1. Kenapa tertarik mempelajari spiritualisme?
Spiritualitas (atau spiritualisme) menurut saya adalah dorongan evolusi yang alamiah ada dalam setiap manusia, karena ketertarikan seseorang akan spiritualitas dimotori oleh inti kebenaran yang bersemayam di setiap makhluk. Jadi semua manusia dan semua makhluk pasti akan bermuara ke sana. Hanya karena tidak semua berangkat dan berjalan dengan kecepatan yang sama, jadi perjalanan spiritual seseorang secara permukaan sangat bervariasi, tergantung karma masing-masing. Jadi kalau ditanya ‘kenapa’, saya tidak tahu pasti, selain menjawab bahwa pencarian ke dalam diri adalah dorongan evolusi yang alamiah. Demikian jugalah yang terjadi pada diri saya.
2. Dari mana Mbak Dee mempelajarinya?
Epifani saya yang pertama terjadi tahun 1999 akhir, saya tidak mempelajari dari mana-mana, selain mendengarkan suara ilahi yang muncul sendiri dalam batin saya. Seperti orang mengobrol dan bercakap-cakap. Namun dari sana, keingintahuan saya tentang bagaimana manusia mempersepsikan Tuhan dan kebenaran jadi sangat kuat, dan akhirnya saya mempelajari semua agama, aliran, dsb, dari buku-buku dan juga berdialog. Tahun 2006 saya mulai mempelajari meditasi secara lebih mendalam.
3. Sebenarnya, spiritualisme itu kan suatu hal yang personal, tapi sekarang berkembang menjadi sesuatu yang universal. Misalnya, diterapkan dalam bisnis. Apakah Mbak Dee juga melakukan hal serupa? Bisa diceritakan? Berhasilkah langkah tersebut?
Spiritualitas sesungguhnya tidak mengenal sekat. Sekali seseorang mengenal dan mengetahui diri sejatinya, otomatis apa pun yang ia kerjakan pasti bernuansakan ‘itu’. Intinya, lebih percaya pada kata hati. Saya sendiri tidak merasa melakukan langkah khusus tertentu, selain menjalankan hidup seapa-adanya mungkin, dan percaya bahwa setiap langkah dan dinamika memiliki manfaat bagi pembelajaran jiwa saya, baik itu yang pahit, manis, atau sedang-sedang saja.
4. Manfaat spiritualisme dalam kehidupan sosial?
Menjadi orang yang lebih apa adanya, tidak melekat, tidak berkubang dalam penderitaan, dan lebih humoris. Setidaknya itu efek yang saya rasakan.
5. Apakah Mbak Dee setuju jika Indonesia dikatakan sebagai pusat kebangkitan spiritual? Alasannya?
Saya pernah mendengar ‘selentingan’ demikian. Saya tidak tahu validasinya dilihat dari faktor apa. Tapi saya rasa, kebangkitan spiritual adalah gejala yang mendunia.
6. Apa yang sebaiknya dilakukan oleh para pembaca yang tertarik dengan spiritualisme?
Mereka bisa mulai dengan membaca dan berdialog, tapi lebih penting lagi adalah berani menanggalkan semua pengetahuan kita dan terjun ke dalam diri melalui meditasi, misalnya, alias praktek. Karena spiritualitas yang hanya menjadi wacana juga bisa menjadi jebakan tersendiri.
7. Dengan naiknya harga minyak, bahan pangan, demo dimana-mana, politik kantor yang semakin menggila, dll, membuat banyak orang rentan terserang stress. Apa yang dapat dilakukan agar dapat menghindari, atau setidaknya, mengurangi stress, sehingga bisa menjadi pribadi yang lebih baik (lebih berupa tips dari sisi spiritual)?
Inti spiritualitas sesungguhnya hanya satu: hidup di saat ini. Semua stres yang kita alami cuma bersumber dari dua hal: beban masa lalu dan kekhawatiran akan masa depan. Dengan memahami dan mengalami bagaimana hidup di ‘saat ini’ alias ‘in the now’, segala stres yang berlebih akan runtuh dengan sendirinya. Tidak semua orang bisa terus-terusan bertahan dalam situasi batin ‘saat ini’, tapi kita bisa berlatih melalui meditasi, menjalankan hidup yang seimbang, dan banyak-banyaklah tertawa.
8. Di luar negeri, kepercayaan seperti Scientology dan Kaballah, apakah dapat disebut sebagai "buah" dari spiritualisme?
Berbeda dengan Scientology, secara historis Kaballah sebetulnya adalah aliran mistik dalam agama Yahudi yang juga merupakan akar dari agama-agama samawi (Kristen, Islam, dsb), jadi Kaballah bukan ‘produk baru’, malah sangat-sangat tua.
Maaf, kalau salah mempersepsi, tapi saya merasa pertanyaan di atas mengacu bahwa keduanya adalah produk tren. Benarkah? Saya sendiri merasa spiritualitas adalah "jantung", atau inti. Dan jika kita semakin dalam menyelami jantung kebenaran, konsep keterpisahan pun semakin kabur. Sementara di permukaan, kita kenal berbagai agama yang rasanya sangat berbeda, bersekat, dan terpisah antara satu sama lain. Orang banyak bilang, setiap agama pada dasarnya sama. Nah, dasar itulah yang, bagi saya, namanya Spiritualitas. Jadi sesungguhnya spiritualitas sendiri bersih tanpa nama, label, dan penggolongan. Dari sudut pandang tsb, bukan hanya Scientology dan Kaballah yang menjadi “buah” spiritualitas, semua agama dan kepercayaan di muka dunia, termasuk ateisme, merupakan buah dari spiritualitas.
Menjelaskan Air Mata
1 year ago