Sejak
kecil Mbak Dee suka menulis dan menyanyi, namun dengan berjalannya waktu justru
bakat menyanyi yang lebih dulu membuahkan hasil. Setelah itu, dalam aktivitas
menjadi seorang penyanyi, Mbak Dee menulis novel Supernova: Kesatria, Putri,
dan Bintang Jatuh. Apa yang menjadi dorongan kuat Mbak untuk menulis pada saat
hasil sebagai penyanyi sudah ada dan tinggal di-maintain saja: apakah Anda
menulis novel karena terinspirasi dari membaca novel orang, atau mungkin tema
yang Mbak Dee angkat belum ada makanya Mbak mau menuliskannya, atau seperti apa?
Sepertinya harus dibedakan
antara perspektif karier dan perspektif renjana atau passion. Menulis dan musik adalah hobi dan passion saya sejak kecil, berkarier di kedua bidang tersebut
menjadi akibat dari sebuah sebab. Karena saya tidak pernah menjadikan karier
musik (dan karier menulis) sebagai sebuah sebab, maka saya tidak berpikir bahwa
karier musik sudah cukup untuk itu tidak perlu berkarier menulis. Saya tidak
berpikir dari perspektif karier. Saya semata-mata melakukan keduanya dari
perspektif passion. Akibat dari
itulah, saya jadi punya karier sebagai penyanyi dan penulis. Kalau soal
novelnya, saya memang lebih senang menulis dalam format novel. Kalau soal tema,
betul, saya menulis tema yang menurut saya menarik. Tapi, bagi saya, terjunnya
saya dalam dua bidang tersebut bukan karena ingin “jadi penulis” dan “jadi
penyanyi”, melainkan saya menulis karena saya suka, menyanyi karena saya suka
musik. Atribut karier menyusul belakangan.
Bagaimana
reaksi keluarga dan teman saat Mbak di tengah usaha menyanyi yang Mbak rintis
Mbak Dee justru menekuni dunia menulis?
Berhubung mereka tahu saya
sejak kecil, mereka tidak ada yang kaget. Mereka memang tahu sejak kecil saya
suka menulis, jadi mungkin tinggal tunggu waktu saja hingga saya betul-betul
menyeriusinya.
Pernahkah
Mbak Dee menemukan “aha moment”? Artinya sebuah langkah berani atau langkah
awal dari perubahan positif yang membawa Mbak Dee hingga menjadi sekarang?
Pada akhir tahun 1999, saya
mengalami semacam epifani. Sejak itu, pandangan saya berubah total, terutama
yang berkenaan dengan aspek eksistensial dan spiritual. Saya ingin sekali
berbagi tentang pengalaman dan pemikiran saya. Akhirnya, tahun 2000 saya mulai
menulis manuskrip Supernova 1. Tapi, bukan hanya menulis bukunya, saya merasa
momen itu benar-benar mengubah keseluruhan diri saya secara drastis.
Pernahkah
saat proses menuju kepiawaian menulis, Mbak Dee mengalami kejadian pahit yang
membuat drop dalam menjalani
karier menjadi penulis, semisal ditolak penerbit naskahnya? Saya penasaran
karena pertama karya mba lahir, novel Anda langsung disukai banyak orang. Bila
ada, boleh diceritakan? Apa yang Mbak Dee lakukan setelahnya hingga bisa
mencapai novelis andal?
Saya belum pernah ditolak
penerbit karena memang belum pernah mengirimkan naskah ke penerbit. Saya
mengawali buku pertama saya dengan menerbitkan sendiri. Sesudahnya, karena saya
sudah punya basis pembaca, posisinya jadi berbalik. Penerbitlah yang mengajak
saya bekerja sama. Tapi, saya punya pengalaman mengirim naskah ke majalah dan
tidak ditanggapi, saya juga pernah mengirim naskah ke perlombaan dan tidak
menang. Saya sempat kecil hati, tapi bukan karena tidak menang/tidak diterima,
melainkan karena saya merasa saya tidak bisa dibatasi oleh persyaratan
majalah/media massa yang mengharuskan cerpen itu sekian halaman, novel itu
sekian halaman, dsb. Karya saya selalu di luar itu semua. Akibatnya, saya
sempat merasa karya-karya saya tidak punya tempat. Namun, justru dari sana
timbul tekad untuk menerbitkan sendiri. Akhirnya saya terus menulis, meski
hanya disimpan, dengan niat bahwa satu saat saya akan menerbitkan sendiri
tulisan-tulisan saya.
Kini
Mbak Dee sudah menghasilkan 7 novel dan 3 kumcer. Dari konsistensi menulis buku
sampai saat ini, adakah value yang Mbak perjuangkan di setiap karya maupun
aktivitasnya?
