Showing posts with label 2016. Show all posts
Showing posts with label 2016. Show all posts

Friday, May 12, 2017

YouthManual.Com | Menulis & UWRF | Oktober, 2016 | Laila Achmad


Hai, Mbak Dee. Lagi mengerjakan project apa sekarang?

Lagi tidak mengerjakan apa-apa alias rihat. Februari 2016 lalu saya menyelesaikan serial Supernova dengan merilis buku ke-6 sekaligus penutup yakni Inteligensi Embun Pagi, dan sekarang ini saya masih jeda dulu dari proses kreatif, mungkin hingga awal 2017.

Bagaimana awalnya Mbak Dee menjadi seorang penulis? Kapan dan bagaimana Mbak Dee sadar bahwa passion Mbak Dee adalah bidang ini?

Sejak kecil senang mengkhayal, mulai mencoba menulis sedikit serius sejak kelas 5 SD, dan pada tahun 2001, tepat ketika berulang tahun ke-25, saya menerbitkan buku pertama saya, Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh.

Menurut Mbak Dee, etos kerja atau karakter seperti apa yang diperlukan untuk menjadi seorang penulis yang baik?

Mau belajar, memelihara rasa ingin tahu, punya disiplin, dan jeli mengamati keadaan sekitar termasuk mengamati batinnya sendiri.

Menurut Mbak Dee, bagaimana prospek karir penulis di Indonesia? Mengingat industri ini memiliki banyak sekali pesaing.

Sebagai karier, tentu permasalahannya bukan kreativitas atau pesaing semata-mata, tapi industri perbukuan secara keseluruhan. Untuk beberapa penulis yang berhasil, sekarang ini bukannya tidak mungkin mengandalkan profesi penulis sebagai sumber mata pencaharian. Tapi, hal ini bukan hal yang mudah dicapai. Tidak ada formula pasti agar buku kita bisa jadi best-seller, kalau formula itu ada, harusnya semua buku bisa jadi best-seller. Kenyataannya, tidak. Jadi, saya lebih fokus untuk menuliskan topik yang saya sukai, berusaha bekerja sebaik mungkin. Itu lebih penting daripada fokus kepada meraba kemauan pasar. Saya percaya basis pembaca itu bisa diciptakan.

Apa yang paling Mbak Dee sukai dari menjadi seorang penulis, dan apa tantangannnya?

Menciptakan semesta kehidupan dan menjadi rahim dari sebuah kehidupan. Tantangan utama bagi saya adalah menjaga keseimbangan dalam keseharian dan waktu saya agar tetap fungsional di hal-hal lain di luar menulis. 

Siapa penulis atau penulis idola Mbak Dee, dan kenapa?

Banyak. Salah satunya Graham Hancock. Karyanya kebanyakan nonfiksi, meski ada beberapa yang fiksi. Dedikasinya untuk sebuah topik, melakukan penelitian, dan menuangkannya ke dalam tulisan, sangat luar biasa.

Cerita, dong, tentang awalnya ide menulis buku Perahu Kertas. Bagaimana mendalami dunia anak muda untuk membangun tokoh Keenan dan Kugy?

Perahu Kertas adalah cerita yang aslinya saya tulis semasa kuliah, tahun 1996. Saya ingin membuat cerita cinta yang elegan dalam format cerita bersambung. Namun, karena waktu itu (dan sekarang) sudah tidak banyak media yang memuat cerita bersambung, akhirnya saya jadikan novel. Saya tulis ulang tahun 2008 dengan setting waktu yang sedikit dimajukan. Tidak terlalu sulit sebetulnya untuk mendalami dunia Keenan dan Kugy. Plus, saya waktu itu menyewa kamar kos untuk menulis, tetangga saya mahasiswi semua. Jadi, sedikit banyak itu juga membantu.

Pengalaman apa yang paling berkesan selama membuat Perahu Kertas?

Waktu itu saya mencoba metode menulis yang belum pernah saya lakukan sebelumnya, yakni menentukan deadline terlebih dahulu dan kemudian mengumumkan deadline tersebut ke publik. Jadi, ada ekstra tekanan. Akibatnya, saya jadi lebih fokus. Metode itu akhirnya saya pakai terus, walaupun tidak selalu mengumumkan deadline saya ke publik.

Boleh minta lima tips bagi anak muda yang ingin memulai menjadi penulis? (Bagaimana mencari inspirasi sampai bagaimana memotivasi diri sendiri untuk terus menulis)

Ciptakan ruang dan waktu yang rutin untuk menulis. Dua jam per hari, misalnya. Buat target tenggat waktu dan agenda kerja, dan berusahalah untuk mematuhinya. Coba selesaikan sebuah karya, apapun formatnya. Biasanya,  begitu seseorang sudah berhasil menamatkan sebuah karya, ia akan punya kepercayaan diri untuk meneruskan ke karya berikutnya. Tidak usah untuk diterbitkan dulu juga tidak apa-apa. Yang penting berlatih.

Waktu kuliah, bagaimana, sih, profil dan aktivitas Mbak Dee secara garis besar? (berprestasi secara akademis? Suka berorganisasi? Suka nongkrong di kampus?)

Saya sudah memulai karier jadi penyanyi dari awal masuk kuliah, jadi saya tidak punya banyak kesempatan terlibat di aktivitas kampus karena sudah sibuk membagi waktu antara kuliah dan karier. Kedatangan saya ke kampus lebih seperlunya saja. Tidak juga punya ambisi berprestasi secara akademis. Lebih sering menahan kantuk ketika kuliah. Tapi ketika skripsi, saya akhirnya menemukan topik yang benar-benar menarik dan mendadak saya jadi serius banget belajar. Sayangnya, itu baru terjadi menjelang saya lulus, hehe.

First job Mbak Dee dulu apa? Kenapa memilih pekerjaan itu? How did you like it? Tell us more about it!

Jadi penari. Tahun 1990, kelas 1 SMA. Pementasan pertama saya honornya saya belikan tas sekolah dan empat jam tangan Kura-Kura Ninja. Motivasinya lebih karena iseng mencoba dan kebetulan klub dance saya itu dapat porsi di sebuah pertunjukan besar, jadi saya langsung dilibatkan secara profesional. I stayed in the dance club for one year. I didn’t enjoy it as much as I enjoyed singing and music, to be honest. Tapi, itu adalah pengalaman berharga yang tak terlupakan.

Apa skill yang dipelajari di luar bangku sekolah, tapi bermanfaat untuk profesi Mbak Dee sekarang?

Musik. Saya les piano, dan itu menjadi basis saya untuk menciptakan lagu. Untuk nyanyi saya otodidak, lebih karena aktif di paduan suara dan grup vokal sejak kecil, baik di gereja maupun di ekskul sekolah.

