Penulisan
novel Perahu Kertas dilakukan dengan 'mengasingkan diri' selama 60 hari. Bagaimana dengan penulisan skenario filmnya? Dan berapa lama pengerjaannya?
Untuk skenario saya nggak menargetkan
waktu seperti saat menulis novel. Saat menulis skenario, prosesnya saya barengi
dengan belajar dasar teorinya juga. Jadi, cukup lama juga saya berkutat dengan
buku-buku penulisan skenario, membaca skenario film yang menurut saya bagus dan
mempelajari strukturnya. Saya lebih lama bermain dengan struktur ketimbang
penulisannya, karena tantangan skenario Perahu Kertas adalah memuat cerita yang
begitu besar ke dalam skenario 100 halaman tanpa merusak grafiknya. Belum lagi
penulisan skenario tersebut harus mengakomodasi keinginan tiga produser (Pak
Chand Parwez dari Starvision, Pak Putut dari Bentang Pictures, dan Hanung
Bramantyo dari Dapur Film). Jadi, cukup lama proses bongkar pasangnya.
Kira-kira setahun saya mengerjakan skenario Perahu Kertas.
Hal
apa yang dirasa paling pelik dalam 'memindahkan' karakter-karakter novel ke dalam film?
Tidak banyak perubahan dalam karakter.
Karakter-karakter di novel sudah cukup kuat. Namun, saya merasa, dalam film, cerita
dan karakter harus dipertegas gradasinya. Harus ada tokoh-tokoh yang menajamkan
konflik. Untuk itu, saya memunculkan beberapa tokoh "baru", tepatnya,
tokoh yang sudah ada di novel tapi dikembangkan sedemikian rupa sehingga mereka
memiliki porsi yang lebih besar dan signifikan. Misalnya, tokoh Siska (partner
kerjanya Remigius) dan Banyu (pemahat di Ubud). Dua tokoh itu ada di novel,
tapi hanya selewat, di film mereka diperbesar dan punya porsi signifikan dalam
hidup tokoh-tokoh utama.
Film
biasanya tidak bisa seleluasa novel, dalam arti ada hal-hal yang harus dikorbankan
atau dihilangkan. Bagaimana Mbak Dewi berkompromi dengan hal ini?
Itu hal yang saya sadari sejak awal.
Karena itulah saya mengajukan diri sebagai penulis skenario Perahu Kertas sejak
awal kerja sama. Saya berpikir, kalau ada orang yang bisa tega memutilasi
cerita Perahu Kertas, ya, harus saya orangnya. Sayalah orang yang memahami
betul fondasi cerita Perahu Kertas, hingga sayalah yang bisa memutilasinya tanpa
membunuh spirit ceritanya. Konsekuensinya, kalau ada yang protes kenapa cerita
beda dengan novel, ya, saya jugalah orang yang diprotes. Nggak bisa cari
kambing hitam. Hehe.
Bagaimana komentar Mbak Dewi untuk Hanung Bramantyo sebagai sutradara film ini? Apa dari awal memang sudah menginginkan Hanung di posisi itu?
Untuk pemilihan sutradara, kami pitching bersama (saya, Pak Chand
Parwez, dan Pak Putut). Ada empat nama sutradara yang sempat dicalonkan. Sejak
awal, Pak Parwez sudah sangat yakin dengan Hanung, karena menurut beliau,
Hanung tipe sutradara yang mampu memegang banyak pemain, pas dengan karakter
Perahu Kertas yang punya tokoh banyak. Sayangnya, Hanung sempat tidak bisa
karena jadwal kerjanya nggak matching. Setelah
rencana rilis Perahu Kertas diundurkan ke Agustus 2012, jadwal Hanung kembali
memungkinkan, dan akhirnya Pak Parwez kembali mengusulkan Hanung. Jujur,
tadinya saya ragu. Tapi, setelah kenal langsung dengan Hanung, intuisi saya
seketika mengatakan, dialah orang yang tepat. Apalagi akhirnya Hanung bukan
cuma menyutradarai, tapi ikut terlibat sebagai produser dengan perusahaannya,
Dapur Film.
Mbak Dewi juga terlibat dalam pemilihan pemain filmnya. Bisa diceritakan bagaimana prosesnya? Sulitkah 'memasangkan' karakter-karakter di novel dengan para aktor/aktrisnya?
Keterlibatan saya lebih konsultatif,
sih. Proses casting tetap sepenuhnya dijalankan oleh Zaskia. Menurut Zaskia
sendiri, inilah proses casting
tersulit yang pernah dia lakukan. Casting
Perahu Kertas itu seperti orkestrasi, semua pemain saling terkait, jadi
kalau ada satu yang diubah, yang lain harus ikut berubah. Maudy adalah pemain
yang pertama kami kunci, dan memang sayalah yang meyakini bahwa Maudy adalah
pemain yang tepat untuk Kugy. Setelah semua pihak setuju, barulah kami
menyesuaikan semua pemain berdasarkan tokoh Kugy yang sudah kami kunci.
