Showing posts with label Spiritualitas. Show all posts
Showing posts with label Spiritualitas. Show all posts

Thursday, April 2, 2020

Blog Putra Sasmita | Profil & Teknik Menulis | Mei, 2017 | Putra Sasmita

Bagaimana Anda memulai menulis novel? Apakah Anda membuat outline sebelum menulis?

Dari waktu ke waktu, teknik maupun metode saya menulis terus saya perbarui. Dulu saya menulis tanpa outline, walau hampir selalu membuat semacam peta cerita meski sederhana. Sekarang saya selalu membuat outline dan time table. Jadi, bukan hanya konten yang saya petakan, tapi sama pentingnya adalah jadwal kerja. Saya memberlakukan pemakaian outline hanya untuk novel. Prosa singkat, cerpen, atauapun novelet, biasanya saya tulis spontan.

Apa Anda punya target harian?

Ada. Bisa bervariasi sesuai kebutuhan. Untuk draf pertama, hitungan saya biasanya adalah jumlah kata. 1000 kata per hari. Jika sudah mendekati akhir cerita, lebih ke target ke berapa adegan yang bisa saya selesaikan (karena jalan cerita sudah semakin jelas). Pada tahap editing, target saya adalah menyunting sekian bab per hari (jumlahnya bergantung ada berapa banyak bab dan berapa lama waktu yang saya punya sebelum target cetak – yang biasanya saya tentukan sendiri).

Tampaknya Anda begitu disiplin dalam menulis. Anda memiliki target-target yang jelas, bahkan sampai target cetak yang Anda tentukan sendiri. Apakah kedisiplinan ini sudah ditanam oleh keluarga Anda sejak kecil?

Kedisiplinan menulis saya tumbuhnya berangsur, tidak serta merta, semata-mata karena akhirnya saya menemukan dan merasakan sendiri bahwa disiplin memiliki manfaat yang nyata bagi produktivitas kepenulisan saya sekaligus merupakan cara kerja yang realistis dengan kondisi saya yang berkeluarga. Pada aspek lain, saya orangnya cenderung santai.

Apakah Anda mengedit saat menulis atau setelahnya?

Tahapan pertama adalah penuntasan draf pertama. Melakukan penyuntingan pada tahap ini bagi saya kontraproduktif, karena bisa memperlambat jadwal kerja. Saya melakukan penyuntingan menyeluruh setelah draf pertama selesai. Ada kalanya di tengah jalan (biasanya mulai memasuki babak 2B), saya harus berhenti sejenak untuk meninjau ulang jalan cerita. Tapi, saya batasi untuk tidak jadi menyunting seluruh naskah, karena buat saya beda banget setting berpikir antara menulis dan menyunting. Kalau menulis saya harus di dalam cerita. Kalau menyunting saya harus di luar cerita. Kalau sudah di luar, cukup sulit untuk balik lagi ke dalam. Jadi, lebih baik penyuntingan dilakukan setelah draf pertama selesai.

Apa Anda punya rutinitas selama menulis?

Saya sudah mencoba berbagai macam jadwal dan kebiasaan. Dari menulis malam sampai menulis subuh. Dari nulis di keramaian sampai menulis sendirian. Saat ini saya cenderung menulis pagi hari hingga setelah makan siang, umumnya sebelum anak saya pulang sekolah. Biasanya saya olah raga dulu, mandi, ngopi, baru mulai menulis. Yang penting buat saya adalah tidak diinterupsi (diajak ngobrol). Tidak masalah dalam keramaian atau kesendirian.

Maya Angelou bercerita, saat menulis Ia akan menyewa sebuah kamar hotel dan harus ada sebotol Sherry, kamus, thesaurus, notepad, asbak, dan Injil. Bagaimana dengan Anda? Boleh gambarkan sedikit seperti apa ruang kerja Anda? Adakah kebiasaan yang Anda lakukan sambil menulis, misalnya sambil mendengarkan musik?

Saat ini saya sedang tidak punya ruang kerja khusus, biasanya saya menulis di kamar atau meja makan. Kalau di luar rumah, saya biasanya bekerja di kedai kopi. Saya berusaha tidak usah banyak “benda ritualistik” agar tidak repot. Yang penting ada air putih dan suhu ruangan tidak terlalu dingin/terlalu panas agar bisa menulis nyaman (saya menghindari tempat duduk yang terlalu dekat dengan tiupan angin AC). Kamus saya biasa pakai aplikasi KBBI, jadi tidak pakai versi cetak lagi. Terkecuali jika ada beberapa buku atau kamus spesifik yang saya butuhkan berkenaan dengan cerita. Musik tidak wajib, hanya kalau dirasa perlu. Kadang-kadang saya gunakan untuk membangun suasana saat menulis adegan tertentu. Tapi, tanpa musik juga bisa.

Siapa yang membaca draf pertama tulisan Anda?

Biasanya suami. Habis itu baru saya bagikan ke beberapa orang beta reader, yang biasanya teman-teman di penerbit.

Apakah suami Anda memberikan masukan?

Iya, dan juga kesannya terhadap cerita.

Ketika mengedit atau menulis, apakah Anda membaca keras-keras (read out loud)?

Iya. Tidak terus-terusan dalam setiap kali menyunting, tapi hampir selalu saya mengetes kalimat saya dengan membunyikannya (membacanya dengan bersuara).

Tema spiritualitas dan sains kerap muncul di serial Supernova, bagaimana Anda menggabungkan dua hal yang kelihatannya berseberangan ini ke dalam karya tulis Anda?

Bagi saya, justru keduanya tidak berseberangan, malah berkaitan. Dan keterkaitan itu yang menarik untuk ditulis. Tidak ada metode khusus untuk menggabungkan keduanya selain berusaha membangun cerita yang solid.

