Showing posts with label Awal Menulis. Show all posts
Showing posts with label Awal Menulis. Show all posts

Sunday, April 5, 2020

Five Books | The Best of Contemporary Indonesian Literature | April, 2019 | Cal Flyn


Is it a good time to be a writer in Indonesia?

It is. Many things still need to be done in terms of our book industry ecosystem, but looking back on how things were in the past—let’s say, compared to 2001when I published my first book—the situation is much better now. We now have prosperous authors who can truly rely on writing as their main profession. We have more book shops, more publishers, more online libraries, more literary festivals, more platforms to promote our works. Literary power and importance are something that public and government are more aware of.

Indonesian literature is not very well known in the English-speaking world. Why do you think that is? Do you think that is changing?

I think there hasn’t been a real roadmap and priority to use literary as our nation’s ambassador to the world. All this time, we had worked a lot more on our tourism. Literature was below on the list compared to culinary, fashion, and goods. That also reflects on the dwarf size of our book industry in the Indonesia’s creative economy. Translation is an art that cannot be rushed. And once a translation is done, you still need many more efforts just to catch the attention from the international readers and publishers. You don’t need to translate a dish, everything speaks for itself. But, in literature, language is the bridge, and we didn’t have enough translators nor did we have an exact plan on how to support the growth and quality of our writers and translators. But, I’m optimist that a change is in the making. Ever since 2015 when Indonesia became the Guest of Honour in Frankfurt Book Fair, I felt our book industry had a jolt of fresh spirit. The echo still continues to London Book Fair. In the past four years, I was involved and invited to speak to the ministers on at least three big book-related discourses: royalty tax, book tax, and book piracy. I even had a chance to voice out these concerns directly to the president. It’s something that was unthinkable before. Of course, the government’s and the book committee’s effort are not immune to criticism. But, nobody can deny that there’s a change going on.

You were a very successful singer-songwriter – what prompted you to move into writing fiction?

I always loved story telling since I was small. I attempted to write my first novel when I was 9 years old. I sent short stories to magazines when I was teenager. Of course, not all of those attempts were successful, most of them actually failed, but I couldn’t stop writing. During my singing career, I used my savings to buy a laptop. It was an unusual for a college student at that time to own a laptop. I took my laptop everywhere so I could write in between gigs. I remembered when I was nine years old, I this fantasy that someday I will see my book sold in a book store. So, when I finished my Supernova manuscript in September 2000, I thought “this is it. This will be my first book.” I finally self-publish my book in 2001 to celebrate my 25th birthday. I didn’t care if it sells or not, I didn’t even know how to sell books, I just wanted to fulfil my dream. It turned out to be a huge success. 7.000 copies sold in two weeks. It was beyond the best-selling standard in Indonesia at that time. And since Supernova was designed to be a series, I continued writing the instalments year after year. Writing then slowly took over my career. I didn’t have much time to focus on my music anymore. But, since I have been doing my music career for over than ten years already, I didn’t miss it that much. I enjoyed writing a lot more because it’s more solitary, less fuss, and less need for make-up, hairdos, and high heels. 

What is the first book you would like to recommend? Why?

Suddenly The Night, a poetry book from a prominent Indonesian poet, Sapardi Djoko Damono. Sapardi’s poems was very influential in my early introduction to literature. It taught a lot me about perusing nature as a source of metaphors. 


What is the second book you would like to recommend? Why?

Saman by Ayu Utami. The book came out at the right timing, right after the collapse of the New Order regime. The story broke many barriers of various taboos and sensitive topics, including the rise of women authors. To me, Saman was a mark of a new era in literature.

What is the third book you would like to recommend? Why?

Man Tiger by Eka Kurniawan. It depicts familiar facets of Indonesia, and yet those facets can be totally unique for the international audience. Eka’s writing has a distinct, masculine voice. I admire his seriousness in crafting his story.  

What is the fourth book you would like to recommend? Why?

Raden Mandasia by Yusi Avianto Pareanom. With ancient Indonesia as its setting, fueled with Yusi’s explosive—verging to chaotic, unapologetic, humorous style of writing, I’m interested to see if this book would get translated. I think Raden Mandasia will be an interesting and refreshing window to peek into the richness of Indonesian literature. 

What is the fifth book you would like to recommend? Why?

Kill the Radio by Dorothea Rosa Herliany. She’s one of the most prominent Indonesian female poets. I like the way Harry Aveling, the translator of this book, worked with Dorothea’s original poems. There was a debate about this. Some say Aveling took it too far, but some say what Aveling did was a “transliteration”. Instead of merely translating, Harry was giving another breath into Dorothea’s poems. And, I enjoy the result.


