Dalam obrolan dengan Dewi Anwar di program Tea Time with Desi Anwar, Anda
menyatakan bahwa Anda tidak ingin hanya menjadi penulis sekedar, penulis yang
hanya mengandalkan popularitas sebagai penyanyi pop. Anda menyatakan serius
dalam berkarya lewat tulisan. Selain semacam ‘panggilan-untuk-menulis’ yang
Anda rasakan, latar belakang historis macam apa (baik intelektual maupun
personal) yang mendorong kerja penulisan Anda hingga sekarang?
Menulis adalah hobi yang saya tekuni sejak kecil. Dan, saya selalu
serius menyikapi menulis sebagai profesi, sebagaimana saya serius menyikapi
musik sebagai profesi. Keluarga saya sendiri memang akrab dengan kebiasaan
membaca dan kreativitas. Jadi, menulis dan buku pada umumnya sudah merupakan
saluran kreativitas yang saya akrabi sejak kecil.
Latar belakang intelektual dan personal Anda itu pasti
berpengaruh pada visi kepengarangan Anda. Apa yang ingin Anda capai dalam dan
lewat karya-karya fiksi Anda?
Bagi saya, menulis adalah kendaraan. Di dalamnya, saya menumpangkan
minat saya, pertanyaan saya, ketertarikan saya, pergelutan saya, pengamatan
saya akan hidup, manusia, alam, dsb. Saya juga yakin ada orang-orang di luar
sana yang punya ketertarikan yang sama, minat sama, dsb. Saya ingin
berkomunikasi dengan mereka. Kalau lantas ada yang ternyata tidak sepakat atau
punya sudut pandang ya, silakan. Tapi minimal sudah ada dialog. Jadi, itu yang
ingin saya capai. Dialog. Di luar itu,
tentu menulis juga punya aspek teknis. Menulis adalah skill yang dilatih seumur
hidup. Dalam aspek ini, saya juga ingin terus berkembang. Saya ingin terus
belajar untuk menulis sebaik mungkin.
Setelah beberapa tahun menulis dan novel pertama Anda, Supernova:
Ksatria dan Bintang Jatuh, diapresiasi dan dirayakan oleh banyak orang, Anda praktis
memasuki dan sekaligus menjadi figur di dalam sebuah arena baru dalam hidup
Anda, yakni arena sastra. Kini, belasan tahun telah berlalu sejak novel pertama
Anda itu terbit. Bagaimana pendapat Anda saat ini mengenai arena sastra yang
sekarang Anda geluti dibandingkan, misalnya, dengan arena tarik-suara yang Anda
geluti sebelumnya? Lebih praktisnya, apa yang sedang dipertaruhan dan ingin
dicapai oleh orang-orang sastra?
Salah satu yang berkesan bagi saya ketika memasuki dunia perbukuan
adalah, Supernova berhasil mempunya pengaruh atas bagaimana sebuah buku
diperkenalkan dan dipasarkan. Sebelum itu, promosi buku cenderung pasif.
Sementara saya berangkat dari dunia entertainment di mana promosi merupakan
aspek penting, dan promosi berarti harus ada upaya aktif dari penulis. Itu yang
dulu saya lakukan dengan Supernova. Dan, sampai saat ini, saya melihat
perubahan besar yang terjadi. Karena sebetulnya tidak banyak beda antara
industri buku dan industri musik. Penulis ingin karyanya dibaca, ingin karyanya
menjangkau sebanyak mungkin orang. Penyanyi/musisi juga sama. Mereka juga
senang kalau karyanya diapresiasi, diakui, mendapat penghargaan, dan bisa
menjadi sumber nafkah. Dalam level yang lebih dalam, mereka juga ingin
meninggalkan jejak perubahan dalam masyarakat. Jadi, saya tidak melihat
perbedaan yang prinsipil antara kedua industri tersebut, instrumen yang
dipilihnya saja yang berbeda. Apa yang ingin dicapai saya rasa sama-sama saja.
Dari awal karier kepenulisan Anda hingga sekarang, karya-karya fiksi
apa yang paling berpengaruh pada Anda? Apa pendapat Anda tentang karya-karya
itu dan kenapa berpengaruh?