Berusaha membuat karya yang lebih baik,
dan ini bukan basa-basi, saya selalu merasa karya saya yang berikut harus
menjadi perbaikan dari karya sebelumnya. Saya tidak peduli orang bilang lebih
suka buku saya yang mana. Buat saya, karya berikut akan selalu lebih baik dari
sebelumnya. Kedua, saya berusaha untuk menulis buku baru setiap minimal 1,5
tahun sekali.
Dengan karya Mbak Dee
diterima banyak orang dan mempunyai pembaca setia, tak hanya sekadar buku, Mbak
Dee juga menjadi inspirasi buat pembaca. Dan, ada di sebagian dari mereka pun
tertarik menjadi penulis novel. Namun kendala mood dan writers block
seringkali menjadi rintangan awal penulis pemula untuk menyelesaikan naskah
pertama mereka. Sebagian penulis menilai mood hanyalah alasan untuk kita tak
menulis. Mereka berpikir menulislah dulu – seburuk apa pun hasilnya. Nanti,
tinggal “dijahit” saja hasil tulisan yang tadinya buruk itu, hingga menjadi
enak dibaca. Bagaimana pandangan Mbak Dee? Apakah Mbak Dee melihat menunggu mood
datang memang hanya sebuah alasan untuk kita tidak menulis, atau seperti apa?
Tidak mood dan writer’s block adalah tantangan nyata
yang selalu terjadi pada setiap penulis, termasuk saya. Jadi, tidak ada yang
spesial dari kedua hal itu. Yang membedakan adalah bagaimana kita menyikapinya.
Penulis yang sudah berpengalaman akan paham bahwa tidak mood dan writer’s block pasti akan terjadi, jadi
kalaupun kejadian, itu tidak akan menghalanginya untuk tidak meneruskan
karyanya sampai selesai. Ia tetap akan berusaha melewati rintangan itu.
Sementara, penulis yang belum berpengalaman bisa jadi menyikapinya dengan
berhenti. Karena itu saya selalu menekankan bahwa menulis itu butuh jam
terbang. Kita butuh sering berlatih untuk tahu bahwa rintangan menulis
sebetulnya tidak ada yang spesial. Kita juga perlu tahu rasanya menamatkan
karya karena kata “Tamat” itu akan punya efek luar biasa terhadap mental kita. Jadi,
selalu berusahalah untuk menamatkan karya.
Dan
bagaimana Mbak Dee cara mengatasi kendala
itu?
Punya deadline, juga punya mentalitas atau prinsip atau apa pun, yang
intinya menekankan bahwa karya yang tidak selesai adalah utang.
Dalam
suatu kesempatan wawancara, Mbak Dee menuturkan bahwa proses kreatif menulis
novel Mbak Dee itu berdasarkan timeline tertentu, di mana Mbak sudah mempunyai
timeline dalam bentuk deadline.
Atau dalam bahasa Mbak, jadwal produksinya jelas, mulai dari kerja berapa
lama, berapa target halaman, menulis berapa halaman sehari dan seterusnya.
Namun demikian, bukankah kegiatan menulis jadi terasa mekanis sekali? Saya
merasa kehilangan rasa fun di
dalamnya semisal target halaman pun sudah ditentukan. Nah, bagaimana pendapat Mbak Dee sendiri? Atau, jangan-jangan apa yang Mbak lakukan sebenarnya satu
tahap di atas penulis biasanya melakukannya, yakni menentukan dengan detail
jadwal waktu menulis dan target halamannya?
Rasa fun tidak ada hubungannya dengan sistem produktivitas. Jadi,
kembali kita perlu membedakan dua perspektif. Perspektif kreativitas, dan
perspektif produktivitas. Timeline,
deadline, jam kerja, target halaman, itu adalah bagian dari sistem
produktivitas. Saya bisa tetap fun menulis
dan punya sistem produktivitas yang baik. Sistem yang baik membantu saya menyelesaikan
pekerjaan sesuai target, membuat saya bisa membagi waktu dan fokus dengan hal
lain, dan membuat karya tidak membelenggu saya. Sistem produktivitas yang baik membuat
kita menjadi sparring partner yang
seimbang dengan kreativitas. Sebaliknya, kita bisa berkarya bebas (yang bisa
diartikan menjadi cara yang “fun”), tapi tidak punya sistem produktivitas yang
sehat. Akibatnya, karya jadi mendikte dan membelenggu kita, ketika kita bekerja
dengan pihak lain, penerbit misalnya, kita tidak punya target waktu yang bisa
diandalkan. Sistem yang baik mendorong kita punya etos kerja yang baik. Jadi,
dengan memiliki sistem produktivitas, saya justru menjaga agar saya bisa tetap fun menulis dan punya proporsi sehat
untuk hal-hal lainnya.
