Friday, May 12, 2017

CewekBangetID | Hari Kartini | April, 2017 | Natalia Simanjuntak


Mbak Dewi sekarang dikenal sebagai penulis novel best-seller, tapi banyak yang belum tahu bagaimana Mbak Dewi melewati masa-masa remajanya. Apakah sejak remaja Mbak Dewi sudah suka menulis? Apa atau siapa yang menjadi influencer terbesar Mbak Dewi saat itu?

Saya suka menulis sejak kecil. Seingat saya, dari kelas 5 SD saya sudah mulai membuat novel-novelan. Waktu remaja, SMP-SMA, saya juga suka menulis, tapi tidak terlalu serius karena saat itu saya lebih fokus ke musik. Waktu kecil hingga remaja saya banyak membaca buku-buku Enid Blyton, komik drama Jepang, dan sedikit-sedikit mulai menyukai puisi. Salah satu supporter terbesar saya adalah ibu saya sendiri. Dulu, beliau yang meyakinkan saya bahwa saya punya bakat menulis.

Bagaimana respon orang-orang terdekat terhadap hobi Mbak Dewi ini? Adakah keluarga atau teman-teman yang menentang?

Menentang sih tidak, tapi mungkin tidak menganggap terlalu serius. Mereka cuma tahu bahwa saya punya hobi menulis. Keluarga dan sahabat-sahabat dekat juga menjadi para pembaca pertama ketika saya membuat cerita. Semuanya menyambut positif bahkan kegandrungan dengan cerita yang bikin. Tapi, ya, itu tadi. Mereka pun tampaknya tidak membayangkan bahwa menulis akan menjadi profesi saya kelak. Saya juga saat itu tidak terbayang ke arah sana. Yang saya tahu hanya saya suka menulis dan berangan-angan satu hari nanti menerbitkan buku.

Sebagai remaja, apakah Mbak Dewi juga pernah merasa insecure terkait dengan fisik atau lainnya? Bagaimana proses Mbak Dewi struggling dengan hal tersebut sampai akhirnya bisa menerima diri sendiri sebagaimana adanya?

Tentu saja pernah. Pernah jerawatan, pernah merasa kurang kurus, pernah merasa kurang modis, dan sebagainya. Untungnya, karena saya terlibat cukup banyak di kegiatan lain, soal penampilan tidak pernah jadi fokus saya terus menerus. Saya lebih banyak mengasah hobi saya, khususnya musik dan berorganisasi. Jadi, orang-orang akhirnya lebih mengenal saya karena kemampuan saya, bukan karena penampilan, dan itu membuat saya tetap percaya diri ketika berelasi dengan orang lain.

Menurut Mbak Dewi, apa hal utama yang seharusnya dimiliki oleh seorang perempuan khususnya di Indonesia supaya bisa berhasil mewujudkan mimpinya?

Memelihara rasa ingin tahu, ingin belajar. Menurut saya itulah modal besar untuk seseorang bisa maju, terlepas gendernya apa. Ketika sudah menemukan passion kita apa, jangan berhenti di situ. Asah terus hingga menjadi skill. Itulah modal terbesar untuk kita mencapai potensi terbaik kita kelak.

Apa pandangan Mbak Dewi mengenai feminisme?

Pandangan saya netral-netral saja. Karena pernah ada masanya perempuan mengalami represi besar-besaran, maka gerakan feminisme secara alamiah akan lahir seiring dengan pengetahuan perempuan—dan manusia pada umumnya—yang menginginkan perubahan ke arah lebih baik. Saat ini, feminisme sudah mapan seperti isme-isme lainnya yang sudah lama ada di sekitar kita dan teruji waktu. Dan, masih akan terus berkembang. Saya pribadi tidak pernah menganggap diri feminis, lebih ke humanis.

Sekarang ini, sudahkah perempuan setara dengan laki-laki? Apa yang bisa perempuan lakukan supaya bisa keluar dari stigma "dapur, sumur, dan kasur"? Pernahkah Mbak Dewi diremehkan sebagai seorang perempuan?

Saya cukup beruntung karena sepanjang ingatan saya, saya tidak pernah merasa diremehkan sebagai seorang perempuan. Mungkin karena itu juga saya pribadi tidak punya isu dengan kesetaraan meski saya tahu bahwa isu tersebut nyata terjadi di kehidupan masyarakat umum. Untuk bisa keluar dari stigma, tentu yang pertama harus ada adalah kesadaran bahwa stigma itu melekat pada dirinya. Karena jika problem belum diidentifikasi, solusi pastilah belum bisa lahir. Jika kesadaran sudah ada, maka perkayalah diri dengan jaringan dan informasi yang dapat membantu kita lepas dari stigma tersebut. Banyak organisasi atau LSM yang mengadakan pelayanan terhadap isu represi gender, memberikan pelatihan, pemberdayaan, dsb. Kalau soal setara, saya rasa dalam banyak bidang kesetaraan yang ideal dan sempurna tentu belum dicapai. Tapi kita juga perlu mengidentifikasi lebih jelas kesetaraan apa yang ingin dicapai dan perlu ada. Saya rasa ada banyak perspektif mengenai hal tersebut. Saya sendiri lebih fokus kepada bagaimana kita, sebagai manusia, dapat mencapai potensi maksimal kita dalam bidang apa pun.