Selain
menjadi penyanyi sekarang Dee lebih sering dikenal sebagai penulis. Sejak kapan
Dee memiliki bakat menulis itu?
Saya memang bercita-cita ingin
menulis buku sejak kecil. Saya nggak pernah punya ambisi jadi penulis lewat
jalur jurnalistik atau penulis fiksi lewat media (kirim cerpen ke majalah,
dll—walaupun sesekali pernah mencoba), pinginnya memang menulis buku. Latar
belakangnya sederhana saja: ingin berbagi. Berbagi perenungan, pengalaman,
pemikiran. Dan saya pikir, keinginan berbagi ini inheren ada di setiap manusia,
cuma pilihan penyalurannya saja yang berbeda-beda. Kebetulan media yang saya
pilih adalah lewat menulis.
Dari
mana kiprah Dee sebagai penulis dimulai?
Saya mengawalinya pertama kali
ketika cerpen saya Rico De Coro (ada dalam kumpulan cerita Filosofi Kopi)
dimuat di majalah Mode tahun 1997, dua tahun sebelumnya tulisan saya juga
pernah memenangkan kompetisi menulis di majalah Gadis, tapi saya pakai nama
samaran. Sesudah itu langsung ke Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh
tahun 2001. Sebetulnya cuma modal nekat saja, saya menerbitkan sendiri
Supernova ke-1 tanpa ada ekspektasi dan pengetahuan lika-liku industri buku.
Saya nyaris tidak ada target, siap merugi, yang penting saya menulis buku, itu
saja.
Mana
yang lebih menarik, menjadi penulis atau menjadi penyanyi?
Sama-sama menarik, keduanya
saling melengkapi. Dari level superfisial, lewat menulis saya mendapatkan
banyak pengalaman dan pertemuan menarik dengan orang-orang baru, pergi ke
banyak tempat, dan menimba banyak ilmu. Dari level spiritual, menulis menjadi
gerbang saya menemukan jati diri. Sementara menyanyi dan bermusik menjadi cara
saya mencinta. Banyak keindahan dan perasaan yang bisa terungkap sempurna lewat
menulis lagu dan menyanyi, dan itu menjadi kepuasan tersendiri yang tidak bisa
terukur.
Menjadi penyanyi dan penulis
bukan pilihan. Kedua-duanya sudah menjadi bagian inheren dari diri saya. Mimpi
terbesar saya adalah karya saya bisa dinikmati dalam skala internasional.
Menulis itu seperti menciptakan
semesta sendiri, lebih komplet dan komprehensif, tapi tidak berarti lebih
unggul dari musik, karena keduanya bersifat komplementer.
Lewat menulis saya bisa
mengeksplorasi karakter, narasi, dan plot. Dalam lagu, unsur itu ada tapi
terbatas, jadi kisah dalam lagu cenderung lebih abstrak dan interpretatif. Tapi
justru di situ jugalah kelebihan musik. Musik bisa dihayati bahkan lebih
mendalam, dan bisa jadi lebih langgeng dan tak lekang zaman. Lagu juga punya
melodi, dan itu satu kelebihan sendiri dibanding kata-kata belaka.
Dari
keseluruhan karya Dee itu, mana yang paling berkesan untuk Dee?
Hmm. Semuanya punya kesan
masing-masing sih. Tapi barangkali secara pengalaman, saya paling banyak
belajar dari Supernova 1, karena itulah buku pertama saya, dan dari sanalah
segala macam pengalaman menulis dan jadi penulis bermula.
Pernah
terbayangkan sebelumnya kalau sekarang Dee menjalani hidup sebagai seorang
penyanyi, pencipta lagu sekaligus penulis buku?
