Bagaimana Anda mendefinisikan "budaya"?
Sebuah hasil efek samping
yang tak terhindarkan, diakibatkan oleh tubrukan antara aspek sosial dan aspek
individual dari umat manusia.
Menurut Anda, apa media yang paling ampuh untuk menyebarkan
suatu nilai budaya? Alasannya?
Televisi, dan sekarang ini
jejaring sosial di internet. Televisi, karena kekuatan audio-visual dan
penggunaannya yang sudah sangat luas. Internet, karena selain juga bisa
audio-visual, kecepatannya real-time.
Lewat buku atau musik, Anda merasa mewakili satu
"genre" atau "kelompok" kebudayaan tertentu? Kalau iya,
"genre" atau "budaya" apa?
Secara umum, saya
dibesarkan dalam konteks budaya pop. Saya tidak merasa mewakili kelompok
kebudayaan tertentu, tapi yang jelas karya saya tidak bisa lepas dari
andil/pengaruh budaya pop.
Saat ini banyak negara mengandalkan industri
kreatif untuk menggenjot pendapatan. Anda setuju dengan
"mengkomersilkan" kreatifitas? Atau memang harus begitu
supaya maju dan berkembang?
Menurut saya, jika ingin
berkembang luas, faktor komersil dan kreativitas seharusnya berjalan seimbang.
Komersialitas jangan memakan dan mendikte kreativitas, sebaliknya kreativitas
tanpa komersialitas juga akan berjalan di tempat.
Apakah Anda melihat masyarakat Indonesia telah cukup cerdas
untuk menerima produk budaya yang bagus (meski kadang-kadang
"susah")? Apa indikasinya? Apakah, misalnya dengan banyaknya
toko-toko buku baru bisa menjadi ukuran bahwa masyarakat Indonesia makin
cerdas?
Dalam pengamatan saya, yang
tentunya terbatas, saat ini ada minat dan geliat baru dalam dunia pustaka
Indonesia. Salah satu indikasinya adalah lebih banyak toko buku, lebih banyak
penerbit, lebih banyak penulis, dan volume oplah keseluruhan yang juga
meningkat. Tapi apakah itu berkorelasi dengan kualitas dan kecerdasan, menurut
saya belum tentu.
Buku terbaru Anda (yang sebenarnya bersumber dari tulisan
lama Anda), Perahu Kertas, cenderung lebih ringan dibandingkan novel-novel
sebelumnya? Apakah ini bagian dari "mengikuti selera pasar"?
Pada prinsipnya, saya tidak
pernah mengikuti selera pasar. Saya hanya menuliskan buku yang ingin saya baca.
Perahu Kertas adalah naskah yang juga berada dalam rentang selera dan minat
saya pribadi. Dibilang lebih ringan bisa jadi, yang jelas kreativitas saya
memang berwarna dan tidak pernah berada dalam satu spektrum saja. Dan Perahu
Kertas sudah ada jauh sebelum serial Supernova, jadi sebetulnya kalau saya
merilis Perahu Kertas lebih cocok saya dibilang “menentang pasar” ketimbang
“mengikuti pasar” saya yang sudah ada dan terbentuk oleh Supernova.
Apa yang mendorong Anda bekerjasama dengan XL untuk pemasaran
novel ini -- yang mengharuskan Anda menyelesaikannya dalam 55 hari dengan
banyak perubahan dari naskah asli, seperti Anda tulis di blog?
Saya suka proyek-proyek
pionir. Dan saat itu novel digital memang belum ada, jadi Perahu Kertas menjadi
yang pertama. Selain itu, saya memang sudah berniat untuk menyelesaikan naskah
Perahu Kertas yang sudah mati suri sekian lama. Jadi, tawaran XL menjadi
motivasi segar bagi saya untuk menyelesaikannya. Kenapa 55 hari? Karena kalau
tidak ada deadline seperti itu, saya berisiko untuk menghabiskan waktu terlalu
lama untuk menulis ulang naskahnya, yang artinya Perahu Kertas mati suri lebih
panjang lagi.
Anda meluncurkan Rectoverso satu paket buku dan musik.
Sebenarnya bagaimana ide awalnya dan apa pertimbangannya? Apakah
masyarakat pembaca buku Indonesia siap dengan model seperti ini? Tanggapan
para pembaca buku Anda, bagaimana? Adakah pengaruhnya terhadap tingkat
penjualan buku ini -- menjadi lebih laku atau malah sebaliknya?
Lagi-lagi, Rectoverso
adalah proyek pionir. Belum ada sebelumnya buku dan album musik yang saling
bercermin seperti itu (bukan soundtrack), dan kebetulan musik dan penulisan
adalah bidang yang saya kuasai. Tanggapan masyarakat cukup bagus, pembaca saya
juga sejauh ini positif menanggapinya. Walaupun saya berkesimpulan, secara
penjualan tetap buku yang lebih kuat, karena industri musik sendiri sedang
mengalami perubahan drastis dengan peralihan ke format digital, download, RBT,
dan maraknya pembajakan.