Air Asia Magazine | Profile | April, 2018 | Mahdiah



1.     Boleh ceritakan awal karier di dunia entertainment? 
 
 
Saya sudah mulai berkarier di musik sejak mulai kuliah, tahun 1993, awalnya jadi backing vocal, antara lain untuk (alm) Chrisye, Iwa K, Padhyangan Project, Java Jive, Harvey Malaiholo, dan banyak lagi. Setelah dua tahun menjadi backing vocal, saya berkesempatan rekaman dengan trio Rida Sita Dewi yang diproduseri oleh Adjie Soetama dan Adi Kla Project. Saya merilis empat album bersama Rida Sita Dewi. Hobi menulis lagu dan menulis fiksi juga sudah dari kecil. Saya mulai bikin lagu dan mencoba menulis novel dari kelas 5 SD, dan hobi itu berlanjut sampai besar. Lagu ciptaan saya pertama yang masuk ke dapur rekaman adalah Satu Bintang di Langit Kelam, yang ada di album perdana Rida Sita Dewi. Awalnya saya hanya menulis cerita buat dikonsumsi sendiri, atau dibagi ke teman-teman dan keluarga. Baru tahun 2000 saya berniat serius untuk menerbitkan karya pertama saya, Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Sejak itu, saya dikenal sebagai penulis hingga sekarang. 
 
 
2.     Seperti yang sudah diketahui, selain bernyanyi, Mbak Dee kini dikenal sebagai penulis serta pencipta lagu. Lantas, jika harus memilih lebih tertarik profesi yang mana?

Saya punya kebutuhan berbeda-beda untuk setiap pendekatan bercerita. Bagi saya fiksi dan lagu itu komplementer sifatnya, tidak saling menggantikan. Kepuasan yang dihasilkan masing-masing format juga berbeda, meski pada intinya sama-sama bagian dari seni bercerita.
 
 
3.     Mbak Dee dikenal sebagai sosok multitalenta, apakah ada hal baru yang hingga kini belum tercapai dan segera ingin diwujudkan?

Masih banyak jenis buku yang ingin saya tulis, mulai dari buku resep, buku anak, fiksi remaja, dsb. Saya juga ingin berkarya lagi di musik, entah dalam bentuk single, atau album. Tapi, karena waktu saya terbatas, saya hanya bisa fokus kepada satu atau dua proyek kreatif per tahunnya.

4.     Adakah buku karya Mbak Dee yang paling memorable?
 
 
Saya merasa paling dekat dengan karya yang saya tulis paling akhir. Pada saat ini, karya terasa paling dekat bagi saya adalah Aroma Karsa. Cukup banyak alasan lain mengapa Aroma Karsa paling memorable, salah satunya adalah proses risetnya yang saya dokumentasikan paling rapi dibandingkan buku-buku saya sebelumnya. Karena itu, saya bisa menerbitkan buku “behind-the-scenes”-nya, yakni Di Balik Tirai Aroma Karsa. Buku Di Balik Tirai Aroma Karsa sejauh ini baru terbit dalam format digital. Isinya mengenai proses kreatif, proses riset, dan berbagai strategi pemasaran yang saya lakukan saat menerbitkan Aroma Karsa. 
 
 
5.     Apakah Mbak Dee merasa nyaman apabila karyanya dituang ke dalam sebuah film? Lalu, film apa saja yang membuat Mbak Dee merasa puas karena karyanya benar-benar terealisasikan?
 
 
Ketika penulis sudah bersepakat dengan produser dan menjual hak adaptasi karyanya, otomatis harus sepenuhnya menerima segala konsekuensi. Bagi saya persoalannya bukan nyaman atau tidak nyaman. Memang tidak semua adaptasi memuaskan bagi kreatornya, termasuk saya. Namun, saya harus melihatnya sebagai karya adaptasi, bukan lagi karya saya pribadi. Jadi, ketika saya melihat film yang diangkat dari karya saya, sebisa mungkin saya memandangnya sebagai karya film bukan lagi buku. Ada pakem dan aturan yang berbeda, ada banyak faktor penentu di balik pilihan kreatif sutradara dan produser. Jadi, dalam hal posisi itu, saya kembali menjadi penonton, dan menilai film yang ditonton, bukan lagi buku yang saya tulis. 
 
