Tuesday, December 16, 2014

Majalah HELLO! | Karya & Keluarga | Oktober, 2012 | by Risty Nurraisa


SEPUTAR KARYA 

Selamat atas diputarnya film Perahu Kertas 1 dan 2. Bisa diceritakan bagaimana perasaan Anda ketika menyaksikan sendiri film yang diangkat dari novel Anda, dan script-nya dibuat oleh Anda? Saat menyaksikannya, apakah Anda menempatkan diri sebagai penonton, atau sebagai penulis, dan bagaimana Anda menggambarkan kepuasan Anda terhadap film ini? 

Dalam hal ini rasanya tak terelakkan kalau saya akan melihat film Perahu Kertas dari berbagai perspektif sekaligus. Bagi saya pribadi, Perahu Kertas menjadi film adalah mimpi besar yang jadi kenyataan, karena dari sejak tahun 1996 saat saya menulis Perahu Kertas pertama kali di bangku kuliah, saya sudah menyimpan impian bahwa cerita Perahu Kertas satu saat akan bertransformasi dalam bentuk "motion picture" entah itu di layar kaca atau lebar. Dan akhirnya di 2012 ini, mimpi itu menjadi kenyataan. Terharu rasanya. Sebagai penonton, saya merasa Perahu Kertas memiliki unsur-unsur yang saya cari dan sukai dalam sebuah film. Saya memang penyuka genre drama, dan saya suka drama yang membuat saya tertawa, terharu, dan merenung. Sebagai sebuah film, saya merasa mendapatkan itu semua dari Perahu Kertas. Sebagai penulis skenario, saya lebih memerhatikan aspek teknis, bagaimana eksekusi skenario ke gambar, interpretasi aktor dan aktris yang membawakan, properti, wardrobe, dsb. Jadi, lebih ke detail teknis. Dan semua kesan itu simultan saya rasakan saat menonton Perahu Kertas. 

Bagaimana perbedaan kenikmatan antara menulis novel dan skenario? Apakah nantinya Anda juga berniat untuk semakin mendalami profesi sebagai penulis skenario? 

Ada keasyikan tersendiri dalam menulis skenario. Bagi saya, penulisan skenario lebih mekanistis, saintifik, dan baku rumusnya ketimbang menulis novel. Jadi, keasyikannya adalah bagaimana memuat cerita yang lebih "organik" di novel menjadi sebuah struktur skenario. Kayak main puzzle jadinya. Saya nggak merencanakan secara pasti akan menulis skenario atau tidak. Yang jelas, core kepenulisan saya ada di buku. Dan saya masih punya pe-er besar menyelesaikan serial Supernova. So, saya ingin fokus dulu di buku. Jika sudah ada keleluasaan untuk mengulik skenario, dan kesempatannya ada, mungkin saya akan menulis skenario lagi. 

Film Rectoverso akan segera diluncurkan, dan disutradarai oleh lima artis wanita. Apakah Anda juga terlibat dalam pemilihan kelima wanita ini? Jika iya, apa yang membuat Anda sreg dengan mereka? 

Rectoverso adalah murni proyeknya Marcella Zalianty. Marcella yang sudah punya ide duluan untuk menggarap film dengan empat artis perempuan, dan mereka tinggal mencari cerita. Marcella kemudian mengontak saya, menanyakan saya punya materi cerita atau enggak. Marcella ingin menggarap film tentang cinta tapi dari berbagai perspektif. Saya lalu teringat Rectoverso. Akhirnya saya kirimkan bukunya, dia baca dan tertarik. Marcella yang lalu memilih sendiri cerita-cerita mana yang akan digarap. Secara formal saya nggak terlibat dalam Rectoverso, walaupun terkadang dimintai konsultasi dari waktu ke waktu. Jadi, keterlibatan saya lebih konsultan informal saja. Semua keputusan kreatif, strategis, maupun hal lainnya ada di tangan Marcella dan Keana Production. 

Santer terdengar bahwa Madre juga akan difilmkan. Ketika membuat novel-novel ini, apakah Anda pernah bermimpi bahwa semuanya akan diangkat ke layar lebar? Atau proyek-proyek ini memang seperti 'bonus' bagi karya-karya Anda? 

Layar lebar tidak pernah menjadi tujuan saya. Sebatas mengangan-angankan saja sih pasti pernah. Tapi tidak menjadi target. Dalam hal ini, posisi saya lebih pasif. Jika ada yang tertarik lalu menawarkan untuk membeli rights adaptasi, dan kemudian kami menemukan kesepatakan, ya sudah, dijalankan. Bisa dibilang memang pemfilman, dsb, hanya bonus bagi saya. Karena inti pekerjaan saya sebenarnya bukan di sana. Film adalah karya seni format lain lagi. Saat menulis buku, ya, saya hanya fokus pada format buku. 

