Showing posts with label Supernova PARTIKEL. Show all posts
Showing posts with label Supernova PARTIKEL. Show all posts

Sunday, December 21, 2014

Nylon Magazine | Supernova PARTIKEL | April 2012 | by Alexander Kusuma Praja


Awalnya saya mau bertanya tentang kenapa begitu lamanya rentang waktu dari Petir ke Partikel, but you already explain it on the book, so yang hendak saya tanya sekarang adalah how do you feel right now setelah Partikel dirilis?

Mixed of feelings. Yang mendominasi tentu saja rasa lega, sekaligus excited ingin tahu respons pembaca bagaimana, apalagi mereka yang sudah menunggu bertahun-tahun. So far, I'm overwhelmed with the warm response, beyond happy!

Bolehkah ceritakan sedikit bagaimana dulu Anda bisa terpikir untuk membuat novel Supernova pertama kali? Apa yang membuatmu tergerak untuk menulisnya?

Saya menulis Supernova tahun 2000, tak lama setelah saya mengalami semacam "epifani" personal yang mengubah total pandangan saya terhadap spiritualitas, religi, dsb. Dulu tujuannya bikin Supernova sebetulnya tidak lebih dari berbagi penelusuran spiritual pribadi saya.

Bagian apa yang paling susah/menyenangkan dalam menyelesaikan Partikel?

Paling susah adalah waktu. Saya menulis Partikel dalam kondisi sudah ada anak dua, yang satu sudah SD, yang satu masih balita, di tengah gempuran berbagai urusan pekerjaan dan mengurus rumah tangga. It felt almost impossible. Tapi dengan dukungan suami saya dan orang-orang rumah, keleluasaan dari penerbit, dan juga tekad yang memang sudah bulat untuk menyelesaikan manuskrip Partikel, akhirnya bisa juga. Yang paling menyenangkan tentunya adalah proses menulis itu sendiri. Bisa tenggelam dalam semesta kehidupan karakter saya. It's a pleasant and exciting process, bahkan saat sulit sekalipun. If it's pain, then it's a good pain.

Buku-buku atau materi apa saja yang paling membantu Anda sebagai referensi/bahan riset untuk Partikel?

Setiap bagian atau babak punya referensi tersendiri. Tiga yang paling membantu adalah buku-buku dan penelitian Paul Stamets tentang fungi, Graham Hancock tentang enteogen, dan Birute Galdikas tentang orang utan. Selain itu masih banyak lagi, tapi bisa dibilang pondasi terkuat adalah tiga penulis tadi.

Saat menulis tentang sebuah tokoh, apakah Anda membayangkan sosok orang tertentu yang pernah Anda lihat atau kenal?

Hampir selalu. Kadang juga meramu beberapa orang menjadi satu. Terkadang saya pinjam namanya, atau fisiknya.

Ini murni penasaran, jika Mbak Dee keberatan pertanyaan ini dimuat saya bisa memakluminya. Di Partikel Anda menuliskan dengan begitu gamblang tentang efek dari enteogen, apakah Anda juga mencoba mengonsumsinya untuk mengetahui efeknya?

Sayangnya tidak. I wish I had, though. Tiga tahun lalu saya sudah berencana ke Peru untuk ikut retret Ayahuasca, tapi batal karena hamil anak kedua. Akhirnya, murni riset informasi tangan kedua. Tapi, pengalaman bermeditasi amat sangat menolong. Ketika saya membaca dan tanya jawab dengan mereka yang sudah mengalami, saya sangat bisa relate. 

How do you manage to balance the family life and writing?

I don't think there's any certain formula to that. Dijalankan saja, lengkap dengan trial dan error tentunya. Selalu ada konsekuensi. Ketika menulis Partikel, saya sempat "disapih" oleh Atisha, anak kedua saya, padahal saya masih berencana menyusuinya. Mungkin dia merasa vibrasi ibunya jadi agak lain. Tapi begitu manuskrip selesai, pelan-pelan dia balik lagi menyusui. Sekarang sudah normal lagi. Suamiku, Reza Gunawan, yang untungnya terapis, juga kenyang dengan ups and downs yang saya alami, ketika stuck, ketika riset mentok, dsb. He was really, really, my strongest pillar throughout the process.

Bagaimana dengan project selanjutnya? Saya dengar Perahu Kertas akan difilmkan, boleh diceritakan sedikit keterlibatan Anda dalam pembuatannya?

Perahu Kertas sudah selesai syuting, akan tayang Agustus. Saya menulis skenario dan menggawangi hingga proses casting kemarin. Sisanya sudah di tangan Hanung Bramantyo dan para produser, tentunya. Untuk menulis, saya akan melanjutkan penulisan Supernova selanjutnya. Sekarang masih dalam tahap riset. Ada beberapa buku saya lain yang akan difilmkan juga, tapi saya nggak akan terlibat jauh. Mau menyelesaikan Supernova dulu.

Sekarang banyak novel Indonesia yang dialihbahasakan ke Bahasa Inggris, ada rencana serupa untuk Supernova?

Supernova pertama sudah diterjemahkan oleh Harry Aveling, diterbitkan oleh Lontar, dan dijual di iBooks dan Amazon. Episode lainnya belum.

Untuk sekarang, apa yang sedang Anda inginkan?

Beristirahat dulu. It was quite a roller coaster, secara batin terkuras tiap kali menulis intensif.

As a fan and your reader, saya tidak bisa menahan diri untuk bertanya, kapan Gelombang akan dirilis? Apakah Anda sudah mulai menulis beberapa bagiannya atau belum sama sekali?

Semua episode Supernova sudah saya buat konsepnya sejak 2001. Jadi embrio Gelombang sudah lama ada. Rencananya saya menulis maraton, sih. Jadi tidak ada proyek menulis lain sampai Supernova selesai.

Apa mimpi-mimpi Anda yang belum terwujud?

Hmm. Apa, ya. Saat ini rasanya saya lebih condong melihat sesuatu jarak pendek, nggak terlalu panjang-panjang lagi. Dalam jarak dekat ini "impian" saya adalah menyelesaikan Supernova. Tapi sebetulnya itu lebih ke target daripada "mimpi".

