Pada saat kuliah mengambil jurusan apa?
Bagaimana bisa memilih jurusan kuliah itu?
Saya
mengambil jurusan Hubungan Internasional, FISIP, di Universitas Parahyangan
Bandung. Sejujurnya, waktu itu saya memilih jurusan HI lebih dikarenakan
ketidaktahuan. Waktu SMA saya mengambil jurusan Biologi karena disuruh ibu,
tapi saya sendiri sebetulnya tahu bahwa saya tidak akan mengambil jurusan eksak
saat kuliah dan lebih tertarik ke sosial. Hanya saja ibu saya tidak mengizinkan
saya ambil jurusan Sosial saat SMA. Begitu lulus, saya sudah tidak melirik lagi
jurusan kuliah yang berhubungan dengan biologi. Saya langsung cari alternatif
jurusan sosial yang kira-kira menarik. “Hubungan Internasional” terdengar keren
bagi saya saat itu, dan karena ada kata “Internasional” saya pikir saya kelak
jadi punya banyak kesempatan jalan-jalan keluar negeri. Akhirnya saya ambil.
Saya tidak tahu bahwa Hubungan Internasional lebih banyak fokus ke politik,
yang mana hal tersebut benar-benar tidak menarik bagi saya. Memang ada
benarnya, kalau kita serius berkarier di dunia diplomatik, bisa jalan-jalan
keluar negeri. Tapi tentunya pemahaman itu tidak serupa dengan bayangan remaja
saya.
Kapan mulai menemukan passion, visi dan
purpose of life? Trus apa passion, visi dan purpose dalam hidup Mbak Dewi?
Ceritakan cara menemukannya.
Jika
kilas balik ke belakang, sebetulnya sejak kecil saya sudah menemukan apa yang
saya suka, dan masih saya geluti sampai sekarang, yakni musik dan menulis.
Musik, saya senang dengan aspek mencipta lagu, dan karena bisa nyanyi juga ya
akhirnya jadi penyanyi. Menulis, saya senang mengkhayal dan menciptakan cerita,
akhirnya menulis fiksi menjadi penyaluran kreatif saya. Keduanya sudah saya
jalani sejak kecil. Saya aktif nyanyi sejak kelas 3 SD. Saya membuat cerita
panjang pertama saya sejak kelas 5 SD. Karena keduanya adalah hobi, saya
jalankan terus. Saya aktif di vokal group sekolah, paduan suara, jadi dirigen,
bikin band, ikut pementasan, jadi backing vokal, bikin group vokal, dan
sebagainya. Sementara menulis lebih banyak terjadi di belakang layar. Tapi,
saya tidak pernah berhenti. Ketika kuliah dan sudah mulai punya penghasilan
sendiri dari menyanyi, saya beli laptop. Waktu itu anak kuliahan masih jarang
yang punya laptop. Tapi, saya bela-belain beli karena saya ingin bisa menulis
kapan saja dan di mana saja, terutama karena karier nyanyi saya mengharuskan
saya banyak bepergian. Jadi, kedua hal tersebut adalah passion saya. Di
pertengahan bangku kuliah, saya sudah tahu bahwa saya tidak akan berkarier
kantoran, saya akan terus menggeluti bidang seni. Visi saya sebetulnya simpel,
saya ingin berkarya sebaik mungkin yang saya bisa. Saya ingin menulis buku yang
saya ingin baca. Saya ingin menulis lagu yang saya ingin dengar. Saya ingin
punya karya-karya yang berumur panjang dan menyentuh hati. Terus terang, saya
tadinya tidak yakin apakah saya bisa mengandalkan hidup dari hobi. Namun,
ketika dijalani, pelan-pelan saya bisa mendapatkan apa yang saya inginkan.
Secara finansial saya sudah mandiri sejak kuliah. Saya membiayai kuliah dan
hidup saya sepenuhnya. Lulus kuliah, saya sudah bisa mengontrak rumah. Pelan-pelan,
mulai punya kendaraan sendiri, membeli properti, membangun rumah, dst. Mungkin
saya tidak jadi konglomerat dan memang tidak punya impian ke arah sana, tapi
dari hobi yang saya jalani, saya punya penghidupan yang nyaman dan layak. Bagi
saya, ini sudah lebih dari cukup. Apalagi kepuasan batin yang saya dapatkan
dari berkarya tidak ternilai rasanya.
Apakah menyesal mengambil jurusan
kuliah yang pernah diambil?
Sempat
menyesal ketika pertengahan kuliah, karena saya merasa buang-buang waktu menjalani
sesuatu yang saya sudah tahu tidak bakal saya pakai. Tapi, di penghujung
kuliah, tepatnya ketika skripsi, saya menemukan topik penelitian yang sangat
menarik minat saya. Saya menulis tentang hubungan pop culture dan politik. Saat
itu, tema tsb belum pernah diangkat menjadi tema skripsi sebelumnya. Saya jadi
bersemangat, apalagi pop culture banyak bicara tentang seni. Skill menulis saya
jadi meningkat sepanjang pembuatan skripsi, demikian juga stamina saya membaca
buku. Jadi, akhirnya saya merasa punya penutup yang manis dalam berkuliah,
karena saya sangat puas dengan skripsi yang saya buat. Saya tidak menyesal
dengan jurusan yang saya ambil. Setelah lulus saya malah sempat terpikir untuk
mengambil S2 jurusan Filsafat. Namun, saya urungkan karena saya lebih tertarik
pada spiritualitas dan sains yang akhirnya saya pelajari sendiri dari berburu
buku.
Mbak Dewi kan, memiliki banyak talenta,
mengapa justru memilih menulis? Apa pertimbangannya?
Itu
bukanlah keputusan serta merta yang dibuat pada satu waktu tertentu, melainkan
berdasarkan perkembangan dan proses yang organik. Ada kalanya saya
memprioritaskan bermusik, dan ada kalanya juga saya rihat dari menulis. Tapi,
sejak berkeluarga saya merasa menulis lebih pas menjadi karier prioritas karena
fleksibilitas waktu dan lokasi. Saya tidak perlu terikat di satu tempat dan
waktu tertentu. Saya bisa menentukan ritme kerja sendiri. Saya tidak banyak
bergantung ke pihak lain. Menulis juga tidak mengenal usia maupun penampilan.
Namun, itu semua sesungguhnya adalah faktor-faktor praktis dari aspek karier.
Bagi saya menulis bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan.
Seberapa penting menulis bagi Mbak
Dewi?
Kita
tidak bisa membendung arus kreativitas. Menulis adalah medium saya untuk
menyalurkan arus tak terbendung tersebut. Sama seperti kita butuh kaki untuk
berjalan dan mata untuk melihat. Menulis adalah bagian dari diri saya.