Boleh cerita tentang satu contoh kegagalan Mbak Dee dalam karier ataupun studi? Apa yang bikin kembali bersemangat?

Saking sibuknya di paduan suara dan grup vokal, waktu kelas 2 SMA saya sempat jadi ranking 49 dari 51 siswa. Itu rekor akademik saya terburuk. Tapi, saya nggak nyesal-nyesal amat, karena saya tahu itu bukan karena saya bodoh, tapi karena saya fokus ke hal lain. Pada saat bersamaan, saat itu saya memimpin seksi kesenian di sekolah, dan SMA saya mendapatkan prestasi puncaknya di ajang-ajang perlombaan musik. 

Kalau nggak jadi penulis atau penyanyi, kira-kira seorang Dewi Lestari bakal berprofesi sebagai apa?

Mungkin jadi juru masak dan buka restoran.

Hal apa yang Mbak Dee lakukan dulu ketika kuliah tapi nggak dilakukan oleh teman-teman sehingga Mbak Dee bisa sukses seperti sekarang?

Saya kurang tahu pasti karena tidak mengecek kegiatan semua teman saya. Saya hanya merasa beruntung karena bisa mengidentifikasi passion saya sejak cukup awal dan cukup serius untuk menggelutinya.

Mbak Dee bakal mengisi acara di Ubud Writers and Readers Festival 2016, apa hal yang paling bikin Mbak Dee excited?

Hadir di UWRF selalu menyenangkan karena bukan cuma berkesempatan untuk melihat banyak sesi menarik dari penulis berkualitas, tapi juga atmosfer kreatif yang bisa kita nikmati hanya dengan hadir di sana selama UWRF. Untuk UWRF kali ini saya juga akan berkesempatan untuk membahas perjalanan serial Supernova. That will be exciting for me.

Menurut Mbak Dee, Kalau anak-anak muda ke UWRF, kira-kira apa benefit yang bisa mereka ambil?

Seperti yang saya bilang tadi, berada di sana saja sudah pasti bisa merasakan atmosfer kreatif yang kental. It’s so refreshing and invigorating. Menyaksikan begitu banyak orang kreatif berkumpul dan berbagi pengalaman mereka, menurut saya sudah merupakan manfaat yang luar biasa.

What would you say to your 20-year-old self?

The best is yet to come.

Tribun Jogja | Pembajakan Buku | Agustus, 2016 | Dwi Nourma Handito


Dari penelusuran saya di lapangan, novel Dee jadi salah satu "favorit" yang dibajak. Supernova misalnya. Di Jogja bisa dengan mudah untuk dapat buku bajakan Supernova. Bagaimana tanggapan dan sikap Dee terkait hal ini (pembajakan buku)?
 
Dalam lima belas tahun saya berkarier, buku saya memang sudah dibajak entah sudah berapa kali. Saya tahu saya dirugikan. Namun, untuk menyelidikinya juga butuh tenaga dan fokus, yang mana saya belum bisa meluangkan ke arah sana berhubung pekerjaan saya juga berjalan terus. Yang bisa saya lakukan adalah mendorong dan mengedukasi para pembaca saya untuk tidak membeli buku bajakan dan menghargai kerja keras penulis. Karena tidak jarang juga para pembaca tersebut bahkan tidak sadar bahwa buku yang mereka beli adalah bajakan. Apalagi sekarang ini buku bajakan sudah dipasarkan dengan bahasa marketing yang lebih kreatif seperti “buku KW super”, “isi sama dengan ori”, dsb. 

Terkait dengan buku bajakan karya Dee, apakah pernah secara langsung "memergoki" buku-buku bajakan itu, atau pernah menemukan kejadian misalnya saat ketemu fans dan minta tanda tangan justru buku yang dibawa adalah bajakan? Atau pernah melakukan investigasi sendiri?

Belum pernah memergoki dijual, tapi setiap booksigning ada saja satu-dua orang yang bawa buku bajakan, dan mereka bahkan tidak sadar bahwa buku tsb bajakan. Biasanya, sebelum acara saya mengumumkan bahwa saya hanya akan menandatangani buku asli. Yang bawa buku bajakan, terpaksa saya tolak. Jadi, ada pembelajaran juga. 

Penulis menjadi salah satu yang dirugikan dalam hal ini, bersama penerbit tentunya. Apakah pernah melakukan langkah-langkah lanjutan terkait kejahatan ini? Melaporkan ke pihak berwajib, misalnya? Atau ada rencana untuk itu? Jika tidak, kenapa alasannya?

Setahu saya memang pembajakan berbasis delik aduan, jadi harus ada pihak pelapor dengan membawa bukti-bukti, dsb. Penerbit saya sudah pernah melakukannya, tapi mereka bilang prosesnya rumit. Saya rasa para penerbit lain juga sudah ada yang melakukan, tapi saya belum pernah tahu hasilnya bagaimana. Barangkali hal seperti itu lebih praktis jika dilakukan kolektif, juga ada semacam gerakan/awareness untuk meningkatkan kesadaran tsb. Namun, sejauh ini sepertinya tindakan kolektif ke arah sana belum terdengar betul gaungnya. 

Budaya literasi di Indonesia masih sangat minim, ditambah adanya pembajakan yang semakin merusak. Apa harapan-harapan Dee untuk ke depannya?

Buku dikeluhkan mahal, memang  ada benarnya. Banyak kebijakan pemerintah saat ini yang mengakibatkan produksi buku tidak bisa murah, dan akhirnya harga buku tinggi, sementara daya beli masyarakat belum semua mampu ke arah sana. Jadi, baiknya memang ada insentif ekonomi bagi industri penerbitan, supaya buku lebih mudah diakses dan dibeli masyarakat. Selain itu, perlu ada gerakan moral untuk menghargai karya tulis sehingga masyarakat punya kesadaran dan keengganan untuk membeli buku bajakan.

