Dee’s Past
Aku kepingin tahu, masa kecil seperti apa sih yang telah membentuk
seorang Dewi Lestari sekarang? Mungkin background khusus keluarga, kepribadian
salah seorang tua yang cukup unik? Atau mungkin kehadiran masalah keluarga yang
cukup besar sehingga sanggup membentuk kepribadian Dewi sekarang?
Keluarga saya itu sangat unik. I’m blessed to be raised in such family.
Ayah saya, sekalipun perwira militer, sesungguhnya berjiwa seniman, he’s a fun
person, musisi otodidak yang kreatif. Dan kualitasnya diimbangi oleh ibu saya
yang sangat sistematis, tertata, but very
thoughtful. Hasilnya kami berkesempatan untuk mengeksplorasi sisi seni
kami, tanpa mengabaikan sekolah. Bisa dibilang kami punya modal disiplin tapi
juga ‘keliaran’ kreativitas. Kalau masalah hampir nggak ada. Cuma Mama
kadang-kadang kelewat hemat, kami hampir nggak pernah punya mainan, jarang beli
barang baru. Tapi pikir-pikir, itu juga yang mendorong kami jadi kreatif, dan
punya drive untuk bercita-cita.
Apa trauma terbesar Dewi saat masih kecil, mungkin belum bisa
didefinisikan sebagai trauma, tetapi yang tidak menyenangkan dan masih keinget,
masih ada nga ya dampaknya sampai sekarang? (seperti saya masih ingat dipukuli
teman-teman sendiri)
Hmm. Apa, ya. Barangkali waktu kelas 2 SD
dulu, saya pernah lomba lari, tapi sepatu saya model loafer yang gampang copot,
akhirnya pas lari sepatu saya lepas, diketawain satu sekolah. Sejak itu saya
jadi nggak pede sama sekali dengan pelajaran olah raga dan segala permainan
fisik. Sampai SMA saya bolos terus pelajaran olah raga, ngaku sakit segala
macem, padahal sehat-sehat saja, bahkan I’m
actually an active person. Saya sampai punya template surat sakit, memalsu
tanda tangan ortu, pokoknya jadi sneaky berat,
hanya untuk menghindari pelajaran satu itu. Hehe.
Ada nggak sih pengalaman-pengalaman di masa
kecil dulu yang memalukan, lucu, memorable; mencium (lebih dulu) teman cowo
mungkin? Apa yah cita-cita Dewi sewaktu kecil dulu, sudah terpikir untuk
menjadi seorang selebritis sepeti sekarang?
Waktu kecil pengin jadi dokter hewan, karena
cinta sekali sama binatang. Hanya kandas karena takut saya pada serangga
melampaui cinta saya sama binatang. Hehe. Lalu arsitek, tapi kandas juga karena
malas bermatematika ria, hanya sampai sekarang saya senang sekali menata
interior, dsb. Anehnya, sekalipun tidak masuk ke daftar cita-cita, tapi yang
saya lakoni secara konsisten sejak kecil memang seni. Baru saat kuliah, ketika
pada semester 2 saya mulai membiayai hidup bahkan kuliah saya sendiri, saya
tersadar bahwa hobi tersebut telah bertransformasi menjadi profesi. And it’s simply something I cannot live
without. Saya tidak pernah lagi berpikir menjadi sesuatu yang lain.
Dee’s Train of Thoughts
Apa sih yang diinginkan dan dicari Dewi dalam hidup ini, dengan
mengulik-ulik dunia spiritualnya? Mungkin beberapa orang sudah cukup nyaman
dengan ‘spiritualitas pemberian’ (orang tua, masyaraktnya), kalau orang lain
bilang hidup sudah terlau susah tanpa mempertanyakan kembali sisi spiritual,
atau apakah karena ‘enggan mengutak-atik’ itu manusia merasa lebih susah?