Apa tanggapan paling berkesan yang pernah Anda terima dari pembaca Anda?

Sejauh ini, pertemuan saya dengan seorang pembaca saya bernama Pak Kas yang pernah saya ceritakan di Twitter adalah hal yang paling berkesan yang pernah saya alami selama jadi penulis. Intinya, ketika seseorang merasa diubah hidupnya oleh buku atau tulisan saya, that's like the greatest award ever.

Bagaimana sih hari/suasana paling menyenangkan bagi seorang Dee untuk menulis?

Yang sepi, yang tenang, tidak diganggu.

Ada yang ingin disampaikan untuk yang sedang membaca artikel ini?

Bacalah Partikel. Hehe.

Komunitas Kastil Fantasi | Supernova PARTIKEL | Juli, 2012 | by Dian Kartawiria


Sewaktu dulu pertama kali menulis serial Supernova, apa yang ada di bayangan Dee mengenai serial ini? Apa ekspektasi Dee terhadap serial ini sewaktu pertama kali ditulis? 

Singkat kata, berbagi apa yang menjadi ketertarikan sekaligus penelusuran pribadi saya. Magnet utama saya dalam menulis adalah spiritualitas. Tema tentang pencarian jati diri dan kontemplasi akan makna kehidupan, keilahian, dan cinta, adalah sesuatu yang menarik buat saya. Dan saya ingin berbagi itu. Tidak ada ekspektasi saat kali pertama menerbitkan Supernova, sejujurnya saya menulis Supernova hanya untuk menghadiahi diri sendiri kado ulang tahun ke-25. Ada yang baca syukur, enggak juga nggak apa-apa. 

Apakah ada pesan khusus yang ingin disampaikan Dee melalui Supernova Partikel? Pesan moral, misalnya? 

Saya bukan penulis yang suka dengan pesan moral. Saya tidak suka bacaan yang disisipi pesan-pesan moral. Saya suka bacaan yang membuat orang terusik, bertanya, mencari, merenung, dan bukan pasif menerima. Demikian juga ketika saya menulis Supernova, termasuk Partikel, saya tidak berniat memberikan pesan moral, melainkan mengungkapkan banyak pertanyaan tentang asal-usul manusia, relasi manusia dengan lingkungan, dan seterusnya. Bagaimana pembaca menyikapinya, menurut saya itu akan tergantung keingintahuan mereka sendiri, dan saya tidak punya kendali atasnya. 

Siapa karakter terfavorit Dee di Supernova Partikel? Adegan/plot apa yang jadi terfavorit Dee di buku itu? 

Firas. Dia mewakili orang-orang yang terpinggirkan di masyarakat, yang karena kecerdasan dan rasa ingin tahunya, mengakibatkan ia menjadi sosok yang tidak konvensional, akibatnya ia terlihat begitu kontras dengan lingkungannya. Saya juga sangat menyukai Zachary Nolan, ia adalah sosok yang bisa menjadi sahabat saya di dunia nyata. Adegan yang sangat meninggalkan kesan bagi saya adalah kelahiran Adek. Adegan itu sangat mencekam saya, dan itulah kali pertama saya meneteskan air mata dalam proses menulis Partikel. 

Apakah Sarah adalah tokoh fiktif? 

Iya. 

Saya dengar Bukit Jambul terinspirasi setelah Dee menonton Tintin, benarkah? 

Sama sekali tidak. Dengar dari mana, ya? Bukit Jambul secara fisik saya ambil dari sebuah bukit yang sering saya lewati di perjalanan Bandung-Jakarta. Di kilometer 90-an Tol Cipularang, ada sebuah bukit yang berbeda sendiri dari bukit-bukit sekitarnya. Pohonnya tua dan besar-besar. Saya sering mengamati dan penasaran, bagaimana bisa dia beda sendiri? Kenapa tidak dijadikan ladang seperti bukit sekitarnya? Lalu, saya menamainya dalam hati: Bukit Jambul. Itulah yang kemudian saya ambil. Sementara untuk fenomena Bukit Jambul di dalam Partikel itu sih murni imajinasi, saya ciptakan untuk kebutuhan plot. 

Selain menulis, apa kegiatan sehari-hari Dee yang lain sekarang ini? Bagaimana cara Dee membagi waktu untuk menulis? Apa ada tips mengenai ini untuk teman-teman yang ingin mulai menulis juga? 

Sekarang saya sedang nggak menulis. Saya malah sedang beristirahat. Memberikan benak saya rihat setelah menulis intensif hampir setahun. Jeda seperti ini bagi saya penting. Seperti baru melahirkan anak, fisik kita pun harus istirahat total dulu agar bisa pulih seperti sediakala. Demikian juga yang selalu saya lakukan sehabis menulis buku. Saat ini saya sedang menjalankan tur booksigning keliling Indonesia. Ada 15 event yang akan berjalan hingga bulan September. Sekarang baru setengahnya.
Tidak ada tips khusus untuk membagi waktu. Saya pun menjalaninya dengan trial and error. Punya deadline akan sangat membantu kita agar disiplin dan punya target waktu yang jelas. Setelah ada deadline, manajemen waktu akan terbentuk dengan sendirinya. Ada yang mungkin menulis harian, atau menulis tiap akhir pekan, bebas saja. Sesuaikan dengan ritme dan aktivitas harian kita. Saya sendiri menggunakan patokan jumlah halaman. Ada jumlah tertentu yang harus saya penuhi setiap harinya. 

Apa proyek menulis Dee setelah Supernova Partikel? Apakah sekarang tengah melanjutkan ke Gelombang atau mungkin sedang mengerjakan buku lain? 

Langsung Gelombang. Target saya sekarang adalah menyelesaikan serial Supernova. Jadi, saya tidak mengambil proyek menulis apa pun hingga Supernova selesai. Dan bukan cuma proyek menulis saja, biasanya saya rihat total dari berbagai pekerjaan non-menulis, termasuk talkshow, promosi, dll. Benar-benar saya seleksi dan sedikit sekali yang saya ambil.