Majalah UNPAR | Profil Alumni | Mei, 2016 | Bobby Suryo

-->
Apa alasan memilih kuliah di Unpar dan memilih jurusan HI?
Sejujurnya, alasan saya dulu lebih karena ketidaktahuan. Waktu SMA saya ambil jurusan Biologi, tapi menjelang kelulusan saya sadar bahwa saya tidak tertarik untuk mengambil jurusan eksak saat kuliah nanti, akhirnya saya banting setir dan cari jurusan sosial. Hubungan Internasional menjadi salah satu pilihan saya karena ada kata “internasional”-nya. Terdengar keren dan berprospek jalan-jalan ke luar negeri, jadi saya ambil. Ha-ha-ha! Saya nggak tahu bahwa ternyata di dalamnya belajar politik. Kalau UNPAR sih karena untuk pilihan swasta, menurut saya UNPAR adalah yang terbaik. Kebetulan kakak saya juga kuliah arsitektur di UNPAR, jadi rasanya sudah familier.
Apa saja aktivitas selama berkuliah (termasuk kegiatan kemahasiswaan atau yang lainnya)?
Saya sudah memulai karier nyanyi dari mulai awal kuliah, jadi sejak tahun pertama saya lebih banyak sibuk di luar kampus. Saya lebih tepat disebut sebagai siluman kampus ketimbang macan kampus, karena saya biasanya hanya datang untuk menghadiri perkuliahan. Tidak punya banyak kesempatan untuk berorganisasi.
Adakah hal paling berkesan yang dialami selama berkuliah?
Saya punya sekelompok sahabat yang dulu dinamakan “Anak 44” (karena kosnya di Ciumbuleuit no 44), persahabatan kami adalah salah satu yang paling berkesan. Selain itu adalah makan gule di kantin bawah (kayaknya sekarang sudah pindah entah ke mana). Saya sangat menikmati proses pembuatan skripsi saya. Waktu itu saya menulis tentang pop culture, belum pernah ada yang menulis tema itu sebelumnya. Saya jadi bersemangat karena akhirnya saya menemukan aspek dari Hubungan Internasional yang sangat menarik buat saya.
Saat ini, Mbak Dee dikenal sebagai musisi, penulis lagu, dan penulis buku. Bisa tolong ceritakan awal mula Mbak Dee memilih terjun di dunia seni ini?
Saya sudah mulai berkarier di musik sejak mulai kuliah, awalnya jadi backing vocal, dan dua tahun kemudian saya merilis album bersama trio Rida Sita Dewi. Hobi menulis lagu dan menulis fiksi memang sudah dari kecil, saya mulai bikin lagu dan mencoba menulis novel dari kelas 5 SD, dan hobi itu berlanjut sampai besar. Awalnya hanya buat dikonsumsi sendiri, atau dibagi ke teman-teman dan keluarga. Baru tahun 2000 saya berniat serius untuk menerbitkan karya pertama saya, Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Sejak itu, saya dikenal sebagai penulis hingga sekarang.
Apa tantangan Mbak Dee ketika menjalani hidup di dunia seni?
Hampir semua pekerja seni melakukan pekerjaan mereka karena cinta, termasuk saya. Kadang kita jadi merasa bahwa pekerjaan kita lebih besar dari hidup kita, dari segala-galanya. Jadi, tantangannya adalah bagaimana punya perspektif yang seimbang agar kita nggak terlena untuk terus mengejar eksistensi dan mengabaikan hal-hal lain yang tidak kalah penting, seperti keluarga dan kesehatan.
Adakah hal paling berkesan selama menjadi musisi dan penulis buku?
Terlalu banyak untuk disebutkan. Yang jelas, meski saya tidak berkarier sebagai diplomat atau terjun ke politik, menjadi musisi dan penulis membawa saya melihat dunia, berkeliling Indonesia, bertemu dengan banyak orang-orang luar biasa, sebagaimana yang saya bayangkan ketika dulu mau masuk HI.
Adakah materi perkuliahan yang Mbak Dee peroleh di Unpar yang bisa dipakai di dunia kerja Mbak Dee?
Kuliah di HI sangat mempertajam kemampuan saya menulis. Intinya, menulis yang baik adalah menulis secara jernih dan runut, dan itu terbantu sekali oleh ujian-ujian yang kebanyakan esai. Begitu juga ketika skripsi, otot membaca saya jadi sangat terlatih karena begitu banyak referensi yang harus saya pelajari untuk sebuah topik yang tidak lazim saat itu.
Sepengetahuan Mbak Dee, apa perbedaan Unpar sekarang dengan yang dulu? (baik gedung, mahasiswa, ataupun suasananya)
Ini hanya berdasarkan pengamatan yang terbatas, ya. Kesan saya, gedung UNPAR semakin megah, mahasiswanya tetap asyik, suasananya agak beda tapi itu lebih karena Bandung yang semakin macet. Dulu juga kalau ke Ciumbuleuit macet, tapi sekarang ini benar-benar perjuangan kalau sudah harus ke daerah Ciumbuleuit. Saya bayangkan situasi itu pasti menjadi tantangan besar buat mahasiswa UNPAR sekarang.
Pesan Mbak Dee untuk mahasiswa Unpar?
Selalu pelihara rasa ingin tahu. Ilmu terlalu luas untuk disekat gedung kampus. Rakuslah akan ilmu. Rakuslah akan pengalaman. Temukan yang kamu cinta, dan tekuni itu hingga kamu menjadi yang terbaik.

Sriwijaya Air Magz | Inspiring People | April, 2016 | K. Ayu Budiani


Dee terkenal piawai menggunakan bahasa-bahasa puitis dalam membuat lirik lagu. Jika ditanya, Dee merasa tipe orang romantis atau bukan?

Lumayan. Namun, khusus dalam kepenulisan, saya bisa karena terbiasa. Dalam menulis, saya harus menempatkan diri saya dalam konteks cerita, meresapi emosi yang terjadi, sehingga bisa mengomunikasikan emosi tersebut dalam kata-kata yang saya susun.

Siapa musisi favorit? Kenapa?

Saya cenderung menyukai mereka yang singer-songwriter, karena biasanya lagu-lagu mereka sangat mengena. Saya menyukai Sarah McLachlan, Sara Bareilles, Emily Saliers dari Indigo Girls.

Dari mana biasanya mendapat inspirasi lagu?

Tidak tentu. Buat saya selama ini proses bikin lagu itu seperti tersambar petir. Kalau terjadi, terjadilah. Saya tidak sengaja mencari-cari.

Sebagai penulis lagu, bagaimana menyelaraskan antara lagu dengan orang yang menyanyikan?

Patokan saya bukan kepada yang menyanyikan, karena saya tidak tahu pasti siapa yang akan menyanyikan lagu saya. Saya lebih memperhatikan aspek prosodi, yakni kesesuaian melodi dengan lirik. Prosodi itu butuh kepekaan. Tapi, jika kita sudah bisa mengamati itu dengan jeli, kita bisa tahu bahwa frase melodi tertentu cocok dengan bunyi vokal tertentu. Kemudian, frase melodi tersebut akan membentuk suasana tertentu yang cocok dengan tema tertentu. Ketika ada lagu yang prosodinya nggak enak atau nggak pas, saya bisa merasa dan terganggu. Misalnya, ada frase melodi cerita tapi diisi dengan lirik yang sedih dan sebaliknya. Atau ketika ada pemotongan suku kata yang tidak pas dengan napas melodi. Atau ketika ada kata yang artikulasi hurufnya menyulitkan ketika dinyanyikan. Hal-hal seperti itu yang saya perhatikan.