Selain Maudy Ayunda, film Perahu Kertas juga memuat Rida Sita Dewi dalam soundtrack-nya. Apa yang memicu ini, dan bagaimana saat kembali menyanyi setelah beberapa tahun tidak bersama?
Ide melibatkan RSD sebenarnya sudah
cukup lama ada di benak saya, tepatnya ketika saya menuliskan adegan terakhir
Perahu Kertas. Ada satu lagu yang saya rasa pas banget untuk adegan itu. Lagu
lama saya yang belum pernah dirilis, saya tulis mungkin sekitar tahun '96,
judulnya "Langit Amat Indah". Tahun segitu saya lagi senang-senangnya
dengan Indigo Girls, jadi lagu itu pun feel-nya
kurang lebih seperti lagu-lagu Indigo Girls yang cenderung folk, dinyanyikan lebih
dari satu orang, dst. Saya pun iseng terpikir untuk menyanyikannya bareng RSD.
Ternyata para produser, termasuk Trinity Optima yang mengerjakan soundtrack-nya, bersemangat dengan ide
tersebut. Saya sendiri baru mengontak Rida dan Sita menjelang rekaman. Mereka
juga ternyata bisa dan semangat untuk rekaman lagi. Rasanya lucu campur aneh,
ya. Bayangkan, kami terakhir rekaman 8 tahun yang lalu. Sudah nggak tahu lagi
suara kita kalau digabung seperti apa. Begitu rekaman, ternyata belum berubah,
termasuk kelakuannya juga. Jadi, seru banget proses rekamannya waktu itu.
Penulisan lagu-lagu untuk soundtrack Perahu Kertas memakan waktu berapa lama? Bagaimana proses merangkum cerita panjang di novel menjadi lirik lagu?
Sejak awal pula saya sudah tahu akan melibatkan
diri dalam soundtrack. Saya rasa,
dengan profesi saya sebagai musisi dan pencipta lagu, sangat alamiah jika saya
pun berpikir tentang Perahu Kertas dalam format musik. Jadi, ketika skenario
selesai, saya langsung membuat lagu "Perahu Kertas". Saya pilah-pilah
mana ide yang perlu dimasukkan, dan juga kata-kata kunci seperti "perahu
kertas", "surat cinta', "radar", dsb. Jadi terasa jelas
keterkaitan lagu dan film. Saya menciptakan lima lagu untuk soundtrack ini. Ada
empat lagu baru (termasuk "Perahu Kertas), dua di antaranya bahkan saya
tulis dalam waktu seminggu saja, karena baru kita ketahui slotnya ketika sudah
nonton preview pertama kali. Satu lagu yang sudah saya tulis lama tapi belum
pernah dirilis, "Langit Amat Indah" (RSD). Sisanya: "Tahu Diri"
oleh Maudy Ayunda, "Dua Manusia" oleh Dendy Mikes, "A New
World" oleh Nadya Fathira. Di luar dari lagu saya, ada Triangle Band ("How
Could You") dan Adrian Martadinata ("Behind The Star").
Kabarnya Mbak Dewi sempat ragu akan kemampuan Maudy Ayunda menyanyikan theme song Perahu Kertas. Bagaimana setelah mendengar hasil akhirnya?
Usia Maudy masih sangat muda, dan saya
tadinya ragu apakah dia punya kematangan cukup untuk bisa menyelami lagu
tersebut. Tapi Maudy ternyata menguasainya dengan baik. Satu hal tentang Maudy,
menurut saya dia orang yang sangat cerdas dan perseptif, dengan mudah dia
memahami apa yang dibutuhkan darinya, dan apa yang kita mau. Jadi, prosesnya
cukup mulus.
Selain Perahu Kertas, Rectoverso juga
akan dibawa ke layar lebar oleh beberapa sutradara perempuan. Sulitkah menaruh
kepercayaan pada orang lain atas pembuatan karya Mbak Dewi dalam format lain?
Memang tidak mudah. Tapi saya sendiri
bukan tipe kreator yang fanatik, dalam arti saya masih bisa melihat karya saya
berkembang dari benak orang lain, dan malah penasaran seperti apa hasilnya.
Yang sulit sebetulnya adalah menjaga agar karakter dan "flavor" Dee
tetap ada dalam karya-karya yang dikembangkan tersebut, karena itu yang rentan
hilang. Sementara menurut saya justru "flavor" itulah yang paling
dikenali oleh pembaca. Jadi, kalau bukan saya terlibat langsung, ya, saya harus
benar-benar berani melepas. Di Rectoverso, keterlibatan saya memang agak
"nanggung", karena saya tidak menulis skenario atau casting, dan
hanya terlibat secara konsultatif saja. Tapi, ya, kita lihat nanti. Saya rasa
Marcella dan teman-teman sudah bekerja dengan sangat serius untuk mewujudkannya
menjadi film yang cukup baik.