 
6.     Berkaitan dengan Hari Musik Nasional yang jatuh pada tanggal 9 Maret. Apa harapan Mbak Dee bagi industri musik Indonesia?
 
 
Saat ini ada keresahan dari banyak insan musisi tentang RUU Permusikan. Saya harap RUU tersebut dapat dibatalkan, atau setidak direvisi dan dipertimbangkan ulang dengan memperhitungkan aspirasi para musisi yang khawatir dengan potensi implementasi RUU itu kelak. Yang dibutuhkan para musisi adalah kejelasan tata niaga industri musik, bukan aturan yang mengatur dan mengekang kreativitas seniman. 
 
 
7.     Pengalaman traveling yang mengesankan bagi Mbak Dee?
 
 
Wah, banyak. Kalau luar Indonesia, saya sangat suka dengan Jepang. Saya mengagumi etos kerja masyarakat Jepang yang tercerminkan dari segala hal yang mereka kerjakan, mulai dari kualitas makanan, cara menjaga toko, cara menyambut tamu, dsb. Kalau domestik, perjalanan ke Papua salah satu yang paling berkesan. Alam Papua itu benar-benar berbeda dari belahan Indonesia lainnya. Saya memperhatikan mulai dari warna tanah, serangga, tanamannya, semuanya luar biasa unik. 
 
 
8.     Adakah pengalaman terseru konser pertama dan konser terakhir yang Mbak Dee tonton? 
 
 
Konser pertama yang saya tonton kalau tidak salah konser BB King, di Hardrock Café Jakarta, tahun 1992. Saya masih SMA waktu itu, di Bandung, bela-belain ke Jakarta naik kereta api yang penuh dan tidak dapat tempat duduk, jadi setengah perjalanan berdiri atau duduk di bordes. Pulangnya naik travel (dulu adanya 4848). Saya paling rajin nonton konser waktu masih SMA dan kuliah. Sekarang sudah jarang. Konser terakhir yang saya tonton adalah Konser Salute Erwin Gutawa di ICE BSD. Kenapa saya tonton? Karena Konser Salut tersebut didedikasikan untuk tiga penulis lagu-penyanyi perempuan, yakni Melly Goeslaw, Dewiq, dan saya. Hehe, jadi tidak mungkin saya tidak nonton. 
 
 
9.     Penulis novel favorit Mbak Dee?
 
 
Sejujurnya saya belum menetapkan siapa novelis favorit saya, karena saya jarang mengikuti dengan setia karya seorang penulis fiksi. Saya bacanya cabutan. Dan, setiap penulis itu punya ciri khas masing-masing yang sulit saya putuskan siapa atau gaya mana yang lantas menjadi favorit saya. Kalau penulis nonfiksi, saya malah cukup banyak punya favorit. Salah satu yang lagi saya sukai banget adalah Yuval Noah Harari, saya baca ketiga bukunya. 
 
 
1.  Tips menulis yang baik dan berkualitas dari Mbak Dee? 
 
 
Menulis yang baik dan berkualitas itu butuh pembelajaran seumur hidup. Sulit dirangkum dalam tips singkat. Yang jelas, kalau kamu suka menulis, yang perlu dikejar adalah menamatkan karya kita terlebih dahulu. Dengan menamatkan, kita jadi semakin mengenal proses kreatif itu seperti apa, dan kita lebih berani untuk mencoba. Setelah berhasil punya beberapa karya yang tamat, kejarlah kualitas. Parameter “kualitas” itu subjektif, ada yang ukurannya popularitas, ada yang ukurannya oplah, ada yang ukurannya penghargaan, ada juga yang bukan semua itu tapi lebih kepada kepuasan pribadi. Apa pun itu, kualitas dikejar dengan itikad dan upaya untuk menulis lebih baik—lebih rapi, lebih jelas, lebih jernih, lebih memikat. Belajarlah dari tulisan orang lain, banyak membaca, dan sering berlatih. 
 
 
11 Bagaimana Mbak Dee menggeluti passion menulis hingga dapat memberikan karya yang begitu sukses? 
 
 
Sama seperti yang saya tulis di atas. Saya menulis karena menyukai seni bercerita, dan dalam setiap buku, saya selalu berusaha memperbaiki dan mengejar cara bercerita yang menurut saya lebih baik: lebih efektif, lebih jelas, lebih memikat, lebih mengikat, dan seterusnya. Sukses dalam arti laku atau tidak, sangat sulit untuk dikendalikan. Kita tidak pernah tahu. Jadi, kalau bagi saya pribadi, saya berusaha untuk tidak mengejar “laku” atau “dapat penghargaan”, karena itu hal-hal yang tidak bisa saya kendalikan. Lebih memuaskan jika saya menulis karena saya mengejar cara bercerita yang bagi saya pribadi lebih baik daripada sebelumnya. Saya sebut itu “kaizen writing”, menulis dengan mengejar kemajuan yang berkesinambungan. 
 
