Saya senang masak dan makan. Sejak dulu ingin sekali membuat cerita tentang makanan. Memilih roti sebenarnya tidak diniatkan sejak awal. Ide itu baru terpicu ketika saya ikut kursus membuat roti, dan instruktur saya bercerita tentang bedanya ragi instan dan ragi yang dikulturkan, yang biasanya disebut starter dough atau adonan biang. Saya langsung tertarik. Setelah saya riset, saya makin kagum. Bayangkan, adonan biang bisa bertahan ratusan tahun dan menjadi ibu bagi entah berapa banyak roti, seperti Boudin Bakery di San Fransisco. Waktu kecil, saya pun pernah berlangganan roti seperti itu. Sayangnya, toko roti tersebut tergusur zaman dan sekarang tutup. Bagi saya semua hal tadi memiliki elemen yang sangat kaya untuk diwujudkan dalam cerita.
Kalau melihat secara keseluruhan, kisah paling favorit dari antologi Madre?
Itu pertanyaan sulit, karena bagi saya semua cerita punya pemicu, kenangan, dan proses kreatif yang berbeda-beda. Kisah berjudul "Madre" tentunya istimewa karena saya memang sudah lama ingin membuat cerita tentang makanan, dan "Madre" memang menjadi cerita utama di buku. Saya juga punya kesan mendalam pada cerita "Semangkok Acar untuk Cinta dan Tuhan", bagi saya cerita itu sangat merepresentasikan apa yang saya rasakan dan alami secara spiritual.
Apa yang membuat Madre berbeda dari karya-karya Dee sebelumnya?
Sejauh ini, setiap buku saya memang beda-beda, ya. Madre, misalnya, walaupun mirip formatnya dengan Filosofi Kopi, tapi jika ditelaah isinya "citarasa"-nya berbeda. Menurut saya, yang "khas" dari Madre ini adalah tema-tema yang diangkat. Benang merahnya cukup jelas. Tema spiritualitas, re-birth, reinkarnasi, banyak muncul dalam antologi Madre.
Sudah adakah rencana untuk buku berikutnya?
Untuk 2-3 tahun ke depan, saya memang berencana untuk menulis marathon. Jadi proses kerja saya hampir tak terputus. Sesudah ini saya mau menyelesaikan serial Supernova, Sudah setahun ini, sejak mempersiapkan Madre, saya mengurangi aktivitas di luar untuk fokus menulis dulu. Target saya sesudah ini adalah buku keempat Supernova yakni "Partikel".
Apakah buku Madre juga berencana dibuat film?
Untuk produksi film tidak pernah menjadi target buat saya. Kalau ada yang tertarik, dan rasanya berjodoh, ya mungkin bisa jalan. Tapi kalau tidak pun tidak apa-apa.
Apakah buku Madre ini juga punya karya musik pendamping, misalnya soundtrack?
Tidak ada, karena memang konsepnya Madre ini murni buku fiksi saja.
Apakah sekarang berencana lebih fokus ke menulis saja, ketimbang di bidang musik?
Meski musik merupakan minat dan profesi saya, dalam menetapkan prioritas saya lebih melihat situasi. Saat ini saya sedang ingin lebih banyak di rumah, membesarkan anak-anak, terutama Atisha yang belum 2 tahun. Untuk itu, saat ini saya lebih condong ke menulis karena saya dimungkinkan lebih banyak di rumah ketimbang jika saya beraktivitas di musik.
Seberapa jauh efektivitas media sosial yang Dewi gunakan untuk meluncurkan buku terbaru kali ini?
Media sosial, khususnya Twitter, sekarang adalah sarana utama saya berkomunikasi dengan pembaca. Lewat media sosial, saya bisa kasih informasi, bikin kuis, berinteraksi, dari yang sifatnya pekerjaan sampai ngalor ngidul. Bahkan untuk Madre, melalui Twitter saya dan penerbit bisa membuat momen pre-sale yang cukup sukses.
Bagaimana selama ini menyeimbangkan waktu dan tenaga antara proses menulis dengan merawat bayi, terutama waktu membuat Madre?
Jujur saja, tidak terlalu mudah. Saya harus membiasakan diri kerja dengan interval pendek-pendek karena nggak bisa meninggalkan anak saya terlalu lama. Padahal kalau menulis itu saya terbiasa menghabiskan waktu berjam-jam sekali duduk. Tapi saat ini, sih, sudah mulai terbiasa dengan itu. Konsekuensinya ya saya nggak terima pekerjaan di luar rumah dulu.
Baru-baru ini Supernova edisi pertama diterbitkan dalam bahasa Inggris. Bagaimana ceritanya, apakah memang ditargetkan karya-karya lain juga akan dibuat versi Inggrisnya?
Untuk penerjemahan juga tidak menjadi target saya, karena memang hal tersebut sifatnya situasional. Artinya, jika ada penerbit yang merasa sebuah naskah asing memiliki pangsa pasar dan bisa memasarkan, maka tawaran itu datang. Hal tersebut juga berkaitan dengan ketertarikan masyarakat internasional pada karya sastra Indonesia. Tentunya saya akan merasa sangat senang jika ada tawaran penerjemahan karya-karya saya, tapi bagi saya itu bukan hal yang jadi prioritas.