Seorang penulis harus banyak membaca. Seberapa seringkah Dee membaca buku?

Kalau sedang riset, bisa sangat banyak. Terus terang, belakangan saya kesulitan punya waktu luang untuk membaca. Kalau memang niat banget, saya sampai harus mencantumkan membaca dalam to-do-list.

Siapa penulis favorit dan apa judul buku favorit? Kenapa?

Tidak ada satu penulis fiksi yang saya ikuti terus dengan setia, mungkin karena saya bukan pembaca fiksi yang sabar. Tapi, ada beberapa penulis nonfiksi yang saya ikuti terus karena saya suka topiknya, seperti Graham Hancock.

Dee adalah seorang ibu dari dua anak, bagaimana membagi waktu dengan keluarga namun bisa tetap berkomitmen menulis?

Dengan mengaturnya dalam jadwal kerja. Ketika saya sudah memilih satu proyek kreatif, saya langsung membuat deadline, menyusun jadwal harian, dan dalam perhitungan tersebut saya sudah memilah waktu saya kerja dan waktu saya buat keluarga dan hal lainnya. Ketika komitmen itu dimulai, saya menyebut fase tersebut “fase masuk gua”. Biasanya, selama fase masuk gua berlangsung, saya membatasi seminim mungkin kegiatan saya di luar rumah, jadi saya masih punya waktu untuk keluarga. Karena dengan hanya menulis saja sudah begitu banyak jam yang saya dedikasikan untuk bekerja, kalau saya masih mengambil lagi komitmen-komitmen pekerjaan lain, bisa-bisa saya tidak punya waktu lagi untuk rumah dan keluarga. Jadi, memang harus ada yang dikorbankan.

Semua buku Dee yang diterbitkan sudah difilmkan. Sejauh mana keterlibatan Dee dari semua film-film adaptasi buku Dee tersebut?

Beda-beda bergantung kesepakatan saya dengan pihak produser dan juga kesanggupan saya. Karena meski produsernya kepingin saya terlibat, kalau saya sedang ada fase menulis, saya pasti akan mengutamakan buku saya. Mengapa? Karena pertama, film bukan pekerjaan inti saya. Kedua, dalam film, posisi saya masih bisa digantikan atau malah ditiadakan, karena bagaimana pun produser mengadaptasi karya saya, yang artinya mereka punya kebebasan untuk melakukan interpretasi ulang. Sementara tidak ada lagi yang bisa menuliskan buku saya selain saya sendiri.

Bagaimana Dee memandang sebuah film yang diadaptasi dari buku?

Film yang diadaptasi dari buku adalah hal biasa. Film-film pertama di dunia pun diambil dari adaptasi buku. Jadi, ini adalah praktik yang lazim. Film yang diadaptasi dari buku biasanya menjadi polemik di antara pembaca setia, ada yang suka dan tidak. Namun, menurut saya, semua film juga biasanya begitu. Akan ada yang suka dan tidak. Pada akhirnya, sebuah produksi film tugas utamanya adalah menghadirkan film yang sebaik mungkin. Terlepas itu diadaptasi dari buku atau bukan.

Piawai dalam menulis karya fiksi, lalu menulis skenario pertama kali untuk Perahu Kertas. Apakah mengalami kesulitan untuk menulis skenario? Jika iya, bagaimana mengatasi kesulitannya?

Skenario adalah hal yang sama sekali berbeda dengan penulisan novel. Pakemnya, pendekatannya, eksekusinya, semuanya beda. Jadi, untuk menulis skenario saya harus belajar ulang dari nol. Saya baca lagi teori-teori menulis skenario, diskusi dengan beberapa penulis skenario, dsb.

Jika disuruh untuk memilih, bermusik atau menulis? Kenapa?

Tidak bisa memilih. Keduanya sudah inheren ada di dalam diri saya. Bagi saya, musik dan menulis hakikatnya satu: story telling.

Ide gila apa yang ingin dituangkan di dalam tema cerita di buku?

Pendekatan saya kepada buku tidak seperti itu. Saya tidak menulis semata-mata karena punya “ide gila”. Saya menulis karena ingin menciptakan cerita yang baik. Dan, untuk itu tidak selalu dibutuhkan ide yang gila, ide yang biasa-biasa pun jadi, selama dikerjakan dengan baik hasilnya bisa jadi luar biasa.
 
Pernah punya keinginan untuk menulis skenario orisinal untuk film? Film genre apa?

Saat ini belum.

Banyak sekali anak-anak muda yang bercita-cita menjadi penulis dan karyanya dipajang di toko buku. Sama seperti impian Dee. Namun tak sedikit pula yang mengalami penolakan. Bisa berbagi sedikit untuk mereka bagaimana supaya tidak patah semangat?

Penolakan adalah hal yang akan dilalui semua penulis, skalanya beda-beda. Mungkin yang satu ditolak penerbit, yang satu lagi ditolak media, yang lain mungkin dikritik teman-teman yang akhirnya terasa seperti “penolakan”. Intinya, tidak semua orang akan menyukai karya kita. Penulis pemula mengalami itu, penulis profesional pun masih akan terus mengalami itu. Ketika saya mengalami hal tersebut, saya menggunakannya sebagai momen refleksi. Biasanya, kita akan temukan beberapa hal yang perlu kita perbaiki dari karya kita. Momen seperti itu juga menjadi pengingat bagi saya: untuk siapakah saya menulis? Saya tidak menulis untuk memuaskan orang lain. Saya menulis untuk kepuasan diri saya sendiri. Kalau ada orang yang suka, saya anggap bonus. Jadi, selalu kembalikan niat kita ke bentuknya yang paling dasar. Saya menulis buku yang saya ingin baca. Itu saja.

Sukses menerbitkan Supernova seri terakhir di awal tahun 2016. Target dan impian apa lagi yang belum tercapai?

Saya tidak melihatnya lagi seperti itu. Saya memandang menulis adalah proses kontinu. Sama halnya seperti petani menghadapi musim. Habis Supernova 6 akan datang buku berikutnya, dan seterusnya.  

Kapan menerbitkan buku lagi?

Sekarang ini saya break dulu. Masa rihat bagi saya sama pentingnya dengan masa bekerja. Saya ingin mengambil napas panjang sebelum mulai sesuatu yang baru. Mungkin saya baru akan menyusun proyek kreatif berikutnya di akhir tahun. We’ll see.

