Minggu lalu, saya baru menyelesaikan baca Gelombang,
dan perasaan saya saat baca selalu sama seperti saat baca seri Supernova
sebelumnya. Semesta yang ada di buku itu begitu jelas dan detail. Saya seperti
mebaca ensiklopedia versi fun tentang Kalimantan, Bogor, Sianjur Mula-Mula
sampai New York. Nah, tiap mau nulis
buku itu proses riset Mbak Dewi itu seperti apa, sih? Lantas, apa sih yang bisa
bikin Mbak Dee gemar berimajinasi, berkhayal sampai akhirnya diejewantahkan
pada novel-novelnya ini?
Pada dasarnya saya menulis
berdasarkan kebutuhan cerita dan konteks. Misalnya, tradisi spiritual di dunia
yang menekankan pentingnya mimpi adalah tradisi spiritual Tibet dan secara
kontekstual cocok dengan cerita saya, akhirnya saya memutuskan untuk membuat
setting di Tibet, yang konsekuensinya saya harus riset tentang Tibet. Lalu,
kenapa Alfa pergi ke Amerika, karena saya punya keluarga yang juga menjadi
imigran di sana, dan mereka keluarga Batak. Kenapa New York, karena ada kaitan
yang kontras antara Alfa yang tak bisa tidur dengan kota New York yang konon
tak pernah tidur. Jadi, semua yang saya ceritakan selalu berada dalam konteks
yang interdependensi, saling terkait. Riset hanyalah konsekuensi dari
interdependensi bagian-bagian dalam cerita.
Ngomong-ngomong
soal riset, riset yang mendalam ini karena rasa ingin tahu, Mbak Dee, yang memang
gedenya bisa ngalahin T-Rex, yah? Hehe.
Biasanya kalau tiba-tiba penasaran dan pengin tahu tentang sesuatu, apa yang
dilakukan?
Haha! Karena “curiosity kills the
cat” terlalu mainstream! Well,
saya pada dasarnya memang orang yang punya banyak ketertarikan. Ketertarikan
kalau digali lebih dalam bisa jadi passion.
Nah, passion hanya bakal jadi “panas
yang kosong” kalau tidak diberi skill.
Jadi, prinsip saya, kalau punya ketertarikan, berikan dia kesempatan menjadi passion dengan cara menggalinya lebih
dalam. Kalau sudah jadi passion,
kasihlah skill maka passion itu bisa jadi punya nilai lebih.
Kalau saya tertarik sesuatu, pertama saya akan cari tahu lebih banyak, entah
lewat baca banyak buku atau riset tentang topik tersebut. Kalau ternyata
benar-benar menarik, saya akan cari kursusnya. Untuk menulis Zarah, saya kursus
fotografi. Untuk menulis Alfa, saya ikut
workshop Meditasi Mimpi dengan seorang rinpoche dari Tibet. Menulis Madre,
terinspirasi dari ketika saya ikut kursus membuat roti. Jadi, saya ini ratu
kursus sebenarnya.
Satu judul lagi, Supernova akan rampung.
Setelahnya, Mbak Dewi berencana bikin apa lagi nih? Bikin novel bersambung lagi
dooong... hmm, atau ada rencana nulis novel renyah kayak Perahu Kertas lagikah?
Oh ya, ada rencana mau rilis Inteligensi Embun Pagi kapan, mbak?
Saat ini saya memprioritaskan untuk
menyelesaikan serial Supernova dulu, mungkin setelah itu baru mengerjakan
proyek menulis lainnya. Perkiraan waktu rilis Inteligensi Embun Pagi belum bisa
saya kasih tahu, yang jelas saya akan mulai mengerjakannya dalam waktu dekat.
Apa yang bikin Mbak Dee nulis Supernova? Saat awal-awal mau bikin Supernova proses
kreatifnya gimana, sampai akhirnya pun langsung ngeluarin judulnya sampe seri
yang keenam?
Sejak pertama menulis Supernova
pertama memang sudah rencana jadi serial. Titik baliknya adalah ketika
memutuskan untuk memunculkan empat tokoh baru. Dan karena untuk masing-masing
tokoh saya bikinkan satu buku, otomatis jadi 6 buku. KPBJ sebagai pembuka, Akar
hingga Gelombang untuk memperkenalkan empat tokoh utama, dan Inteligensi Embun
Pagi sebagai buku penutup.