Bisa tolong jelaskan bagaimana Anda melihat keterkaitan spiritualitas dan sains?

Sains dan spiritualitas sama-sama bertujuan mengungkap realitas, memahami manusia, dan mekanisme kehidupan.

Sepertinya Ibu Dee tertarik dengan spiritualitas, sains, dan filsafat. Bagaimana ketertarikan ini bermula? Apakah Anda memiliki pengalaman pribadi?

Kalau saya ingat-ingat, memang hal-hal itu yang menarik minat saya sejak kecil. Mungkin belum saya bahasakan sebagai spiritualitas-sains-filsafat, tapi saya sering melamunkan bagaimana kehidupan ini bermula, dan buat apa saya (dan manusia lain) hidup dan terlahir di Bumi.

Apakah karena ini Anda menulis fiksi? Untuk mengungkap realitas, memahami manusia, dan menjelaskan mekanisme kehidupan?

Yang saya ungkapkan di atas itu lebih tepat sebagai alasan saya menulis Supernova. Karya fiksi saya yang lain tidak semuanya setema dengan Supernova. Saya menulis fiksi pada dasarnya karena saya suka seni bercerita.

Apakah pop culture ada pengaruhnya terhadap karya-karya Anda?

Saya tidak pernah benar-benar menyadari atau menyengajakannya, tapi saya percaya kita semua terpengaruh oleh budaya apa pun yang berlaku pada zaman kita hidup. Karena saya hidup dan besar di zaman ketika pop culture ada, tentunya saya terpengaruh. Seberapa banyak dan seberapa besar, saya tidak mengukurnya.

Bagaimana Anda melakukan riset untuk karya-karya Anda?

Riset yang saya lakukan umumnya dua macam. Riset langsung dan tidak langsung. Riset langsung contohnya ketika saya ke Sianjur Mula-mula untuk penulisan Gelombang, atau mencoba terapi listrik ketika menulis Petir. Namun, tidak semua kebutuhan riset bisa saya penuhi melalui riset langsung. Biasanya karena keterbatasan waktu. Misalnya, ketika saya masih punya bayi yang nggak bisa saya tinggal-tinggal, otomatis saya tidak bisa bepergian, meski kebutuhan cerita menuntut saya menulis berbagai tempat yang belum pernah saya kunjungi. Untuk itu saya melakukan riset tidak langsung, melalui riset pustaka (membaca buku, atau browsing), riset video / dokumenter, dan wawancara narasumber.

Pembaca bisa menduga bahwa Anda tentunya melakukan riset mendalam untuk karya-karya Anda. Biasanya yang terjadi apakah Anda meriset setelah menentukan cerita (plot, karakter, dsb) atau sebaliknya, riset dulu baru dicocokkan dengan cerita dan karakter? 

Keduanya bisa berjalan paralel. Hasil riset bisa menentukan jalan cerita. Jalan cerita juga bisa menentukan kebutuhan riset. Biasanya saya melakukan riset di awal, tapi hampir selalu saya mengecek banyak hal selama proses menulis berjalan, jadi bisa dibilang berjalan paralel.

Karakter-karakter yang Anda ciptakan tergambar kuat di benak pembaca. Apakah Anda membayangkan orang tertentu di dunia nyata saat menciptakan karakter?

Setiap karakter yang saya buat bagai kain perca. Ada campuran orang nyata (biasanya saya ambil nama, profesi, ciri fisik – dan jumlahnya lebih dari satu) dan imajinasi saya sendiri. Tidak pernah ada orang tertentu di dunia nyata yang benar-benar saya ambil utuh menjadi karakter.

Apakah bagi Anda proses menulis cerpen dan puisi serupa dengan proses menulis novel?

Beda. Puisi cenderung spontan. Cerpen memiliki perencanaan seperti halnya novel tapi jauh lebih sederhana. Tantangan cerpen buat saya adalah membuat kejutan dan fokus yang tajam. Sementara novel ibarat lari marathon, persiapannya panjang, prosesnya panjang, dan butuh stamina yang luar biasa.

Menurut Anda adakah persamaan proses menulis dengan menciptakan lagu?
Ketika saya menulis lagu, intinya juga saya membuat cerita. Tantangannya berbeda. Dalam lagu, efektivitas kata menjadi amat penting. Kita membuat cerita seutuh mungkin dalam durasi terbatas, dengan suku kata yang harus pas dengan melodi. Selain itu, dalam pembuatan lagu ada aspek menciptakan melodi dan menyusun aransemen. Tapi intinya sama-sama membuat cerita.

Ada yang mengatakan menulis lagu dan menulis puisi berkaitan. Bagaimana menurut Anda?

Kurang lebih prinsipnya sama, tapi tentunya di lagu ada melodi. Jadi ada aspek lain yang harus diperhatikan ketimbang puisi. Juga ada keterbatasan dalam lagu karena mengikuti durasi dan struktur tertentu (bait, reff, dsb).

Adakah penulis yang berpengaruh terhadap gaya penulisan Anda? Apakah Graham Hancock memiliki pengaruh dalam gaya penulisan Anda?

Untuk gaya menulis, saya tidak pernah terlalu menyadari. Mungkin karena bacaan saya juga kebanyakan nonfiksi. Graham Hancock dan penulis-penulis nonfiksi lainnya memengaruhi saya dalam hal konten, bukan gaya menulis. Gaya menulis lebih banyak bisa kita dapat dari penulis fiksi. Untuk metafora saya mengagumi Sapardi Djoko Damono. Untuk plot, penulis-penulis seperti Dan Brown, JK. Rowling, James Patterson, Alfred Hitchcock, Michael Crichton, Stephen King, amat patut dipelajari. Penulis seperti John Green dan Margaret Atwood menurut saya pintar memainkan emosi. Dan, ada penulis-penulis lain yang temanya unik dan kuat seperti Yan Martell, Alan Lightman, Paulo Coelho. Setiap yang saya baca pasti meninggalkan pengaruh, tapi karena kekuatan masing-masing penulis berbeda dan tampaknya yang saya serap juga berbeda-beda, saya tidak menunjuk satu-dua nama saja. Gaya penulisan merupakan kumulasi dari begitu banyak hal yang kita baca maupun gali dari diri kita sendiri.

