Dee terkenal piawai menggunakan bahasa-bahasa puitis dalam membuat lirik lagu. Jika ditanya, Dee merasa tipe orang romantis atau bukan?
Lumayan. Namun,
khusus dalam kepenulisan, saya bisa karena terbiasa. Dalam menulis, saya harus
menempatkan diri saya dalam konteks cerita, meresapi emosi yang terjadi,
sehingga bisa mengomunikasikan emosi tersebut dalam kata-kata yang saya susun.
Siapa musisi favorit? Kenapa?
Saya cenderung
menyukai mereka yang singer-songwriter, karena
biasanya lagu-lagu mereka sangat mengena. Saya menyukai Sarah McLachlan, Sara
Bareilles, Emily Saliers dari Indigo Girls.
Dari mana biasanya mendapat inspirasi lagu?
Tidak tentu. Buat
saya selama ini proses bikin lagu itu seperti tersambar petir. Kalau terjadi,
terjadilah. Saya tidak sengaja mencari-cari.
Sebagai penulis lagu, bagaimana menyelaraskan antara
lagu dengan orang yang menyanyikan?
Patokan saya
bukan kepada yang menyanyikan, karena saya tidak tahu pasti siapa yang akan
menyanyikan lagu saya. Saya lebih memperhatikan aspek prosodi, yakni kesesuaian
melodi dengan lirik. Prosodi itu butuh kepekaan. Tapi, jika kita sudah bisa
mengamati itu dengan jeli, kita bisa tahu bahwa frase melodi tertentu cocok
dengan bunyi vokal tertentu. Kemudian, frase melodi tersebut akan membentuk
suasana tertentu yang cocok dengan tema tertentu. Ketika ada lagu yang
prosodinya nggak enak atau nggak pas, saya bisa merasa dan terganggu. Misalnya,
ada frase melodi cerita tapi diisi dengan lirik yang sedih dan sebaliknya. Atau
ketika ada pemotongan suku kata yang tidak pas dengan napas melodi. Atau ketika
ada kata yang artikulasi hurufnya menyulitkan ketika dinyanyikan. Hal-hal
seperti itu yang saya perhatikan.
Seorang penulis harus banyak membaca. Seberapa
seringkah Dee membaca buku?
Kalau sedang
riset, bisa sangat banyak. Terus terang, belakangan saya kesulitan punya waktu
luang untuk membaca. Kalau memang niat banget, saya sampai harus mencantumkan
membaca dalam to-do-list.
Siapa penulis favorit dan apa judul buku favorit?
Kenapa?
Tidak ada satu
penulis fiksi yang saya ikuti terus dengan setia, mungkin karena saya bukan
pembaca fiksi yang sabar. Tapi, ada beberapa penulis nonfiksi yang saya ikuti
terus karena saya suka topiknya, seperti Graham Hancock.
Dee adalah seorang ibu dari dua anak, bagaimana
membagi waktu dengan keluarga namun bisa tetap berkomitmen menulis?
Dengan
mengaturnya dalam jadwal kerja. Ketika saya sudah memilih satu proyek kreatif,
saya langsung membuat deadline, menyusun jadwal harian, dan dalam perhitungan
tersebut saya sudah memilah waktu saya kerja dan waktu saya buat keluarga dan
hal lainnya. Ketika komitmen itu dimulai, saya menyebut fase tersebut “fase
masuk gua”. Biasanya, selama fase masuk gua berlangsung, saya membatasi seminim
mungkin kegiatan saya di luar rumah, jadi saya masih punya waktu untuk
keluarga. Karena dengan hanya menulis saja sudah begitu banyak jam yang saya
dedikasikan untuk bekerja, kalau saya masih mengambil lagi komitmen-komitmen
pekerjaan lain, bisa-bisa saya tidak punya waktu lagi untuk rumah dan keluarga.
Jadi, memang harus ada yang dikorbankan.
Semua buku Dee yang diterbitkan sudah difilmkan.
Sejauh mana keterlibatan Dee dari semua film-film adaptasi buku Dee tersebut?
Beda-beda
bergantung kesepakatan saya dengan pihak produser dan juga kesanggupan saya.
Karena meski produsernya kepingin saya terlibat, kalau saya sedang ada fase
menulis, saya pasti akan mengutamakan buku saya. Mengapa? Karena pertama, film
bukan pekerjaan inti saya. Kedua, dalam film, posisi saya masih bisa digantikan
atau malah ditiadakan, karena bagaimana pun produser mengadaptasi karya saya,
yang artinya mereka punya kebebasan untuk melakukan interpretasi ulang.
