Saturday, April 4, 2020

Wawancara Skripsi | NPPN Profesi Penulis | Juni, 2018 | Ari Syahrizal


Setahu saya Teh Dee awalnya adalahnya penyanyi, sekarang kelihatannya lebih aktif menulis. Dua profesi ini proses bisnisnya, dari perencanaannya sampai dapat penghasilan sepertinya sangat berbeda. Bolehkah terlebih dahulu dijelaskan proses bisnis kedua profesi ini? Pola penghasilannya juga berbeda, ya, Teh Dee? Bisakah memberikan gambaran pola pendapatan dari masing-masing profesi?


Ada beberapa jalur potensi pendapatan baik untuk penyanyi maupun penulis.
Penyanyi akan mendapatkan royalti dari album dan lagu yang dinyanyikannya, seperti halnya penulis mendapatkan royalti dari buku yang ditulisnya. Jika penyanyi menulis sendiri lagunya, maka ia akan mendapatkan royalti ekstra dari penciptaan lagu. Jika tidak, maka hanya dari menyanyinya saja. Dari jalur lain, penyanyi bisa mendapatkan honor dari pentas, dari iklan, dan turunan lainnya. Sementara, penulis bisa mendapatkan honor dari seminar, workshop, dsb. Tetapi, jika dilihat dari kondisi industri saat ini, jarang penyanyi yang masih mengandalkan pendapatan dari album saja, biasanya mereka lebih mengandalkan dari pentas. Saat ini kondisi penjualan album tidak sebesar industri delapan-sepuluh tahun yang lalu. Akibat pembajakan dan juga pergeseran tren, musik saat ini lebih berkonotasi sebagai produk gratis. Pada penulis, sumber pendapatan utama mereka biasanya dari royalti bukunya sendiri. Tidak semua penulis memiliki kesempatan untuk mengajar, seminar, dsb, seperti halnya penyanyi memang “mempertanggungjawabkan” albumnya dengan cara mementaskannya. Sementara, proses pembuatan sebuah buku biasanya berlangsung lama (6 bulan-1 tahun untuk fiksi). Selama enam bulan hingga setahun, penulis biasanya harus fokus berkarya. Setelah karyanya terbit, lazimnya penulis baru menerima pendapatan enam bulan sesudah bukunya dirilis karena penghitungan sales dari toko buku memakan waktu. Karena itu, perencanaan keuangan antara penulis dan penyanyi, meski sama-sama mengecap PPh royalti, bisa sangat berbeda. Penyanyi akan lebih mengandalkan pentas yang sifatnya cash and carry, langsung dibayar. Sementara, penulis yang mengandalkan royalti akan mengalami penundaan bayar untuk kerja kerasnya yang juga membutuhkan waktu panjang. 


Pekerja seni, termasuk novelis bisa menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) untuk menghitung penghasilan netonya (50% dari penghasilan bruto). Setujukah Teteh penulis  disamakan normanya dengan pekerja seni lainnya (aktor, penari, pemahat, penyanyi, dan lainnya sesuai Lampiran PER-17/PJ/2015)?


Berdasarkan penjelasan saya sebelumnya, saya merasa tidak tepat jika NPPN penulis disamakan dengan pekerja seni lainnya, dikarenakan nature pekerjaan menulis yang membutuhkan waktu relatif panjang untuk menghasilkan karya, dan membutuhkan waktu panjang juga untuk menerima hasilnya/royalti.


Apa kekurangan NPPN untuk novelis yang berlaku saat ini? Serta adakah saran untuk penerapan NPPN untuk novelis?

Saya melihat penghitungan NPPN untuk penulis saat ini masih belum dengan dasar pemahaman menyeluruh tentang nature maupun cara kerja profesi penulis. Sepertinya masih disimplifikasi sebagai sama-sama pekerja seni, padahal industrinya maupun pola pekerjaan dan pendapatannya berbeda. Jika bisa direduksi atau disamakan dengan NPPN penggiat bahasa/budaya yang saat ini angkanya di 35%, menurut saya masih lebih cocok. Saran saya, NPPN penulis diringankan agar lebih proporsional dengan pola pekerjaan/pendapatannya.