Pertanyaan dari Fred, pembaca di Jakarta:

Saya beranggapan kalau perubahan gaya kepenulisan di tiap-tiap buku serial Supernova adalah karena sengaja menyesuaikan dengan gaya narasi tokoh utama yang menjadi sentral dalam tiap-tiap buku, misalnya Partikel ditulis dalam gaya narasi Zarah, Petir bergaya narasi Elektra, dst. Apa pendapat Dee tentang hal ini? 

Pengamatan yang sangat tepat. Untuk konsep serial Supernova, dan gaya penulisan saya secara umum, adalah berserah pada karakter. Mereka yang maju. Bukan saya. Dan konsekuensinya adalah, saya bercerita lewat suara mereka, gaya mereka, preferensi mereka. Bukan Dewi Lestari. Makanya setiap episode berbeda-beda. 

Kalau boleh tahu, kenapa Petir tidak mendapatkan surat dari Supernova, ya? 

Masih rahasia. Akan diungkap belakangan. Ditunggu saja. 

Ketika mencari referensi untuk tulisan-tulisan fiksi, sumber dari mana yang paling menjadi favorit Dee? Apakah ada contoh sumber yang menurut Dee paling/sangat menarik atau informatif sehingga sampai saat ini masih teringat selalu? (Misalnya: dari internet, yang masih teringat adalah website “ABCD”; atau dari buku-buku referensi, yang masih teringat judulnya “XYZ”) 

Metode favorit saya adalah wawancara dan observasi langsung ke lapangan. Baru riset pustaka. Namun, tidak banyak juga kesempatan wawancara atau observasi langsung yang saya miliki. Akhirnya, hampir semua riset yang saya lakukan, khususnya Partikel, adalah melalui riset pustaka. Yang juga sangat membantu adalah menonton video, belakangan itu yang saya sering lakukan. Karena kita tidak cuma membaca data, tapi melihat wujud visualnya, jadi nuansanya lebih kaya. Salah satu yang paling berkesan selama riset Partikel adalah ketika saya bertemu dengan karya-karyanya Paul Stamets tentang fungi, dan juga menonton video-video presentasinya. Selain itu, bisa berkenalan dengan Dr. Birute Galdikas yang bukunya benar-benar menjadi panduan saya untuk menuliskan babak Tanjung Puting.

Pertanyaan dari Michael, pembaca di Jakarta:

Menurut Dee, genre Supernova ini apa? 

Tidak tahu. Bagi saya, fiksi atau sastra saja sudah cukup. Saya sendiri tidak terlalu sependapat jika Supernova disebut sci-fi. Benang merah serial Supernova bukan terletak pada sains-nya. Buktinya, di Akar dan Petir, hal tersebut hampir tidak muncul. Yang menjadi benang merah justru penelusuran spiritualnya. Tapi saya merasa, orang-orang menyebutnya sci-fi sebagai simplifikasi saja, atau pengamatan parsial berdasarkan beberapa episode Supernova saja. 

Adakah penulis atau buku tertentu yang mempengaruhi penulisan Supernova Partikel? 

Untuk Partikel saya lebih banyak membaca buku nonfiksi, untuk keperluan riset. Jumlahnya banyak, tidak bisa saya sebutkan satu-satu. Antara lain adalah karya-karyanya Graham Hancock, Andrew Collins, Paul Stamets, Birute Galdikas, Albert Hoffman, Daniel Pinchbek, dst. Sudah saya tulis di Kata Pengantar. Secara penulisan, tidak ada yang spesifik. Namun, saya banyak belajar dari beberapa novel luar genre suspense, saya mengamati cara mereka menyusun plot. Sedikit banyak itu mempengaruhi saya dalam penulisan Partikel.

Saat ini, Dee sangat dipengaruhi oleh penulis siapa? 

Fiksi, maksudnya? Tidak ada yang jelas. Karena jarang baca fiksi, saya tidak bisa menunjuk penulis atau buku yang saat ini sangat berpengaruh untuk saya. Nonfiksi sih, banyak. Antara lain yang tadi sudah saya sebutkan di atas. "Dipengaruhi" di sini maknanya adalah saya tertarik dengan apa yang mereka ungkapkan dalam karyanya.

Jawa Pos | Buku: Partikel | April, 2012


Rangkaian buku Supernova seperti perjalanan spiritual seorang Dee, bisa diceritakan bagaimana ceritanya Dee tertarik untuk menuliskannya? Dan mengapa tertarik untuk menuliskannya?

Awal saya menulis manuskrip Supernova pada awal tahun 2000 adalah karena beberapa bulan sebelumnya, yakni di akhir 2009, saya mengalami semacam epifani, atau sebutlah pencerahan kecil, yang mengubah total pandangan saya terhadap hidup dan eksistensi manusia. Pada kurun waktu yang sama, di Indonesia juga sedang banyak terjadi isu kekerasan atas nama agama, dan hal itu semakin memicu dan menggerakkan saya untuk menulis. Jadi, antara ingin menyuarakan keprihatinan sekaligus berbagi pemikiran saya saat itu. Dan karena saya senangnya menulis fiksi, ya sudah, itulah jalur yang saya pilih, dan akhirnya lahirlah Supernova. 

Setiap seri Supernova selalu mencantumkan kisah dengan latar belakang agama yang berbeda-beda, untuk Partikel kali ini adalah Islam, adakah alasan khusus? 

Sebetulnya karena namanya, yakni Zarah. Pemilihan nama tokoh sudah saya lakukan sejak tahun 2001. Dan karena Zarah adalah nama Arab, akhirnya saya pilih penokohan keluarga keturunan Arab, ya otomatis keluarga muslim. Jadi, bukan karena agamanya sendiri, begitu juga dengan tokoh-tokoh yang lain, saya sesuaikan dengan logika nama, kesesuaian cerita, dsb. 

Dalam beberapa karya Dee, selalu ditekankan jika kita berusaha peka dengan alam, maka alam akan memberi banyak pertanda untuk kita. Begitu juga dalam Partikel, apakah yang membuat Dee begitu percaya dengan itu? 

Iya, saya percaya itu. Dan sepertinya kepercayaan yang sama telah bersama-sama dengan manusia sejak eksistensi kita dimulai. Fase animisme, dinamisme, shamanisme, paganisme, dan juga kultur-kultur tradisional di seluruh dunia membuktikan adanya kedekatan manusia dengan alam, dengan cara membaca pertanda di langit, di bumi, dst. Sampai sekarang yang mempraktikkan hal tersebut pun masih sangat banyak. 