Sementara tidak ada lagi yang bisa menuliskan buku saya selain saya sendiri.
Bagaimana Dee memandang sebuah film yang diadaptasi
dari buku?
Film yang
diadaptasi dari buku adalah hal biasa. Film-film pertama di dunia pun diambil
dari adaptasi buku. Jadi, ini adalah praktik yang lazim. Film yang diadaptasi
dari buku biasanya menjadi polemik di antara pembaca setia, ada yang suka dan
tidak. Namun, menurut saya, semua film juga biasanya begitu. Akan ada yang suka
dan tidak. Pada akhirnya, sebuah produksi film tugas utamanya adalah
menghadirkan film yang sebaik mungkin. Terlepas itu diadaptasi dari buku atau
bukan.
Piawai dalam menulis karya fiksi, lalu menulis
skenario pertama kali untuk Perahu Kertas. Apakah mengalami kesulitan untuk
menulis skenario? Jika iya, bagaimana mengatasi kesulitannya?
Skenario adalah
hal yang sama sekali berbeda dengan penulisan novel. Pakemnya, pendekatannya,
eksekusinya, semuanya beda. Jadi, untuk menulis skenario saya harus belajar
ulang dari nol. Saya baca lagi teori-teori menulis skenario, diskusi dengan
beberapa penulis skenario, dsb.
Jika disuruh untuk memilih, bermusik atau menulis?
Kenapa?
Tidak bisa
memilih. Keduanya sudah inheren ada di dalam diri saya. Bagi saya, musik dan
menulis hakikatnya satu: story telling.
Ide gila apa yang ingin dituangkan di dalam tema
cerita di buku?
Pendekatan saya
kepada buku tidak seperti itu. Saya tidak menulis semata-mata karena punya “ide
gila”. Saya menulis karena ingin menciptakan cerita yang baik. Dan, untuk itu
tidak selalu dibutuhkan ide yang gila, ide yang biasa-biasa pun jadi, selama
dikerjakan dengan baik hasilnya bisa jadi luar biasa.
Pernah punya keinginan untuk menulis skenario orisinal
untuk film? Film genre apa?
Saat ini belum.
Banyak sekali anak-anak muda yang bercita-cita
menjadi penulis dan karyanya dipajang di toko buku. Sama seperti impian Dee.
Namun tak sedikit pula yang mengalami penolakan. Bisa berbagi sedikit untuk
mereka bagaimana supaya tidak patah semangat?
Penolakan adalah
hal yang akan dilalui semua penulis, skalanya beda-beda. Mungkin yang satu
ditolak penerbit, yang satu lagi ditolak media, yang lain mungkin dikritik
teman-teman yang akhirnya terasa seperti “penolakan”. Intinya, tidak semua
orang akan menyukai karya kita. Penulis pemula mengalami itu, penulis
profesional pun masih akan terus mengalami itu. Ketika saya mengalami hal
tersebut, saya menggunakannya sebagai momen refleksi. Biasanya, kita akan
temukan beberapa hal yang perlu kita perbaiki dari karya kita. Momen seperti
itu juga menjadi pengingat bagi saya: untuk siapakah saya menulis? Saya tidak
menulis untuk memuaskan orang lain. Saya menulis untuk kepuasan diri saya
sendiri. Kalau ada orang yang suka, saya anggap bonus. Jadi, selalu kembalikan
niat kita ke bentuknya yang paling dasar. Saya menulis buku yang saya ingin
baca. Itu saja.
Sukses menerbitkan Supernova seri terakhir di awal
tahun 2016. Target dan impian apa lagi yang belum tercapai?
Saya tidak
melihatnya lagi seperti itu. Saya memandang menulis adalah proses kontinu. Sama
halnya seperti petani menghadapi musim. Habis Supernova 6 akan datang buku
berikutnya, dan seterusnya.
Kapan menerbitkan buku lagi?
Sekarang ini saya break dulu. Masa rihat bagi saya sama pentingnya dengan
masa bekerja. Saya ingin mengambil napas panjang sebelum mulai sesuatu yang
baru. Mungkin saya baru akan menyusun proyek kreatif berikutnya di akhir tahun.
We’ll see.