Untuk seseorang sampai pada kembara spiritual
yang sesungguhnya memang dibutuhkan satu titik balik. Ahli agama bisa
berkhotbah sampai berbusa-busa, tapi kalau panggilan itu tidak muncul dari
dalam hati, maka kita tetap jalan di tempat dan bahagia dengan itu. Saya
setuju, pengembaraan spiritual itu memang bikin susah, tidak menjadikan hidup
kita tambah mudah. Ada ungkapan yang mengatakan ‘ignorance is a bliss’. Ketidakmautahuan bisa jadi membuat hidup
kita aman, tenang. Sementara keingintahuan justru menempatkan kita dalam track
berbatu, menyakitkan, dicemooh, dst. Namun saya percaya, saat spiritualitas
lama kita diguncang maka itu berarti kita sudah siap ‘naik level’. Sama halnya
bersekolah, yang secara berkala kita harus ujian naik tingkat, dan nggak
selamanya adem ayem tanpa diuji. Usaha saya menulis Supernova pun sekadar untuk
berbagi, bahwa: this is my test, this is
my exam sheet, how’s yours? Mereka yang berada pada tahap yang sama pasti
akan connect. Mereka yang sudah lewat
akan tersenyum simpul. Mereka yang belum sampai akan mengapresiasinya dengan
cara yang lain lagi. I want nothing but
to share.
Kapan sih Dewi menemukan tujuan hidupnya seperti sekarang? Ada
kejadian khusus yang melatar belakangi? (Sigmund Freud; women barely knows what
they wants)
My series of epiphany took place by the end of 1999, sebelumnya pertanyaan saya tentang spiritualitas sudah menumpuk,
tapi meledaknya pada saat itu. Buku yang menyatukan puzzle dalam otak saya adalah Conversation with God – Neale Donald
Walsch. Semenjak itu pandangan saya terhadap Tuhan, hidup, dan juga diri,
berubah total. Dan semenjak itu pulalah saya bertekad untuk sharing apa yang saya alami, dan berhubung talenta saya adalah
menulis, plus cita-cita sejak kecil adalah menulis buku, maka tahun 2000 saya
menulis Supernova.
Dengan kesuksesan seperti sekarang, kenapa
memilih hidup berkeluarga dengan anugerah kehadiran seorang anak di sisi Anda?
Dengan merepotkan penitian karir yang sedang baik-baik nya?
Kalau istilah ‘repot’ yang dipakai maka
seolah-olah pilihan berkeluarga merintangi sesuatu. Menurut saya tidak
demikian. My life is one assorted
package. Kalau isinya melulu karier maka hidup ini pun terlalu sempit
rasanya. Untuk bertumbuhkembang sebagai pribadi yang utuh manusia akan memilih
beragam hal. Saya pribadi, memilih menikah dan punya anak. Karier sebagai salah
satu aspek tentunya beradaptasi dengan kondisi tersebut. It is a challenge, but not an obstacle. Kalau dulu saya bisa nulis
begadang dari malam sampai pagi, sekarang jadwal seperti itu tidak bisa
dipertahankan.Tapi tidak berarti saya lantas tidak dimampukan untuk berkarya,
kan. Hanya saya sekarang saya nulis pada jam yang lain, dengan pola yang lain.
Sebetulnya yang bikin stres itu kan ekspektasi. Kalau nggak ingin stres,
ekspektasi kita nggak usah ambisius. Kalau dulu pengin berpromo buku 4-5 hari
dalam seminggu, sekarang 1-2 hari saja. Tiga harinya bisa dikompensasi dalam
promo lain, perbanyak poster, pasang iklan, misalnya. Jadi hanya masalah beda
siasat saja.
Apa sih arti image untuk Dewi Lestari, hidup dengan ‘jaim’ terus,
apalagi setelah menjadi selebritis dan menjadi sorotan public?
Image itu seperti peliharaan yang
harus terus diberi makan. Everybody has
an image to feed. Bukan cuma figur publik, orang biasa pun punya, hanya
saja mungkinpeliharaannya lebih kecil dan relatif lebih mudah di-handle. Semakin besar dan gemerlap image yang dipunya, ya, maintenance-nya pun makin susah. Bahkan
sampai tingkat tertentu tidak jarang image
menjadi lebih besar dari diri kita yang sesungguhnya, sehingga kita
dikendalikan image dan bukan sebaliknya. I
just have to keep in mind that image is something partial, is a part of us but
not us. Secara proporsional kita harus punya ruang dan waktu untuk
melepaskan segala image yang melekat dan rileks dengan keberadaan kita yang sesungguhnya,
bukan yang dituntut masyarakat. I’d like
to think my image is like my Golden Retriever. It’s fun, friendly, and when
it’s unleashed, you can feel safe knowing that it won’t kill you while you’re
asleep.
Apakah Dewi punya misi jauh ke depan pada setiap pekerjaan yang
dilakoni (menulis dan menyanyi)?