Adakah pengalaman pribadi yang Dee tuliskan dalam novel Partikel? 

Semua karya fiksi saya adalah gabungan dari pengalaman pribadi, observasi, imajinasi, dan riset. Demikian juga dengan Partikel. Susah untuk saya menjabarkan mana-mana yang diambil dari kehidupan nyata dan mana yang fiksi, kadang ada nama, ada peristiwa, ada tempat. Sebaiknya dinikmati saja sebagai satu keutuhan. 

Setelah ini proyek novel apakah yang akan segera Dee kerjakan? Tentang apa dan kapan ngerjainnya? Dan, seri Supernova berikutnya kapan akan dikerjakan dan kapan rilis? 

Komitmen saya untuk karya tulis adalah menyelesaikan serial Supernova sebelum yang lain-lainnya. Jadi setelah ini yang saya garap adalah episode kelima Supernova, yakni Gelombang. Saat ini masih sedang tahap riset. Rencana rilis belum bisa saya perkirakan. Mudah-mudahan bisa tahun depan.

Xposisi.Com | Profil | April, 2012 | by Ifnur Hikmah


Bisa diceritakan tentang kesibukan Dewi sekarang?

Sekarang ini sedang mempersiapkan peluncuran buku baru, Supernova PARTIKEL. Terbit tanggal 13 April.
 
Genre tulisan apakah yang menjadi favorit Dewi? Selain itu, genre tulisan seperti apakah yang ingin Dewi tulis setelah ini?

Saat ini sih lebih seringnya fiksi. Tapi sebetulnya saya senang juga menulis nonfiksi. Mungkin setelah Supernova tamat, saya akan membuat karya-karya nonfiksi. We'll see.

Apakah Dewi punya waktu dan tempat khusus untuk menulis?

Saat ini, nggak ada. Saya banyak menulis di rumah, dan sesempatnya saja. Kadang pagi, siang, sore, malam. Nggak tentu.

Supporter terbesar mbak Dewi untuk terus menulis?

Keluarga, tentunya. Suami saya, Reza Gunawan. Kalau saya malas-malasan, dia yang rajin mengingatkan.

Di antara semua penghargaan yang Dewi terima, adakah yang paling berkesan? Penghargaan tertinggi apakah yang pernah mbak Dewi dapatkan dari pembaca?

Saat saya bertemu dengan seorang tukang bangunan yang membangun rumah saya, dan ternyata dia adalah pembaca Filosofi Kopi yang sudah lama berangan-angan ingin bertemu dengan saya. Itu momen yang sangat mengharukan bagi saya.

Di antara semua buku mbak Dewi, penulisan buku manakah yang menurut mbak Dewi paling berkesan?

Semua buku punya kesan masing-masing sih, karena ditulis dalam kondisi dan waktu yang berbeda, jadi tantangannya juga lain-lain. Kalau ditanyanya sekarang, tentu yang paling berkesan adalah Partikel. Karena ini adalah buku terakhir yang saya tulis, jadi ingatan tentang proses pembuatannya masih sangat segar. Dan ini adalah buku saya yang paling tebal (500 halaman lebih), dan saya buat ketika sudah punya dua anak yang masih kecil-kecil. Saya nggak pernah membayangkan bisa menulis seintens itu dalam kondisi harus mengurus keluarga dan anak, tapi ternyata bisa.

Apakah tantangan terbesar yang Dewi temukan dalam menulis?

Menemukan waktu luang yang tidak terganggu.

Apakah pengalaman menarik yang pernah Dewi rasakan saat menulis novel? Apakah ada pengalaman pribadi yang dimasukkan ke dalam cerita?

Buku saya selalu gabungan dari lamunan, pengalaman, hasil riset. Jadi nggak pernah ada yang murni satu unsur saja.

Menurut Dewi, seberapa besar arti seorang pembaca dan bagaimana cara Dewi me-maintain hubungan dengan pembaca?

Saat ini saya lebih nyaman berinteraksi dengan pembaca via Twitter, karena paling praktis. Beda dengan milis yang maintenance-nya lebih memakan waktu. Jadi, hampir semua interaksi saya dengan pembaca dilakukan di Twitter, atau sekali-sekali Facebook.

Dari semua tokoh yang pernah ditulis, tokoh manakah yang paling disukai? Mengapa?

Pertanyaan sulit. Saya punya kedekatan yang intens dengan semua tokoh saya. Karena yang paling terakhir ditulis adalah Zarah, saat ini saya merasa dialah yang paling berkesan.

Dalam waktu dekat, proyek apa yang akan Dewi kerjakan setelah Partikel?

Ada beberapa karya yang ditawari untuk difilmkan, saya nggak terlibat langsung sih, cuma konsultatif saja hubungannya. Saya mau meneruskan episode Supernova selanjutnya, yakni Gelombang.

Selamat atas terbitnya Partikel. Setelah menunggu selama delapan tahun, bagaimana perasaan mbak Dewi sekarang?

Tegang, excited, dan sangat senang.

Bisa diceritakan proses kreatif di balik pembuatan Partikel? Mengapa Dewi sampai membutuhkan waktu delapan tahun untuk menulis Partikel?

Sudah saya jelaskan panjang lebar di kata pengantarnya, hehe. Tapi intinya, setiap karya punya momen masing-masing untuk lahir. Setelah melihat ke belakang, saya merasa memang inilah momen yang tepat bagi Partikel, karena akumulasi informasi dan pengetahuan yang saya punya sekarang akhirnya mencukupi untuk itu. Kalau dikerjakan 2-3 tahun yang lalu, pasti beda banget.

Bisa dikatakan pembaca sangat menantikan kehadiran Partikel. Apakah ini menjadi beban untuk Dewi? Seberapa yakin seorang Dewi Lestari terhadap kepuasan pembaca setelah membaca Partikel?

Beban ke pembaca sih enggak. Karena keinginan untuk melanjutkan tentunya paling kuat berasal dari saya sendiri. Kalau ke pembaca, saya lebih ke rasa penasaran ingin tahu reaksinya bagaimana, review-nya seperti apa. Mudah-mudahan sih puas. Karena saya sendiri puas menulisnya.