Waktu kecil saya banyak baca buku-buku fiksi terjemahan populer seperti
Enid Blyton, Alfred Hitchcock, juga komik-komik seperti Tintin, Lucky Luke,
Asterix, dsb, yang lalu bervariasi dengan komik serial Jepang seperti
Candy-candy, Topeng Kaca, dst, termasuk baca cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma
dan cerbungnya Katyusha di Hai. Ketika kuliah saya jatuh cinta pada puisi-puisi
Sapardi dan senang membuat lirik lagu. Tahun ’98 saya membaca Saman-nya Ayu
Utami dan juga terkagum-kagum. Setelah itu saya lebih banyak membaca buku
nonfiksi, seputar tema spiritualitas, sains populer, antropologi, dsb, diselingi
dengan karya-karya fiksi. Jadi, kalau khusus fiksi saja, saya memang lebih
banyak dipengaruhi karya populer. Terutama karena memang yang saya cari dalam
sebuah karya adalah engagement, kemampuan
karya tersebut mengikat pembaca. Saya senang dengan storyteller yang baik. Dan kebanyakan storyteller yang baik bukunya memang laku, karena kalau tidak,
bukunya pasti tidak selaris itu. Dan, meski ada buku yang katanya bermutu tapi
begitu saya baca saya tidak merasa diikat oleh penulisnya, saya langsung
berhenti. Waktu saya untuk membaca, apalagi sekarang-sekarang ini, sangat
terbatas. Jadi, saya sangat selektif untuk menginvestasikan waktu.
Dalam sastra Indonesia, khususnya prosa, terdapat
pemisahan karya-karya yang dianggap Sastra (dengan ‘S’ besar atau ‘sastra
serius’) dan fiksi populer atau novel populer. Paling tidak, hal itu menjadi
kuat dan jelas pada tahun 1970an dan 1980an dengan kemunculan karya-karya Marga
T dan Mira W dan upaya pengkategorian yang dilakukan oleh Jakob Sumardjo.
Menurut Anda, apakah pemisahan semacam itu diperlukan? Kenapa dan untuk apa?
Kategorisasi dan klasifikasi tentu punya manfaat. Terutama kalau sudah
di toko buku. Kita butuh kategorisasi, kalau tidak bisa kacau dan tersesat saat
mencari buku. Dari sisi kritik sastra, juga pasti ada gunanya. Mungkin itu akan
memudahkan penilaian, tolok ukur kualitas, dll. Sebagai penulis, kadang kita
juga butuh petunjuk itu, entah sebagai panduan atau wawasan. Jadi, selama
ditempatkan dalam konteks yang bermanfaat, pemisahan tersebut punya alasan yang
riil dan praktis.
Diperlukan atau tidak, nyatanya secara umum banyak orang, atau paling
tidak saya, merasakan adanya pemisahan yang cenderung hierarkis semacam itu. Menurut pembacaan saya, pemisahan karya
didasarkan pada baik kualitas internal teks atau literer maupun ekstra-literer.
Penilaian literer biasanya berkaitan dengan ‘kedalaman’ dalam isi dan
eksperimen dalam bentuk. Sedangkan ekstra-literer biasanya berkaitan dengan
pasar atau kapitalisme. Kadang-kadang, pemisahan yang lebih tegas menyatakan
bahwa karya Sastra itu seni dan fiksi populer bukan-seni. Bagaimana pandangan
Anda tentang hal itu? Menurut pembacaan Anda sendiri, apa yang membuat sebuah
karya disebut sebagai Sastra atau fiksi populer?
Saya tidak merasa ahli dalam hal ini. Tapi, yang saya amati adalah,
sastra kadang melibatkan faktor waktu. Ada buku-buku yang pada masanya dianggap
populer, dan bahkan dicemooh oleh kritikus sastra pada masa tersebut, tapi
setelah lewat sepuluh-dua puluh-tiga puluh tahun, karya tersebut menjadi klasik,
dan oleh generasi yang baru buku tersebut dikategorikan sebagai sastra. Jadi,
kadang-kadang status “sastra” adalah pencapaian bagi buku yang terbukti tak
lekang waktu, yang mampu menancapkan eksistensinya menembus zaman. Konten
menjadi relatif. Apa yang dianggap nonsastra (bahkan ada yang menganggap
Shakespeare karya picisan pada zaman tsb), terkadang hanya perihal selera pada
era tertentu. Jadi, sastra vs nonsastra terkadang sifatnya fluid dan relatif. Secara umum, tentu sastra konon punya makna yang
lebih dalam, penggunaan bahasa yang lebih serius, dan juga banyak lapisan
interpretasi yang bisa dijadikan perenungan/diskusi. Sementara fiksi populer,
konon menggunakan bahasa yang lebih ringan, tidak banyak permainan makna dan
lebih superfisial. Tapi, kenyataannya memang banyak variasi karya di luar sana
yang menggunakan berbagai elemen campuran, jadi perbedaannya kadang-kadang
tidak sesederhana dua pilihan itu.