Passion Stories (Buku) | Juni, 2016 | Qalbinur Nawawi


Sejak kecil Mbak Dee suka menulis dan menyanyi, namun dengan berjalannya waktu justru bakat menyanyi yang lebih dulu membuahkan hasil. Setelah itu, dalam aktivitas menjadi seorang penyanyi, Mbak Dee menulis novel Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Apa yang menjadi dorongan kuat Mbak untuk menulis pada saat hasil sebagai penyanyi sudah ada dan tinggal di-maintain saja: apakah Anda menulis novel karena terinspirasi dari membaca novel orang, atau mungkin tema yang Mbak Dee angkat belum ada makanya Mbak mau menuliskannya, atau seperti apa?

Sepertinya harus dibedakan antara perspektif karier dan perspektif renjana atau passion. Menulis dan musik adalah hobi dan passion saya sejak kecil, berkarier di kedua bidang tersebut menjadi akibat dari sebuah sebab. Karena saya tidak pernah menjadikan karier musik (dan karier menulis) sebagai sebuah sebab, maka saya tidak berpikir bahwa karier musik sudah cukup untuk itu tidak perlu berkarier menulis. Saya tidak berpikir dari perspektif karier. Saya semata-mata melakukan keduanya dari perspektif passion. Akibat dari itulah, saya jadi punya karier sebagai penyanyi dan penulis. Kalau soal novelnya, saya memang lebih senang menulis dalam format novel. Kalau soal tema, betul, saya menulis tema yang menurut saya menarik. Tapi, bagi saya, terjunnya saya dalam dua bidang tersebut bukan karena ingin “jadi penulis” dan “jadi penyanyi”, melainkan saya menulis karena saya suka, menyanyi karena saya suka musik. Atribut karier menyusul belakangan. 

Bagaimana reaksi keluarga dan teman saat Mbak di tengah usaha menyanyi yang Mbak rintis Mbak Dee justru menekuni dunia menulis?

Berhubung mereka tahu saya sejak kecil, mereka tidak ada yang kaget. Mereka memang tahu sejak kecil saya suka menulis, jadi mungkin tinggal tunggu waktu saja hingga saya betul-betul menyeriusinya.

Pernahkah Mbak Dee menemukan “aha moment”? Artinya sebuah langkah berani atau langkah awal dari perubahan positif yang membawa Mbak Dee hingga menjadi sekarang?

Pada akhir tahun 1999, saya mengalami semacam epifani. Sejak itu, pandangan saya berubah total, terutama yang berkenaan dengan aspek eksistensial dan spiritual. Saya ingin sekali berbagi tentang pengalaman dan pemikiran saya. Akhirnya, tahun 2000 saya mulai menulis manuskrip Supernova 1. Tapi, bukan hanya menulis bukunya, saya merasa momen itu benar-benar mengubah keseluruhan diri saya secara drastis.

Pernahkah saat proses menuju kepiawaian menulis, Mbak Dee mengalami kejadian pahit yang membuat drop dalam menjalani karier menjadi penulis, semisal ditolak penerbit naskahnya? Saya penasaran karena pertama karya mba lahir, novel Anda langsung disukai banyak orang. Bila ada, boleh diceritakan? Apa yang Mbak Dee lakukan setelahnya hingga bisa mencapai novelis andal?

Saya belum pernah ditolak penerbit karena memang belum pernah mengirimkan naskah ke penerbit. Saya mengawali buku pertama saya dengan menerbitkan sendiri. Sesudahnya, karena saya sudah punya basis pembaca, posisinya jadi berbalik. Penerbitlah yang mengajak saya bekerja sama. Tapi, saya punya pengalaman mengirim naskah ke majalah dan tidak ditanggapi, saya juga pernah mengirim naskah ke perlombaan dan tidak menang. Saya sempat kecil hati, tapi bukan karena tidak menang/tidak diterima, melainkan karena saya merasa saya tidak bisa dibatasi oleh persyaratan majalah/media massa yang mengharuskan cerpen itu sekian halaman, novel itu sekian halaman, dsb. Karya saya selalu di luar itu semua. Akibatnya, saya sempat merasa karya-karya saya tidak punya tempat. Namun, justru dari sana timbul tekad untuk menerbitkan sendiri. Akhirnya saya terus menulis, meski hanya disimpan, dengan niat bahwa satu saat saya akan menerbitkan sendiri tulisan-tulisan saya. 

Kini Mbak Dee sudah menghasilkan 7 novel dan 3 kumcer. Dari konsistensi menulis buku sampai saat ini, adakah value yang Mbak perjuangkan di setiap karya maupun aktivitasnya? 

Berusaha membuat karya yang lebih baik, dan ini bukan basa-basi, saya selalu merasa karya saya yang berikut harus menjadi perbaikan dari karya sebelumnya. Saya tidak peduli orang bilang lebih suka buku saya yang mana. Buat saya, karya berikut akan selalu lebih baik dari sebelumnya. Kedua, saya berusaha untuk menulis buku baru setiap minimal 1,5 tahun sekali. 
 
 
Dengan karya Mbak Dee diterima banyak orang dan mempunyai pembaca setia, tak hanya sekadar buku, Mbak Dee juga menjadi inspirasi buat pembaca. Dan, ada di sebagian dari mereka pun tertarik menjadi penulis novel. Namun kendala mood dan writers block seringkali menjadi rintangan awal penulis pemula untuk menyelesaikan naskah pertama mereka. Sebagian penulis menilai mood hanyalah alasan untuk kita tak menulis. Mereka berpikir menulislah dulu – seburuk apa pun hasilnya. Nanti, tinggal “dijahit” saja hasil tulisan yang tadinya buruk itu, hingga menjadi enak dibaca. Bagaimana pandangan Mbak Dee? Apakah Mbak Dee melihat menunggu mood datang memang hanya sebuah alasan untuk kita tidak menulis, atau seperti apa?
 
Tidak mood dan writer’s block adalah tantangan nyata yang selalu terjadi pada setiap penulis, termasuk saya. Jadi, tidak ada yang spesial dari kedua hal itu. Yang membedakan adalah bagaimana kita menyikapinya. Penulis yang sudah berpengalaman akan paham bahwa tidak mood dan writer’s block pasti akan terjadi, jadi kalaupun kejadian, itu tidak akan menghalanginya untuk tidak meneruskan karyanya sampai selesai. Ia tetap akan berusaha melewati rintangan itu. Sementara, penulis yang belum berpengalaman bisa jadi menyikapinya dengan berhenti. Karena itu saya selalu menekankan bahwa menulis itu butuh jam terbang. Kita butuh sering berlatih untuk tahu bahwa rintangan menulis sebetulnya tidak ada yang spesial. Kita juga perlu tahu rasanya menamatkan karya karena kata “Tamat” itu akan punya efek luar biasa terhadap mental kita. Jadi, selalu berusahalah untuk menamatkan karya. 

Dan bagaimana Mbak Dee cara mengatasi kendala itu?