 
12 Apa perbedaan membangun karakter dalam lagu dan dalam novel? 
 
 
Pada dasarnya, dalam lagu kita tidak punya ruang gerak yang banyak. Karakter tidak bisa dibangun dalam lagu seperti halnya membangun karakter dalam novel. Yang bisa kita lakukan adalah agar pendengar mengidentifikasi dirinya menjadi karakter dalam lagu. Dengan demikian, yang kita ceritakan dalam lagu menjadi ceritanya sang pendengar. Tentu saja itu juga subjektif. Belum tentu semua orang otomatis ‘relate’ dengan lagu kita. Namun, membuat cerita lagu sebaik mungkin dengan melodi yang sinergis dengan kata-kata, bagi saya adalah pintu masuk agar orang bisa menemukan kisahnya dalam lagu. 
 
 
Tiga destinasi wisata paling favorit? 
 
 
Bali, Bandung, Jepang. 
 
 
1   Adakah kebiasaan tertentu sebelum menulis yang selalu dilakukan Mbak Dee? 
 
 
Mandi. Mandi bagi saya seperti tombol “reset”. Saya selalu menulis pagi hari, jadi sebelum memulai hari, sebelum mulai menulis, saya “reset” tubuh dan pikiran saya dulu dengan mandi.

Saturday, April 4, 2020

Ubud Writers Readers Festival | Q&A with Speakers | Juli, 2018 | Tiara Mahardika


Kapan dan apa yang membuat Anda mulai menulis?

Saya menulis karena senang mengkhayal. Sejak kecil, dalam benak saya, mudah dan alamiah sekali rasanya merangkai cerita. Setiap membaca buku, selalu ada perasaan ingin ikut mencoba menulis demi menyalurkan khayalan-khayalan dalam benak saya. Kelas 5 SD, saya mulai mencoba-coba menulis cerita yang saya saat itu bayangkan akan menjadi sebuah buku.

Dari karya-karya Anda yang telah terbit, manakah yang meninggalkan kesan mendalam dalam proses penulisannya? Ceritakan kepada kami.

Buku yang paling berkesan bagi saya selalu buku terakhir yang saya tulis. Novel terakhir saya terbit Maret 2018 lalu, berjudul Aroma Karsa. Jadi, Aroma Karsa-lah yang saat ini terasa paling berkesan. Selain mengangkat tema penciuman yang saya rasa masih jarang digarap dalam dunia fiksi, Aroma Karsa merupakan karya yang proses kreatifnya paling lengkap saya dokumentasikan. Untuk itu, baru di Aroma Karsa saya berkesempatan menceritakan perjalanan riset berbagai keputusan kreatif saya kepada pembaca. Proses kreatif itu kemudian menjadi buku tersendiri, berjudul Di Balik Tirai, yang terbit bulan Juli 2018.

Apa yang biasa Anda lakukan saat mengalami ‘writer’s block’?

Writer’s Block ada dua jenis, menurut saya. Pertama, yang berakar dari kejenuhan atau kelelahan mental. Kedua, yang berakar dari kesalahan teknis dalam penulisan. Manifestasi keduanya terasa serupa, yakni kebuntuan menulis. Namun, dua hal itu ditangani dengan cara yang berbeda. Yang pertama menurut saya lebih mudah, karena biasanya cukup dengan rihat sejenak, melakukan kegiatan penyegaran, dan sebagainya. Yang kedua lebih sulit dan butuh upaya, karena perlu proses penulisan ulang, merombak struktur, mengganti elemen cerita, dan seterusnya. Namun, yang paling penting adalah, ketika kebuntuan datang, identifikasi dulu datangnya dari mana dan masalahnya apa.

Menurut Anda, hal apa saja yang bisa memberi ‘nyawa’ dalam sebuah karya tulis?

