Tuesday, February 10, 2009

BINTANG INDONESIA Tabloid | Rubrik: Bintang Musik | Desember, 2009 | by Wayan Diananto

Saya mengikuti kiprah menulis lagu Dewi sejak Satu Bintang di Langit Kelam (Rida Sita Dewi, 1995), Jalanmu dan Di Sudut Malam Bisu (Bertiga, 1997) dan Tak Perlu Memiliki (Satu, 1999). Sejak kapan letupan bermusik muncul dalam diri Mbak Dee?

Saya menulis lagu sejak umur 7 tahun. Nggak jelas judulnya apa, sih. Tapi saya menyadari betapa senangnya saya merangkai kata dan melodi. Baru umur 10 tahun saya cukup “serius” menulis lagu, saya membuat mars untuk sekolah saya, judulnya “Mars SDN Banjarsari” (tapi nggak pernah berani dikasih dengar ke guru-guru, jadi saya nyanyiin sendiri dengan teman-teman), dan satu lagi “Nyiur Melambai”. Saya ajarkan ke adik-adik dan sepupu-sepupu saya, lalu kami nyanyi bersama-sama. Haha! Kebetulan saya memang bisa main piano, jadi sejak itu sampai besar saya bikin-bikin lagu aja sendiri. Baru lagu “Satu Bintang Di Langit Kelam” yang akhirnya direkam secara profesional. 

Apa bedanya bernyanyi bertiga dan kini tampil sendiri?

Wah, beda banget. Kalau nyanyi bertiga beban panggungnya dibagi tiga, dan kita tidak bisa menampilkan individualitas kita, melainkan kebersamaan grup. Jadi dari mulai dinamika, gerak, vokal, harus selalu lihat kiri-kanan biar tetap seimbang. Kalau nyanyi solo, ya, itu semua menjadi pe-er sendirian. Tapi kebebasannya juga jelas lebih luas karena kita bisa menampilkan karakter individu kita dengan maksimal. 

Rectoverso menyusul Out of Shell, perkembangan baru apa yang Anda suguhkan di album terbaru Anda?

Secara musik, Rectoverso merupakan lompatan jauh. Tidak semua penyanyi memiliki kesempatan untuk rekaman live dengan 45 musisi sekaligus. Jadi musik di Rectoverso boleh dibilang memang kualitas premium. Tapi yang menjadi pembeda Rectoverso dengan album-album yang lain adalah konsep hibridanya, yakni penggabungan fiksi dan musik yang saling melengkapi, dan menggunakan dua media yang berbeda. 

“Keresahan” seperti apa yang Anda tuangkan dalam Rectoverso?

Saya ingin menampilkan aspek romantisme saya yang selama ini hanya bisa terekspresikan secara parsial dalam karya-karya saya yang sebelumnya. Rectoverso itu seperti menulis surat cinta yang panjang. Saya tidak fokus pada penokohan atau plot, melainkan emosi terdalam yang dirasakan oleh tokoh-tokoh, baik dalam lagu maupun cerpen di Rectoverso. 

Apakah “permasalahan intern” beberapa bulan silam, turut mempengaruhi proses kreativitas Anda di album ini?

Bisa iya, bisa tidak. Saya tidak tahu pasti. Buat saya, setiap karya sudah punya nyawanya sendiri yang tidak terganggu gugat oleh keadaan si penciptanya. Tapi tentu saja setiap proses kreatif tidak mungkin 100% imun dari kondisi eksternal. Jadi pengaruhnya pasti ada, tapi sedikit atau banyak, saya sendiri tidak tahu karena semuanya sudah melebur. 

Bisakah dikatakan Rectoverso merupakan album soundtrack dari novelnya?

Konsep soundtrack tidaklah tepat untuk Rectoverso karena kedua karya dalam Rectoverso berdiri sama tegak dan bisa dinikmati secara terpisah. Sementara dalam konsep soundtrack, film menjadi yang utama dan musik sebagai pendukung tambahan. 

Menarik, ketika Anda mengganti lirik Firasat versi Marcell. Di baris terakhir dengan: “Aku pun sadari, kau tak kan kembali lagi...” Seberapa penting pergantian lirik ini?

Sebenarnya, lirik asli Firasat adalah versi yang saya bawakan di Rectoverso. Dulu di album Marcell, sengaja saya ganti supaya lagunya jadi tidak terlalu sedih. Ada masukan juga dari perusahaan rekaman Marcell saat itu supaya Firasat lebih happy-ending agar lebih gampang jualan. Jadi ketika saya memutuskan untuk membawakan ulang Firasat, inilah kesempatan saya untuk membawakan versi aslinya dengan suasana sebagaimana yang ingin dihadirkan oleh lagu tersebut. 

Adakah sesuatu yang mendasari pergantian lirik Firasat, apa yang ingin Anda sampaikan kepada penikmat musik melalui pergantian lirik ini?

Sudah terjawab di atas. 

Peluk, seingat saya pernah muncul di debut album perdana Shanty (2000). Jujur, sebenarnya saya berharap Peluk menjadi single kedua Shanty waktu itu, karena ketajaman lirik dan aransemen yang simple. Apa pertimbangan Anda mengangkat kembali lagu ini?

