Bagaimana
pandangan narasumber tentang perkembangan literasi di Indonesia mengingat menurut
beberapa riset yang dilakukan, literasi di Indonesia masih cukup rendah?
Kalau kita melihat fenomena pameran buku,
seperti Big Bad Wolf baru-baru ini yang mampu meraup target pengunjung di atas
ekspektasi, bagaimana orang bisa membeli dan memborong buku sampai subuh,
berarti semangat dan ketertarikan kepada buku sebenarnya besar. Tapi, kalau
kita memotret Indonesia secara keseluruhan, tentu kita juga harus memasukkan
profil masyarakat yang pergi ke sekolah saja susah, akses perpustakaan dan buku
terbatas, dan akhirnya secara keseluruhan kita jadi punya angka literasi
(berapa banyak buku yang dibaca setahun oleh rata-rata penduduk Indonesia)
menjadi rendah. Berarti untuk bisa meningkatkan literasi butuh perbaikan yang
sistemik dan menyeluruh. Dari mulai kebijakan pajak buku, menekan harga
produksi buku, penyebaran perpustakaan, menggairahkan pemain-pemain industri
buku seperti outlet, penerbit, dan juga menyokong para penulis agar
kesejahteraannya meningkat. Jadi, ini pe-er besar, dan tidak bisa dilakukan
oleh segelintir orang, tapi sudah harus skala kebijakan pemerintah dan
industri.
Bagaimana
pandangan narasumber tentang media-media apa saja yang bisa digunakan untuk
mempopulerkan literasi?
Sesungguhnya, literasi itu sudah populer,
kok. Kehidupan manusia sudah melibatkan kegiatan menulis, story-telling, dsb. Film-film Indonesia saat ini banyak sekali yang
bersumber dari adaptasi buku. Jadi, bukannya masyarakat tidak kenal atau aware dengan pentingnya buku. Cuma,
belum menjadi lahan subur saja, beda jika kita bandingkan dengan kuliner,
misalnya. Masih sedikit yang tergerak terlibat menjadi pemain serius, baik dari
kalangan bisnisnya maupun kreatifnya. Yang bisa hidup benar-benar dari menulis
itu masih sedikit. Industri buku masih jadi penyumbang sangat kecil terhadap
ekonomi kreatif Indonesia. Caranya seperti yang saya ungkap tadi. Menulis dan
membaca harus menjadi satu paket kegiatan yang didorong sejak kecil. Selain
itu, secara industri, harus bisa dibuat ekosistem yang subur.
Sebagai
seorang penulis, penyanyi, serta pencipta lagu, bagaimana pandangan narasumber
tentang literasi yang diaplikasikan melalui musik?
Format karya yang menggabungkan literasi
dan lagu sudah pernah saya buat tahun 2008 saat saya membuat Rectoverso.
Sekarang ini juga cukup banyak yang membuat karya gabungan semacam itu, seperti
Fahd Pahdepie dan Sudjiwo Tejo, misalnya. Tapi, tentu itu bukan satu-satunya
format. Saya rasa dari mulai komposisi lagu pun sudah harus melibatkan
kemampuan literasi. Jadi, kalau dilihat secara umum, sebenarnya kemampuan
menulis/literasi itu bersinggungan dengan banyak sekali industri.
Supernova,
Perahu Kertas, Filosofi Kopi merupakan karya dari narasumber yang sangat
dikenal di kalangan masyarakat Indonesia. Pandangan narasumber tentang
pencapaiannya sebagai seorang penulis, penyanyi, sekaligus pencipta lagu yang
membawa nama Dewi Lestari sampai ke luar negeri.
Jalur kreatif saya sejak kecil memang
selalu dua itu, musik dan menulis. Dan, benang merah antara keduanya adalah story-telling atau seni bercerita. Baik
dalam format buku maupun lirik lagu, yang saya kedepankan selalu adalah cerita.
Saya merasa beruntung dapat menjadikan seni bercerita sebagai karier,
identitas, maupun kontribusi saya bagi masyarakat. Pada titik ini saya pun merasa
masih banyak sekali hal yang perlu saya pelajari tentang seni bercerita. Itu
jugalah yang membuat saya amat mencintai pekerjaan saya, karena ruang untuk
terus belajar selalu ada. Pencapaian terbesar yang saya rasakan adalah ketika
banyak pembaca mengatakan bahwa mereka jadi menyukai fiksi, menyukai membaca,
setelah bertemu dengan karya saya. Bagi saya, itu menjadi indikasi bahwa
kecintaan saya terhadap seni bercerita mampu menular dan tersebar ke pihak
lain.
Bagaimana
pandangan narasumber tentang musisi serta penulis di Indonesia yang
mempopulerkan literasi melalui media populer seperti musik dan novel serta
seberapa besar perannya dalam mengajak anak muda untuk mulai mencintai literasi?
Saya ini sebetulnya lebih banyak berada di
jalur yang soliter, di mana saya berkarya dan kemudian itu menjadi kontribusi
saya. Tapi ada penulis-penulis lain yang memang mendedikasikan diri dan
waktunya untuk mengembangkan komunitas, mendidik dan membina penulis-penulis
muda, seperti Helvy Tiana Rosa dan Gola Gong. Juga ada orang-orang seperti
Janet de Neefe penggagas Ubud Writers Festival dan Lily Farid penggagas
Makassar Writers Festival, misalnya. Mereka ini menurut saya sungguh luar
biasa. Terus terang, saya belum punya kapasitas ke arah sana saat ini. Kita
membutuhkan orang-orang semacam mereka, karena mereka memegang peranan penting
dalam regenerasi penulis dan juga pengembangan ekosistem kreatif.
Apa
yang seharusnya dilakukan anak muda yang ingin mengembangkan budaya literasi
agar bisa dinikmati berbagai kalangan?
Yang bisa dilakukan secara langsung dan
nyata tentunya adalah dengan menciptakan karya. Sekadar menulis, semua banyak
yang bisa. Tapi, ketika kita berkomitmen untuk menciptakan karya, bagi saya itu
levelnya sudah beda. Ada banyak implikasi. Kita belajar bagaimana menjadi
seorang kreator, kita merasakan pengalaman ketika karya kita berinteraksi
dengan pembaca, dsb. Jalur untuk berkarya ini juga tentunya tidak mutlak harus
lewat penerbit mapan. Banyak cara untuk berkarya sekarang ini. Lewat
self-publishing, lewat perlombaan, atau bahkan lewat platform seperti Wattpad.
Intinya, harus mencoba untuk berkarya.
Harapan
narasumber sebagai penulis, penyanyi, serta pencipta lagu untuk generasi muda
agar lebih peka terhadap literasi.
Tulislah buku yang ingin kamu punya.
Tulislah cerita yang ingin kamu baca. Menulis adalah otot yang harus dilatih
sesering mungkin untuk bisa menjadi tangguh. Dan, membacalah agar kita terus
berkembang.