Thursday, February 12, 2009

NIRMALA | Yang Muda Yang Spiritual | Dec, 2006 | By Emma Madjid

1. Mengapa Dee belakangan ini tertarik masuk ke gerbang spiritual?

Sebetulnya proses itu sudah cukup lama, sejak akhir 1999. Dan saya merasa ketertarikan pada spiritualitas itu inheren pada setiap orang, hanya masalah momen naik ke permukaannya saja yang berbeda-beda. Pertanyaan tentang Tuhan, eksistensi, makna hidup, dan sejenisnya, memang selalu mengusik saya sejak kecil dan bolanya bergulir terus hingga sampai puncaknya pada tahun 1999. Sejak itu konsep saya tentang Tuhan dan agama berubah total. Saya memutuskan untuk melepaskan segala ‘jubah’ keagamaan dan ingin mengapresiasi hidup dari titik nol. Sejujurnya, saya sangat nyaman dengan kondisi ‘jalan tak berpeta’ tersebut. Namun setelah berkeluarga, barulah saya mulai mempertimbangkan untuk berada dalam satu koridor khusus. Saya mendapatkan banyak kecocokan dengan ajaran Buddha, walaupun itu tidak berarti saya lantas berhenti mengeksplorasi. Prinsipnya, apapun yang cocok dengan intuisi dan mencerahkan saya secara pribadi, akan saya terima. Misalnya, saya banyak sekali mendapatkan wawasan baru dan jernih dari Kabballah, juga dari sains yang berbasis monisme idealistik (mis. buku-buku Amit Goswami). Pendekatan eklektik semacam ini memang yang paling pas bagi saya. Perjalanan spiritual adalah perjalanan yang individual, meski dalam prosesnya kita dibantu oleh banyak orang dan banyak jiwa lain, hanya kitalah yang bisa merasa apa yang paling pas bagi diri kita sendiri dari waktu ke waktu.

2. Kapan pencerahan itu datang? Apakah melewati kejadian tertentu dalam hidup Dee? Atau ada yang 'ngomporin'?

Bagi saya, momen pencerahan itu tidak tunggal tapi multipel. Bukan satu peristiwa yang sekali jadi lalu selesai, melainkan proses yang berulang-ulang dan semakin dalam. ‘Gong’ pertama memang tahun 1999, tapi prosesnya terus saya jalani hingga sekarang. Pada saat itu saya memang terbentur masalah pribadi yang cukup berat, dan akhirnya itu menggiring saya untuk menggali lebih dalam makna cinta, hidup, dan Tuhan. Dan sekarang saya mengerti bahwa gerbang menuju kesejatian memang bermacam-macam, barangkali itulah gerbang yang jiwa saya pilih. Selain itu, secara umum saya memang sangat terusik dengan fenomena perseteruan agama; orang-orang bisa saling membunuh atas nama Tuhan. Dan pada saat itu tragedi Ambon sedang ramai-ramainya. Di Indonesia, bahkan dunia, sejarah manusia berdarah-darah akibat membela Tuhannya masing-masing. Itu membuat saya semakin tergerak untuk berbuat sesuatu, karena menurut saya masalah dunia ini terletak pada pemahaman dasar manusia akan Tuhan. Apa yang seseorang percaya atau tidak percaya tentang Tuhannya akan membentuk sikap dan cara pandangnya untuk berlaku di Bumi. Makanya kemudian saya menulis Supernova, novel serial yang memang dikhususkan untuk tema spiritualitas. Supernova merupakan cermin perjalanan batin saya. Saya ingin berbagi cara pandang, syukur kalau ada yang merasa cocok, kalau tidak pun tidak apa-apa. Semua makhluk menjalankan proses yang patut kita hargai.
Perjalanan saya sejauh ini dituntun alamiah oleh hidup melalui peristiwa dan hasil trial & error. Belum pernah punya sosok guru tunggal, mungkin belum ketemu. Sejauh ini saya lebih didukung oleh support system berupa buku-buku, teman-teman, keluarga, dll.