Waktu pertama kali meluncurkan Supernova, Anda memakai jalur
penjualan indie, apakah ini menguntungkan dari segi komersil? Mengapa Anda
sekarang akhirnya kembali ke jalur penjualan "normal" lewat toko
buku? Apakah ada pertimbangan khusus atau semata-mata soal bisnis?
Menyimpulkan dari masa
sekarang, indie atau tidak keuntungan komersialnya sama-sama saja. Karena
sekalipun profit menerbitkan sendiri lebih besar ketimbang cuma dapat royalti
tapi konsekuensinya kita juga harus punya sistem, SDM, dsb, yang butuh energi
dan biaya juga. Yang membedakan hanyalah kemerdekaan dan keleluasaan untuk
menetapkan strategi, harga, dsb, karena buku itu otomatis menjadi barang kita
sendiri. Perlu digarisbawahi bahwa “indie” artinya adalah menerbitkan sendiri
(dan sebagian mendistribusikannya lewat jalur sendiri), tapi itu bukan berarti
tidak lewat toko buku. Semua buku saya sejak dulu selalu lewat toko buku. Hanya
saja ada saluran tambahan lewat internet, direct selling, dsb. Jadi tidak tepat
kalau dibilang saya “kembali ke jalur normal”, karena kalau yang disebut
“normal” adalah lewat toko buku, dari dulu pun buku saya selalu dijual di toko
buku. Hanya peran distributor dan penerbitnyalah yang dilakoni sendiri.
Tahun ini, Perahu Kertas akan difilmkan oleh Mizan. Apa yang
membuat Anda bersedia? Apa saja persiapan Anda? Anda yakin filmnya
akan setia pada buku? Tidak takut nantinya terjadi
"penyelewengan" dari buku ke film?
Sejak awal menulis Perahu
Kertas saya memang sudah punya visi untuk mengangkatnya ke layar lebar. Jadi
tinggal mencari partner yang tepat saja. Kebetulan karena sekarang Perahu
Kertas bekerja sama dengan Bentang sebagai penerbitnya, maka selaku paying dari
Bentang, Mizan Production-lah yang maju terlebih dahulu. Soal penyelewengan,
saya sih cukup realistis, tidak akan pernah mungkin naskah buku sama persis
ketika difilmkan. Jadi “penyelewangan” pasti terjadi. Tinggal sekarang
bagaimana “penyelewengan” itu tetap bagus dan manis sehingga bisa diapresiasi
sebagai karya seni yang baik.
Kalau harus memilih fokus ke satu hal, Anda akan memilih jadi
apa: penyanyi, penulis, pemain film, ibu rumah tangga, atau apa?
Ibu rumah tangga yang hobi
nyanyi dan cari uang sambilan dari menulis. Main film? Tidak pernah terlintas
di benak saya.
Dari semua buku-buku Anda, ada yang jadi favorit Anda? Kenapa?
Sejauh ini, saya paling
suka Petir dan Perahu Kertas. Semata-mata karena dua buku itu proses
pembuatannya sangatlah menghibur.
Apa yang paling mempengaruhi Anda dalam menulis: pengalaman
atau pengamatan sehari-hari ATAU ide-ide liar tentang apa saja yang
tiba-tiba muncul di kepala?
Kesemuanya. Menurut saya
tidak ada “single factor” dalam menulis, apa pun yang menjadi pengalaman
mental, fisik, maupun rohani dalam kehidupan nyata kita, akan menjadi bahan
yang keluar tiba-tiba ketika kita menulis.
Apa yang paling sulit dan memakan waktu ketika menulis novel:
mencari ide, membuat riset, menulis, atau justru saat melemparnya ke pembaca? Dari
semua itu, mana yang paling Anda nikmati dan kenapa?
Paling makan waktu: riset.
Paling bikin pusing tapi mengasyikkan: menulis. Paling melelahkan: promosi
buku. Saya paling menikmati saat buku sudah jadi tapi belum rilis. Itu fase
‘tengah-tengah’ di mana ada kelegaan karena sudah selesai, tapi stres
berikutnya yakni mempromosikan buku, belum datang.
Apa proyek atau karya Anda berikutnya? Apakah tetap berkisar
di buku dan musik atau mungkin sesuatu yang sama sekali berbeda?
Supernova Partikel dan
skenario film Perahu Kertas. Ada proyek-proyek lainnya yang nonfiksi, tapi
masih dalam tahap penggodokan.
Apa film terakhir yang Anda tonton dan sangat suka? Kenapa?
Saya lagi jarang nonton
film layar lebar, apalagi ke bioskop, karena masih ngurus bayi. Saya lagi
senang nonton film serial, favorit saya: Criminal Minds, Lie To Me, Castle, dan
Fringe. Serial-serial itu menurut saya mencerdaskan karena saya jadi tahu
banyak hal sekaligus terhibur.
Apa buku terakhir yang Anda baca dan bagian apa yang paling
Anda suka?
Saya lagi baca buku
fotografi, Understanding Exposure oleh Bryan Peterson.