Cara apa saja yang sudah Dewi lakukan untuk mempromosikan Partikel?

Waktu Supernova 1, saya benar-benar "pasang badan". Menjalani puluhan talkshow, dsb. Sekarang, sudah tidak dimungkinkan untuk itu lagi karena saya harus mengurus keluarga. Selain itu, dinamika media sosial Indonesia yang semakin hidup, memudahkan saya untuk bisa berpromosi tanpa harus "pasang badan" seperti dulu lagi. Untungnya, penerbit yang bekerja sama dengan saya, Bentang Pustaka, juga sangat akomodatif. Mereka sangat terbuka menerima ide-ide saya dan mengembangkannya dengan cukup baik. Untuk Partikel tema promonya adalah countdown, penjualan serempak, dan alien. Karena buku ini sudah sangat diantisipasi pembacanya, momen countdown dan penjualan serempak akan membuat rilisnya Partikel lebih klimaks. Kehadiran "Alien" sendiri untuk menyemarakkan suasana saja, kebetulan temanya relevan dengan buku.
 
Selama rentang waktu hingga Partikel lahir, Dewi juga mengeluarkan Rectoverso, Perahu Kertas. Apakah proyek tersebut lebih dulu dimulai dibandingkan Partikel atau bagaimana?

Perahu Kertas iya, sudah saya tulis versi awalnya dari 1996. Rectoverso lebih ke nggak sengaja. Waktu itu saya memang niat untuk bikin album, dan konsepnya akhirnya lahir bareng dengan buku. Jadi buku Rectoverso ikut diproduksi.

Mbak Dewi juga mengeluarkan beberapa kumpulan cerpen (Filosofi Kopi dan Madre). Bisa diceritakan alasan Dewi mengeluarkan kumcer ini?

Saya kalau bikin cerpen itu sporadis, nggak disengaja. Setelah sekian lama, maka cerpen-cerpen lepasan ini mulai menumpuk. Jadi biasanya per lima tahun saya mengeluarkan kumpulan cerpen, sebagai instrumen untuk mewadahi karya-karya lepasan saya.

Untuk film Perahu Kertas, sejauh mana keterlibatan Dewi di dalamnya? Bagaimanakah ceritanya sampai Perahu Kertas akhirnya difilmkan?

Saya menulis skenario, dan sisanya membantu secara konsultatif untuk casting. Saya juga akan menulis lagu untuk soundtrack-nya. Sisanya sudah dikerjakan oleh pihak-pihak lain yang kompeten.
Perahu Kertas memang sudah ditawari menjadi film berbarengan dengan penawaran penerbitan bukunya. Jadi, waktu itu Bentang Pustaka langsung datang bersama Mizan Production yang memang masih sister company. Saya sendiri memang sejak lama ingin Perahu Kertas bisa menjadi film, jadi langsung saya sambut.

Untuk serial Supernova selanjutnya, sudah sejauh manakah persiapannya?

Masih pengumpulan materi.

Bagaimanakah Dewi melihat pertumbuhan sastra sekarang? Bagaimana perkembangan buku di Indonesia sekarang ini?

Saya nggak pernah mengamati hanya terbatas pada sastra tok, saya lebih melihat industri buku secara keseluruhan. Untuk fiksi, yang genre sastra memang nggak terlalu banyak dibandingkan genre populer seperti teenlit, chicklit, dll. Tapi menurut saya itu nggak terlampau masalah. Pada akhirnya penulis berkembang, pembaca juga berkembang, dan akan ditemukan ekulibrium baru dengan sendirinya. Untuk industrinya, saya rasa kita kekurangan toko buku, dominasi toko tertentu belum tentu menjadi sehat bagi industri penerbitan. Saya juga excited dengan perkembangan buku digital di Indonesia. Sekarang belum terlalu kelihatan, tapi dua-tiga tahun ke depan, mungkin kita akan memasuki era baru.

Pernahkah mbak Dewi mengalami writer’s block? Cara seperti apa yang biasa mbak Dewi lakukan untuk mengatasinya? Adakah tips dan trik khusus tentang menulis yang bisa mbak Dewi bagi kepada pembaca xposisi.com yang sebagian besar merupakan penulis pemula? Terutama tentang mencari dan mengolah ide menjadi sebuah cerita utuh. Apa yang menurut mbak Dewi paling penting dalam proses tersebut?

Menulislah dari yang kita suka. Itu saja dulu. Jangan takut gagal. Di balik satu naskah yang selesai, bisa jadi ada puluhan naskah yang gagal. Itu biasa. Sekarang sudah ada pelatihan menulis seperti Plot Point, dll, itu bisa membantu. Belajarlah juga dari penulis yang kita suka dengan cara membaca cermat tulisannya. Dan banyaklah membaca referensi yang bagus.

Wednesday, December 17, 2014

The Jakarta Post | Profile Story | April, 2012 | by Indah Setiawati


Please share a bit about the process of writing Partikel. It took some years after the launch of Petir in 2004. Why was that? 

Tell you the truth, I don't know the exact answer. I believe every book has its own "birth timing”. Looking back, now I can see how Partikel needs a perfect accumulation of knowledge, interest, and passion, that might not brew up to the right boiling point if I had pushed myself to write it few years earlier. The ease of today's technology also allows me to do my research while I stay at home most of the time, looking after my family. 

I believe that you consider all books as your babies, but I still want to ask this. How personal is Partikel for you? 

Each of my books has its own voice, its own stressing point. With Partikel, I voice out my concern about the environment, the future of humanity on this planet, the destructive course we are heading.  On this particular episode, I also have a chance to juggle many topics that have been my interests, such as shamanism, ethnobotany, entheogens, crop circles, extra-terrestrials. Lately I'm also drawn to learn more about the new paradigm of anthropology, the work of pioneers like Graham Hancock and Andrew Collins. I feel there's a shift of global thinking that takes place as we speak. New evidence and questions about our history on this planet are emerging everywhere. So, Partikel is particularly interesting for me, because I can channel all those topics through its storyline. 