Kalau saya tidak salah lagu Anda "Satu Bintang Di Langit Kelam" terinspirasi puisi SDD "Hujan Di Bulan Juni". Adakah karya Beliau lainnya yang Anda sukai? Bagaimana Anda menilainya?

SBDLK tidak terinspirasi HBJ. Tapi gaya menulis lirik saya berubah setelah membaca buku HBJ. Lebih metaforis dan puitis. Secara umum saya menyukai puisi-puisi Beliau. Saya menyukai metaforanya, kepekaannya memilih kata, dan ritme kalimatnya.

Apa yang Anda dapatkan dari menulis puisi/lagu yang tidak Anda dapatkan dari menulis novel?

Saya merasa hampir tidak pernah menulis puisi. Prosa pendek, iya. Lagu, iya. Yang tidak didapatkan dari menulis novel dibandingkan keduanya tadi tentu saja adalah perkawinan kata dengan melodi serta keleluasaan waktu. Secara durasi pengerjaan membuat novel jauh lebih panjang dan lebih rumit.

Ketika mengadaptasi novel Anda menjadi naskah film apa saja tantangannya? Sejauh mana keterlibatan Anda dalam setiap adaptasi film?

Keterlibatan saya berbeda-beda di setiap film. Ada yang terlibat sampai menjadi penulis skenario seperti di Perahu Kertas, ada juga yang tidak terlibat sama sekali seperti Madre dan Supernova KPBJ. Ada juga yang terlibat secara konsultatif, seperti Rectoverso, Filosofi Kopi 1, dan Filosofi Kopi 2. Dari cerpen menjadi film menurut saya tidak terlampau sukar karena biasanya yang terjadi pengembangan. Sementara masalah atau pun pendapat yang kontra biasanya muncul karena terjadi pemotongan/pengurangan dari cerita asli. Biasanya itu terjadi dalam adaptasi dari novel. Tantangannya tentu karena buku dan film merupakan medium yang berbeda, produk dari dua industri yang berbeda, yang mana keduanya punya aturan dan pakem sendiri. Dalam film, kita bicara durasi, pemain, penyutradaraan, sinematografi, investasi produser, dan banyak faktor lain yang tidak ada di buku. Saya sendiri melihat bahwa dalam adaptasi ke film, yang berkarya adalah para pembuat film, bukan penulis. Begitu juga ketika saya menjadi penulis skenario. Film akan “ditulis ulang” oleh sutradara dan editor, jadi skrip saya bukan satu-satunya patokan. Pada prinsipnya, yang terjadi adalah kompromi dan bagaimana kita bisa menjembatani keinginan dan kepentingan banyak pihak.

Bagaimana perasaan Anda setelah melihat hasil akhirnya di film?

Bergantung hasilnya. Tapi, dari setiap film akan selalu ada hal yang saya sukai, ada yang tidak. Sama-sama saja seperti kita melihat film lain sebetulnya, tapi tentu ada kebanggaan karena melihat bagaimana karya kita bertransformasi menjadi bentuk lain, dan film adalah hasil kerja keras banyak orang. Membayangkan bagaimana sebegitu banyak orang berupaya untuk mewujudkan cerita kita menjadi produk film juga membanggakan sekaligus mengharukan.

Apakah aktif di media sosial adalah salah satu cara Anda menjaga basis pembaca (readership)?

Media sosial bagi saya fungsinya kadang-kadang untuk saluran ekspresi yang personal juga, bersilaturahmi dengan teman-teman lama, dsb. Meski demikian, pemakaian yang utama memang adalah untuk mendukung pekerjaan saya. Pada zaman ini, pembaca memang tidak hanya mengenal karya, tapi bisa juga mengenal penulisnya. Tinggal tergantung seterbuka apa kita menunjukkan dunia kita yang lebih personal. Bagi saya, media sosial adalah cara paling praktis saat ini untuk berkomunikasi langsung dengan pembaca.

Saat menulis apakah Anda membayangkan audiens tertentu?

Sejujurnya, tidak. Saya membayangkan kalau saya yang jadi pembaca. Intinya, saya harus menulis buku yang bisa memikat minat saya. Buku yang bisa membuat saya kepengin terus membaca. Setelah berkali-kali menerbitkan buku tentunya saya bisa membayangkan profil pembaca saya. Tapi ketika berkarya, fokus saya hampir selalu internal.

Kalau saya tidak salah Supernova 1 adalah self-published, kemudian karya berikutnya dicetak penerbit lain. Bagaimana transisi ini terjadi? Adakah pengaruhnya terhadap karya Anda?

Untuk sejarah self-publish Supernova 1 bisa dilihat di arsip saya www.dee-interview.blogspot.co.id ya, karena sudah sering sekali saya bahas.

Menurut Anda bagaimana cara latihan menulis? Apakah penulis harus belajar secara otodidak?

Belajar terbaik menurut saya adalah dengan punya mentalitas ingin belajar terlebih dahulu. Dengan demikian, ketika kita membaca buku orang lain, kita bukan cuma sekadar membaca, melainkan membaca sambil belajar. Belajar mengenali apa yang kita suka, mengenali apa yang kita tidak suka, berusaha mengadopsi apa yang menurut kita baik, dan menghindari apa yang menurut kita tidak baik/tidak cocok. Otodidak atau tidak menurut saya bukan patokan. Kalau memang ada kesempatan ikut workshop, seminar, atau masterclass, mengapa tidak? Tapi, kalau tidak ada kesempatan itu, yang otodidak tidak berarti akan lebih buruk dari yang ikut workshop atau masterclass. Jam terbang akan amat menentukan. Tapi yang lebih menentukan lagi adalah keinginan untuk memperbaiki diri. Dari satu karya ke karya lain, kita harus dengan sadar ingin melakukan perbaikan.

