Anda
banyak juga dikenal dengan nama pena “Dee”, apakah ada sejarah/alasan khusus di
balik nama “Dee”?
“Dee” memang ‘tidak sengaja’ jadi nama
pena saya. Sebetulnya karena pertimbangan nama “Dewi” itu agak pasaran, hehe,
dan asosiasi orang saat itu selalu “Dewi RSD” jadi untuk tampil dengan image
fresh sebagai penulis, saya mencoba memakai nama panggilan saya yakni “Dee”.
Dipanggil “Dee” karena waktu kuliah saya pakai ransel dengan emblem besar huruf
“D” (Dee).
Menurut
Anda, adakah perbedaan antara seorang Dewi Lestari di karya-karya buku dan
musik, dan seorang Dewi Lestari di kehidupan sehari – hari?
Dewi Lestari yang bermusik dan menulis
adalah sebagian aspek dari diri saya keseluruhan. Mewakili saya, memang, tapi
itu bukan sepenuhnya diri saya juga. Jadi bukannya beda, tapi “belum lengkap”.
Yah, lengkapnya yang sehari-hari—yang hobi,
kelakuan, cara bicara, karakter, dsb—hanya dikenal oleh
orang yang memang berinteraksi dengan saya sehari-hari. Dan belum tentu diketahui oleh pembaca atau
pendengar musik saya.
Sebagai
seseorang yang aktif dalam dunia musik dan literatur, adakah korelasi di antara
keduanya? Adakah passion terpendam lainnya yang ingin Anda kerjakan dalam waktu
dekat ini?
Bagi saya, korelasi keduanya tentu sangat
dekat. Keduanya merupakan saluran saya
berekspresi yang sama pentingnya. Passion saya yang lain cukup banyak, saat ini
sedang hobi memasak, fotografi, dan lagi senang belajar tentang masalah gizi
dan parenting. Saya sedang berencana membuat situs tentang vegetarianisme dan
Gentle Birth (metode persalinan alami).
Boleh
ceritakan tentang pengarang favorit Anda dan bagaimana ia telah memberikan
inspirasi dan pengaruh terhadap karya tulisan Anda?
Penulis Indonesia yang saya kagumi
antara lain Sapardi Djoko Damono, yang metaforanya menurut saya mencengangkan.
Ayu Utami, penulis yang karyanya “Saman” adalah salah satu buku yang membuat
saya bersemangat untuk menerbitkan buku.
Di
buku Supernova, Anda berhasil untuk merangkai dan menggabungkan fakta dan alur
cerita menjadi sebuah kesatuan yang menarik. Bagaimana proses Anda melakukan
itu?
Gabungan dari riset dan imajinasi. Harus
rajin mengolah keduanya. Dan yang lebih penting lagi, adalah harus terus
menghidupkan tema dan napas untuk cerita tersebut karena sifatnya yang serial.
Stamina kreativitasnya harus kuat.
Berbagai
buku Anda memiliki hubungan yang erat dengan tema ‘life searching’. Boleh
bercerita bagaimana pandangan Anda terhadap sebuah proses pencarian jati diri
dan makna hidup?
Menurut saya pencarian jati diri adalah
proses inheren dalam setiap kehidupan manusia. Semua orang pasti mengalaminya,
meski dalam format yang berbeda-beda. Jadi bagi saya, itu adalah tema yang
universal.
Sebagai
salah satu penulis Indonesia yang telah menjadi bagian dari ajang prestisius
Ubud Writers & Readers Festival 2010, bagaimana Anda ingin memberikan
inspirasi terhadap penulis dan pembaca dewasa ini?
Dengan terus berbagi dan berkarya sebisa
saya. Menurut saya hanya itu yang paling baik dan realistis untuk dilakukan.
Menjadi
bagian dari panel diskusi Writing the Digital Future, bagaimana pendapat Anda
tentang dunia literatur di era yang serba digital saat ini?
Dunia literatur mau tak mau perlu
beradaptasi dengan perubahan zaman. Terutama yang berkenaan dengan format dan
saluran-saluran menulis baru seperti blog, Twitter, e-book, dsb. Secara spirit,
menurut saya menulis adalah menulis. Dari zaman ke zaman esensinya tetap sama.
Tapi bagaimana kita menyuarakannya, inilah yang terus berubah dan berkembang.
Rectoverso,
sebuah hasil karya musik dan literatur, sementara Perahu Kertas akan
ditayangkan di layar lebar pada waktu dekat ini, kira-kira kejutan apalagi yang
pada masa dekat ini? Menggabungkan perfilman dan musik atau menghasilkan
produksi musikal mungkin?
Kalau pentas musikal, saya merasa itu
bukan bidang keahlian saya, walaupun saya bergelut di bidang musik dan
penulisan. Kalau hanya menulis beberapa lagu untuk soundtrack, itu masih lebih
mungkin.
Berada
di Bali untuk festival writers & readers tahun 2010 ini, adakah hubungan
batin yang erat terhadap Bali, khususnya Ubud?
Ubud adalah tempat liburan favorit saya.
Bahkan terpikir juga untuk menghabiskan masa pensiun nanti di sini. Kalau bisa
sebelum itu ya lebih baik lagi, hehe. Pokoknya dalam setahun saya harus ada
kunjungan ke Ubud, buat nge-charge
baterai batin. Hehe.
Beralih
topik tentang kesukaan Anda terhadap dunia traveling, ceritakan perjalanan mana
yang paling berkesan bagi Anda?
Waktu saya ke Papua, tepatnya Tembaga
Pura, tahun 1999. Itu tempat yang “ajaib” menurut saya. Ada kota modern di
ketinggian 2500 kaki, di tengah hutan, dilingkung gunung. Dan, ada cable car
sampai ke tengah-tengah Jayawijaya. Dan semua itu karena manusia menambang emas.
Baru kali itu saya melihat kapabilitas intervensi manusia yang begitu besar
pada alam.
Hal
apakah yang paling Anda sukai pada saat berpergian/traveling?
Mengamati. Melihat segala sesuatu yang
baru. Menyentuh ranah ketidaktahuan.
Pastinya
Anda sudah berpergian mengunjungi bermacam-macam negara, pernahkah tercetus ide
untuk membuat travelog dari berbagai destinasi yang pernah Anda kunjungi?
Sudah lumayan banyak: Amerika Serikat,
Inggris, Jepang, Dubai, Australia, New Zealand, dan beberapa negara di Asia.
Tapi kebanyakan dalam rangka bekerja, jadi saya nggak benar-benar traveling
murni. Lain sih rasanya. Satu saat saya ingin sekali ke Peru. Harusnya tahun
2009, tapi karena hamil saya batalkan.