Ken Gelder dalam Popular Fiction: The Logics and
Practices of a Literary Field memperlakukan fiksi populer sebagai sebuah medan
(field, dalam pengertian yang diadopsi dari Bourdieu), bukan genre. Sebagai
sebuah medan, fiksi populer didefinisikan dan mendefinisikan-diri secara
oposisional dengan medan Sastra. Dan keduanya memiliki genre-genre beserta
perkembangannya masing-masing. Di Barat, khususnya Amerika dan Eropa, mengacu
pada buku Ken Gelder itu, posisi Sastra dan fiksi populer cukup jelas. Orang
yang masuk dalam kedua medan itu pun menyadari posisi kulturalnya. Bahkan,
mereka saling mengejek satu-sama-lain. Misalnya, berkaitan dengan jumlah
pembaca, orang-orang fiksi populer mengejek karya Sastra yang tidak banyak
dibaca, dengan pertanyaan klasik “apa bagusnya sebuah buku yang tidak banyak
dibaca orang dan hanya nongkrong di perpustakaan?” Sedangkan orang Sastra
mengejek karya-karya fiksi populer sebagai formulaic, mengikuti selera pasar,
dll. Menurut Anda, bagaimana kondisinya di Indonesia? Bagaimana Anda melihat
posisi Sastrawan dan karya Sastra vs penulis populer dan fiksi populer di
Indonesia?
Saat ini sih rasanya biasa-biasa saja. Entah itu karena saya kurang
bergaul atau bagaimana. Rasanya sekarang-sekarang ini belum ada debat yang
berarti yang membenturkan sastra vs karya populer. Apalagi jika dilihat dari
individu-individunya. Kalau sudah di festival penulis misalnya, saya sih
berbaur dengan siapa saja, mau itu yang diklaim sastrawan atau penulis populer,
demikian juga yang lain-lainnya. Dalam ajang-ajang sastra seperti Khatulistiwa
Literary Award sekalipun, kelihatan terkadang ada pembauran itu. Contohnya,
Perahu Kertas, yang jelas-jelas saya klaim sebagai fiksi populer, ternyata
sempat masuk daftar long list Khatulistiwa. Siapa yang memasukkan, penilaiannya
apa, entah. Itu salah satu contoh saja. Jadi, kalau menurut saya dikotomi itu saat
ini di Indonesia sedang tidak runcing, entah nanti.
Sastra, juga seni secara umum, meski relatif otonom terhadap apapun di
luarnya, secara terus-menerus tetap dipertanyakan fungsinya untuk masyarakat.
Menurut Anda, tanggungjawab macam apa yang dipikul seorang Sastrawan Indonesia pada
masyarakatnya? Apakah hal yang sama (seharusnya) berlaku bagi penulis fiksi
populer?
Saya termasuk orang yang percaya bahwa karya seni, termasuk sastra,
seharusnya menjadi representasi jujur atas zaman. Saya tidak setuju kalau
sastrawan atau penulis fiksi populer atau seniman dalam bidang apa pun memiliki
tanggung jawab tertentu di luar menjadi kamera yang jujur untuk memotret zaman.
Jadi, biarkan penulis yang memilih untuk memikul tanggung jawab apa, kalau mau
menjadi moralis, silakan, kalau mau galau-galauan juga silakan. Tapi itu
baiknya menjadi pilihan internal yang mereka pilih sendiri. Jangan sampai ada
aturan eksternal yang mengatur tanggung jawab seorang penulis, kecuali yang
mengandung tatanan hukum (seperti bayar pajak – yang mana berlaku bagi seluruh
wajib pajak). Sastrawan bukan profesi
suci maupun instrumen pemerintah. Sama seperti profesi umum lainnya, pada
akhirnya yang menentukan karier seorang penulis adalah dedikasi, komitmen, dan
kualitas.
Dalam dua medan yang dikotomis itu, yang seringkali direpresentasikan
secara hierarkis, bagaimana Anda melihat posisi karya-karya Anda sendiri? Seandainya
musti memilih di antara dua medan itu, lebih
memilih manakah Anda: Dianggap penulis fiksi populer karena tidak layak masuk
Sastra, tapi karya-karya Anda dibaca banyak orang sehingga mungkin visi
kepenulisan Anda lebih bisa dicapai atau dianggap penulis Sastra tapi
karya-karya Anda tidak terlalu populer di masyarakat umum?