Apakah Anda pernah mengikuti kelas menulis? Jika iya, bisa ceritakan pengalaman Anda? Siapa pengajarnya?

Sejauh ini, saya pernah ikut Masterclass James Patterson, ikut beberapa kursus fiksi dari Steve Alcorn, saya juga pernah mengikuti kursus scriptwriting dari Sue Clayton. Terkecuali dengan Sue Clayton, kedua yang pertama dilakukan secara online.

Anda dikategorikan dalam gerakan "Sastra Wangi" (fragrant literature), tanggapan Anda?

Sastra Wangi tidak ada maknanya buat saya. Itu hanya istilah yang diciptakan media untuk merujuk ke satu masa di awal 2000-an ketika banyak penulis perempuan muncul dan menonjol. Tidak ada substansi lain.

Inspirasi bisa datang dari mana saja. Bagi Anda, apakah inspirasi itu datang dari dalam diri sendiri atau dari luar diri?

Dua-duanya.

Apakah ada hobi yang sedang Anda geluti saat ini?

Memasak dan berenang.

Jika boleh bertanya, buku apa yang sedang Anda kerjakan saat ini?

Saya sedang mengerjakan naskah buku baru, tapi detailnya saat ini belum bisa saya ungkap ke publik.

Setelah menjadi seorang ibu, adakah yang berubah pada diri Anda sebagai seorang penulis?

Perubahan utama adalah jadwal. Saya harus lebih disiplin dan lihai membagi waktu agar semua tugas dan kewajiban saya di rumah tetap terlaksana dan masih bisa berkarya.

Adakah pengaruh seni dari anggota keluarga Anda saat Anda kecil?

Tentunya ada, karena semua anggota keluarga saya suka seni, khususnya gambar dan musik. Semua suka membaca. Jadi, otomatis itu menjadi atmosfer saya sehari-hari di rumah sejak kecil.

Apa kendala teknis (dalam menulis) terberat yang sejauh ini Anda alami?

Bagaimana cara Anda mengatasinya?

Tantangan terbesar saya adalah penataan waktu. Hal tersebut tidak inheren termasuk dalam “teknik” menulis, tapi manajemen waktu menentukan produktivitas kita menulis. Bagaimana cara menjadikan menulis itu “habit”, kemudian merajutnya dalam kehidupan sehari-hari. Kalau kita sudah punya dedikasi untuk menjadikan menulis agenda kita sehari-hari, kesulitan dalam menulis akan terurai dengan sendirinya karena kita sudah punya waktu dan komitmen untuk itu. Tapi, kalau aktivitas menulis masih menjadi hal yang sporadis, nunggu mood, dsb, maka akan banyak perkara teknis dalam menulis yang sulit semata-mata karena kita tidak punya cukup dedikasi dan waktu untuk mencari solusinya. 


Friday, May 12, 2017

Passion Stories (Buku) | Juni, 2016 | Qalbinur Nawawi


Sejak kecil Mbak Dee suka menulis dan menyanyi, namun dengan berjalannya waktu justru bakat menyanyi yang lebih dulu membuahkan hasil. Setelah itu, dalam aktivitas menjadi seorang penyanyi, Mbak Dee menulis novel Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Apa yang menjadi dorongan kuat Mbak untuk menulis pada saat hasil sebagai penyanyi sudah ada dan tinggal di-maintain saja: apakah Anda menulis novel karena terinspirasi dari membaca novel orang, atau mungkin tema yang Mbak Dee angkat belum ada makanya Mbak mau menuliskannya, atau seperti apa?

Sepertinya harus dibedakan antara perspektif karier dan perspektif renjana atau passion. Menulis dan musik adalah hobi dan passion saya sejak kecil, berkarier di kedua bidang tersebut menjadi akibat dari sebuah sebab. Karena saya tidak pernah menjadikan karier musik (dan karier menulis) sebagai sebuah sebab, maka saya tidak berpikir bahwa karier musik sudah cukup untuk itu tidak perlu berkarier menulis. Saya tidak berpikir dari perspektif karier. Saya semata-mata melakukan keduanya dari perspektif passion. Akibat dari itulah, saya jadi punya karier sebagai penyanyi dan penulis. Kalau soal novelnya, saya memang lebih senang menulis dalam format novel. Kalau soal tema, betul, saya menulis tema yang menurut saya menarik. Tapi, bagi saya, terjunnya saya dalam dua bidang tersebut bukan karena ingin “jadi penulis” dan “jadi penyanyi”, melainkan saya menulis karena saya suka, menyanyi karena saya suka musik. Atribut karier menyusul belakangan. 

Bagaimana reaksi keluarga dan teman saat Mbak di tengah usaha menyanyi yang Mbak rintis Mbak Dee justru menekuni dunia menulis?

Berhubung mereka tahu saya sejak kecil, mereka tidak ada yang kaget. Mereka memang tahu sejak kecil saya suka menulis, jadi mungkin tinggal tunggu waktu saja hingga saya betul-betul menyeriusinya.

Pernahkah Mbak Dee menemukan “aha moment”? Artinya sebuah langkah berani atau langkah awal dari perubahan positif yang membawa Mbak Dee hingga menjadi sekarang?