Sejauh apa keterlibatan Anda dalam pembuatan film Rectoverso dan Madre? 

Sama seperti Rectoverso, dalam Madre saya juga hanya melepas rights adaptasi. Madre akan ditulis skenarionya dan disutradarai oleh Benny Setiawan. Jadi, film Madre akan menjadi murni karyanya Mas Benny. Kalau memang ada yang perlu ditanyakan, atau butuh kejelasan tertentu mengenai cerita, saya membuka diri untuk ditanya kapan pun. Jadi, sekali lagi, hanya sebatas konsultan informal saja. 

Adakah novel yang akan Anda luncurkan atau mulai tulis dalam waktu dekat? 

Setelah ini saya berencana untuk meneruskan seri Supernova berikutnya, Gelombang. Tapi belum saya mulai prosesnya, karena akhir tahun ini saya mau pindah rumah dulu. Setelah settled di rumah baru dan beres-beresnya kelar, yang mungkin akan makan waktu bulanan, barulah saya bisa menulis lagi. 

Jika Anda memiliki pesan kepada penulis pemula, apa yang ingin Anda sampaikan? 

Tulislah buku yang ingin Anda baca.

SEPUTAR KELUARGA 

Banyak penulis membutuhkan tempat yang tenang untuk mengeluarkan idenya. Dengan memiliki dua anak, bagaimana Anda menyiasati agar perhatian Anda kepada si kecil tetap maksimal, namun karya-karya Anda juga tidak terbengkalai? 

Bagi saya itu proses adaptasi panjang, dan tidak ada rumusnya. Setiap saat situasinya bisa berbeda, dan butuh penanganan yang berbeda juga. Dulu, misalnya, saat Keenan masih kecil dan saya harus menulis Perahu Kertas, saya sampai harus menyewa kamar kos dekat rumah untuk saya jadikan "kantor". Saat punya anak kedua, Atisha, saya nggak bisa melakukan hal yang sama lagi, jadi saya lebih bersiasat untuk menulis dengan durasi pendek-pendek tapi sering. Dan selalu ada harga yang harus dibayar. Jadi, susah sekali mewujudkan kondisi ideal di mana perhatian pada anak tetap maksimal sementara berkarya jalan terus. Harus saya akui, jika saya menulis intensif, perhatian saya pada keluarga otomatis sedikit berkurang, dan perlu pintar-pintar untuk menyelipkan waktu di mana saya membayar utang atensi saya pada mereka. 

Anda dan keluarga menjalani pola makan sehat. Sulitkah untuk memberi pengertian kepada anak-anak betapa pentingnya menjalani pola makan sehat, mengingat anak-anak kadang tertarik untuk jajan atau makan junk food? 

Sebetulnya keluarga kami nggak steril-steril amat sih soal jajanan. Walaupun mereka jarang makan fast food, nggak pernah minum soda atau makan permen, tapi kalau jajanan seperti snack komersil di supermarket, ya, beli juga. Tapi kami membiasakan disiplin seperti: ngemil boleh, tapi selesaikan makan besarnya dulu. 

Anda adalah seorang istri, ibu, dan penulis. Bagaimana Anda menjalani semua peran tersebut secara seimbang? 

Seperti yang saya bilang tadi, nggak ada rumus idealnya. Bagi saya, menjalani multiperan adalah perjalanan panjang trial and error. Barangkali justru yang perlu dipahami pertama kali adalah, menerima bahwa saat bermulti peran, tidak bisa selamanya proporsi tersebut seimbang. Yang ada malah jadi stres karena kita mengharapkan segalanya berjalan sempurna dan proporsional terus menerus. Menurut saya keseimbangan semacam itu malah tidak realistis. 

Bukan bermaksud mengungkit, namun saya sangat tertarik melihat keharmonisan antara keluarga Anda dan keluarga mantan suami Anda, Marcell. Sepertinya, tak banyak pasangan yang sudah berpisah dapat tetap menjaga hubungan baik. Apa rahasia atau prinsip Anda dalam menjaga hubungan baik ini? 

Sepertinya yang menentukan adalah bagaimana kondisi saat perpisahan itu terjadi. Sebelum saya dan Marcell resmi berpisah, kami sudah terlebih dulu tiba di titik ikhlas untuk melepas dan bisa berteman. Jadi, yang kami teruskan sekarang adalah hubungan persahabatan kami. Dengan adanya anak, kondisi tersebut juga semakin menentukan. Penting bagi anak kami untuk tumbuh besar dalam suasana yang kondusif. Kami juga tidak menanamkan stigma pada Keenan bahwa perpisahan adalah hal yang buruk atau aib. Sekarang ini, Keenan merasa memiliki keluarga yang ekstra besar. Dengan percaya diri dia selalu berkata pada orang-orang bahwa dia punya dua papa dan dua mama.