Kecermatan menjalin fakta ke dalam fiksi, menjadikan karakter kita semanusiawi mungkin sekaligus sedramatis mungkin. Meski “nyawa” cerita terdengar abstrak, menurut saya pada akhirnya akan kembali ke penguasaan teknik menulis dan jam terbang penulisnya. Tulisan yang bernyawa bukan semata-mata karena berdasarkan kisah personal penulis ataupun diangkat dari kisah nyata ataupun ditulis dengan emosional, melainkan tulisan yang jernih serta mampu berkomunikasi secara tepat dengan pembaca sehingga pembaca merasa menemukan kehidupan di dalamnya.

Adakah pesan yang ingin disampaikan untuk mereka yang berminat menekuni dunia kepenulisan?

Berani mencoba, berani gagal, berani menghadapi keberhasilan, dan mau terus belajar. Menulis menurut saya adalah kemampuan yang harus diasah seumur hidup.

Adakah topik yang ingin Anda eksplorasi di UWRF18?
Mengenai riset serta seni menjalin fakta ke dalam fiksi.

Friday, April 3, 2020

Jawa Pos | Hari Buku Nasional | Mei, 2018 | Fahmi Samastuti


Sebelum berkarier sebagai penulis, Dee dikenal sebagai musisi. Seperti apa transformasi dari musisi jadi penulis?

Sebetulnya tidak ada transformasi yang khusus, sih. Hanya lambat laun karena saya lebih produktif menulis, orang jadi mengenal dan mengasosiasikan saya lebih kuat ke menulis ketimbang musik/menyanyi. Saya juga masih membuat album sampai tahun 2009, dan sesekali menulis lagu untuk penyanyi lain, maupun soundtrack film. Jadi, sebenarnya masih berjalan paralel, hanya saja di menulis saya lebih rutin memproduksi buku baru.

Adakah kesamaan menulis lirik untuk lagu dengan menulis untuk cerpen, novel pendek, atau novel panjang?

Bagi saya, semuanya sama-sama harus memiliki struktur cerita, meski lirik hitungannya jauh lebih pendek dan ruang geraknya lebih sempit karena dibatasi durasi. Hanya saja, keuntungan lirik adalah hadirnya melodi, aransemen, yang kesemuanya bisa memperkuat cerita.

Banyak orang maupun penulis yang punya penulis idola. Untuk Dee pribadi, siapa penulis favoritnya (baik luar maupun dalam negeri)?

Saya jarang mengikuti katalog karya satu penulis yang sama terus menerus. Koleksi buku saya juga sebetulnya lebih banyak nonfiksi karena saya adalah pembaca yang dipicu oleh ketertarikan saya akan topik tertentu. Namun, tentunya ada karya-karya penulis yang meninggalkan kesan mendalam bagi saya, baik dari gaya tulisan maupun kepenulisan (produktivitas, keberanian menggebrak, dsb). Buku-buku tersebut antara lain: Hujan Bulan Juni – Sapardi Djoko Damono, Saman – Ayu Utami, Sightseeing – Rattawut Lapcharoensap, Manusia Harimau – Eka Kurniawan. Saya pun menyukai gaya tulisan Dave Eggers dan mengagumi kemampuan Dan Brown dalam membuat struktur. Secara personal, saya juga mengagumi sosok Pak Sapardi dan Goenawan Mohamad karena produktivitas dan aktivitas mereka yang terus berlanjut hingga usia senior.

Dee banyak mengambil Indonesia, entah tempat maupun budayanya, untuk latar cerita. Mengapa demikian? 

Tentu saja karena saya tinggal di Indonesia, sehingga pengamatan saya banyak datang dari sekeliling saya. Semata-mata karena kebutuhan cerita, saya hampir tidak pernah punya misi khusus untuk mengangkat budaya tertentu. Tapi, sebenarnya tulisan saya lebih kontemporer ketimbang tradisional. Jadi, meskipun ada budaya lokal yang saya ambil, seringnya dikombinasikan dengan kehidupan masyarakat modern. Selain setting lokal, sebenarnya saya cukup sering mengambil setting di luar negeri.

Oh ya, kalau boleh tahu, buku apa saja yang ada di Must Read List-nya Dee (mungkin empat atau lima judul) dan mengapa?

The Life-Changing Magic of Tidying Up – Marie Kondo
Self-Aware Universe – Amit Goswami
Hujan Bulan Juni – Sapardi Djoko Damono
On Writing – Stephen King
The Joy of Living – Yongey Mingyur Rinpoche

Alasannya, karena kesemuanya penting, menarik, dan transformatif.



Thursday, April 2, 2020

Access Magazine | Tax & Royalty | Sept, 2017 | Satya Wacana

What is your reason for becoming a writer? Do you think that some writers may have the same reason at the first they start this field? Why?