Rasanya saya sudah mantap dengan trek
pekerjaan ini. Saya juga merasa beruntung menemukannya cukup dini. Jadi program
saya hanyalah berkarya dan berkarya. Kalaupun ada pengembangan sifatnya lebih
ke pelebaran audiens, satu saat saya ingin karya-karya saya bisa ‘go global’.
Nggak cuma di Indonesia saja.
Saya sempat gemas sekali dengan karakter Elektra (PETIR) yang
begitu pemalas, sial terus menerus, tetapi ahirnya beruntung juga dengan
perkenalannya dengan bisnis dunia maya warnet. Kenapa sih harus eksistensinya
harus seperti itu?
Elektra adalah representasi metamorfosis
manusia. Beda dengan Bodhi, atau Diva, yang jelas-jelas sejak awal dianugerahi
kualitas ‘super’, Elektra butuh proses panjang untuk menemukan potensi dirinya.
Bahkan kisahnya dalam Petir pun sebetulnya masih berupa awalan saja. Elektra
mewakili sosok girl next door yang
biasa banget, tapi sesungguhnya punya potensi luar biasa. Dan dia menemukannya
dengan caranya sendiri, yang konyol, tapi sesungguhnya punya kedalaman. I had so much fun with Elektra, really.
Menuliskannya sangat enjoyable,
bahkan bisa membuat saya sendiri ngakak-ngakak.
Dee’s Dark Side
Seperti Bapak Freud mengutarakan kehadiran 3 elemen penting dalam
setiap unik pribadi seseorang: id, ego, superego. Kali ini aku ingin melihat
sisi gelap seorang Dewi Lestari. Dan karena ini majalah cowok Mbak, maaf
sebelumnya jika saya ingin menanyakan hal-hal di sekitar seks dan juga hal-hal
absurd lainnya, haha. Feel free not to answer. Sewaktu Mbak Dewi diributkan dengan masalah cover buku yang
bertuliskan lambang umat Hindu, seperti apa Mbak dewi menanggapinya, sempat
marah dulu?
Awalnya sempat kecewa, kesal juga. Bukan
apa-apa, tapi karena hal tersebut seperti disengajakan untuk bocor ke pers
terlebih dahulu, wartawan tahu duluan lewat faks yang sampai ke mereka beberapa
hari lebih awal dibandingkan surat resmi ke saya. Jadi saya menerima kesan
bahwa sebagian permasalahan lebih berupa cari sensasi bukan cari solusi. Tapi
secara global kasus itu menyadarkan saya bahwa inilah gambaran masyarakat
Indonesia. Spektrum consciousness level masyarakat
kita sangatlah luas. Dari yang ekstrem fundamentalis sampai universalis ada di
sini. Dan masalah simbol itu (dan kasus-kasus seputar simbol berikutnya)
merepresentasikan bagaimana Tuhan diproyeksikan begitu beragam. Tidak ada yang
salah, semua berpijak dari persepsi kita atas Tuhan, dunia, dan dirinya
sendiri. Keputusan saya untuk akhirnya berunding dan berkompromi pun berpulang
dari kesimpulan saya bahwa Tuhan tidak perlu dibela dan tidak perlu berpromo
(baik lewat sampul novel atau sampul buku apa pun). Lenyapnya lambang Om dari
Akar tidak berdampak apa pun bagi Tuhan. Dia tidak tambah besar, tidak juga
tambah kecil. Tidak lebih ditinggikan, tidak juga lebih rendah. Wajah dan tapak
Tuhan ada di mana-mana, dalam renik debu sekalipun, jadi buat apa didebatkan?
Kasus kover Akar dan kasus sejenis sesungguhnya bukan kasus benar atau salah,
tapi kasus yang tak perlu ada, alias nggak penting.
Kita terkadang hidup dengan defense mechanism (denial, proyeksi)
masing-masing, yang terkadang perlu sewaktu menanggapi masalah, untuk memiliki
mental yang sehat (saya sendiri sering ‘bertindak saat baik pada seseorang’ di
saat saya justru sangat membencinya). Kalau Mbak Dewi seperti apa, ya?
