Sebagai Penulis:
Bisa ceritakan singkat mengenai
asal-usul nama “Dee” yang menjadi identitas Anda dalam menulis sebuah karya
tulis?
"Dee" sebetulnya pengucapan inisial dari huruf D, sebuah
emblem yang menempel di ransel sekolah saya bertahun-tahun, dan juga signature saya di buntut setiap e-mail.
Beberapa teman jadi ada yang memanggil saya "Dee". Saya lalu memakai
inisial tersebut sebagai nama pena, karena waktu saya menerbitkan buku, saya
ingin memisahkan image saya sebagai
penyanyi di RSD dan sebagai penulis. Waktu itu saya lebih dikenal sebagai
"Dewi RSD". Sementara nama "Dewi Lestari" sendiri cukup
pasaran di Indonesia. Akhirnya saya pilih saja inisial "D" atau Dee.
Setelah lebih dari 10 tahun sejak
karya pertama Anda muncul di pasaran (Supernova: Ksatria, Puteri dan Bintang
Jatuh), bagaimana kini Anda memandang diri Anda sendiri sebagai seorang
penulis?
Penulis sudah menjadi profesi yang nyaman untuk saya kenakan. Menulis
sendiri adalah hobi sejak kecil, dan
saat ini menulis sudah menjadi second
nature. Semakin digali lebih dalam, semakin saya menemukan keindahan dan
pelajaran baru dalam dunia kepenulisan.
Saya memandangnya sebagai seni. Dan saya merasa beruntung bisa
menjadikan hobi ini sebagai profesi dan saluran nafkah.
Berbagai prestasi telah hinggap
pada karya Anda, hingga penghargaan seperti Top 5 dalam Khatulistiwa Literary
Award tahun 2001 dan 2008 berhasil diraih. Bagaimana tanggapan Anda mengenai
hal ini?
Prestasi dalam bentuk award
bagi saya adalah bonus, yang menyenangkan, tentunya. Tapi tidak pernah dan
sebaiknya tidak menjadi target. Saya menulis bukan untuk award, tapi untuk mengomunikasikan ide. Menjadikan diri saya medium
dari pesan yang lebih besar. Untuk itu, bagi saya jauh lebih penting dan
berharga ketika ide-ide yang saya kemas dalam buku, bisa berbicara bagi banyak
orang, terlebih lagi jika kemudian mengubah hidup mereka. Bagi saya, itu
penghargaan yang tertinggi.
Bagaimana perasaan Anda saat
menjadi pembicara dalam Ubud Writers Festival dan Byron Bay Writers Festival
beberapa waktu silam?
Selalu menyenangkan dan membanggakan jika diundang berpartisipasi ke
dalam Writers Festival. Itu berarti posisi kita sebagai penulis telah dianggap
mewakili aspek tertentu yang penting dalam skema besar dunia kepenulisan. Tapi,
memang tidak semua undangan bisa saya terima, terutama yang di luar negeri.
Kadang-kadang, karena kendala jadwal dan prioritas, saya terpaksa tidak berangkat.
Tahun ini (2013) saya akan kembali berpartisipasi dalam Ubud Writers Festival,
dan ada beberapa festival internasional lain yang masih tahap penjajakan.
Adaptasi Buku ke Layar Lebar:
Tiga karya buku Anda,
berturut-turut telah diadaptasi ke panggung layar lebar selama 2 tahun
belakangan seperti Perahu Kertas, Rectoverso dan Madre. Sebatas apa kontribusi
Anda terhadap versi layar lebarnya?
Berbeda-beda di setiap judul. Saya paling banyak terlibat di Perahu
Kertas, karena saya memang penulis skenarionya, dan saya juga ikut terlibat di
proses casting, editing, dan menulis soundtrack. Keterlibatan itu tentunya
punya konsekuensi. Waktu terlibat di Perahu Kertas, saya harus cuti setahun
dari menulis buku. Saya tidak punya keleluasaan itu lagi di Rectoverso dan
Madre. Karena masa produksi yang berdekatan dan simultan, saya memilih untuk menyelesaikan
buku yang adalah profesi utama saya. Di
Rectoverso, saya masih terlibat secara informal sebagai konsultan skenario dan
editing. Tapi di Madre, bisa dibilang saya nyaris melepas total. Hanya satu
kali saya sempat baca skenario dan kasih masukan. Sisanya, saya memercayakan
proses kreatifnya ke tangan Mizan Production dan Benni Setiawan yang menjadi sutradara
sekaligus penulis skenarionya.