Punya deadline, juga punya mentalitas atau prinsip atau apa pun, yang intinya menekankan bahwa karya yang tidak selesai adalah utang.

Dalam suatu kesempatan wawancara, Mbak Dee menuturkan bahwa proses kreatif menulis novel Mbak Dee itu berdasarkan timeline tertentu, di mana Mbak sudah mempunyai timeline dalam bentuk deadline. Atau dalam bahasa Mbak, jadwal produksinya jelas, mulai dari kerja berapa lama, berapa target halaman, menulis berapa halaman sehari dan seterusnya. Namun demikian, bukankah kegiatan menulis jadi terasa mekanis sekali? Saya merasa kehilangan rasa fun di dalamnya semisal target halaman pun sudah ditentukan. Nah, bagaimana pendapat Mbak Dee sendiri? Atau, jangan-jangan apa yang Mbak lakukan sebenarnya satu tahap di atas penulis biasanya melakukannya, yakni menentukan dengan detail jadwal waktu menulis dan target halamannya?

Rasa fun tidak ada hubungannya dengan sistem produktivitas. Jadi, kembali kita perlu membedakan dua perspektif. Perspektif kreativitas, dan perspektif produktivitas. Timeline, deadline, jam kerja, target halaman, itu adalah bagian dari sistem produktivitas. Saya bisa tetap fun menulis dan punya sistem produktivitas yang baik. Sistem yang baik membantu saya menyelesaikan pekerjaan sesuai target, membuat saya bisa membagi waktu dan fokus dengan hal lain, dan membuat karya tidak membelenggu saya. Sistem produktivitas yang baik membuat kita menjadi sparring partner yang seimbang dengan kreativitas. Sebaliknya, kita bisa berkarya bebas (yang bisa diartikan menjadi cara yang “fun”), tapi tidak punya sistem produktivitas yang sehat. Akibatnya, karya jadi mendikte dan membelenggu kita, ketika kita bekerja dengan pihak lain, penerbit misalnya, kita tidak punya target waktu yang bisa diandalkan. Sistem yang baik mendorong kita punya etos kerja yang baik. Jadi, dengan memiliki sistem produktivitas, saya justru menjaga agar saya bisa tetap fun menulis dan punya proporsi sehat untuk hal-hal lainnya.  

Selain itu, dengan Mbak Dee membuat target halaman, itu artinya Anda sudah tahu berapa halaman novel Anda akan berakhir. Bukankah jumlah halaman seselesai outline yang kita buat, ya Mbak? Yang mana biasanya novel biasanya memiliki minimal dua cerita klimaks di dalamnya?

Pertama, sepanjang pengetahuan saya, novel tidak punya dua klimaks. Klimaks hanya terjadi satu kali. Kedua, outline tidak menentukan jumlah halaman. Tapi kita bisa punya target kasar seberapa besar volume buku yang ingin kita tulis, rentang seperti 40 ribu kata, 80 ribu kata, 100 ribu kata, dan seterusnya. Angka itu tentunya tidak mungkin fixed, tapi setidaknya memberikan kita semacam gambaran tentang seberapa besar dan seberapa memungkinkan ide kita bisa dikembangkan. Kalau idenya sempit, ya, realistis saja untuk tidak menargetkan 100 ribu kata, melainkan cukup di 40 ribu, misalnya. Tapi, kalau idenya luas, maka bisa menargetkan jumlah halaman yang lebih banyak. Saya tidak tahu persis di halaman keberapa novel saya akan habis, saya rasa tidak ada satu pun penulis di dunia ini yang punya kemampuan itu. Yang bisa saya lakukan adalah memiliki target kasar seberapa besar volume cerita yang akan saya garap, dan bagi saya itu penting, sama seperti salah satu prinsip Stephen Covey (7 Kebiasaan Efektif) yakni: Begin with the end in mind.

Saya jadi juga penasaran, bagaimana Mbak Dee membuat outline plot cerita, apakah drive-nya berdasarkan informasi yang disembunyikan dalam plot, atau karakter? Mana yang paling banyak sering Mbak Dee pakai? Bisa dijelaskan alasannya?

Informasi maupun karakter adalah “kurir” cerita, bukan cerita itu sendiri. Plot  adalah grafik. Grafik itu akan diukir dan dibentuk melalui pergerakan karakter dan informasi yang mereka bawa. Grafik dibentuk bukan oleh “informasi apa yang harus dibuka” atau “apa yang harus dilakukan karakter”, tapi “apa yang terjadi”. Jadi lebih luas dari sekadar informasi maupun karakter, melainkan dinamika keseluruhan dari semua elemen cerita. Kita bisa banyak belajar mengenai hal ini dari buku-buku tentang penulisan skenario. Salah satu yang saya gunakan sebagai referensi adalah buku Save The Cat dari Blake Snyder.

Inspirasi menulis novel itu paling mudah muncul dari keresahan atau pun pengalaman yang yang kita jalani. Bagaimana Mbak Dee melihatnya, apakah Mbak Dee setuju tentang hal itu? Atau apakah baiknya mengandalkan dua hal itu?

Kalau pertanyaannya adalah “yang paling mudah”, betul, saya setuju. Pengalaman pribadi adalah sumber yang paling untuk kita tulis karena kita punya kedekatan dan pengetahuan personal. Para penulis pemula memang sebaiknya memulai dari sana, bukan karena yang paling ideal, melainkan karena memang paling mudah. Bagi saya, yang paling utama harus kita kejar adalah jam terbang dulu. Menulis itu membutuhkan latihan yang tak terhingga. Tidak usah berpikir menerbitkan buku dulu, sering-sering saja menulis cerita walaupun cuma dibaca sendiri atau orang-orang terdekat.

Apakah Mbak Dee punya informasi kriteria novel bagus yang disukai penerbit mayor seperti apa? Ini agar para orang yang di luar sana ingin jadi penulis tahu standarnya?

Saya tidak pernah berada di posisi penerbit selain untuk karya saya sendiri (self-publishing), jadi informasi saya terbatas soal ini. Untuk penerbit pasti ada pertimbangan seperti tren pasar, jenis buku yang sedang digemari, dsb, tapi yang jelas mereka akan memilih naskah yang memang bagus atau minimal bisa dipoles, sesuai dengan genrenya masing-masing. Jadi kita harus hati-hati menghakimi sebuah buku “tidak layak terbit” atau “tidak bermutu”, bisa jadi karena kita memang tidak suka genrenya. Penerbit harus punya jendela selera yang luas karena dia mengakomodir banyak pihak.