Pada akhir tahun 1999, saya mengalami semacam epifani. Sejak itu, pandangan saya berubah total, terutama yang berkenaan dengan aspek eksistensial dan spiritual. Saya ingin sekali berbagi tentang pengalaman dan pemikiran saya. Akhirnya, tahun 2000 saya mulai menulis manuskrip Supernova 1. Tapi, bukan hanya menulis bukunya, saya merasa momen itu benar-benar mengubah keseluruhan diri saya secara drastis.

Pernahkah saat proses menuju kepiawaian menulis, Mbak Dee mengalami kejadian pahit yang membuat drop dalam menjalani karier menjadi penulis, semisal ditolak penerbit naskahnya? Saya penasaran karena pertama karya mba lahir, novel Anda langsung disukai banyak orang. Bila ada, boleh diceritakan? Apa yang Mbak Dee lakukan setelahnya hingga bisa mencapai novelis andal?

Saya belum pernah ditolak penerbit karena memang belum pernah mengirimkan naskah ke penerbit. Saya mengawali buku pertama saya dengan menerbitkan sendiri. Sesudahnya, karena saya sudah punya basis pembaca, posisinya jadi berbalik. Penerbitlah yang mengajak saya bekerja sama. Tapi, saya punya pengalaman mengirim naskah ke majalah dan tidak ditanggapi, saya juga pernah mengirim naskah ke perlombaan dan tidak menang. Saya sempat kecil hati, tapi bukan karena tidak menang/tidak diterima, melainkan karena saya merasa saya tidak bisa dibatasi oleh persyaratan majalah/media massa yang mengharuskan cerpen itu sekian halaman, novel itu sekian halaman, dsb. Karya saya selalu di luar itu semua. Akibatnya, saya sempat merasa karya-karya saya tidak punya tempat. Namun, justru dari sana timbul tekad untuk menerbitkan sendiri. Akhirnya saya terus menulis, meski hanya disimpan, dengan niat bahwa satu saat saya akan menerbitkan sendiri tulisan-tulisan saya. 

Kini Mbak Dee sudah menghasilkan 7 novel dan 3 kumcer. Dari konsistensi menulis buku sampai saat ini, adakah value yang Mbak perjuangkan di setiap karya maupun aktivitasnya? 

Berusaha membuat karya yang lebih baik, dan ini bukan basa-basi, saya selalu merasa karya saya yang berikut harus menjadi perbaikan dari karya sebelumnya. Saya tidak peduli orang bilang lebih suka buku saya yang mana. Buat saya, karya berikut akan selalu lebih baik dari sebelumnya. Kedua, saya berusaha untuk menulis buku baru setiap minimal 1,5 tahun sekali. 
 
 
Dengan karya Mbak Dee diterima banyak orang dan mempunyai pembaca setia, tak hanya sekadar buku, Mbak Dee juga menjadi inspirasi buat pembaca. Dan, ada di sebagian dari mereka pun tertarik menjadi penulis novel. Namun kendala mood dan writers block seringkali menjadi rintangan awal penulis pemula untuk menyelesaikan naskah pertama mereka. Sebagian penulis menilai mood hanyalah alasan untuk kita tak menulis. Mereka berpikir menulislah dulu – seburuk apa pun hasilnya. Nanti, tinggal “dijahit” saja hasil tulisan yang tadinya buruk itu, hingga menjadi enak dibaca. Bagaimana pandangan Mbak Dee? Apakah Mbak Dee melihat menunggu mood datang memang hanya sebuah alasan untuk kita tidak menulis, atau seperti apa?
 
Tidak mood dan writer’s block adalah tantangan nyata yang selalu terjadi pada setiap penulis, termasuk saya. Jadi, tidak ada yang spesial dari kedua hal itu. Yang membedakan adalah bagaimana kita menyikapinya. Penulis yang sudah berpengalaman akan paham bahwa tidak mood dan writer’s block pasti akan terjadi, jadi kalaupun kejadian, itu tidak akan menghalanginya untuk tidak meneruskan karyanya sampai selesai. Ia tetap akan berusaha melewati rintangan itu. Sementara, penulis yang belum berpengalaman bisa jadi menyikapinya dengan berhenti. Karena itu saya selalu menekankan bahwa menulis itu butuh jam terbang. Kita butuh sering berlatih untuk tahu bahwa rintangan menulis sebetulnya tidak ada yang spesial. Kita juga perlu tahu rasanya menamatkan karya karena kata “Tamat” itu akan punya efek luar biasa terhadap mental kita. Jadi, selalu berusahalah untuk menamatkan karya. 

Dan bagaimana Mbak Dee cara mengatasi kendala itu?

Punya deadline, juga punya mentalitas atau prinsip atau apa pun, yang intinya menekankan bahwa karya yang tidak selesai adalah utang.

Dalam suatu kesempatan wawancara, Mbak Dee menuturkan bahwa proses kreatif menulis novel Mbak Dee itu berdasarkan timeline tertentu, di mana Mbak sudah mempunyai timeline dalam bentuk deadline. Atau dalam bahasa Mbak, jadwal produksinya jelas, mulai dari kerja berapa lama, berapa target halaman, menulis berapa halaman sehari dan seterusnya. Namun demikian, bukankah kegiatan menulis jadi terasa mekanis sekali? Saya merasa kehilangan rasa fun di dalamnya semisal target halaman pun sudah ditentukan. Nah, bagaimana pendapat Mbak Dee sendiri? Atau, jangan-jangan apa yang Mbak lakukan sebenarnya satu tahap di atas penulis biasanya melakukannya, yakni menentukan dengan detail jadwal waktu menulis dan target halamannya?