Selain
itu, dengan Mbak Dee membuat target halaman, itu artinya Anda sudah tahu berapa
halaman novel Anda akan berakhir. Bukankah jumlah halaman seselesai outline
yang kita buat, ya Mbak? Yang mana biasanya novel biasanya memiliki minimal dua
cerita klimaks di dalamnya?
Pertama, sepanjang
pengetahuan saya, novel tidak punya dua klimaks. Klimaks hanya terjadi satu
kali. Kedua, outline tidak menentukan jumlah halaman. Tapi kita bisa punya
target kasar seberapa besar volume buku yang ingin kita tulis, rentang seperti
40 ribu kata, 80 ribu kata, 100 ribu kata, dan seterusnya. Angka itu tentunya
tidak mungkin fixed, tapi setidaknya
memberikan kita semacam gambaran tentang seberapa besar dan seberapa
memungkinkan ide kita bisa dikembangkan. Kalau idenya sempit, ya, realistis
saja untuk tidak menargetkan 100 ribu kata, melainkan cukup di 40 ribu,
misalnya. Tapi, kalau idenya luas, maka bisa menargetkan jumlah halaman yang lebih
banyak. Saya tidak tahu persis di halaman keberapa novel saya akan habis, saya
rasa tidak ada satu pun penulis di dunia ini yang punya kemampuan itu. Yang
bisa saya lakukan adalah memiliki target kasar seberapa besar volume cerita
yang akan saya garap, dan bagi saya itu penting, sama seperti salah satu
prinsip Stephen Covey (7 Kebiasaan Efektif) yakni: Begin with the end in mind.
Saya
jadi juga penasaran, bagaimana Mbak Dee membuat outline plot cerita, apakah drive-nya berdasarkan informasi yang disembunyikan dalam plot,
atau karakter? Mana yang paling banyak sering Mbak Dee pakai? Bisa dijelaskan
alasannya?
Informasi maupun karakter
adalah “kurir” cerita, bukan cerita itu sendiri. Plot adalah grafik. Grafik itu akan diukir dan
dibentuk melalui pergerakan karakter dan informasi yang mereka bawa. Grafik
dibentuk bukan oleh “informasi apa yang harus dibuka” atau “apa yang harus
dilakukan karakter”, tapi “apa yang terjadi”. Jadi lebih luas dari sekadar
informasi maupun karakter, melainkan dinamika keseluruhan dari semua elemen
cerita. Kita bisa banyak belajar mengenai hal ini dari buku-buku tentang
penulisan skenario. Salah satu yang saya gunakan sebagai referensi adalah buku Save The Cat dari Blake Snyder.
Inspirasi
menulis novel itu paling mudah muncul dari keresahan atau pun pengalaman yang
yang kita jalani. Bagaimana Mbak Dee melihatnya, apakah Mbak Dee setuju tentang
hal itu? Atau apakah baiknya mengandalkan dua hal itu?
Kalau pertanyaannya adalah
“yang paling mudah”, betul, saya setuju. Pengalaman pribadi adalah sumber yang
paling untuk kita tulis karena kita punya kedekatan dan pengetahuan personal.
Para penulis pemula memang sebaiknya memulai dari sana, bukan karena yang
paling ideal, melainkan karena memang paling mudah. Bagi saya, yang paling
utama harus kita kejar adalah jam terbang dulu. Menulis itu membutuhkan latihan
yang tak terhingga. Tidak usah berpikir menerbitkan buku dulu, sering-sering
saja menulis cerita walaupun cuma dibaca sendiri atau orang-orang terdekat.
Apakah
Mbak Dee punya informasi kriteria novel bagus yang disukai penerbit mayor
seperti apa? Ini agar para orang yang di luar sana ingin jadi penulis tahu
standarnya?
Saya tidak pernah berada di
posisi penerbit selain untuk karya saya sendiri (self-publishing), jadi
informasi saya terbatas soal ini. Untuk penerbit pasti ada pertimbangan seperti
tren pasar, jenis buku yang sedang digemari, dsb, tapi yang jelas mereka akan
memilih naskah yang memang bagus atau minimal bisa dipoles, sesuai dengan
genrenya masing-masing. Jadi kita harus hati-hati menghakimi sebuah buku “tidak
layak terbit” atau “tidak bermutu”, bisa jadi karena kita memang tidak suka
genrenya. Penerbit harus punya jendela selera yang luas karena dia mengakomodir
banyak pihak.