3. Apakah ada perubahan dalam diri setelah masuk ke gerbang tersebut? Tolong disebutkan.

Wah, banyak sekali ya. Karena itu tadi, saya percaya pemahaman seseorang akan Tuhan (atau non-Tuhan) itu otomatis menentukan segala hal lainnya. Prioritas saya berubah, cara saya memandang sebuah hubungan baik itu percintaan atau persahabatan juga berubah. Dalam keseharian, saya lebih menghargai proses, berusaha tidak menjustifikasi berdasarkan polaritas hitam-putih tapi berusaha mentransendensi polaritas tsb dan melihat segala hal dari esensi yang netral, bukan apa yang kelihatan di permukaan. Secara global, saya jauh merasa lebih tenang, lebih seimbang, dan lebih sehat secara fisik. Saya sangat menikmati dan menghargai hidup ini. Bukan berarti segala masalah lenyap, tapi cara pandang saya pada masalah itu yang jadi beda. Saya nggak terlalu ngoyo lagi soal pekerjaan. Dulu saya orangnya target-minded, sekarang jauh lebih rileks, dan hasilnya malah lebih baik. Intinya, saya lebih bisa menerima diri. Semakin kenal, dan semakin menerima. Proses ini tidak mudah, tapi tidak ada istilah mundur. Gampang dan susah tinggal kita yang mengkontekstualisasi. Perjalanan spiritual itu tidak kenal mundur, sama halnya dengan evolusi. Kita bisa berpencar arah, tapi semua melangkah maju dengan waktu dan kecocokan caranya masing-masing.

4. Selama ini Dee termasuk sering mengatur POLA MAKAN, dan menjalani hidup sehat, boleh dijelaskan? Demi kesehatan, makanan/minuman apa saja yang sudah dihapus?

Saya mulai jadi vegetarian lacto-ovo sejak tahun 2006. Sudah lama sih kepingin jadi vegetarian tapi ternyata tekadnya baru bulat setelah membaca hubungan hidup vegetaris dengan lingkungan hidup. Jadi alasan saya bukan semata-mata kesehatan. Saya memang lagi concern sekali dengan masalah lingkungan, dan ingin serius melakukan kontribusi. Ternyata hidup vegetarian punya dampak besar sekali. Banyak dari kita yang belum tahu bahwa industri hewan kontribusinya sangat signifikan bagi pemanasan global. Keenan, anak saya, yang justru pertama kali jadi vegetarian. Sejak umur 1 tahun dia sudah menolak makan daging. Dipaksa dan diakali seperti apapun dia nggak mau, pasti dia keluarkan dari mulutnya. Jadi ketika saya berniat vegetarian saya pikir sekalian saja, toh Keenan bahkan sudah duluan. Dan untungnya kami bisa kompak satu keluarga, masaknya jadi praktis.
Secara umum, pola makan kami tidak terlalu rigid, bahkan cenderung sederhana. Untuk konsumsi telur kami coba batasi 3x seminggu, sehari-hari lauk kami hanya tahu-tempe-sayur. Gula juga kami batasi, sebisa mungkin menggunakan gula yang lebih natural (bukan yang refined), seperti gula batu atau gula madu. Camilan Keenan juga kami usahakan tidak yang terlalu berbumbu atau berasa tajam supaya lidahnya nggak ‘kecanduan’, dia lebih sering makan rice crackers atau sereal polos. Selain itu, saya berusaha sebisa mungkin mengonsumsi makanan organik.

6. Apa makanan/minuman Andalan Dee agar selalu fit?

Air putih, sebisa mungkin yang heksagonal. Dan sayur yang dimasak tidak terlalu layu.

7. Bagaimana cara Dee menekan stres yang selalu timbul dalam aktivitas keseharian? (ini semacam tip dari Dee aja, yang Dee sering lakukan, boleh beberapa poin, kalau memang unik boleh diterangkan cara menerapkannya)

Memahami bahwa hidup ini hanya kumpulan aktor yang sedang akting, termasuk diri kita sendiri. Di Buddhisme dikenal istilah anicca, yakni tidak ada yang kekal. Stres itu timbul karena kita ingin meyakini beberapa hal itu nyata dan kekal, padahal tidak ada. Bahagia maupun sedih, senang maupun sakit, semua itu senantiasa berubah dan hidup ini cair. Melawan, kita justru tenggelam. Berenang oke, asal tidak menentang arus, karena akhirnya kelelahan.
Ketika tengah menjalani hari saya kadang-kadang suka ngomong sendiri: ‘Cut!’, dan itu menyadarkan saya bahwa hidup ini rangkaian adegan belaka. Susah atau senang itu bikinan kita sendiri. Lewat beradegan kita menerima pelajaran, dan apabila pelajaran itu selesai, maka kita beradegan baru, kalau belum maka adegannya akan diulang-ulang terus.