Setahu saya Teh Dee awalnya adalahnya penyanyi,
sekarang kelihatannya lebih aktif menulis. Dua profesi ini proses bisnisnya,
dari perencanaannya sampai dapat penghasilan sepertinya sangat berbeda.
Bolehkah terlebih dahulu dijelaskan proses bisnis kedua profesi ini? Pola
penghasilannya juga berbeda, ya, Teh Dee? Bisakah memberikan gambaran pola
pendapatan dari masing-masing profesi?
Ada beberapa
jalur potensi pendapatan baik untuk penyanyi maupun penulis.
Penyanyi akan
mendapatkan royalti dari album dan lagu yang dinyanyikannya, seperti halnya
penulis mendapatkan royalti dari buku yang ditulisnya. Jika penyanyi menulis
sendiri lagunya, maka ia akan mendapatkan royalti ekstra dari penciptaan lagu.
Jika tidak, maka hanya dari menyanyinya saja. Dari jalur lain, penyanyi bisa
mendapatkan honor dari pentas, dari iklan, dan turunan lainnya. Sementara,
penulis bisa mendapatkan honor dari seminar, workshop, dsb. Tetapi, jika
dilihat dari kondisi industri saat ini, jarang penyanyi yang masih mengandalkan
pendapatan dari album saja, biasanya mereka lebih mengandalkan dari pentas.
Saat ini kondisi penjualan album tidak sebesar industri delapan-sepuluh tahun
yang lalu. Akibat pembajakan dan juga pergeseran tren, musik saat ini lebih
berkonotasi sebagai produk gratis. Pada penulis, sumber pendapatan utama mereka
biasanya dari royalti bukunya sendiri. Tidak semua penulis memiliki kesempatan
untuk mengajar, seminar, dsb, seperti halnya penyanyi memang
“mempertanggungjawabkan” albumnya dengan cara mementaskannya. Sementara, proses
pembuatan sebuah buku biasanya berlangsung lama (6 bulan-1 tahun untuk fiksi).
Selama enam bulan hingga setahun, penulis biasanya harus fokus berkarya.
Setelah karyanya terbit, lazimnya penulis baru menerima pendapatan enam bulan
sesudah bukunya dirilis karena penghitungan sales dari toko buku memakan waktu.
Karena itu, perencanaan keuangan antara penulis dan penyanyi, meski sama-sama
mengecap PPh royalti, bisa sangat berbeda. Penyanyi akan lebih mengandalkan
pentas yang sifatnya cash and carry, langsung dibayar. Sementara, penulis yang
mengandalkan royalti akan mengalami penundaan bayar untuk kerja kerasnya yang
juga membutuhkan waktu panjang.
Pekerja seni, termasuk novelis bisa menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) untuk menghitung penghasilan netonya (50%
dari penghasilan bruto). Setujukah Teteh penulis disamakan normanya
dengan pekerja seni lainnya (aktor, penari, pemahat, penyanyi, dan lainnya
sesuai Lampiran PER-17/PJ/2015)?
Berdasarkan
penjelasan saya sebelumnya, saya merasa tidak tepat jika NPPN penulis disamakan
dengan pekerja seni lainnya, dikarenakan nature
pekerjaan menulis yang membutuhkan waktu relatif panjang untuk menghasilkan
karya, dan membutuhkan waktu panjang juga untuk menerima hasilnya/royalti.
Apa kekurangan
NPPN untuk novelis yang berlaku saat ini? Serta adakah saran untuk penerapan
NPPN untuk novelis?
Saya melihat penghitungan NPPN untuk penulis saat ini
masih belum dengan dasar pemahaman menyeluruh tentang nature maupun cara kerja profesi penulis. Sepertinya masih
disimplifikasi sebagai sama-sama pekerja seni, padahal industrinya maupun pola
pekerjaan dan pendapatannya berbeda. Jika bisa direduksi atau disamakan dengan
NPPN penggiat bahasa/budaya yang saat ini angkanya di 35%, menurut saya masih
lebih cocok. Saran saya, NPPN penulis diringankan agar lebih proporsional
dengan pola pekerjaan/pendapatannya.