Mbak
Dee pernah bilang dengan kemudahan internet dan self publishing saat ini makin banyak penulis muda lahir. Namun,
dalam waktu yang sama, persaingan lebih sulit karena semakin banyak penulis
yang lahir, dan kuncinya untuk menonjol ialah fokus pada kualitas, terus
belajar dan mengembangkan diri. Dalam konkretnya, apakah makna tiga kunci itu,
apakah mempunyai diferensiasi atau keunikan dari setiap karyanya? Misalnya
terus menulis pada fokus pada satu genre saja, katakanlah teenlit, agar bisa berhasil atau
mempunyai basis pembaca yang kuat? Atau seperti Raditya Dika, di mana ia selalu
dia selalu menyusupkan nama binatang dalam judul bukunya agar terlihat dalam
kerumunan buku yang lahir? Bagaimana menurut Mbak Dee, setujukah? Atau mba Dee
punya pendapat lain?
Saya tidak tahu persis
motivasi Raditya Dika menyusupkan jenis binatang adalah agar pembeda dari yang
lain atau karena itu memang ciri khasnya. Kalau kita cermat kita akan melihat
bahwa kedua hal tadi adalah dua hal yang berbeda. Yang pertama orientasinya
orang lain, yang kedua adalah diri sendiri. Dan bagi saya, itulah pertanyaan
dasar yang paling penting. Kita mau orientasi ke orang lain atau diri sendiri?
Bagi saya pribadi, orientasi ke orang lain itu melelahkan, belum tentu akurat,
dan belum tentu berhasil. Tidak berarti kalau kita orientasi ke diri sendiri
langsung dijamin berhasil dalam arti sukses jadi penulis best-seller dsb, tapi
setidaknya proses yang terjadi menjadi menyenangkan dan penuh semangat. Misal,
ketika saya menulis Perahu Kertas, tujuan saya adalah bikin cerita cinta yang menggabungkan
unsur cita-cita, lucu, seru, serta punya romantisme yang pas dan khas. Standard
itu datang dari saya, bukan dari siapa-siapa. Itulah yang menjadi tugas utama
penulis. Basis pembaca adalah urusan belakangan. Saya melihat kuat atau
tidaknya basis pembaca lebih sebagai efek dari sebuah sebab, bukan target.
Latihan, jam terbang, belajar menulis yang baik entah dari buku atau ikut workshop, dan tulis apa yang kita suka.
Ciri khas kita akan keluar dengan sendirinya.
Adakah
novel-novel rekomendasi Mbak Dee dengan plot cerita bagus yang bisa dijadikan
para penulis pemula belajar? Sehingga kualitas karya yang dilahirkan sesuai
dengan selera penerbit mayor? Atau mungkin, plot seperti apa yang biasanya
disukai penerbit mayor, apakah plotnya tidak tertebak atau mereka mempunya
informasi yang mengejutkan karena konflik yang berlapis-lapis?
Ini adalah pertanyaan yang
lebih cocok diajukan ke penerbit, sama seperti pertanyaan yang sebelumnya di
atas.
Ide
cerita yang baik ialah cerita yang memiliki emosi. Lebih dalam, Mbak Dee
menyebutnya cerita yang punya dramatisasi. Dan, dramatisasi bisa didapat kalau
kita punya intuisi bercerita – sebuah sudut pandang apa yang dipilih lebih
mengena pada pembaca dari cerita yang dibangun, paham struktur dan menguasai
teknik menulis – bagaimana para penulis meletakan racun atau unsur kejutannya.
Pertanyaan saya, apakah elemen ini yang perlu dicari oleh seseorang yang ingin
menjadi penulis novel saat melahap banyak novel sebagai modal awal terjun ke
dalam dunia menulis novel?
Membaca sambil mempelajari
menurut saya adalah salah satu cara paling efektif untuk belajar menulis. Baca
buku Dan Brown atau JK Rowling, misalnya, dengan membaca sekaligus mempelajari,
kita bisa tahu bagaimana para penulis tersebut menyusun plotnya, membentuk
karakternya, dsb. Tentu ini modal awal penting bagi penulis pemula, tapi lebih
penting lagi adalah mereka tahu kegunaan dan implementasi dari yang mereka baca
itu seperti apa. Jadi, bagi saya, tetap
yang utama adalah mencoba menulis cerita. Berlatih crafting cerita sesering mungkin.
Menurut
Mbak Dee apa itu passion?
Bagaimana agar passion bisa membawa kita jadi penulis novel yang andal?
Gampangnya, passion itu minat yang dilakoni dengan
semangat. Passion memotivasi kita
untuk belajar dan menggali, juga untuk mencoba lagi meskipun sempat tersandung
atau gagal.
Saran
Mbak Dee, sebaiknya penulis pemula itu mencoba menulis dari cerpen apa langsung
novel?
Bisa keduanya. Sejak kecil
yang saya suka adalah novel, jadi karya pertama saya novel. Saya memang suka
menulis panjang. Cerpen menurut saya lebih gampang manajemen waktunya, tapi
tidak semua orang juga suka dengan format cerpen. Jadi, kedua-keduanya bisa
dicoba untuk penjajakan.