Which comes first? Lirik atau cerpen? Bila memang
lirik, apakah cerita yang dituangkan dalam cerpen memang persis seperti
inspirasi terhadap pembuatan lirik tersebut?
Dalam proyek ini, semuanya memang berawal dari lirik. Jadi, saya membuat lagunya terlebih dahulu, atau memilih lagu-lagu saya yang liriknya naratif dan bisa digarap menjadi cerita. Tidak semua lirik lagu cocok untuk materi Rectoverso, jadi penyeleksian lagu menjadi tahap yang cukup penting. Penulisan ceritanya sendiri tidak semua identik dengan lirik lagu. Cerita dalam lirik dikembangkan menjadi plot, jadi lebih kompleks. Beberapa cerpen bahkan mengambil sudut pandang berbeda dengan lirik, mis. dalam lagu sudut pandangnya dari si cewek, sementara dalam cerpen sudut pandangnya dari si cowok.
Sebenarnya siapa yang pertama kali come up dengan ide untuk menggabungkan buku dan CD ini? Apakah menurut Anda sebuah lagu memang perlu dilengkapi dengan “cerita lengkap” di baliknya?
Kalau dirunut sejarahnya, saya harus berterima kasih pada Pak Iman Sastrosatomo (ex-MD Warner Music Indonesia), yang dalam suatu obrolan makan siang pada tahun 2006 melontarkan ide itu. Pada waktu itu, saya sedang mengajukan demo album saya, dan Pak Iman bilang, kenapa tidak mencoba menempelkan profesi kepenulisan saya dengan album tersebut, dengan misalnya menambahkan puisi, dst. Saya jadi teringat, kebetulan sekali saya memang baru melakukan “eksperimen”, yakni membuat cerpen dari lirik lagu yang baru saya buat (Hanya Isyarat). Lalu saya mulai mencoba membuat cerpen-cerpen lain dari lirik lagu yang saya pilih, dan ternyata saya sangat puas dengan hasilnya. Lalu saya memilih judul Rectoverso untuk proyek coba-coba ini, sampai akhirnya proyek ini serius diwujudkan.
Selain judul yang sama antara lagu dan cerita pendek untuk menerjemahkan konsep Rectoverso yang berarti cermin, apakah ada hal lain (misal lirik dan alur cerita) yang Anda lakukan agar kedua karya yang terpisah tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh?
Rectoverso lebih tepatnya analogis dengan konsep “saling melengkapi”. Selain dengan me-rectoverso-kan lirik dan lagu, perkawinan tsb dipererat lagi dengan aspek desain dan grafis. Agar lebih hidup lagi, saya menambahkan satu elemen lagi yakni ilustrasi. Selain itu, desain packaging produk ini juga menjadi hal yang penting, karena ini bisa memperkaya dan memperkuat konsep Rectoverso.
Personally, Anda lebih merekomendasikan mana, mendengarkan lagunya terlebih dulu atau justru cerita pendek. Mengapa?
Tidak jadi masalah dimulai di mana, yang jelas harus diakhiri dengan menikmati kedua-duanya. Jangan hanya “sebelah”. Karena Rectoverso ini memang dibuat untuk saling melengkapi, jadi pengalaman menikmatinya pun baru komplet jika menyimak kedua-duanya, baik cerita maupun musik.
Apakah tema cinta mendominasi keseluruhan syair dan buku Anda? Mengapa demikian?
Iya. Saya memang meniatkan karya ini menjadi karya yang romantis sekaligus memorable. Kisah cinta sendiri adalah satu hal yang bisa menyentuh lubuk terdalam hati setiap manusia. Jika disajikan dengan konsep yang unik, maka sebuah karya bernapaskan cinta bisa menjadi tak terlupakan. Itu yang saya harapkan bisa dicapai lewat Rectoverso.
Menurut Anda seberapa besar para pembaca sekaligus penikmat musik bisa relate dengan berbagai tema yang diangkat dalam setiap lagu dan cerita?
Semua yang saya angkat dalam Rectoverso adalah masalah cinta yang umumnya terjadi dalam dinamika hati manusia sehari-hari. Nothing new. Penyajiannya saja yang berbeda, yakni lewat racikan Dewi Lestari, lengkap dengan style dan cara saya pribadi. Tapi kalau dilihat dari esensi kisahnya, saya pikir semua orang bisa relate dengan cerpen maupun lagu dalam Rectoverso.
Berapa lama waktu yang dihabiskan untuk keseluruhan proyek ini?