Rasa fun tidak ada hubungannya dengan sistem produktivitas. Jadi, kembali kita perlu membedakan dua perspektif. Perspektif kreativitas, dan perspektif produktivitas. Timeline, deadline, jam kerja, target halaman, itu adalah bagian dari sistem produktivitas. Saya bisa tetap fun menulis dan punya sistem produktivitas yang baik. Sistem yang baik membantu saya menyelesaikan pekerjaan sesuai target, membuat saya bisa membagi waktu dan fokus dengan hal lain, dan membuat karya tidak membelenggu saya. Sistem produktivitas yang baik membuat kita menjadi sparring partner yang seimbang dengan kreativitas. Sebaliknya, kita bisa berkarya bebas (yang bisa diartikan menjadi cara yang “fun”), tapi tidak punya sistem produktivitas yang sehat. Akibatnya, karya jadi mendikte dan membelenggu kita, ketika kita bekerja dengan pihak lain, penerbit misalnya, kita tidak punya target waktu yang bisa diandalkan. Sistem yang baik mendorong kita punya etos kerja yang baik. Jadi, dengan memiliki sistem produktivitas, saya justru menjaga agar saya bisa tetap fun menulis dan punya proporsi sehat untuk hal-hal lainnya.  

Selain itu, dengan Mbak Dee membuat target halaman, itu artinya Anda sudah tahu berapa halaman novel Anda akan berakhir. Bukankah jumlah halaman seselesai outline yang kita buat, ya Mbak? Yang mana biasanya novel biasanya memiliki minimal dua cerita klimaks di dalamnya?

Pertama, sepanjang pengetahuan saya, novel tidak punya dua klimaks. Klimaks hanya terjadi satu kali. Kedua, outline tidak menentukan jumlah halaman. Tapi kita bisa punya target kasar seberapa besar volume buku yang ingin kita tulis, rentang seperti 40 ribu kata, 80 ribu kata, 100 ribu kata, dan seterusnya. Angka itu tentunya tidak mungkin fixed, tapi setidaknya memberikan kita semacam gambaran tentang seberapa besar dan seberapa memungkinkan ide kita bisa dikembangkan. Kalau idenya sempit, ya, realistis saja untuk tidak menargetkan 100 ribu kata, melainkan cukup di 40 ribu, misalnya. Tapi, kalau idenya luas, maka bisa menargetkan jumlah halaman yang lebih banyak. Saya tidak tahu persis di halaman keberapa novel saya akan habis, saya rasa tidak ada satu pun penulis di dunia ini yang punya kemampuan itu. Yang bisa saya lakukan adalah memiliki target kasar seberapa besar volume cerita yang akan saya garap, dan bagi saya itu penting, sama seperti salah satu prinsip Stephen Covey (7 Kebiasaan Efektif) yakni: Begin with the end in mind.

Saya jadi juga penasaran, bagaimana Mbak Dee membuat outline plot cerita, apakah drive-nya berdasarkan informasi yang disembunyikan dalam plot, atau karakter? Mana yang paling banyak sering Mbak Dee pakai? Bisa dijelaskan alasannya?

Informasi maupun karakter adalah “kurir” cerita, bukan cerita itu sendiri. Plot  adalah grafik. Grafik itu akan diukir dan dibentuk melalui pergerakan karakter dan informasi yang mereka bawa. Grafik dibentuk bukan oleh “informasi apa yang harus dibuka” atau “apa yang harus dilakukan karakter”, tapi “apa yang terjadi”. Jadi lebih luas dari sekadar informasi maupun karakter, melainkan dinamika keseluruhan dari semua elemen cerita. Kita bisa banyak belajar mengenai hal ini dari buku-buku tentang penulisan skenario. Salah satu yang saya gunakan sebagai referensi adalah buku Save The Cat dari Blake Snyder.

Inspirasi menulis novel itu paling mudah muncul dari keresahan atau pun pengalaman yang yang kita jalani. Bagaimana Mbak Dee melihatnya, apakah Mbak Dee setuju tentang hal itu? Atau apakah baiknya mengandalkan dua hal itu?

Kalau pertanyaannya adalah “yang paling mudah”, betul, saya setuju. Pengalaman pribadi adalah sumber yang paling untuk kita tulis karena kita punya kedekatan dan pengetahuan personal. Para penulis pemula memang sebaiknya memulai dari sana, bukan karena yang paling ideal, melainkan karena memang paling mudah. Bagi saya, yang paling utama harus kita kejar adalah jam terbang dulu. Menulis itu membutuhkan latihan yang tak terhingga. Tidak usah berpikir menerbitkan buku dulu, sering-sering saja menulis cerita walaupun cuma dibaca sendiri atau orang-orang terdekat.

Apakah Mbak Dee punya informasi kriteria novel bagus yang disukai penerbit mayor seperti apa? Ini agar para orang yang di luar sana ingin jadi penulis tahu standarnya?

Saya tidak pernah berada di posisi penerbit selain untuk karya saya sendiri (self-publishing), jadi informasi saya terbatas soal ini. Untuk penerbit pasti ada pertimbangan seperti tren pasar, jenis buku yang sedang digemari, dsb, tapi yang jelas mereka akan memilih naskah yang memang bagus atau minimal bisa dipoles, sesuai dengan genrenya masing-masing. Jadi kita harus hati-hati menghakimi sebuah buku “tidak layak terbit” atau “tidak bermutu”, bisa jadi karena kita memang tidak suka genrenya. Penerbit harus punya jendela selera yang luas karena dia mengakomodir banyak pihak.

Mbak Dee pernah bilang dengan kemudahan internet dan self publishing saat ini makin banyak penulis muda lahir. Namun, dalam waktu yang sama, persaingan lebih sulit karena semakin banyak penulis yang lahir, dan kuncinya untuk menonjol ialah fokus pada kualitas, terus belajar dan mengembangkan diri. Dalam konkretnya, apakah makna tiga kunci itu, apakah mempunyai diferensiasi atau keunikan dari setiap karyanya? Misalnya terus menulis pada fokus pada satu genre saja, katakanlah teenlit, agar bisa berhasil atau mempunyai basis pembaca yang kuat? Atau seperti Raditya Dika, di mana ia selalu dia selalu menyusupkan nama binatang dalam judul bukunya agar terlihat dalam kerumunan buku yang lahir? Bagaimana menurut Mbak Dee, setujukah? Atau mba Dee punya pendapat lain?