Saya melihatnya agak lain, mungkin karena saya pernah aktif dalam
penerbitan, jadi saya melihat dikotomi tersebut lebih ke: buku laris dan
kurang/tidak laris. Lalu, ada juga buku yang critically acclaimed – yang dapat penghargaan sastra atau kritik
positif dari pengamat sastra, dan yang tidak. Sekat-sekat itu tentu tidak kaku.
Terbukti juga bahwa buku laris bisa saja dapat penghargaan sastra dan kritik
positif, sama halnya dengan buku yang tidak dilirik pengamat sastra bisa jadi
buku laris. Pilihan saya sendiri awalnya tidak pernah ada di sekat itu semua.
Saya adalah penulis yang berangkat dari keinginan untuk menuliskan apa yang
ingin saya baca.
Sejauh ini, komentar atau ulasan atas karya Anda yang
mana yang membuat Anda terkesan? Kenapa?
Sebetulnya cukup banyak. Tapi salah satu yang paling berkesan adalah
waktu Pak Budi Darma membahas Filosofi Kopi di sebuah talk show tahun 2006
bersama saya. Beliau bilang, bahwa benang merah dari karya-karya saya adalah
pencarian jati diri. Dan, memang betul. Saya senang akhirnya ada yang bisa
menyimpulkan apa yang saya kerjakan selama itu dengan begitu sederhana.
Sastra Indonesia pada dekade pertama tahun 2000an ditandai dengan booming
berbagai genre secara bergantian. Di antaranya muncul (kembali) fiksi remaja
atau teenlit, chicklit, metropop, fiksi islami & fiksi ilmiah islami, fiksi
ilmiah, “novel sejarah” dan apa yang sering disebut sebagai novel-novel
motivasi. Apa pendapat Anda tentang booming berbagai genre itu dan secara umum
perkembangan sastra Indonesia pada dekade awal abad XI ini?
Tren buku tentunya tidak lepas dari konteks global. Saya melihat
teenlit/chicklit/metropop mulai berkembang dari generasi yang sejak kecil sudah
terpapar oleh budaya global, rata-rata melek teknologi dan mahir Bahasa
Inggris, jadi itulah realitas yang mereka tahu dan familiar. Seperti yang saya
sebut sebelumnya tentang memotret zaman, ya itulah potret zaman yang mereka
punya. Begitu juga dengan fiksi islami, novel sejarah, dan motivasi. Ada tren
kultural dalam skala yang lebih besar yang kemudian mendorong terciptanya
produk-produk tersebut. Jadi, perkembangan sastra tidak pernah lepas dari
potret zaman.
Pernahkah Anda membaca karya-karya Andrea Hirata dan
Habiburrahman El Shirazy? Secara umum, apa pendapat Anda tentang karya-karya
mereka?
Andrea sudah. Habiburrahman belum, tapi saya tahu versi-versi filmnya.
Dalam kapasitas penulis, saya tidak bisa komentar banyak, berhubung kurang
lebih saya mengerti proses kreatif yang terjadi, pergelutan umum yang dialami
kebanyakan penulis, dsb. Dan bagi saya karya mereka baik-baik saja, laris
karena mungkin banyak pembaca yang merasakan ada koneksi dengan cerita mereka
dan sedang berada dalam momen tren yang tepat. Itu saja. Mungkin akan beda
kalau saya punya sudut pandang lain, sebagai kritikus misalnya. Tapi, saat ini
saya tidak punya.
Jika Anda diharuskan untuk menempatkan karya-karya
kedua penulis itu ke dalam sastra atau fiksi populer, di manakah Anda akan
menempatkannya? Dan kenapa?
Ini selalu menjadi pertanyaan membingungkan bagi saya, karena saya bukan
orang yang terlampau hirau dengan soal kategori. Apalagi saya belum baca buku
Habiburrahman El Shirazy jadi rasanya makin tidak valid. Dengan karya Andrea,
buat saya lebih mencolok permasalahan kefiksiannya ketimbang sastra atau
nonsastra. Karena, saya menangkap bahwa buku Andrea dekat sekali dengan
otobiografi (khususnya yang seri Laskar Pelangi), jadi sebetulnya fiksi atau
nonfiksi? Kalau buku lainnya, secara umum, saya mungkin akan menempatkannya
dalam sastra, bukan karena saya betulan paham, tapi rasanya lebih pas demikian
ketimbang nonsastra.