Saya mulai membuat mengerjakan cerpen pertama dari tahun 2006. Tapi bisa dibilang, pengerjaan Rectoverso yang paling intens dikerjakan pada tahun 2007. Rekamannya sendiri sangat cepat, karena kami memakai konsep live. Jadi dalam seminggu, semua rekaman musik dan vokal 95% selesai. Sisanya hanya revisi dan penambahan. Untuk keseluruhan ceritanya sendiri selesai di bulan Januari 2008.
Kesulitan apa saja yang sempat dihadapi saat menggarapnya?
Tantangannya banyak banget. Pertama, dari aspek rekaman, adalah membuat mekanisme rekaman ini seefektif mungkin karena melibatkan sangat banyak pemain. Kedua, secara mekanisme dagang, Rectoverso bisa dibilang produk yang penuh teka-teki, karena nggak ada acuan produk serupa sebelum ini. Sifatnya yang “hibrida” (setengah buku dan setengah musik) membuat Rectoverso tidak bisa diperlakukan dengan sistem yang standar.
Setelah beberapa lama fokus dengan permainan kata-kata, apa rasanya “kembali” ke dunia tarik suara?
Menyegarkan. Apalagi waktu proses rekaman dan latihan. Harap-harap cemas juga ada, karena sudah cukup lama saya nggak masuk lagi ke industri dengan album bahasa Indonesia. Terakhir waktu RSD. Saya nggak tahu pasti apakah musik saya pas dengan tren yang sedang berlaku. Saya sih berharap karya ini bisa jadi karya yang timeless.
Proyek ini melibatkan banyak pihak, apakah aransemen Andi Rianto dan Ricky Lionardi serta ilustrasi oleh SubForm sesuai dengan konsep yang Anda bayangkan sejak awal untuk karya ini?
Sejujurnya enggak. Yang pertama kali saya bayangkan, Rectoverso ini proyek yang sederhana banget, minimalis. Setelah ada investor merangkap eksekutif produser (Ignatius Andy), dan juga masuknya Tommy P. Utomo dan Ruzie Firuzie sebagai produser, barulah Rectoverso menjadi bentuk dan skalanya yang sekarang ini.
Rectoverso ini Anda nyatakan sebagai karya yang berkualitas, hal apa saja yang Anda lakukan supaya nuansa premium tersebut benar-benar bisa dirasakan oleh setiap orang yang menikmatinya?
Semua elemen dari Rectoverso digarap dengan sangat, sangat serius. Dan yang lebih penting lagi, dibuat dengan hati. Semua orang yang terlibat di sini betul-betul mencurahkan yang terbaik yang bisa mereka kasih. Semua material tulisan, ilustrasi, musik, kualitas rekaman, di atas kertas maupun secara hati, bisa dibilang premium semua. Tapi yang paling penting agar karya ini bisa dinikmati secara optimal oleh pendengar/pembaca, adalah dengan menikmati kedua ‘wajah’-nya. Jangan cuma sebelah. Jadi kalau mendengarkan musiknya, baca juga bukunya. Dan sebaliknya. Baru di sana, Rectoverso bisa diapresiasi secara maksimal.
Apa yang membuatnya “lain” dari karya yang sudah ada? Benarkah baru pertama kali hal ini dilakukan di Indonesia? Jelaskan.
Sejauh yang saya tahu, ini memang yang pertama. Sudah ada beberapa buku yang diselipkan CD musik, antara lain: Kionelle dari Rio Aminoto yang punya soundtrack yang diisi berbagai musisi dan aneka lagu, ada juga dari Andrei Aksana yang konsepnya juga soundtrack dari buku, lalu Yuni Shara dan Tamara Geraldine juga berkolaborasi membuat buku dan album sama-sama bertajuk “35”. Tapi, Rectoverso berasal dari kreator yang sama, baik CD dan bukunya. Lebih lanjut lagi, CD-nya bukan soundtrack dari buku, atau bukunya merupakan “bonus” dari CD. Keduanya adalah karya yang berkorelasi langsung dan saling melengkapi. Jadi satu kesatuan utuh. Bukan untuk dihayati secara terpisah, meskipun secara independen mereka bisa dinikmati satu-satu.
Apakah karya ini memperbolehkan Anda untuk menggali dan mengasah semua kemampuan, mengingat Anda tak hanya menulis, menggubah tapi juga menyanyikannya?
Iya. Di sinilah saya benar-benar menampilkan semua talenta saya secara utuh.
Terakhir, apa hal utama yang ingin Anda tawarkan kepada pembaca dan penikmat buku dengan karya fiksikalisasi ini? Bisa tolong dijelaskan?
Sebuah karya yang romantis, menyentuh, berkualitas, timeless. Sesuatu yang mudah-mudahan bisa mengisi sekaligus hidup dalam hati pembaca/pendengar Rectoverso untuk selamanya.
