Anda seorang penyanyi
sekaligus penulis yang produktif. Mana yang lebih awal Anda jalani?
Musik duluan. Saya mengawali karier musik dari umur 17 tahun (thn
1993). Awalnya menjadi backing vokal untuk Iwa K, P Project, Harvey Malaiholo,
Java Jive, Chrisye, dan sebagainya.
Apakah Anda mendapatkan dua kemahiran itu
dari bakat yang turun di keluarga? Siapakah yang juga penyanyi dan/atau penulis
di antara mereka?
Keluarga saya memang pencinta seni. Kakak saya, Imel, adalah seorang pianis/vokalis
jazz profesional yang juga udah bikin album. Adik saya, Arina, adalah vokalis
dari band Mocca. Kakak saya, Key, adalah seorang sutradara dan penulis
skenario. Kalau yang menulis buku memang hanya saya. Kedua orang tua saya
memang selalu mendorong kami untuk belajar musik sejak kecil. Ayah saya adalah
seorang pencerita yang sangat baik, walaupun nggak nulis buku. Beliau juga
senang bernyanyi dan bermusik meski otodidak.
Saat ini, mana yang dorongannya lebih
kuat dalam diri Anda: menyanyi atau menulis? Mengapa?
Dalam pengalaman saya, dorongan itu datang bergantian. Cuma sejak
menulis Supernova tahun 2001, saya memang lebih intens menulis. Ada satu hal
dalam dunia penulisan yang membuat saya lebih nyaman, yakni keleluasaan untuk
rileks dan jadi diri sendiri. Menyanyi punya sisi glamor, sisi ‘nampil’, yang
ternyata saya nggak selalu nyaman melakukannya. Saya senang rekaman dan membuat
musik, tapi untuk performing saya nggak merasa punya semangat yang tinggi untuk
itu. Selain itu, sejauh ini ide yang lebih sering muncul belakangan adalah ide
menulis ketimbang musik.
Anda memilih label indie untuk
menerbitkan buku-buku, bahkan mendistribusikan sendiri buku-buku itu, dan
terbilang sukses. Sudah berapa buku? Bagaimana ceritanya?
Sebetulnya saya cukup banyak bekerja sama dengan para penerbit selama
ini, salah satunya yang masih bertahan hingga sekarang adalah GagasMedia dan
Bentang Pustaka. Hanya seri Supernova (1-3) yang masih saya jalankan sendiri
bersama Truedee Books. Awalnya sih bisa dibilang ‘kecelakaan’. Waktu itu saya
punya manuskrip Supernova, dan saya nggak cukup pede untuk bawa ke penerbit.
Teman saya ada yang mencoba, lalu katanya naskah tersebut harus antre dulu
beberapa bulan, sementara target saya adalah menerbitkan Supernova sebagai
hadiah ulang tahun bagi diri sendiri (Januari 2001). Ya sudah, akhirnya saya
terbitkan sendiri. Dulu memang nggak kebayang ternyata animonya sebesar itu.
Apa buku Anda yang, menurut Anda sendiri,
paling spesial dan menunjukkan pencapaian tertentu? Siapa penulis atau tokoh
yang memengaruhi Anda?
Agak susah memilih, karena setiap buku punya karakter tersendiri dan
juga prestasi tersendiri. Secara historis sih ya tentu buku pertama, karena
saya belajar banyak dari sana, baik sebagai penulis maupun sebagai penerbit. Saya
mengagumi Ayu Utami dan Sapardi Djoko Damono. Buku Ayu, Saman, menjadi salah
satu pendorong saya untuk berani menulis buku. Sementara dari Sapardi, saya
banyak belajar tentang kreativitas, membuat metafora, dsb.
Sedangkan untuk album, sejak
masih bersama grup RSD sampai akhirnya solo karier, mengapa Anda tak memilih
jalur indie pula?
Untuk RSD saya memang sejak awal sudah dibina oleh perusahaan rekaman
yang mengontrak kami. Bahkan perusahaan rekaman tersebutlah (Warna Musik –
Adjie Soetama/Adi Adrian) yang membentuk RSD pertama kali. Jadi memang jalurnya
sudah seperti itu. Waktu solo karier, justru saya indie. Album solo saya
pertama Out of Shell diproduksi sendiri, hanya distribusinya aja saya kerja
sama dengan perusahaan distributor, karena saya nggak punya SDM untuk
menjalankannya sendiri. Album kedua saya, Rectoverso, kebetulan bergabung
dengan buku, jadi kasusnya agak lain. Tapi itu pun saya terlibat sebagai
produser dan pemodal.
Anda berdarah Batak, lahir di Bandung,
tinggal di Serpong, cari duit di Jakarta (Twitter said so ;p). Bagaimana Anda menjalani ini? Apa kesibukan Anda di Jakarta?
Hahaha... inget aja lagi. Bertahun-tahun saya memang bertahan di
Bandung, walaupun teman-teman yang di industri sama sudah banyak yang pindah ke
Jakarta karena memang lebih memudahkan. Tapi setelah anak saya, Keenan, masuk
TK, saya mulai berpikir ulang. Soalnya, karena harus pulang-pergi terus, saya
jadi sering ninggalin Keenan di Bandung, tapi kalau dia dibawa, dia sering
bolos sekolah. Akhirnya saya “menyerah”, pindah ke Jakarta juga. Dan setelah
menikah dengan Reza, yang orang Jakarta, ya semakin kuatlah alasan untuk
tinggal di sini. Saya memilih tinggal di daerah suburb karena saya memang
senang daerah yang masih hijau, tenang, relatif sepi. Di Bandung pun saya
tinggalnya di daerah pegunungan. Tinggal di tengah kota nggak begitu cocok buat
saya. Reza juga kebetulan prinsipnya sama. Hingga akhirnya kami memilih tinggal
di BSD.