Mbak Dee pernah bilang dengan kemudahan internet dan self publishing saat ini makin banyak penulis muda lahir. Namun, dalam waktu yang sama, persaingan lebih sulit karena semakin banyak penulis yang lahir, dan kuncinya untuk menonjol ialah fokus pada kualitas, terus belajar dan mengembangkan diri. Dalam konkretnya, apakah makna tiga kunci itu, apakah mempunyai diferensiasi atau keunikan dari setiap karyanya? Misalnya terus menulis pada fokus pada satu genre saja, katakanlah teenlit, agar bisa berhasil atau mempunyai basis pembaca yang kuat? Atau seperti Raditya Dika, di mana ia selalu dia selalu menyusupkan nama binatang dalam judul bukunya agar terlihat dalam kerumunan buku yang lahir? Bagaimana menurut Mbak Dee, setujukah? Atau mba Dee punya pendapat lain?

Saya tidak tahu persis motivasi Raditya Dika menyusupkan jenis binatang adalah agar pembeda dari yang lain atau karena itu memang ciri khasnya. Kalau kita cermat kita akan melihat bahwa kedua hal tadi adalah dua hal yang berbeda. Yang pertama orientasinya orang lain, yang kedua adalah diri sendiri. Dan bagi saya, itulah pertanyaan dasar yang paling penting. Kita mau orientasi ke orang lain atau diri sendiri? Bagi saya pribadi, orientasi ke orang lain itu melelahkan, belum tentu akurat, dan belum tentu berhasil. Tidak berarti kalau kita orientasi ke diri sendiri langsung dijamin berhasil dalam arti sukses jadi penulis best-seller dsb, tapi setidaknya proses yang terjadi menjadi menyenangkan dan penuh semangat. Misal, ketika saya menulis Perahu Kertas, tujuan saya adalah bikin cerita cinta yang menggabungkan unsur cita-cita, lucu, seru, serta punya romantisme yang pas dan khas. Standard itu datang dari saya, bukan dari siapa-siapa. Itulah yang menjadi tugas utama penulis. Basis pembaca adalah urusan belakangan. Saya melihat kuat atau tidaknya basis pembaca lebih sebagai efek dari sebuah sebab, bukan target. Latihan, jam terbang, belajar menulis yang baik entah dari buku atau ikut workshop, dan tulis apa yang kita suka. Ciri khas kita akan keluar dengan sendirinya.

Adakah novel-novel rekomendasi Mbak Dee dengan plot cerita bagus yang bisa dijadikan para penulis pemula belajar? Sehingga kualitas karya yang dilahirkan sesuai dengan selera penerbit mayor? Atau mungkin, plot seperti apa yang biasanya disukai penerbit mayor, apakah plotnya tidak tertebak atau mereka mempunya informasi yang mengejutkan karena konflik yang berlapis-lapis?

Ini adalah pertanyaan yang lebih cocok diajukan ke penerbit, sama seperti pertanyaan yang sebelumnya di atas.

Ide cerita yang baik ialah cerita yang memiliki emosi. Lebih dalam, Mbak Dee menyebutnya cerita yang punya dramatisasi. Dan, dramatisasi bisa didapat kalau kita punya intuisi bercerita – sebuah sudut pandang apa yang dipilih lebih mengena pada pembaca dari cerita yang dibangun, paham struktur dan menguasai teknik menulis – bagaimana para penulis meletakan racun atau unsur kejutannya. Pertanyaan saya, apakah elemen ini yang perlu dicari oleh seseorang yang ingin menjadi penulis novel saat melahap banyak novel sebagai modal awal terjun ke dalam dunia menulis novel?

Membaca sambil mempelajari menurut saya adalah salah satu cara paling efektif untuk belajar menulis. Baca buku Dan Brown atau JK Rowling, misalnya, dengan membaca sekaligus mempelajari, kita bisa tahu bagaimana para penulis tersebut menyusun plotnya, membentuk karakternya, dsb. Tentu ini modal awal penting bagi penulis pemula, tapi lebih penting lagi adalah mereka tahu kegunaan dan implementasi dari yang mereka baca itu seperti apa. Jadi,  bagi saya, tetap yang utama adalah mencoba menulis cerita. Berlatih crafting cerita sesering mungkin.

Menurut Mbak Dee apa itu passion? Bagaimana agar passion bisa membawa kita jadi penulis novel yang andal?

Gampangnya, passion itu minat yang dilakoni dengan semangat. Passion memotivasi kita untuk belajar dan menggali, juga untuk mencoba lagi meskipun sempat tersandung atau gagal.
Saran Mbak Dee, sebaiknya penulis pemula itu mencoba menulis dari cerpen apa langsung novel?

Bisa keduanya. Sejak kecil yang saya suka adalah novel, jadi karya pertama saya novel. Saya memang suka menulis panjang. Cerpen menurut saya lebih gampang manajemen waktunya, tapi tidak semua orang juga suka dengan format cerpen. Jadi, kedua-keduanya bisa dicoba untuk penjajakan.


Harian Fajar Makassar | MIWF | Mei, 2016 | Raya Paramita

--> --> Sudah berapa kali Dee datang ke Makassar?
Sudah sering. Dari semenjak saya masih menyanyi belasan tahun yang lalu juga sudah sering ke Makassar.

Bagaimana Dee melihat antusiasme masyarakat Makassar dalam kegiatan MIWF ini?

Ini adalah kali ketiga saya menghadiri MIWF sejak 2013. Yang saya amati adalah peserta terus bertambah, mata acara juga semakin variatif dan menarik. Saya senang melihat perkembangannya.

Kebiasaan apa saja yang biasa Dee lakukan saat di Makassar?

Karena selama ini kalau ke Makassar konteksnya hanya untuk mengisi acara, biasanya kunjungan saya singkat, bahkan hanya pulang pergi. Jadi, sebetulnya belum terlalu banyak melihat-lihat kota. Padahal Makassar konon makanannya enak-enak.

Menurut Dee, bagaimana perkembangan sastra karya penulis Makassar?

Makassar sudah punya Aan Mansyur, ada juga Riri Riza yang berkiprah di perfilman. Tentu tidak cukup sampai di sana. Namun, adanya tokoh-tokoh tersebut, dan juga tokoh yang peduli soal kepenulisan seperti Lily Farid, maka penulis-penulis di Makassar bisa punya panutan sekaligus pemicu untuk meningkatkan kualitas dan gairah berkarya. Ini sesuatu yang mungkin baru bisa dituai hasilnya dalam beberapa tahun ke depan. Tapi, dengan semakin semaraknya MIWF, saya rasa itu sudah jadi tolok ukur bahwa ada semangat kepenulisan dan juga kultur membaca yang semakin baik di Makassar.

Dibandingkan kota besar lainnya, kemungkinan penulis Makassar untuk mengembangkan karya di kancah nasional atau international berapa persen?