Dalam proyek ini, semuanya memang berawal dari lirik. Jadi, saya membuat lagunya terlebih dahulu, atau memilih lagu-lagu saya yang liriknya naratif dan bisa digarap menjadi cerita. Tidak semua lirik lagu cocok untuk materi Rectoverso, jadi penyeleksian lagu menjadi tahap yang cukup penting. Penulisan ceritanya sendiri tidak semua identik dengan lirik lagu. Cerita dalam lirik dikembangkan menjadi plot, jadi lebih kompleks. Beberapa cerpen bahkan mengambil sudut pandang berbeda dengan lirik, mis. dalam lagu sudut pandangnya dari si cewek, sementara dalam cerpen sudut pandangnya dari si cowok.
Sebenarnya siapa yang pertama kali come up dengan ide untuk menggabungkan buku dan CD ini? Apakah menurut Anda sebuah lagu memang perlu dilengkapi dengan “cerita lengkap” di baliknya?
Kalau dirunut sejarahnya, saya harus berterima kasih pada Pak Iman Sastrosatomo (ex-MD Warner Music Indonesia), yang dalam suatu obrolan makan siang pada tahun 2006 melontarkan ide itu. Pada waktu itu, saya sedang mengajukan demo album saya, dan Pak Iman bilang, kenapa tidak mencoba menempelkan profesi kepenulisan saya dengan album tersebut, dengan misalnya menambahkan puisi, dst. Saya jadi teringat, kebetulan sekali saya memang baru melakukan “eksperimen”, yakni membuat cerpen dari lirik lagu yang baru saya buat (Hanya Isyarat). Lalu saya mulai mencoba membuat cerpen-cerpen lain dari lirik lagu yang saya pilih, dan ternyata saya sangat puas dengan hasilnya. Lalu saya memilih judul Rectoverso untuk proyek coba-coba ini, sampai akhirnya proyek ini serius diwujudkan.
Selain judul yang sama antara lagu dan cerita pendek untuk menerjemahkan konsep Rectoverso yang berarti cermin, apakah ada hal lain (misal lirik dan alur cerita) yang Anda lakukan agar kedua karya yang terpisah tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh?
Rectoverso lebih tepatnya analogis dengan konsep “saling melengkapi”. Selain dengan me-rectoverso-kan lirik dan lagu, perkawinan tsb dipererat lagi dengan aspek desain dan grafis. Agar lebih hidup lagi, saya menambahkan satu elemen lagi yakni ilustrasi. Selain itu, desain packaging produk ini juga menjadi hal yang penting, karena ini bisa memperkaya dan memperkuat konsep Rectoverso.
Personally, Anda lebih merekomendasikan mana, mendengarkan lagunya terlebih dulu atau justru cerita pendek. Mengapa?
Tidak jadi masalah dimulai di mana, yang jelas harus diakhiri dengan menikmati kedua-duanya. Jangan hanya “sebelah”. Karena Rectoverso ini memang dibuat untuk saling melengkapi, jadi pengalaman menikmatinya pun baru komplet jika menyimak kedua-duanya, baik cerita maupun musik.
Apakah tema cinta mendominasi keseluruhan syair dan buku Anda? Mengapa demikian?
Iya. Saya memang meniatkan karya ini menjadi karya yang romantis sekaligus memorable. Kisah cinta sendiri adalah satu hal yang bisa menyentuh lubuk terdalam hati setiap manusia. Jika disajikan dengan konsep yang unik, maka sebuah karya bernapaskan cinta bisa menjadi tak terlupakan. Itu yang saya harapkan bisa dicapai lewat Rectoverso.
Menurut Anda seberapa besar para pembaca sekaligus penikmat musik bisa relate dengan berbagai tema yang diangkat dalam setiap lagu dan cerita?
Semua yang saya angkat dalam Rectoverso adalah masalah cinta yang umumnya terjadi dalam dinamika hati manusia sehari-hari. Nothing new. Penyajiannya saja yang berbeda, yakni lewat racikan Dewi Lestari, lengkap dengan style dan cara saya pribadi. Tapi kalau dilihat dari esensi kisahnya, saya pikir semua orang bisa relate dengan cerpen maupun lagu dalam Rectoverso.
Berapa lama waktu yang dihabiskan untuk keseluruhan proyek ini?