Sejujurnya, tidak. Karier
menyanyi saya berjalan begitu saja, transisinya halus sekali. Dari aktivis
vokal group & paduan suara sekolah, lulus SMA jadi backing vokal selama dua
tahun, lalu tahun 1995 mulai rekaman untuk RSD, berjalan delapan tahun, hingga
akhirnya berkarier solo sampai sekarang. Untuk jadi penulis memang lebih banyak
perjuangan, karena dulu saya menerbitkan sendiri Supernova, jadi tantangannya
memang banyak. Kalau buku itu kemudian jadi laku dan jadi perbincangan, itu di
luar dugaan saya sama sekali. Dulu saya cuma cita-cita pingin punya buku aja. Kalau
yang baca cuma 10 orang juga nggak apa-apa. Sudah senang.
Dari
keseluruhan buku atau cerita yang Dee telah tulis, dari mana biasanya Dee
mendapatkan ide – ide ceritanya? Dari pengalaman orang lain, pengalaman
sendiri, atau berasal dar imajinasi Dee saja?
Kebanyakan dari perenungan. Bahan
yang direnungkan tentu datangnya dari kehidupan itu sendiri, dari kisah
pribadi, kisah orang lain, mengamati alam, dsb. Seorang penulis memang harus
jadi pengamat yang baik.
Dari
karya Dee yang berjudul Supernova, beberapa orang yang beranggapan bahwa buku –
buku karya Dee terlalu sulit dimengerti. Apakah memang Dee senang menggunakan
bahasa atau istilah-istilah kiasan di setiap karya Dee, lalu bagaimana Dee
menanggapi tanggapan beberapa orang itu?
Masalahnya, saya jarang
memikirkan orang lain ketika berkarya. Saya menulis apa yang saya suka saja.
Termasuk kalau menurut saya ada beberapa terminologi teknis yang perlu
digunakan, ya saya gunakan. Kalau kiasan atau metafora sepertinya sih semua
karya sastra memilikinya. Soal susah dipahami atau tidak menurut saya adalah
hal yang relatif. Yang jelas, saat berkarya kita tidak mungkin memuaskan semua
orang, atau memastikan bahwa semua orang akan mengerti. Yang mengerti pasti
ada, yang enggak juga pasti ada. Karenanya saya lebih suka menjadikan diri saya
sendiri sebagai patokan, pokoknya apa yang menurut saya sesuai dan pas dengan
yang ingin saya ungkapkan, ya, saya gunakan.
Rectoverso
merupakan karya kedelapan Dee. Apa yang Dee ingin angkat dari Rectoverso ini?
Rectoverso adalah karya yang
sangat personal dan emosional. Justru sayalah yang menantikan pesan dari
pembaca Rectoverso dalam bentuk perasaan mereka, air mata mereka, dan bagaimana
kisah-kisah dalam Rectoverso menyentuh hati mereka.
Apa
latar belakang Dee sehingga Dee menggabungkan dua media yaitu buku dan music
(album cd) dalam karya kedelapan Dee ini?
Rectoverso pada dasarnya adalah
produk hibrida, jadi nggak bisa cuma dilihat sebagai album saja, atau buku
saja, melainkan kedua-duanya seperti “saudara kembar”. Itu yang sangat
membedakan Rectoverso dari karya-karya saya yang lain. Lagu dan kisah di
Rectoverso saling melengkapi dan saling bercermin. Jadi bukan sekadar satu
paket, tapi buku dan album Rectoverso itu seperti dua sisi dari koin yang sama.
Esensinya, ide dan inspirasi untuk album dan buku Rectoverso itu satu dan sama,
hanya saja mengambil dua bentuk yang berbeda. Saya juga ingin menampilkan aspek
romantisme saya yang selama ini hanya bisa terekspresikan secara parsial dalam
karya-karya saya yang sebelumnya. Rectoverso itu seperti menulis surat cinta
yang panjang. Saya tidak fokus pada penokohan atau plot, melainkan emosi
terdalam yang dirasakan oleh tokoh-tokoh, baik dalam lagu maupun cerpen di
Rectoverso.
11
cerita dan 11 lagu dengan judul yang sama. Apakah angka 11 itu sebuah kebetulah
atau memang Dee memang sengaja menulis cerita dan menulis lagu hingga berjumlah
11?