Saya tidak punya data untuk menjawab itu dengan akurat, dan saya juga lebih merupakan pelaku ketimbang pengamat. Namun, dengan diadakan MIWF, otomatis nama Makassar akan terangkat dan terdengar di peta kepenulisan dunia. Bagaimana kemudian penulis Makassar memanfaatkan itu, tentu akan kembali ke para penulis masing-masing. Yang jelas, dengan terselenggarakannya acara seperti MIWF, kultur kepenulisan di Makassar dan sekitarnya akan ikut diperkaya dan itu merupakan inkubator penting bagi lahirnya penulis-penulis baru.

Nantinya ada kemungkinan Dee akan menulis tentang kisah yang mengandung unsur Makassar atau settingan Makassar?

Mungkin sih tentu mungkin, tapi belum ada rencana.

Ke depannya ada project kolaborasi dengan sastrawan atau penulis Makassar?

Sejauh ini belum.

Siapa penulis atau sastrawan asal Makassar yang Dee kagumi? Kalau boleh sama alasannya juga.

Aan Mansyur. Kepekaan berbahasanya luar biasa. Dan, Aan punya dedikasi untuk memajukan komunitas.

CosmoGirl Magz | Membaca Buku | Agustus. 2016 | Mariana Politton


Seberapa sering Anda membaca buku? Berapa buku yang biasanya Anda baca dalam sebulan?

Saya punya perpustakaan dan cukup sering membeli buku. Tapi, saya biasanya tidak menargetkan jumlah buku yang harus saya baca. Saya membaca tergantung kebutuhan. Kalau sedang riset atau tertarik pada satu topik, saya bisa membaca sampai sepuluh buku dalam sebulan. Tapi, kalau sedang santai, paling-paling satu sebulan, dan bisa jadi bukan buku baru, melainkan mengulang buku yang ingin saya baca lagi.

Buku apa yang terakhir Anda baca, dan apa pendapat Anda tentang buku tersebut?

Saya baru membaca buku terjemahan The Life-Changing Magic of Tidying Up oleh Mari Kondo yang baru saja diterbitkan oleh Bentang Pustaka. Versi Bahasa Inggrisnya sudah lama saya miliki dan sudah berulangkali saya baca. Bagi saya buku ini sangat penting untuk dimiliki siapa pun, bahkan sayalah yang mendorong Bentang Pustaka untuk menerjemahkan buku tersebut ke dalam Bahasa Indonesia.

Apakah Anda lebih memilih membaca buku atau karya sastra penulis dalam negeri atau luar negeri? Apa alasannya?

Untuk sastra, saya tidak membeda-bedakan penulis luar atau dalam negeri. Kalau memang  tertarik, akan saya beli dan baca. Tapi untuk buku-buku nonfiksi, karena kebanyakan topik yang saya suka tidak ditulis oleh penulis lokal, kebanyakan isi perpustakaan saya adalah karya penulis luar negeri.

Jenis buku apa yang lebih suka Anda baca: fiksi atau nonfiksi? Apa alasannya?

Nonfiksi. Membaca fiksi bagi saya lebih ke hiburan, atau sekadar memperkaya referensi gaya menulis. Sementara modus saya dalam membaca pada umumnya adalah mencari informasi. Saya mendapatkannya tentu lebih banyak dari buku nonfiksi. Akibatnya, koleksi saya lebih banyak nonfiksi ketimbang fiksi.

Siapa pengarang atau penulis buku favorit Anda saat beranjak dewasa?

Karena kebanyakan yang saya suka adalah nonfiksi, sementara jawaban pertanyaan seperti di atas ekspektasinya biasanya adalah penulis fiksi, jadi agak sulit saya jawab. Dari penulis nonfiksi, saya banyak mengoleksi buku-buku Richard Dawkins dan Graham Hancock. Namun, salah satu buku yang berkesan bagi saya saat mulai kuliah adalah kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono, saya masih mengagumi isi buku itu hingga kini.

Apakah Anda punya pengalaman berkesan yang berhubungan dengan membaca suatu buku?

Tahun 1999 akhir saya membaca Conversation With God (buku yang nomor 2) oleh Neale Donald Walsch, dan momen itu mengubah hidup saya selamanya. Banyak pertanyaan saya yang terjawab sekaligus tercipta penelusuran baru yang sekaligus membuka gerbang-gerbang pemahaman baru, khususnya mengenai spiritualitas.

Buku apa yang Anda rekomendasikan untuk dibaca oleh generasi muda masa kini, dan kenapa?

Bagi saya membaca adalah pengalaman personal. Saya tidak punya buku rekomendasi. Tapi saya ingin sekali menganjurkan siapa pun untuk membaca apa pun yang mereka suka. Kita bisa memulai dari mana saja. Dari komik, dari teenlit, dari chicklit, dari buku sastra, dari buku nonfiksi, apa saja. Membaca adalah otot yang bisa terus berkembang jika kita latih. Untuk melatihnya yang penting adalah minat awal. Jadi, mulailah dari mana saja. Selera membaca akan terbentuk dan terbangun dengan sendirinya.

Apa pendapat Anda mengenai minat baca buku yang relatif rendah di kalangan generasi muda Indonesia? Menurut Anda, apa saja faktor yang menyebabkan hal tersebut?

Banyak faktor. Distraksi media sosial, harga buku yang tidak murah, dan juga kultur membaca yang memang belum berakar di masyarakat bertradisi lisan seperti kita. Buku bukan keperluan urgen bagi banyak orang. Informasi iya, tapi kini orang bisa mendapatkannya tidak hanya dari buku.

Apa saja yang ingin Anda lakukan untuk meningkatkan minat membaca buku di kalangan generasi muda Indonesia?

Terus melakukan apa yang bisa saya lakukan, yakni berkarya. Saya sering berbicara di kampus-kampus, dan pesan saya selalu sama, jadikan kegiatan menulis dan membaca itu seperti napas, tarik-embus, keduanya harus dilakukan agar seimbang. Kalau kita ingin memperkaya tulisan kita, ya, harus banyak membaca. Namun, tidak semua orang punya ketertarikan untuk menulis. Tanpa senang menulis, orang tetap bisa menikmati bacaan. Yang bisa saya lakukan adalah menulis sebaik mungkin sehingga moga-moga saya para pembaca yang membaca tulisan saya semakin tertarik untuk menggali informasi baru dan meneruskan ke bacaan lain.

Bisakah Anda memberikan kutipan yang mengajak pembaca CosmoGIRL agar lebih semangat dan lebih tertarik membaca buku?

Jika kita memberi asupan nutrisi kepada tubuh lewat makanan, maka membaca adalah cara kita memberi asupan nutrisi kepada pikiran dan batin. Sebagaimana tubuh memiliki otot yang bisa berkembang, membaca adalah otot yang harus dilatih agar pikiran berkembang.