I talked to Mas Hanung (Bramantyo) a few months ago. He told me he was first fascinated with Supernova and later decided to film a book of yours, Perahu Kertas. You also penned the script. How was your reaction when you first heard that the decision to film the book was final? Whose names came across in your mind for Keenan and Kugy? Did the final actors and actress satisfy you? I believe your fans have mixed responses to this question, don’t they?

The offer to make movie out of Perahu Kertas came along with the offer of publishing the book in the first place. From all of my books, if I had to choose one to be filmed, the top of my list would be Perahu Kertas. The story is indeed a movie material. I realized it ever since I wrote its first draft back in 1996. So there had been no doubt in me to say yes to the offer. The publisher, Bentang Pustaka, is a sister company to Mizan Production, the same company who made Laskar Pelangi. So, it was a 2-in-1 deal to begin with, and I was sure I was in good hands. I signed myself in as the scriptwriter because I have always compelled to do it for Perahu Kertas. It was my first book to be filmed, and if there's any way I can "guide" it through, it's by writing the script. It was like escorting the bride on that long walk in the aisle, before the story "married" its director. So, first, it was just me and the producers, then we handpicked the director. That's when Hanung came into the picture. When I met him in person, I instantly have faith in him.  I was certain he would do a great job. The next challenging phase was the casting process. Hanung's wife, Zaskia Mecca, is the casting director. As we all have agreed, I was involved in the final selection. It was not easy at all. Perahu Kertas' casting is like an orchestration. You changed one cast, you had to change everyone, or the whole dynamic would go awry. We were quite happy with final result, although we also knew we all had a portion of compromising, even myself. When the shooting was about to begin and everyone gathered, including the casts, I started to see different qualities shone from them. I believed they are the perfect ones. Of course, we cannot satisfy all the book fans. Nobody can compete with the reader's theatre of mind. Yet, nobody can perfectly fulfill it either. In this case, we have to understand that Perahu Kertas movie is being retold by Hanung's perspective, and if we learn to appreciate that without having to fall back to our own theatre of mind all the time, we would enjoy the movie a lot more. 

What were the challenges of writing the script compared to the days when you wrote the story? Are you interested to pen more scripts? Will the film audience get a full story of the book in the cinema? Or did you have to omit many parts to pack the novel in a few hours? 

Screenplay is a totally different beast. One might be an author of dozens of fiction books, but screenplay writing must be perceived as a new ball game. We cannot go light with it, just because we're fiction writers. So I've prepared myself for quite some time for this. I always knew I wanted to write Perahu Kertas screenplay, so I took a film making workshop years ago, I bought a lot of books on screenplay writing, I read screenplays of movies that I like, etc. In short, I started from zero. I spent almost year writing Perahu Kertas screenplay. There's no way I can fit the whole book into the movie. I don't want to do that either. Stuffing the whole book plot into 110 minutes motion picture is not my objective. It's a movie, it's a different format, it speaks to the audience differently than a book does. I need to recreate the book into something similar, not identical. It carries the same essence and spirit, but with different delivery. I must admit, I enjoyed writing a screenplay. But, at the moment, I don't have the luxury of time and attention to do more screenplays. My main priority now is to finish my Supernova series. So, no screenplay in any time soon. 

Perahu Kertas seems to become an inspiration for lovers who search for the true love. Do personally you believe in soulmate? Why? Hehe. I just wonder what might happen if Keenan and Kugy chose to stick on their decision and did not get married.

I think Perahu Kertas is actually more than that. It's a reflection of a grander lesson in life, which is finding that subtle balance between when to let go and when to pursue. It's not just about romance. Every moment of our life, we're confronted with those two choices. Kugy and Keenan are struggling to find their inner voice, and learn to trust it, not only on their love lives, but also on their careers, family relationship, and friendship.
I, myself, used to believe in the concept of soul mate. Now, I cannot say for sure. I guess I don't care much about it anymore. I believe in changes. I believe that life is ever changing. Impermanence. If you believe that you will find a soul mate out there, and that belief makes your life happier and better, then by all means, believe it with your dear life. But if you don't, I think it's fine too. Life will always serve us with surprises anyway, and yet there's a familiarity in everything we encounter cause I think our heart is whole lot bigger and powerful than our logical mind. The heart just knows, intuitively, intelligently. 

What makes you happy and sad most during your career as a writer?

It's never about sadness, I think. It's more like challenges. My biggest challenge is always setting the time for writing and research. As long as I can remember, ever since I published my first book, suddenly the writing process was interfered with promotional events, talk shows, media interviews, etc. They are all necessary, yet they also stole big portion of my time and energy. Now that I'm married with two kids and a household to manage, it becomes even more challenging. I hardly read for fun. Every book I read is for my research otherwise I wouldn't have enough time to do it at all. What's very fulfilling is to see how my books can reach out to their readers and leave impact on their lives.

Some well known authors tell me that writing is a long and painful process (although they prove to enjoy the pain) because it involves researches, editing, mood and the likes. How about you? Could you tell me how you can keep going from one book to another? Which books require the fastest and the longest process? 

I don't look for ideas or inspirations. I somehow believe it works the other way around. Inspiration comes to a perceptive mind who, in the right time and the right situation, is sensitive enough to open up and be willing to be a host for that inspiration. If I create a new book, or write a new song, it's always a collaboration between that seeds of idea and my own willingness to work on it. So if one day, I stop doing what I'm doing, then perhaps the same dynamic doesn't take place. The duration of writing books are varied. It's not always about the writing, but also research, or sometimes our own passion needs an ample of time to mature. In general, I usually work for 3 months up to a year. That's just for the writing. I don't really count how much time I spent for research, because it's almost like daily thing. I bumped into something that I like, or something new triggered my interest, then I started to dig deeper as days went by. Partikel, so far, is the most interesting cocktail of topics. 

In your opinion, is writing a gift or a passion that can be nurtured?  Or else?

Both. Someone may have natural interest in writing, like I always have since I was little. During my childhood, I was not much of a reader, but composing stories was something I always fond of. But for that ability to grow, one needs to be determined, to be willing to practice over and over again, experiencing failure and finding way to get back up. It's the same with everything in life, I guess. A natural talent is a great start, but it's practice and determination that enable someone to be brilliant. And it's an on-going process.