Saya mulai membuat mengerjakan cerpen pertama dari tahun 2006. Tapi bisa dibilang, pengerjaan Rectoverso yang paling intens dikerjakan pada tahun 2007. Rekamannya sendiri sangat cepat, karena kami memakai konsep live. Jadi dalam seminggu, semua rekaman musik dan vokal 95% selesai. Sisanya hanya revisi dan penambahan. Untuk keseluruhan ceritanya sendiri selesai di bulan Januari 2008.
Kesulitan apa saja yang sempat dihadapi saat menggarapnya?
Tantangannya banyak banget. Pertama, dari aspek rekaman, adalah membuat mekanisme rekaman ini seefektif mungkin karena melibatkan sangat banyak pemain. Kedua, secara mekanisme dagang, Rectoverso bisa dibilang produk yang penuh teka-teki, karena nggak ada acuan produk serupa sebelum ini. Sifatnya yang “hibrida” (setengah buku dan setengah musik) membuat Rectoverso tidak bisa diperlakukan dengan sistem yang standar.
Setelah beberapa lama fokus dengan permainan kata-kata, apa rasanya “kembali” ke dunia tarik suara?
Menyegarkan. Apalagi waktu proses rekaman dan latihan. Harap-harap cemas juga ada, karena sudah cukup lama saya nggak masuk lagi ke industri dengan album bahasa Indonesia. Terakhir waktu RSD. Saya nggak tahu pasti apakah musik saya pas dengan tren yang sedang berlaku. Saya sih berharap karya ini bisa jadi karya yang timeless.
Proyek ini melibatkan banyak pihak, apakah aransemen Andi Rianto dan Ricky Lionardi serta ilustrasi oleh SubForm sesuai dengan konsep yang Anda bayangkan sejak awal untuk karya ini?
Sejujurnya enggak. Yang pertama kali saya bayangkan, Rectoverso ini proyek yang sederhana banget, minimalis. Setelah ada investor merangkap eksekutif produser (Ignatius Andy), dan juga masuknya Tommy P. Utomo dan Ruzie Firuzie sebagai produser, barulah Rectoverso menjadi bentuk dan skalanya yang sekarang ini.
Rectoverso ini Anda nyatakan sebagai karya yang berkualitas, hal apa saja yang Anda lakukan supaya nuansa premium tersebut benar-benar bisa dirasakan oleh setiap orang yang menikmatinya?
Semua elemen dari Rectoverso digarap dengan sangat, sangat serius. Dan yang lebih penting lagi, dibuat dengan hati. Semua orang yang terlibat di sini betul-betul mencurahkan yang terbaik yang bisa mereka kasih. Semua material tulisan, ilustrasi, musik, kualitas rekaman, di atas kertas maupun secara hati, bisa dibilang premium semua. Tapi yang paling penting agar karya ini bisa dinikmati secara optimal oleh pendengar/pembaca, adalah dengan menikmati kedua ‘wajah’-nya. Jangan cuma sebelah. Jadi kalau mendengarkan musiknya, baca juga bukunya. Dan sebaliknya. Baru di sana, Rectoverso bisa diapresiasi secara maksimal.
Apa yang membuatnya “lain” dari karya yang sudah ada? Benarkah baru pertama kali hal ini dilakukan di Indonesia? Jelaskan.
Sejauh yang saya tahu, ini memang yang pertama. Sudah ada beberapa buku yang diselipkan CD musik, antara lain: Kionelle dari Rio Aminoto yang punya soundtrack yang diisi berbagai musisi dan aneka lagu, ada juga dari Andrei Aksana yang konsepnya juga soundtrack dari buku, lalu Yuni Shara dan Tamara Geraldine juga berkolaborasi membuat buku dan album sama-sama bertajuk “35”. Tapi, Rectoverso berasal dari kreator yang sama, baik CD dan bukunya. Lebih lanjut lagi, CD-nya bukan soundtrack dari buku, atau bukunya merupakan “bonus” dari CD. Keduanya adalah karya yang berkorelasi langsung dan saling melengkapi. Jadi satu kesatuan utuh. Bukan untuk dihayati secara terpisah, meskipun secara independen mereka bisa dinikmati satu-satu.
Apakah karya ini memperbolehkan Anda untuk menggali dan mengasah semua kemampuan, mengingat Anda tak hanya menulis, menggubah tapi juga menyanyikannya?
Iya. Di sinilah saya benar-benar menampilkan semua talenta saya secara utuh.
Terakhir, apa hal utama yang ingin Anda tawarkan kepada pembaca dan penikmat buku dengan karya fiksikalisasi ini? Bisa tolong dijelaskan?
Sebuah karya yang romantis, menyentuh, berkualitas, timeless. Sesuatu yang mudah-mudahan bisa mengisi sekaligus hidup dalam hati pembaca/pendengar Rectoverso untuk selamanya.