Anda juga diketahui sebagai
penulis skenario untuk film Perahu Kertas dan juga Madre yang akan tayang
sebentar lagi. Adakah hal-hal unik dalam penulisan ini dari versi buku ke versi
layar lebarnya? Adakah kesulitan dalam hal tersebut? (menulis skenario film
dari versi bukunya)
Saya tidak menulis untuk Madre, hanya Perahu Kertas. Menulis skenario
sendiri adalah skill yang menurut
saya tidak bisa disamakan dengan menulis buku fiksi. Untuk menulis skenario,
saya perlu belajar dari nol. Dalam film sudah ada struktur dan kebutuhan yang
jelas. Hitungannya adalah durasi dan budget.
Kebutuhan grafik ceritanya juga pasti. Jadi, fleksibilitas yang kita miliki
jauh berbeda dari menulis buku. Kesulitan dalam menulis skenario Perahu Kertas
adalah memampatkan cerita yang begitu panjang ke dalam skenario 110 halaman. Itu
pun pada akhirnya film tetap menjadi dua, karena rough cut film ternyata mencapai 4,5 jam. Dalam film, kita juga
dihadapkan dengan banyak kepentingan. Sebuah setting tertentu bisa mengibatkan
pembengkakan biaya. Jadi, kepraktisan juga faktor penting dalam menulis
skenario. Hal-hal seperti ini tidak ditemui saat menulis buku. Imajinasi kita
bisa bebas menciptakan apa saja. Dalam skenario, setiap imajinasi kita akan menentukan
durasi dan budget.
Bagaimana komentar Dee terhadap
tiga film layar lebar yang telah rampung? (Perahu Kertas, Rectoverso, dan
Madre)
Sepertinya semua film yang diadaptasi dari buku akan selalu memiliki
tantangan yang mirip-mirip. Pertama, menjembatani apa yang ada di imajinasi
penulis, pembaca, dan pembuat film itu sendiri, tidaklah mudah. Perbedaan dan
pertentangan pasti ada. Film adaptasi buku pasti tak akan luput dari
pembandingan, jadi kebanyakan penonton tidak menyaksikannya dengan mind set
yang fresh, melainkan komparasi.
Ketiga film tersebut (Perahu Kertas, Rectoverso, dan Madre) juga mengalami
tantangan serupa. Saya rasa Rectoverso memiliki lebih banyak kemudahan
dibanding dua judul lain karena format aslinya yang cerpen-semi-puisi
memberikan ruang pengembangan paling luas dibandingkan Perahu Kertas maupun
Madre. Madre, sekalipun formatnya novelet/novel pendek yang lebih pas bagi
format film, lebih definit ceritanya ketimbang cerpen-cerpen yang ada di
Rectoverso. Karena itu ia pun punya keterbatasan seperti Perahu Kertas. Saya
sebagai penulis tentu juga tidak luput dari perbenturan imajinasi ketika saya
melihat format filmnya. Namun, terlibat langsung dalam produksi Perahu Kertas
mengajarkan saya untuk bisa lebih relaks dan mengapresiasi film sebagai apa
adanya film. Itu pun akan kembali lagi ke selera. Setiap sutradara adalah koki,
dan ada yang saya suka dari masakannya, ada yang kurang suka. Tapi, yah, itu
wajar-wajar saja.
Sebagai Musisi:
Setelah beberapa tahun berpisah,
akhirnya trio RSD kembali lagi ke studio untuk mengisi salah satu lagu di film Perahu
Kertas, bisa ceritakan mengenai hal ini?
Di Perahu Kertas, saya terlibat menulis soundtrack. Ada satu lagu (Langit Amat Indah) yang saya ciptakan
yang menurut saya pas dinyanyikan oleh grup. Iseng, saya melontarkan ide
mengumpulkan RSD kembali untuk menyanyikan lagu itu. Tahunya ide tersebut
disambut baik oleh produser. Akhirnya kita bisa rekaman.
Adakah keinginan untuk comeback
sebagai trio RSD dan kembali memproduksi album penuh lagi bersama dua personel
lainnya?
Sejauh ini belum ada rencana ke sana. Sekarang kami sudah punya jalur
karier masing-masing, jadi kalaupun sesekali reuni, itu lebih ke arah for fun, dan kami rasanya belum ingin
terbebani target harus rekaman album lagi.