Rampant piracy have become a bitter fact to face for singers and writers? What is your strategy?

I don't have any particular strategy at the moment. I'm just not so much into the business aspect of both music and book industry anymore. Maybe because my engine is leaning towards the creative aspect nowadays. Thinking about the piracy solution takes so much energy because the situation is complicated, involving the law enforcement, government, etc. Something that I just don't have space for right now.

After Partikel and Perahu Kertas movie, what’s next?

Many more. Rectoverso is also made into a movie, so is Filosofi Kopi. There are several possibilities for my other books to be filmed as well, and we're still working on the deal. And of course, the next episode of Supernova, Gelombang. I'm taking it one step at a time, because it's so easy to get overwhelmed in this modern life we're living. I just hope I don't lose sight of what's more important in life.


Tuesday, December 16, 2014

Hers Magazine | Profil | Juli, 2005 | by Ina


Orang pertama kali mengenal Anda sebagai penyanyi, bagaimana ceritanya sampai tiba-tiba Anda ingin jadi penulis? 

Sebetulnya hobi menulis itu sudah sejak kecil sekali, bahkan bisa dibilang sebelum menyanyi. Kalau hobi bermusik lebih dulu subur karena terdorong oleh keluarga dan lingkungan yang pecinta seni semua, tapi hobi menulis benar-benar hadir secara independen. Saya juga tidak pernah ikut lomba atau aktif mengirim ke media cetak, jadi betul-betul asyik buat sendiri saja. Paling-paling saya sebar ke teman-teman sendiri dan keluarga. Meskipun begitu, keinginan untuk menulis buku memang sangat kuat, hanya tunggu timing dan karya untuk menjadi titik awal, dan itu saya temukan ketika mulai menggarap naskah Supernova tahun 2000. Saya berpikir ‘inilah saatnya, inilah yang akan menjadi buku pertama saya’. Dan itu juga bedanya dengan karier musik saya yang berjalan mengalir begitu saja, it’s given, sementara dalam menulis I have to make it happen. Ada satu awalan yang saya mulai sendiri, yakni menerbitkan dan memasarkan Supernova secara independen.

Kenikmatan apa yang Anda dapatkan saat menulis?

Bagi saya, menulis itu menjadi media komunikasi saya dengan jiwa. I’m communicating with myself, between the little self and the Big Self. Dalam level substansi, bagi saya menulis bukan lagi sekadar hobi tapi kebutuhan rohani. It’s how I keep my sanity.

Apa yang biasanya menjadi inspirasi utama Anda dalam menulis?

Cinta – evolusi dan metamorfosanya. Karena dinamika pemahaman kita akan Cinta itu sejalan dengan dinamika pemahaman kita akan diri, dunia, dan Tuhan.

Dari keseluruhan seri novel Supernova, mana yang paling Anda sukai?

Ketiganya merupakan pengalaman yang tak terbandingkan. Dan itu yang ingin saya dapat sekaligus hadirkan dalam Supernova, setiap seri merupakan pengalaman yang berbeda-beda. Dalam Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh (KPBJ) saya mendapatkan kepuasan eksplorasi berpikir, keindahan saat rasio dan insting melebur. Sementara dalam Akar saya mendapat pengalaman mind traveling, saat pikiran saya harus mengikuti jejak Bodhi ke berbagai tempat. Kalau Petir saya bisa melepaskan sisi ‘gila’-nya Dewi Lestari yang sebenarnya sangat senang bercanda.

Misi atau pesan apa yang sebenarnya ingin Anda sampaikan dalam keseluruhan buku Supernova?

Supernova merupakan cerminan pergelutan spiritual kaum muda dalam zaman Aquarius, yang mana peran generasi kita pada zaman ini sangat krusial dalam penentuan nasib dunia kelak. Value utama dalam Supernova adalah self-inquiry. Kita harus menggali diri kita ke dalam untuk tahu identitas kita yang sesungguhnya, dan setelah itu didapatkan maka niscaya kita akan memperlakukan diri kita, Bumi, dan sesama makhluk hidup, dengan respek dan tanggung jawab. 

Karakter yang Anda tulis dalam setiap seri Supernova apakah secara tidak langsung menggambarkan pribadi dan karakter Anda sendiri? 

Setiap karya tentunya merupakan ekspresi subjektif penciptanya. Supernova tidak terkecuali. Kalaupun tidak langung merupakan penggambaran Dewi Lestari, tapi pastinya pikiran maupun ide-ide saya tertumpangkan ke dalam tokoh-tokoh Supernova maupun alur ceritanya.

Bagaimana Anda menggambarkan karakter dan kepribadian Anda?

I’m multidimensional. Tanggal lahir saya perbatasan Capricorn-Aquarius, shio saya perbatasan Kelinci dan Naga. So I guess my personality is a mix between equally strong but contrast qualities, and my challenge is to bring the best out of those two sides and at the same time learn to embrace the down sides of both.

Anda juga dikenal sebagai pecinta lingkungan hidup, ada nggak niatan untuk menulis buku tentang lingkungan?

 Tentunya ada. Saya akan memulainya dengan seri Supernova berikut yakni Partikel di mana tokoh utamanya, Zarah, adalah seorang environmentalist yang juga berprofesi sebagai seorang nature photographer. Walaupun masih dalam kerangka besar Supernova, tapi setidaknya ide-ide dan pesan-pesan saya tentang urgensi isu lingkungan bisa tersalurkan.

Atau mungkin, salah satu seri buku Supernova ada yang ingin dikembangkan menjadi film layar lebar, tertarikkah Anda untuk menulisnya menjadi naskah skenario film?

Hmm. Masih belum kepikiran, sih. Kalau keinginan untuk bikin skenario film sih ada, tapi mungkin bukan Supernova. Karena bagi saya Supernova masih cerita yang belum utuh tamat, kalau serial itu selesai mungkin-mungkin saja kemungkinan itu jadi terbuka. 

Lirik-lirik yang pernah Anda tulis dalam album RSD terdengar sangat puitis dan filosofis? Dari mana Anda mendapatkan sumber inspirasi dan imajinasi dalam merangkainya menjadi satu kalimat lirik lagu? Apakah itu hanya karangan atau ada hubungannya dengan pengalaman pribadi Anda?