As long as I remember, I always have a strong inclination towards story crafting. I enjoyed the sensation of being carried away by a story, and I’d like to do the same to others. So, basically it’s been a hobby since I was a child. I guess many writers felt the same passion early on.

Back then, there were some issues regarding to the regulation of royalty payment and the tax. I believe you as one of the experienced writers, you do know exactly what the problems are. In short explanation, what is the real problem that the writers (in this case Indonesian writers) have to struggle with?

In general, it’s not that easy to be a writer as a sole profession. Only the best-selling books can generate enough significant income to provide a living, and only a handful writers can be the best-selling ones. The issue with tax is, our taxation system doesn’t reflect its full understanding yet on the productivity cycle and the income pattern of a writer. We’re in the same category with artists, while how we generate income is far different. Royalties are considered passive income, while in reality writers need to actively create and promote their works.

Based on the 2 notes that you wrote and published on your Facebook page (attached), you are aware about the dilemma of Indonesian writers. But then, as you are now, you are successful in this field and known by most of the writers in Indonesia. Had you went through the problem too (as stated in the 2nd question) or do you still struggle with it until now? How do you overcome it?

I started out my writer career by doing self-publishing. And, lucky enough, the sales of my book was very good at that time. Writing was also not my sole profession because I was already a professional singer first. I had challenges in managing self publishing, but I didn’t struggle financially. To overcome it, I decided to work together with a publisher on my second book. Therefore, I could focus on the creative aspect of my work and let others handle the business aspect. But of course, my situation may not apply to all writers. In my article, I pointed the general situations with writers in Indonesia.

Talking about the process of publishing a book, can you share your experience about it?  Was there any problem in the process? If there was, what was it? Do you have any idea how to solve similar problems in the future?

If you go to a publisher, then you need to have a strong manuscript. The story must be relatable. More polished is better, because the editor can gauge our writing ability and maturity from how we prepare our manuscript. You also need to find the right publisher. Don’t go with a nonfiction manuscript to a publisher that mostly publish fictions, for instance. So, know your own book and know which door to knock. If you’re doing self- publishing, then of course you will need capital to do it. You’ll need to do all the tasks that a publisher usually does, which include distribution planning, promotion planning, sales planning, etc. Both has its own advantage and challenge.

If the government still ignores the unsolved problem, do you think it will impact the next generation of Indonesian writers? How so?

I think, writing as a profession will remain a secondary job for most. We’ll have only few dedicated writers, thus a slow growth in literacy outcomes. Eliminating the PPN from all books and giving the right tax treatments for writers will be a great stimulus for Indonesian literacy.

What about the readers? Will it (refers to previous question) brings effects to the interest in reading of Indonesian?

Eliminating PPN from all books will make books become more affordable to people. Readers may also enjoy more various themes and increasing numbers of books from more writers.


While waiting for the government to make a move and take actions to the matters of Indonesian writers problems, what do you suggest or any advises for to-be writers out there, that have plan to publish their masterpiece?

We all should be doing what we love. Tax is one thing, and there are rooms to improve on that matter. But, however the situation is, we should always keep writing our hearts out, do what we love best.

Is there any additional advice for the writers in Indonesia that might be considered as an important thing to be prepared before and after they send their manuscript to publisher?

Writing is like a muscle. You need to use it a lot to grow stronger, to know yourself better. If you want to become a professional writer, you should perceive yourself like an athlete going for a race. You need to train. Learn as much as you can about writing, from books, workshops, and most importantly, from trying it often. There’s no shortcut to writing. It’s  skill that needs a lifetime to master.


Friday, May 12, 2017

CewekBangetID | Hari Kartini | April, 2017 | Natalia Simanjuntak


Mbak Dewi sekarang dikenal sebagai penulis novel best-seller, tapi banyak yang belum tahu bagaimana Mbak Dewi melewati masa-masa remajanya. Apakah sejak remaja Mbak Dewi sudah suka menulis? Apa atau siapa yang menjadi influencer terbesar Mbak Dewi saat itu?

Saya suka menulis sejak kecil. Seingat saya, dari kelas 5 SD saya sudah mulai membuat novel-novelan. Waktu remaja, SMP-SMA, saya juga suka menulis, tapi tidak terlalu serius karena saat itu saya lebih fokus ke musik. Waktu kecil hingga remaja saya banyak membaca buku-buku Enid Blyton, komik drama Jepang, dan sedikit-sedikit mulai menyukai puisi. Salah satu supporter terbesar saya adalah ibu saya sendiri. Dulu, beliau yang meyakinkan saya bahwa saya punya bakat menulis.