Novel-novelmu kan udah banyak yang difilmkan,
Mbak. Nah, kami para pembaca kadang merasa waswas tiap kali ada novel yang kami
suka dibuatkan film. Di satu sisi penasaran dan excited pengen liat bagaimana
jadinya kalau cerita di buku jadi berwujud, tapi di satu sisi takut film nggak
bisa mewujudkan sensasi yang diharapkan, takut nggak sesuai dengan ekspektasi lah
pokoknya. Nah, apakah perasaan kayak gitu Mbak rasakan juga? terus pertimbangan
apa sih yang biasa dilakukan sebelum akhirnya setuju untuk memfilmkan buku?
(Misal: script-nya harus Mbak yang tulis sendiri, dll)
Tadinya begitu, sekarang sih
sudah cukup santai. Setelah pengalaman di Perahu Kertas di mana saya jadi
penulis skenario, tetap saja kadang-kadang ada hal-hal yang di luar dugaan.
Ekspektasi dan reaksi pembaca juga beragam. Jadi, menurut saya sih hampir
sama-sama saja antara ikut terlibat atau tidak. Yang barangkali bisa membedakan
secara signifikan adalah kalau saya berperan sebagai produser dan penyandang
dana, nah, barulah di situ saya punya kuasa penuh. Selama belum bisa begitu, ya
saya harus menerima fakta bahwa film adalah karya kolaboratif dan bukan datang
dari pemikiran tunggal seorang penulis sebagaimana layaknya buku, jadi pasti
keduanya berbeda. Dengan tidak lagi membandingkan, saya jadi lebih santai
sebagai penonton.
Ceritain dong, Mbak, masa SMA-mu seperti apa?
Saat SMA sudah suka nulis kan pasti? Saat itu biasanya nulis apa, Mbak?
Saya hobi nulis fiksi sejak
kecil, dari SD. Waktu SMA, saya sudah mulai bikin artikel untuk mading, bahkan
pernah bikin koran yang isinya tulisan saya semua. Saya juga rajin nulis jurnal
/ buku harian dari SMP kelas 1, terus sampai dewasa, termasuk masa SMA.
Beberapa kali bikin cerpen dan novel pendek, yang biasanya nggak tamat.
Sebut lima judul buku yang Mbak baca saat
masa SMA dan itu berkesan.
Komik Topeng Kaca, Candy-candy,
Popcorn, dan buku-buku Sydney Sheldon.
Menulis dan mengiati kegiatan kreatif lainnya
kan pasti banyak godaannya, seperti bosan, mentok atau disktraksi lainnya,
bagaimana cara Mbak Dewi mengatasinya?
Punya deadline. Kalau sudah jadi penulis profesional, memiliki deadline tidak sulit lagi karena
biasanya sudah jadi konsekuensi. Buat yang belum profesional, bikinlah deadline untuk diri sendiri.
Publikasikan deadline kalian secara online, kasih tahu teman-teman,
keluarga, dsb. Jadi ada tekanan untuk menyelesaikan. Distraksi, mentok, bosan,
dan sebagainya, akan teratasi dengan sendirinya begitu kalian punya deadline yang nyata.
Mbak tertarik dengan alien (di Akar dan
Partikel), dan di buku Gelombang ini tentang mimpi. Nah, di edisi depan kan
Provoke! bertema capture the future ini, apa yang mbak bayangkan tentang masa
depan? Ada hal yang ditakuti (atau malah ditunggu) dari masa depan nggak, Mbak?
Ketika sudah berkeluarga, bicara
tentang masa depan biasanya sudah lebih memikirkan tentang anak ketimbang diri
sendiri. Berkaitan dengan masa depan anak, saya lebih sering terpikir mengenai
masa depan bumi dengan segala perubahan drastis yang terjadi akibat ulah
manusia, dari mulai kepunahan spesies sampai pemanasan global. Saya berharap
manusia bisa menemukan cara koeksistensi yang lebih harmonis dengan alam dan
makhluk lainnya.
Apa yang Mbak Dee suka dari menulis buku?
Menciptakan dunia, kehidupan, dan
karakter baru, tenggelam di dalamnya dan berinteraksi dengan alam imajinasi.
Bagi saya itu semua adalah kepuasan dan rekreasi.
Minta
tips dong untuk kita-kita yang lagi belajar jadi penulis ini.
Menulis adalah keahlian yang
butuh proses panjang dan jam terbang tinggi. Jadi, berlatihlah dari sekarang. Just keep it small. Have small targets, but keep doing them. Bisa satu artikel blog
satu minggu, satu cerpen satu bulan, satu novel satu tahun, dsb. Tapi teruslah
berlatih. Miliki wawasan dengan banyak membaca.
RAPID
QUESTION
Hutan atau laut?
Laut.
Kopi atau es krim?
Kopi.
Masa
depan atau masa lalu?
Masa depan.
Buku harian atau Twitter?
Buku harian.
Alien atau UFO?
Alien.