Mbak Dewi sekarang dikenal sebagai
penulis novel best-seller, tapi banyak yang belum tahu bagaimana Mbak Dewi
melewati masa-masa remajanya. Apakah sejak remaja Mbak Dewi sudah suka menulis?
Apa atau siapa yang menjadi influencer terbesar Mbak Dewi saat itu?
Saya suka menulis
sejak kecil. Seingat saya, dari kelas 5 SD saya sudah mulai membuat
novel-novelan. Waktu remaja, SMP-SMA, saya juga suka menulis, tapi tidak
terlalu serius karena saat itu saya lebih fokus ke musik. Waktu kecil hingga
remaja saya banyak membaca buku-buku Enid Blyton, komik drama Jepang, dan
sedikit-sedikit mulai menyukai puisi. Salah satu supporter terbesar saya adalah
ibu saya sendiri. Dulu, beliau yang meyakinkan saya bahwa saya punya bakat
menulis.
Bagaimana respon orang-orang terdekat
terhadap hobi Mbak Dewi ini? Adakah keluarga atau teman-teman yang menentang?
Menentang sih tidak,
tapi mungkin tidak menganggap terlalu serius. Mereka cuma tahu bahwa saya punya
hobi menulis. Keluarga dan sahabat-sahabat dekat juga menjadi para pembaca
pertama ketika saya membuat cerita. Semuanya menyambut positif bahkan
kegandrungan dengan cerita yang bikin. Tapi, ya, itu tadi. Mereka pun tampaknya
tidak membayangkan bahwa menulis akan menjadi profesi saya kelak. Saya juga
saat itu tidak terbayang ke arah sana. Yang saya tahu hanya saya suka menulis
dan berangan-angan satu hari nanti menerbitkan buku.
Sebagai remaja, apakah Mbak Dewi juga
pernah merasa insecure terkait dengan fisik atau lainnya? Bagaimana proses Mbak
Dewi struggling dengan hal tersebut sampai akhirnya bisa menerima diri sendiri
sebagaimana adanya?
Tentu saja pernah.
Pernah jerawatan, pernah merasa kurang kurus, pernah merasa kurang modis, dan
sebagainya. Untungnya, karena saya terlibat cukup banyak di kegiatan lain, soal
penampilan tidak pernah jadi fokus saya terus menerus. Saya lebih banyak
mengasah hobi saya, khususnya musik dan berorganisasi. Jadi, orang-orang
akhirnya lebih mengenal saya karena kemampuan saya, bukan karena penampilan,
dan itu membuat saya tetap percaya diri ketika berelasi dengan orang lain.
Menurut Mbak Dewi, apa hal utama yang
seharusnya dimiliki oleh seorang perempuan khususnya di Indonesia supaya bisa
berhasil mewujudkan mimpinya?
Memelihara rasa ingin
tahu, ingin belajar. Menurut saya itulah modal besar untuk seseorang bisa maju,
terlepas gendernya apa. Ketika sudah menemukan passion kita apa, jangan
berhenti di situ. Asah terus hingga menjadi skill.
Itulah modal terbesar untuk kita mencapai potensi terbaik kita kelak.
Apa pandangan Mbak Dewi mengenai feminisme?
Pandangan saya
netral-netral saja. Karena pernah ada masanya perempuan mengalami represi
besar-besaran, maka gerakan feminisme secara alamiah akan lahir seiring dengan
pengetahuan perempuan—dan manusia pada umumnya—yang menginginkan perubahan ke
arah lebih baik. Saat ini, feminisme sudah mapan seperti isme-isme lainnya yang
sudah lama ada di sekitar kita dan teruji waktu. Dan, masih akan terus
berkembang. Saya pribadi tidak pernah menganggap diri feminis, lebih ke
humanis.
Sekarang ini, sudahkah perempuan setara
dengan laki-laki? Apa yang bisa perempuan lakukan supaya bisa keluar dari
stigma "dapur, sumur, dan kasur"? Pernahkah Mbak Dewi diremehkan
sebagai seorang perempuan?
Saya cukup beruntung
karena sepanjang ingatan saya, saya tidak pernah merasa diremehkan sebagai
seorang perempuan. Mungkin karena itu juga saya pribadi tidak punya isu dengan
kesetaraan meski saya tahu bahwa isu tersebut nyata terjadi di kehidupan masyarakat
umum. Untuk bisa keluar dari stigma, tentu yang pertama harus ada adalah
kesadaran bahwa stigma itu melekat pada dirinya. Karena jika problem belum
diidentifikasi, solusi pastilah belum bisa lahir. Jika kesadaran sudah ada,
maka perkayalah diri dengan jaringan dan informasi yang dapat membantu kita
lepas dari stigma tersebut. Banyak organisasi atau LSM yang mengadakan
pelayanan terhadap isu represi gender, memberikan pelatihan, pemberdayaan, dsb.
Kalau soal setara, saya rasa dalam banyak bidang kesetaraan yang ideal dan
sempurna tentu belum dicapai. Tapi kita juga perlu mengidentifikasi lebih jelas
kesetaraan apa yang ingin dicapai dan perlu ada. Saya rasa ada banyak
perspektif mengenai hal tersebut. Saya sendiri lebih fokus kepada bagaimana
kita, sebagai manusia, dapat mencapai potensi maksimal kita dalam bidang apa
pun.