Bagaimana respon orang-orang terdekat terhadap hobi Mbak Dewi ini? Adakah keluarga atau teman-teman yang menentang?

Menentang sih tidak, tapi mungkin tidak menganggap terlalu serius. Mereka cuma tahu bahwa saya punya hobi menulis. Keluarga dan sahabat-sahabat dekat juga menjadi para pembaca pertama ketika saya membuat cerita. Semuanya menyambut positif bahkan kegandrungan dengan cerita yang bikin. Tapi, ya, itu tadi. Mereka pun tampaknya tidak membayangkan bahwa menulis akan menjadi profesi saya kelak. Saya juga saat itu tidak terbayang ke arah sana. Yang saya tahu hanya saya suka menulis dan berangan-angan satu hari nanti menerbitkan buku.

Sebagai remaja, apakah Mbak Dewi juga pernah merasa insecure terkait dengan fisik atau lainnya? Bagaimana proses Mbak Dewi struggling dengan hal tersebut sampai akhirnya bisa menerima diri sendiri sebagaimana adanya?

Tentu saja pernah. Pernah jerawatan, pernah merasa kurang kurus, pernah merasa kurang modis, dan sebagainya. Untungnya, karena saya terlibat cukup banyak di kegiatan lain, soal penampilan tidak pernah jadi fokus saya terus menerus. Saya lebih banyak mengasah hobi saya, khususnya musik dan berorganisasi. Jadi, orang-orang akhirnya lebih mengenal saya karena kemampuan saya, bukan karena penampilan, dan itu membuat saya tetap percaya diri ketika berelasi dengan orang lain.

Menurut Mbak Dewi, apa hal utama yang seharusnya dimiliki oleh seorang perempuan khususnya di Indonesia supaya bisa berhasil mewujudkan mimpinya?

Memelihara rasa ingin tahu, ingin belajar. Menurut saya itulah modal besar untuk seseorang bisa maju, terlepas gendernya apa. Ketika sudah menemukan passion kita apa, jangan berhenti di situ. Asah terus hingga menjadi skill. Itulah modal terbesar untuk kita mencapai potensi terbaik kita kelak.

Apa pandangan Mbak Dewi mengenai feminisme?

Pandangan saya netral-netral saja. Karena pernah ada masanya perempuan mengalami represi besar-besaran, maka gerakan feminisme secara alamiah akan lahir seiring dengan pengetahuan perempuan—dan manusia pada umumnya—yang menginginkan perubahan ke arah lebih baik. Saat ini, feminisme sudah mapan seperti isme-isme lainnya yang sudah lama ada di sekitar kita dan teruji waktu. Dan, masih akan terus berkembang. Saya pribadi tidak pernah menganggap diri feminis, lebih ke humanis.

Sekarang ini, sudahkah perempuan setara dengan laki-laki? Apa yang bisa perempuan lakukan supaya bisa keluar dari stigma "dapur, sumur, dan kasur"? Pernahkah Mbak Dewi diremehkan sebagai seorang perempuan?

Saya cukup beruntung karena sepanjang ingatan saya, saya tidak pernah merasa diremehkan sebagai seorang perempuan. Mungkin karena itu juga saya pribadi tidak punya isu dengan kesetaraan meski saya tahu bahwa isu tersebut nyata terjadi di kehidupan masyarakat umum. Untuk bisa keluar dari stigma, tentu yang pertama harus ada adalah kesadaran bahwa stigma itu melekat pada dirinya. Karena jika problem belum diidentifikasi, solusi pastilah belum bisa lahir. Jika kesadaran sudah ada, maka perkayalah diri dengan jaringan dan informasi yang dapat membantu kita lepas dari stigma tersebut. Banyak organisasi atau LSM yang mengadakan pelayanan terhadap isu represi gender, memberikan pelatihan, pemberdayaan, dsb. Kalau soal setara, saya rasa dalam banyak bidang kesetaraan yang ideal dan sempurna tentu belum dicapai. Tapi kita juga perlu mengidentifikasi lebih jelas kesetaraan apa yang ingin dicapai dan perlu ada. Saya rasa ada banyak perspektif mengenai hal tersebut. Saya sendiri lebih fokus kepada bagaimana kita, sebagai manusia, dapat mencapai potensi maksimal kita dalam bidang apa pun.