Awalnya nggak sengaja, kebetulan
materinya memang sebelas. Sebetulnya masih bisa ditambah, tapi pada akhirnya
saya memutuskan sebelas, karena 11:11 itu punya makna yang sangat dalam di ilmu
numerologi. 11:11 dipercaya sebagai angka yang mewakili terbukanya gerbang
antara dunia materi dan spiritual, antara dunia fisik dan dunia roh.
Dari
mana ide cerita – cerita di dalam Rectoverso didapat?
Ya dari hidup itu sendiri. Dari
kejadian sehari-hari, peristiwa di sekeliling saya, curhat orang-orang, apa
yang saya rasakan, imajinasi, fantasi, dsb. Bagi saya, hiduplah yang
mengajarkan dan menginspirasikan segala lakon dan karya manusia di dunia.
Tergantung bagaimana kejelian kita mengamati dan mencerapnya saja.
Berapa
lama proses pengerjaan Rectoverso ini?
Rekamannya sendiri hanya 4 hari
karena semua direkam secara live. Tapi pengerjaan dari mulai konsep sampai
mastering butuh waktu 1,5 tahun. Kalau bukunya kurang lebih sama, tapi saya
kerjakan secara sporadis. Jadi nggak sekaligus.
Kesulitan
– kesulitan apa yang Dee temui pada proses pengerjaan Rectoverso ini?
Kendalanya lebih ke penyatuan
antara dua industri yakni musik dan buku, dan bagaimana menentukan strategi
pemasaran yang mengakomodasi keduanya. Dari segi rekaman, karena kita memakai
sebegitu banyak pemain dan rekamannya live (sejarah yang lebih lengkap silakan
lihat kata pengantar di buku Rectoverso), jadi cara mengorganisir dan mengatur
skema kerja produksinya juga menantang. Kalau dalam menulis sih hampir nggak
ada kesulitan karena saya bikin berdasarkan lirik, dan nggak melibatkan orang
banyak jadi tinggal berproses dengan diri sendiri saja.
Dalam
CD rectoverso Dee berduet dengan Arina Mocca dan Aqi ALEXA, kenapa Dee memilih
mereka untuk berduet dalam Rectoverso ini?
Saya adalah pengagum berat
suaranya Arina. Menurut saya, dialah yang paling berbakat menyanyi di keluarga
dan saya juga selalu berangan-angan ingin berkolaborasi dengan saudara-saudara
saya. Kebetulan saya mencari karakter suara yang innocent dan seperti anak
kecil untuk lagu Aku Ada. Arina adalah vokalis yang paling pas untuk itu. Duet
tersebut sekaligus juga mewujudkan cita-cita saya untuk berkolaborasi
dengannya. Saya memilih Aqi karena memang mencari partner duet cowok yang
karakternya agak nge-rock tapi nggak terlalu ‘sangar’ sampai melibas suara saya
yang cenderung soft. Dan kebetulan waktu itu album Alexa belum dirilis jadi Aqi
masih bebas, mengurus perizinannya jadi nggak ribet. Dan saya juga suka banget
karakter suaranya Aqi.
Sudah dua video klip yang Dee keluarkan, apakah Dee berniat untuk membuat video klip
dari judul lainnya?
Baru saja dirilis VK “Aku Ada”.
Jadi sekarang sudah ada tiga VK dari album Rectoverso.
Beberapa
orang memiliki caranya sendiri dalam menikmati Rectoverso, kalau menurut Dee
sendiri bagaimana cara terbaik menikmati buku dan CD Rectoverso?
Tidak ada cara khusus.
Orang-orang bisa memulainya dari mana saja, bisa dari buku atau dari musik.
Yang penting adalah menikmati keduanya sehingga keutuhan karyanya bisa dihayati
secara penuh dan maksimal.
Apa
yang ingin Dee dapatkan sebagai seorang penulis?
Saya cuma ingin berbagi pemikiran
dan suara hati saya. Itu saja.