Saya tidak tahu persis motivasi Raditya Dika menyusupkan jenis binatang adalah agar pembeda dari yang lain atau karena itu memang ciri khasnya. Kalau kita cermat kita akan melihat bahwa kedua hal tadi adalah dua hal yang berbeda. Yang pertama orientasinya orang lain, yang kedua adalah diri sendiri. Dan bagi saya, itulah pertanyaan dasar yang paling penting. Kita mau orientasi ke orang lain atau diri sendiri? Bagi saya pribadi, orientasi ke orang lain itu melelahkan, belum tentu akurat, dan belum tentu berhasil. Tidak berarti kalau kita orientasi ke diri sendiri langsung dijamin berhasil dalam arti sukses jadi penulis best-seller dsb, tapi setidaknya proses yang terjadi menjadi menyenangkan dan penuh semangat. Misal, ketika saya menulis Perahu Kertas, tujuan saya adalah bikin cerita cinta yang menggabungkan unsur cita-cita, lucu, seru, serta punya romantisme yang pas dan khas. Standard itu datang dari saya, bukan dari siapa-siapa. Itulah yang menjadi tugas utama penulis. Basis pembaca adalah urusan belakangan. Saya melihat kuat atau tidaknya basis pembaca lebih sebagai efek dari sebuah sebab, bukan target. Latihan, jam terbang, belajar menulis yang baik entah dari buku atau ikut workshop, dan tulis apa yang kita suka. Ciri khas kita akan keluar dengan sendirinya.

Adakah novel-novel rekomendasi Mbak Dee dengan plot cerita bagus yang bisa dijadikan para penulis pemula belajar? Sehingga kualitas karya yang dilahirkan sesuai dengan selera penerbit mayor? Atau mungkin, plot seperti apa yang biasanya disukai penerbit mayor, apakah plotnya tidak tertebak atau mereka mempunya informasi yang mengejutkan karena konflik yang berlapis-lapis?

Ini adalah pertanyaan yang lebih cocok diajukan ke penerbit, sama seperti pertanyaan yang sebelumnya di atas.

Ide cerita yang baik ialah cerita yang memiliki emosi. Lebih dalam, Mbak Dee menyebutnya cerita yang punya dramatisasi. Dan, dramatisasi bisa didapat kalau kita punya intuisi bercerita – sebuah sudut pandang apa yang dipilih lebih mengena pada pembaca dari cerita yang dibangun, paham struktur dan menguasai teknik menulis – bagaimana para penulis meletakan racun atau unsur kejutannya. Pertanyaan saya, apakah elemen ini yang perlu dicari oleh seseorang yang ingin menjadi penulis novel saat melahap banyak novel sebagai modal awal terjun ke dalam dunia menulis novel?

Membaca sambil mempelajari menurut saya adalah salah satu cara paling efektif untuk belajar menulis. Baca buku Dan Brown atau JK Rowling, misalnya, dengan membaca sekaligus mempelajari, kita bisa tahu bagaimana para penulis tersebut menyusun plotnya, membentuk karakternya, dsb. Tentu ini modal awal penting bagi penulis pemula, tapi lebih penting lagi adalah mereka tahu kegunaan dan implementasi dari yang mereka baca itu seperti apa. Jadi,  bagi saya, tetap yang utama adalah mencoba menulis cerita. Berlatih crafting cerita sesering mungkin.

Menurut Mbak Dee apa itu passion? Bagaimana agar passion bisa membawa kita jadi penulis novel yang andal?

Gampangnya, passion itu minat yang dilakoni dengan semangat. Passion memotivasi kita untuk belajar dan menggali, juga untuk mencoba lagi meskipun sempat tersandung atau gagal.
Saran Mbak Dee, sebaiknya penulis pemula itu mencoba menulis dari cerpen apa langsung novel?

Bisa keduanya. Sejak kecil yang saya suka adalah novel, jadi karya pertama saya novel. Saya memang suka menulis panjang. Cerpen menurut saya lebih gampang manajemen waktunya, tapi tidak semua orang juga suka dengan format cerpen. Jadi, kedua-keduanya bisa dicoba untuk penjajakan.


Sunday, December 21, 2014

Majalah Economica | Profil | April, 2012 | by Nadya Restu Mayestika


Boleh minta Mbak berbagi cerita sewaktu dulu kuliah? Bagaimana Mbak Dewi menjalani hidup sebagai seorang mahasiswa?

Waktu kuliah saya sudah mulai berkarier jadi penyanyi, jadi saya nggak bisa terlalu sering di kampus karena disibukkan oleh kegiatan menyanyi, latihan, dsb. Benar-benar seperlunya saja. Untung ada beberapa teman yang cukup dekat di kampus, jadi masih bisa bergaul, walaupun terbatas dan nggak sering.

Adakah mimpi Mbak yang masih ingin dicapai?

Sekarang saya lebih tertarik menjalani hidup apa adanya. Mungkin namanya bukan mimpi lagi, tapi target. Seperti menulis buku, menyelesaikan serial Supernova, dsb, itu bukan lagi mimpi tapi sudah jadi target.

Antara nyanyi dan menulis, mana yang lebih passionate buat Mbak?

Dua-duanya sebetulnya senangnya sama. Tapi saat ini saya lebih dimungkinkan untuk menulis karena anak-anak di rumah masih kecil, dan butuh kehadiran saya lebih sering. Jadi saya cuti dulu dari segala kegiatan nyanyi-menyanyi. Lagian, saya memang kurang senang manggung, lebih senang rekaman. Namun saat ini fokus saya sedang tidak ke sana.