Belia - Pikiran Rakyat | Hari Kartini & Menulis | April, 2017 | Dhiany Nadya Utami

--> -->
Sebagai pembuka, karena di bulan ini kita memperingati Hari Kartini, menurut Mbak Dee bagaimana sih seharusnya tokoh Kartini itu?

“Seharusnya” bukanlah konsep yang saya miliki tentang Hari Kartini maupun sosok Kartini. Namun, sebagaimana Kartini pada saat itu, saya merasa Kartini menyimbolkan pemikiran kritis terhadap kemajuan dan harkat perempuan. Ia sosok yang cerdas dan melampaui zaman, walaupun akhirnya menyerah kepada keterbatasan yang mengungkungnya saat itu. Saya merasa pergelutan Kartini itu lebih di tataran intelektual.

Dalam pandangan Mbak Dee, apa yang sebenarnya menjadikan seorang wanita itu hebat?

Perempuan yang bersentuhan dekat dengan potensinya, kekuatannya, dan mampu memanifestasikannya dalam kehidupan nyata, bidang apa pun itu, termasuk dalam berumah tangga dan membesarkan anak-anaknya.

Apa yang bisa dilakukan seorang perempuan untuk memberdayakan (empowering) sesama perempuan?

Saling berbagi informasi, pengetahuan, pemikiran. Saya rasa itu juga yang kurang lebih dilakukan Kartini dulu. Saat ini tentu kita sudah bisa melangkah jauh, ada yang memilih berorganisasi, bergerak melalui LSM, dsb. Namun, intinya adalah bagaimana kita menciptakan kesadaran akan kekuatan dan potensi kaum perempuan.

Kembali ke Kartini, kita tahu ia dikenal salah satunya karena ia mendokumentasikan pemikirannya dalam tulisan dan mengirimkannya dalam bentuk surat pada temannya, bagaimana Mbak Dee memandang hal tersebut?

Bagaimana pandangan Mbak Dee jika Mbak disebut disebut sebagai Kartini Literasi?
Saya merasa predikat seperti itu merupakan hak dari pembaca atau siapa pun yang berada di luar dari saya sendiri, tentunya. Jika saya kembali ke diri saya sendiri, saya berkarya bukan demi predikat, melainkan karena kecintaan dan kegemaran saya pada seni bercerita. Tentu pada akhirnya, ketika seorang konsisten berkarya dan mulai memiliki gaung di tengah masyarakat, akan ada banyak predikat yang disandangkan. Saya merasa itu sesuatu yang patut diapresiasi, tapi bukan sesuatu yang saya kejar, jadi saya terima saja.

Oh ya, Mbak Dee sendiri sejak kapan suka menulis dan mengapa memutuskan untuk berkarya lewat tulisan?

Saya mulai menulis “novel-novelan” sejak kelas lima SD, dan sering mengkhayal cerita-cerita bahkan lebih muda dari itu. Setelahnya saya menulis terus sebagai hobi, sampai lulus kuliah, berkarier di bidang musik, dan akhirnya tahun 2001 saya menerbitkan buku (Supernova episode Kesatria, Puteri, dan Bintang Jatuh).

Bagi Mbak, menulis itu apa?

Saluran berekspresi dan pekerjaan yang saya cintai.

Siapa (atau apa) yang menjadi inspirasi Mbak Dee dalam menulis?

Inspirasi saya didapat dari hidup itu sendiri. Ketika menjalani hidup dan mengalami berbagai pengalaman, banyak hal yang renungkan, ingin saya bagikan, dan komunikasikan ke pihak lain. Medium yang saya pilih adalah menulis. Sama halnya dengan pelukis yang memilih melakukannya lewat lukisan, atau musikus yang berekspresi lewat musik.

Karya seperti apa sih yang ingin dihasilkan oleh seorang Dewi Lestari?

Karya yang saya sendiri sukai. Saya hanya menulis buku yang ingin saya baca, dan lagu yang ingin saya dengar.

Adakah pesan atau tips dari Mbak Dee untuk pembaca Belia yang ingin atau sudah  mulai menulis?

Menulis itu seperti otot. Jika kita ingin tangguh, ingin bertumbuh, ingin terus bertambah kuat, satu-satunya cara adalah dilatih, sering, dan sebisa mungkin rutin. Setelah sering latihan, tentu kita juga ingin tahu cara berlatih yang benar dan efektif, maka carilah ilmu menulis yang baik, lewat membaca, ikut workshop, dan sebagainya. Intinya jadikan itu bagian dari hidup seperti halnya kita makan dan minum.