Sama. Dulu saya juga pinginnya lagu itu jadi single kedua Shanty karena menurut saya, lagu itu komersil tapi tetap puitis dan emosional, hehehe... Pertimbangan saya memakai ulang lagu Peluk semata-mata karena kekuatan narasi dalam liriknya bisa dikembangkan menjadi cerita. Tidak semua lirik lagu bisa difiksikan. Dan ini yang menjadi kriteria dasar lagu-lagu di Rectoverso. 

Bisa diceritakan sedikit proses kreatif Anda saat menulis Peluk?

Saya menulis lagu tersebut sekitar tahun 2000 dan niatan saya adalah membuat lagu putus yang elegan, dewasa dan nggak cengeng. Karena hampir semua lagu putus isinya terlalu dramatis dan tragis. Kalau fiksinya saya benar-benar setia pada lirik, jadi pengembangannya hanya sampai pada menciptakan suasana antara dua kekasih yang memutuskan untuk berpisah. 

Selain bersaudara, apa yang membuat Anda tertarik untuk mengajak Arina berkolaborasi dalam Aku Ada?

Saya adalah pengagum berat suaranya Arina. Menurut saya, dialah yang paling berbakat menyanyi di keluarga dan saya juga selalu berangan-angan ingin berkolaborasi dengan saudara-saudara saya. Kebetulan saya mencari karakter suara yang innocent dan seperti anak kecil untuk lagu Aku Ada. Arina adalah vokalis yang paling pas untuk itu. Duet tersebut sekaligus juga mewujudkan cita-cita saya untuk berkolaborasi dengannya. 

Malaikat Juga Tahu menjadi komposisi yang unik dan punya daya jual tinggi. Andi Rianto berada dibalik studio bersama Anda mengerjakan aransemennya. Piano dan orkestra terdengar pekat. Bisa Anda ceritakan bagaimana suasana pengerjaan lagu ini? Bagaimana kesan Anda bekerja sama dengan Andi?

Saya pengagum Andi Rianto sejak lama. Waktu saya merumuskan konsep musik Rectoverso di awal proyek ini, produser saya (Tommy Utomo) bilang bahwa khusus untuk lagu MJT, orang yang paling tepat mengaransirnya hanyalah Andi Rianto, dan saya setuju. Seperti berjodoh, Andi pun langsung jatuh cinta pada lagu itu. Secara keseluruhan, Andi sangat enak diajak kerjasama, dia idealis tapi masih punya ruang untuk diskusi. Suasana pengerjaan lagu tersebut dan juga semua lagu di Rectoverso, bagi saya, sangat sakral dan berkesan. Semua musisi memberikan yang terbaik yang mereka miliki dan itu dimungkinkan karena kita latihan cukup intensif sebelumnya, dan rekaman yang dilakukan secara live. 

Kelebihan lain dari Malaikat Juga Tahu, terletak pada video klipnya yang bagus. Sejauh mana campur tangan Anda dalam video klip tersebut?

Sejujurnya, saya hanya membekali sutradara dengan cerita pendek MJT dan berpesan agar video klipnya mengikuti cerita. Saya beruntung karena Lukman Sardi sangat antusias ingin mengambil peran dalam video klip tersebut, dan Lukman bermain dengan sangat cemerlang. 

Eksplorasi Anda di Rectoverso patut mendapat apresiasi positif. Single Cicak di Dinding, terdengar 'tengil' tapi pemaknaan Anda pada cinta membuat banyak orang termenung. Bisa Anda ulas sedikit, lagu ini untuk pembaca Bintang?

Kita cenderung melewatkan hal-hal kecil tapi sebetulnya dalam sesuatu yang kita anggap remeh, banyak sekali makna yang bisa digali. Cicak di Dinding adalah penggambaran situasi sederhana dimana kadang-kadang benda mati atau hewan kecil yang sering kita abaikan malah punya tempat yang sangat spesial, yang tidak bisa kita miliki. Contohnya, ketika kita jadi pengagum rahasia, rasanya kita rela memberikan apa saja demi jadi cicak di tembok orang yang kita kagumi. 

Berapa lama Anda mengerjakan album ini?

Rekamannya sendiri hanya 4 hari karena semua direkam secara live. Tapi pengerjaan dari mulai konsep sampai mastering butuh waktu 1,5 tahun. 

Seorang sutradara film Indonesia sempat mengenang dan terkesan pada susunan lirik Malaikat Juga Tahu. Khususnya pada baris: "Andai wajahku diganti..." Jika sekarang Anda dibatasi lima kata saja. Kata-kata apa yang akan Anda pilih untuk menggambarkan Rectoverso?

Air mata, hati, pulang, pergi, berharap. 

Musik Dee itu musik yang seperti apa sih?

Maksudnya yang saya suka? Kebanyakan saya menyukai genre singer/songwriter, karena biasanya karya-karya di genre ini kuat, menyentuh, dan berkarakter. Contoh: Sarah McLachlan, Paula Cole, Corrinne May, Indigo Girls. Saya suka lagu dengan lirik yang kuat dan melodius. 

Dari mana saja inspirasi menulis lagu dan lirik di album ini? Apakah inspirasi juga datang dari anak?

Inspirasi datang dari mana saja, termasuk juga dari anak dan orang-orang di sekitar saya. Umumnya setiap saya berkarya, selalu diinspirasikan 4 hal: pengamatan, pengalaman hidup sendiri, pengalaman hidup orang lain, dan imajinasi.