Dari kecil, memangnya Mbak sudah memiliki passion dalam bidang menulis? Apa dulu Mbak mempunyai passion yang sebenarnya ingin dicapai, tapi tidak tercapai?

Dari kecil sudah menulis. Pertama kali menulis dengan serius waktu kelas 5 SD. Saat ini sih rasanya saya sudah menjalani apa yang saya suka sejak dulu, yaitu musik dan menulis. Passion lain, memasak, sudah dilaksanakan juga di rumah.

Bisa ceritain nggak Mbak, bagaimana caranya Mbak bisa mengetahui passion Mbak sebenarnya dan bisa menjalaninya dengan sukses?

Dengan banyak mencoba. Akhirnya kita tahu mana yang benar-benar kita suka. Dan jika memang berjodoh, banyak jalan yang terbuka dengan mudah. Kita juga harus konsisten berkarya, dan berani mencoba, meski melalui kegagalan.

Mbak Dewi sampai sekarang kan masih aktif menyanyi dan menulis ya, gimana cara Mbak menyinergikan kedua aktivitas tersebut?

Jalani apa adanya saja. Sesuai dengan prioritas yang saat ini realistis dengan situasi dan kondisi saya. Rasanya nggak ada tips khusus.

Sejauh ini tulisan Mbak selalu memiliki tema yang mendalam tentang kehidupan dan spiritualitas, apa yang menginspirasi Mbak Dewi untuk menulis dalam tema tersebut? Apa ada alasan khusus kenapa Mbak sering memilih tema tersebut?

Karena spiritualitas adalah passion saya. As simple as that. Tentu kita lebih semangat untuk berkarya jika tema yang kita pilih adalah apa yang menjadi passion kita, kan?

Sejauh ini dari buku-buku yg sudah ditulis Mbak Dewi, dari Perahu Kertas sampai Partikel, apa dalam proses penulisannya ada yang paling berkesan?

Karena yang paling terakhir adalah Partikel, tentu yang terasa paling berkesan adalah Partikel, soalnya ingatan saya tentang prosesnya masih segar.

Apa pengalaman yang paling mengubah pandangan Mbak Dewi terhadap sastra sehingga dari seorang penyanyi Mbak juga mulai menulis?

Saya menulis karena memang hobi dari kecil, nggak ada hubungannya dengan pandangan saya tentang sastra, atau bermotivasi "banting setir"profesi. Waktu itu malah saya nggak tahu apa-apa sama sekali dengan industri tulis menulis. Pokoknya inginnya ya menulis buku. Dunia sastra baru saya kenal setelah saya menulis.

Bagaimana perjuangan yang Mbak tempuh untuk merintis karier dulu di dunia musik dan kini di dunia sastra?

Wah, terlalu panjang untuk diceritakan. Kayaknya perlu buku biografi untuk menjawab pertanyaan "selebar" itu. Hehe.

Apa halangan terberat yang dirasakan dalam karier Mbak?

Saat ini adalah ketersediaan waktu. Karena yang perlu saya urus banyak, jadi mencari waktu luang yang memadai untuk menulis, riset, dsb, cukup sulit. Belum lagi dengan pekerjaan non-menulis, permohonan wawancara, dsb. Kalau bisa sih setiap nulis saya masuk gua dulu dan nggak diganggu siapa pun.

Apa Mbak juga concern dengan hal-hal di luar kesastraan, misalnya pada pendidikan atau lingkungan? Bagaimana cara Mbak mengekspresikan rasa concern tersebut?

Sejauh ini sih dengan menulis, atau sesekali mengisi talkshow yang bertema lingkungan.

Mengenai soal lingkungan, tema Economica kali ini adalah Green Economy. Bagaimana pendapat Mbak mengenai Green Economy?

Sepertinya itu memang akan menjadi tren yang tidak terelakkan, ya. Kalau ingin hidup kita lebih lama di Bumi, semua aspek kehidupan saat ini harus beriorientasi lingkungan.

Ada minat nggak, Mbak memulai tulisan dengan bermaksud memberikan nilai berupa bujuakan atau insight yang dapat membantu alam sekitar?

Sudah sering.

Apakah semangat Green Economy bisa ditularkan lewat media tulisan fiksi, misalnya novel, mengingat temanya yang bukan hanya tentang lingkungan tapi juga ekonomi?

Sudah saya lakukan lewat Partikel.

Apakah selama ini media buku fiksi sudah cukup mengulas banyak berita mengenai lingkungan yang bisa meningkatkan kepedulian masyarakat pada lingkungan?

Saya rasa ada beberapa. Tapi saya bukan pengamat sastra/fiksi, hanya penulis, jadi saya tidak bisa menjawab dengan pasti.

Menurut Mbak, berapa tingkat kepedulian masyarakat Indonesia pada lingkungan dari skala 1-10?
6.

Apa saran Mbak agar masyarakat Indonesia bisa meninggikan kepeduliannya pada lingkungan?

Edukasi dan penegakan hukum.

Apa harapan Mbak ke depannya untuk sastra di Indonesia?

Lebih banyak karya bermutu dan variasi genre yang semakin banyak.

Apa prinsip hidup Mbak?

Nggak ada. Saya cuma segalanya berubah. Jadi siap saja dengan perubahan.

Apa tips Mbak untuk menjalani kehidupan kita agar bisa sedekat mungkin mencapai kebahagiaan?

Lebih banyak menyelami diri sendiri, bermeditasi, karena sumber kebahagiaan adanya di dalam, bukan di luar.

Adakah pesan untuk mahasiswa-mahasiswa Indonesia sekarang?

Segeralah temukan apa yang menjadi passion kita, dan jangan terpaku pada struktur formal untuk menekuninya. Belajarlah dari segala hal.