Ketika terjebak dalam kemacetan, apa hal
yang paling produktif yang bisa Anda lakukan?
Meditasi.
Sebagai seorang Buddha,
bagaimana Anda memahami meditasi dalam konteks kehidupan saat ini yang penuh
gegap-gempita dan persaingan?
Sebetulnya, terlepas dari Buddhis atau bukan, untuk kehidupan zaman
sekarang, saya ingin sekali menganjurkan ke semua orang untuk bermeditasi.
Stimulasi eksternal di kehidupan modern ini begitu intens. Orang dipacu untuk
terus cepat, instan, sibuk, dsb, makanya tingkat stres tinggi, penyakit
degeneratif juga merajalela. Karena orang nggak lagi dibiasakan untuk ngerem
dan berhenti. Meditasi adalah penyeimbang yang bisa bikin manusia modern tetap
“waras”. Syukur-syukur bisa sampai pencerahan, haha! Tapi minimal untuk bisa
berfungsi secara optimal, baik secara mental, emosional, dan fisik, meditasi
sangat diperlukan. Bagi saya, meditasi bukan lagi sekadar unsur agama tertentu
saja, tapi harusnya sudah menjadi bagian keseharian, sama halnya seperti kita
berolahraga, atau makan. Kebanyakan orang sudah mulai melek dengan pola hidup
sehat, makan sehat, dsb, tapi masih sedikit sekali orang yang memasukkan
meditasi ke dalam kebutuhan keseharian. Bahkan di kalangan Buddhis sekalipun,
praktisi meditasi masih menjadi minoritas.
Di Jakarta dan sekitarnya,
apakah Anda mengalami kesulitan untuk berbelanja kebutuhan vegetarian? Anda
memasak sendiri? Dari mana memperkaya menu-menu dan mendapat resep-resepnya?
Karena sekarang ini saya lagi hobi masak, otomatis jadi lebih sering
bikin makanan sendiri. Nggak sulit sih, walaupun nggak banyak toko yang jual
bahan vegetarian, tapi karena sedikit itulah networkingnya justru malah bagus.
Ada direktori khusus yang bisa dicari di internet untuk petunjuk restoran/toko
bahan vegetarian. Di BSD aja ada beberapa. Kalo menu dan resep saya modifikasi
sendiri dari resep-resep nonvegetarian. Dan sebetulnya makanan Indonesia asli
banyak yang vegetarian friendly. Apalagi di sini tahu tempenya murah dan enak.
Bagaimana Anda pertama kali meyakinkan
orang lain bahwa vegetarian adalah pilihan hidup yang sehat dan mengasyikkan?
Kalau saya nggak pernah meyakinkan siapa pun. Apa pun yang saya jalankan dan rasakan manfaatnya, saya share sebisa
saya. Entah itu lewat artikel, twit, atau blog. Kalau ada yang tertarik ya
syukur, kalau enggak ya nggak apa-apa.
Jika Anda diminta memilih, lebih suka Dee
yang ketika remaja atau Dee yang sekarang? Mengapa? Apa pula yang Anda sesali
dari masa lalu?
Saya senang Dewi yang hari ini. Karena Dewi yang dulu sudah nggak ada.
Setiap orang berubah hari bahkan setiap saat. Kalau saya bertahan atau terikat
pada Dewi yang dulu, nggak akan bisa menikmati hari ini. Apa yang terjadi di
masa lalu membentuk saya apa adanya hari ini. Hargai sejarah, jalani hari ini,
dan siapkan masa depan, secara proporsional (kebanyakan planning juga stres,
hehe). Itu prinsip saya.
Anda sering mondar-mandir
Jakarta-Bandung. Bagaimana respon Anda ketika KA Parahyangan yang legendaris
itu akhirnya distop operasionalnya? Mana yang paling Anda suka: naik kereta
itu, travel, bis, atau berkendara sendiri Jakarta-Bandung?
Perkembangan zaman kan nggak bisa dibendung. Sejak ada Cipularang,
otomatis orang akan lebih menemukan kenyamanan dan keleluasaan untuk bepergian
Jakarta-Bandung. Jadi yah wajar-wajar aja kalau terjadi perubahan. Tentunya
sebagai bagian dari memori, saya trenyuh juga dengan tiadanya lagi KA
Parahyangan. Tapi sebagai bagian dari perubahan itu sendiri, ya diterima saja.
Saya lebih suka berkendara sendiri (pakai sopir), karena lebih fleksibel. Nomor
duanya, saya memilih travel.
Membaca peta Jakarta dan sekitarnya,
menurut Anda, bagian mana di ibukota dan kota-kota satelitnya yang masih punya
harapan ditata ulang agar semenarik dan sehijau Bandung?
Bukan karena saya tinggal di BSD ya, tapi menurut saya BSD punya
peluang ke arah sana (meski Bandung jangan lagi dijadikan barometer karena
sudah tidak semenarik dan sehijau dulu). BSD menurut saya planning kotanya
cukup matang, penghijauannya cukup bagus, tinggal tunggu pohonnya besar-besar.
Yang masih perlu digarap adalah konsep green living. Lebih bagus lagi kalau di
BSD ada semacam sentra pengolahan untuk sampah organik, pusat daur ulang, dan
juga upaya-upaya imbauan dan insentif untuk listrik tenaga solar, penampungan
air hujan, dsb.