Anda diketahui sebagai salah satu
saksi hidup dalam konser Metallica 1993 di stadion Lebak Bulus silam, apakah
momen ini mempengaruhi Dee dalam berkarya musik?
Hehe, kayaknya sih nggak sampai mempengaruhi dalam berkarya. Sebagai
generasi '90-an pada umumnya yang dekat dengan musik grunge, rock, dan metal, saya bisa menikmati musik Metallica. Tapi
mereka tidak sampai menjadi pengaruh saya dalam berkarya. Saya lebih
dipengaruhi musik band-band seperti U2, Tears for Fears, Pearl Jam, Radiohead,
dll.
Siapakah musisi idola Dewi
Lestari?
Kebanyakan dari genre singer/songwriter
seperti Sarah McLachlan, Paula Cole, Sarah Bareilles, Corinne May. Untuk band
saya cinta mati sama Tears For Fears.
Sebagai Musisi dan Penulis:
Anda dikenal memiliki profesi
sebagai musisi dan penulis, bagaimana membagi waktu untuk dua hal tersebut?
Tidak ada resepnya. Masalah fluktuasi prioritas saja sih. Apa yang
menjadi prioritas saya saat ini, ya, itu yang saya kerjakan. Kadang kalau saya
harus fokus sama keluarga, saya cuti bekerja sama sekali. Saya tidak pernah
membatasi secara rigid profesi saya. Prinsipnya adalah menjalankan apa yang
perlu dan apa yang saya suka.
Apa ada perbedaan dalam menulis
buku dan lirik dalam musik?
Beda sekali. Walau keduanya bisa saling memengaruhi. Dalam menulis
lirik, saya cenderung suka lagu yang punya cerita, jadi ada unsur bikin plot di
situ. Untuk menulis, saya cenderung suka menulis kalimat yang berirama, yang
enak dibunyikan, yang liris. Jelas itu adalah pengaruh dari kebiasaan bikin
lirik.
Adakah momen di waktu Anda kecil,
yang mempengaruhi karier Anda saat ini menjadi penulis maupun musisi?
Saya hidup di keluarga penyuka seni. Dari kecil, kegiatan bermusik
adalah kegiatan sehari-hari. Dari mulai kursus piano, ikut vokal group, paduan
suara, dsb, adalah hal yang dilakoni satu keluarga. Keluarga saya juga penyuka
buku dan senang dengan cerita, berkisah, dsb. Otomatis itu menjadi pembentuk
minat dan hobi saya hingga kini.
Rectoverso merupakan salah satu
wujud yang terbentuk atas kegemaran Anda dalam menyanyi dan menulis. Kemudian,
apalagi rencana Dee ke depan?
Prioritas saya saat ini adalah menyelesaikan Supernova. Setelah itu,
cukup banyak rencana yang lain. Antaranya, membuat website yang memuat minat
saya secara komprehensif, lalu membuat workshop menulis, dan buku atau memoar
tentang proses kreatif. Selain itu, masih ada buku-buku tema lain yang ingin
saya wujudkan.
Kehidupan Sosial:
Apa makna “Penggemar” bagi Dee?
(baik penggemar karya musik maupun karya tulis berupa buku ataupun
cerita-cerita pendek yang di-publish)
Saya agak risih menggunakan kata "penggemar", saya lebih
melihat mereka sebagai pengapresiasi. Relasinya lebih seperti partner. Para
pembaca buku dan penikmat musik saya adalah cermin bagi saya berkarya. Dari
reaksi dan apresiasi mereka, saya dibantu untuk mengenal karya saya lebih baik.
Dan pada akhirnya, untuk mengenal diri saya dengan lebih baik.
Apa yang Anda lakukan di waktu
luang?
Main dengan anak dan keluarga, membaca, menjalankan hobi lain seperti
berkebun, masak, dll. Kegiatan saya kebanyakan sangat domestik.
Adakah suka-duka profesi Anda?
Ini pertanyaan yang terlalu luas untuk dijawab. Tentu semua profesi
punya suka-duka. Kesulitan dan kemudahan tersendiri. Apa yang saya lakukan
adalah hobi bagi saya, jadi kesulitannya pun saya sambut dengan suka. Namun
ketika hobi menjadi profesi, tentu punya tantangan yang sifatnya lebih
profesional seperti manajemen waktu dan manajemen bisnis. Bagi saya, kesulitan
yang terkadang terasa seperti "duka" adalah ketika menghadapi
problem-problem dari aspek profesionalnya. Dan saya rasa ini hampir terjadi
universal di semua profesi.