Defense mechanism saya adalah dengan jurus
‘bird’s eye view’. Ketika ada masalah muncul, saya berusaha berpikir bahwa
masalah itu menimpa Dewi Lestari, bukan diri saya yang sesungguhnya. Dewi
Lestari itu kan kumpulan opini dari hasil konsensus sosial yang ditumpukkan
sejak saya lahir. Seperti kain perca yang menyelimuti kesejatian kita. So when shit happens, it doesn’t really
matter. Hanya keterikatan kita pada label sosial kitalah yang menjadikan
itu ‘matter’. Tapi kalau kita
berpulang pada diri kita yang ‘nonmatter’
then things ‘doesn’t matter’ anymore. Got it? Jurus bird’s eye view itulah yang, menurut saya, dapat sejenak
membebaskan kita dari ilusi duniawi, termasuk segala masalah. Ketika beban
tersebut lepas, solusi lebih jernih pun bisa didapat.
Pernah nggak menyakiti perasaan orang lain
sampai teringat terus, atau bahkan masih bermusuhan sampai sekarang?
Disakiti kali, ye. Pernah. Nggak enak banget.
Sebenarnya perasaan marahnya sudah bermutasi seperti ‘nggak usah kenal aja,
deh. Kita beda frekuensi’. Beberapa kali dikhianati masalah bisnis, padahal
dulunya teman baik, makanya sampai sekarang saya jadi berhati-hati sekali
bisnis sama orang, kalau teman/saudara malah saya udah nggak mau sama sekali.
Karena kalau ada apa-apa, sakitnya nggak worth
it sama hasilnya. Lebih baik nggak usah.
Menyakiti atau disakiti? Yang mana yang lebih baik jika harus
memilih?
Hmm. I have to say ‘disakiti’. Hehe. Kalau
menyakiti you have to forgive yourself,
which is even harder.
Hal apa yang bisa membuat Dewi merasa menjadi manusia terkejam di
dunia?
Absolutisme. Tidak memberikan ruang untuk
memilih dan wawasan akan pilihan yang ada. Menurut saya, semua kejahatan
terbesar dalam sejarah manusia bermuara di situ. Merasa diri absolut yang
paling benar dan tidak memberikan ruang bagi opsi.
Pernah tebersit ingin bunuh diri? Karena semua
mulai terasa berantakan. Ke mana biasanya Anda ‘berlari’?
Nope. I cannot comprehend a suicide. Yet. Sepertinya dibutuhkan kasus berlatar belakang super luar biasa
agar saya bisa memahami/memaklumi aksi bunuh diri. Tapi saya percaya kematian
seharusnya adalah gerbang menuju sesuatu yang lebih baik.
Bagaimana dengan membunuh, pernah paling nggak tebesit untuk
membunuh orang lain?
Membayangkan membunuh in action sih, nggak. Tapi kalau membayangkan Bumi ini dikurangi
populasinya sampai paling tidak setengah, pernah. Bahkan sering. Is it the same thing? I dunno.
Bagian tubuh pria yang paling menarik? Seperti saya yang adalah
“leg person” hahaha…
Neck – one that’s firm, not too slender. Flat
abdomen is also appealing. A bit muscley arm is nice as well. Dan juga urat
kecil yang suka nongol di jidat, nggak tahu itu apa, but for me it’s a
beautiful sight to see. But above all, pria yang menarik itu tidak dinilai dari
tubuh, tapi auranya saat dia sedang asyik-asyiknya bekerja, now that is very sexy.
Pernah nggak sih menolak cinta orang lain,
sampai pria itu begitu sakit hati?
Sering. Hehehe. But truly, it’s not something
that I’m proud of. Seringnya saya jadi sedih dan miris. Cinta itu kan energi
yang luar biasa, ya. Begitu melihat cinta salah alamat saya suka miris,
andaikan cinta berbalas pasti dentumannya luar biasa. Tapi kalau tidak rasanya
seperti nabrak dinding. Saya cuma berharap dinding itu bisa disikapi seperti
cermin, jadi energi itu bisa terpantul dan menjadikan kita tambah kuat, bukannya
malah buyar nggak karuan. Nggak jarang saya menyesalkan my unfortunate position sebagai si ‘penolak’, seriously. Lebih baik ditolak, kali. Terlebih kalau sikap atau
kebaikan kita ternyata mislead or
misguide other people. Aduh, nggak enak banget.
Apa arti seks untuk Dewi Lestari?
Sex is one of God’s primal languages. Sex in
a big picture is to exchange. Pertukaran dan saling-silang energi yang
menghasilkan kehidupan baru.