Dari semua tipe kepenulisan, bagi saya menulis lirik lagu merupakan pekerjaan yang paling menantang sekaligus paling memuaskan. Kita harus mengkondens cerita dalam beberapa bait dan harus mengawinkannya dengan melodi sehingga peleburan itu terasa sempurna dan bukan tempelan. Analoginya, bagi saya membuat lirik itu seperti ngisi TTS. Menantang otak sekaligus rekreasi. Nggak semua pengalaman pribadi, tapi sedikit banyak ada tercampur-campur. Karena tetap dong butuh dramatisasi, tidak semuanya kisah pribadi itu cukup menarik untuk diangkat, hehe.

Bagaimana cara Anda mendidik atau menanamkan nilai-nilai pendidikan pada si kecil? 

Karena Keenan masih 10 bulan, mungkin belum terlalu terasa, ya. Tapi saya sih natural saja sama dia. Jangan malu untuk jadi jelek atau gila-gilaan, pokoknya we just have to be fun. Yang paling penting  bagi saya adalah dia tumbuh dalam kasih. Interaksi kita harus akrab, nggak formal. Dia juga harus diajarkan untuk cinta lingkungan dan respek sama makhluk lain.

Adakah obsesi untuk ‘mempersiapkan’ si kecil menjadi penulis atau seniman seperti Anda? Atau ada obsesi lain? 

Kami sebagai orang tua sudah pasti akan membesarkan anak dengan tendensi. Sama seperti ayah saya yang suka musik, sekalipun dia tidak menyuruh kami jadi musisi, tapi dengan menghadirkan alat musik di rumah, sering bernyanyi-nya, dsb, akhirnya kami jadi terbawa. Keenan juga pasti tumbuh besar dalam tendensi profesi kami berdua. Saya pasti akan mendekatkan dia dengan buku, dengan musik, dengan seni. Ayahnya pasti mengajak dia ikut main drum, atau membawa dia ikut kalau show, dsb. Saya nggak tahu outcome dari itu semua, apakah kemudian dia mengikuti jejak kami berdua atau tidak, yang jelas kami akan berusaha memfasilitasi semua potensi dia. I just want him to become the best at what he’s good at.

Rencana Anda ke depan baik sebagai penulis atau penyanyi?

Untuk menulis ya tentunya menamatkan serial Supernova, menerbitkan kumpulan cerita dalam waktu dekat. Kelak, saya ingin menulis cerita anak. Untuk nyanyi penginnya bikin album solo, tapi nggak ngoyo. Kalau bisa terealisasi tahun ini sudah bagus banget. 
 

Sunday, December 14, 2014

CMagz | Tentang Menulis | Mei, 2012 | by Rainif Venesa


Kak Dee suka menulis sejak kapan?

Seingat saya mulai menulis cukup serius, dalam arti: panjang, itu kelas 5 SD. Sekitar umur 9 tahun-an.

Selain menulis novel dan cerpen, ada tulisan lain yang Kak Dee tulis di media cetak?  

Ada, tapi nggak banyak. Biasanya cerpen saya yang dimuat di media adalah (calon) cerpen yang akan dibukukan pada akhirnya. Jadi, saya nggak pernah dengan sengaja menulis khusus untuk media.

Apakah Kak Dee punya pengalaman menarik ketika kecil mengenai hobi menulis?

Cerita pertama yang saya tulis itu dibuat di dalam buku tulis, saya masih ingat detailnya, pakai tinta warna biru, dsb. Buat saya yang menarik adalah bagaimana saya dulu berkhayal bahwa buku tulis tersebut adalah buku pertama saya yang pura-puranya sudah diterbitkan.

Apa saja suka dan duka yang Kak Dee alami selama bergelut di dunia menulis?

Banyak. Sukanya karena banyak bertemu dengan orang-orang yang menarik, lingkungan menarik, dan kesempatan yang unik. Saya lebih senang menyebut tantangan ketimbang "duka". Tantangannya juga bermacam-macam, salah satunya adalah ketika mencoba menerbitkan sendiri selama bertahun-tahun, karena menjalankan bisnisnya tidak gampang. Dan juga kesempatan menulis itu sendiri lebih terbatas ketika sudah berkeluarga dan punya anak, jadi harus pandai-pandai menata waktu.

Apa saja sih manfaat menulis bagi Kak Dee?

Buat saya sudah jadi profesi. Jadi, selain hobi, sekarang menulis sudah jadi mata pencarian.
Karya Kak Dee berjudul Perahu Kertas, kabarnya akan diangkat  menjadi sebuah film, bagaimana perasaan Kak Dee soal itu?

Senang dan bangga.

Kenapa serial Supernova ke- 4, Partikel, rentang waktunya panjang dengan seri sebelumnya?
Sudah saya jelaskan di Kata Pengantar-nya. Intinya sih, semua buku punya timing lahir sendiri. Timing untuk Partikel ya memang April 2012.

Dari semua buku yang sudah ditulis, mana yang lebih disukai? Kenapa alasannya?

Kalau ditanya ke saya, tidak akan pernah bisa saya jawab. Setiap buku memiliki pengalaman, kesan, dan keunikan masing-masing yang nggak bisa dibandingkan. Pertanyaan itu lebih tepat diajukan ke pembaca.

Sebentar lagi adalah Hari Buku Nasional. Nah, harapan Kakak apa sih mengenai hari tersebut?

Saya nggak punya harapan spesifik. Yang jelas, adalah hal yang menyenangkan dan bermanfaat jika minat baca masyarakat Indonesia terus meningkat.

Kak Dee kan mantan personel RSD yang bersuara merdu, nah, menurut Kak Dee asyikan menulis atau menyanyi?

Kepuasannya sih beda. Tapi bagi gaya hidup yang saya inginkan, saya lebih senang menulis. Karena saya bisa lebih banyak di rumah, nggak harus repot manggung, dan bisa berekspresi dengan seluas-luasnya lewat kata.

Pesan apa saja yang ingin Kak Dee sampaikan buat penulis pemula?

Tulislah buku yang ingin kamu baca.

Hobi Kak Dee selain menulis dan menyanyi apa saja?

Berkebun, memasak, dan melamun.