Tuesday, February 10, 2009

ARTI Majalah | Rectoverso | Jan, 2009 | By Darma Ismayanto

1. Tolong ceritakan seputar kumpulan cerpen terbaru Rectoverso, dan apa yang membedakannya dengan kumpulan cerpen Filosopi Kopi?

Filosofi Kopi adalah kumpulan cerita dan prosa, jadi tidak semuanya dalam format cerpen. Filosofi Kopi juga merupakan kompilasi karya saya selama sepuluh tahun (1996-2006), jadi menunjukkan juga bagaimana kepenulisan saya berevolusi dari tahun ke tahun. Rectoverso pada dasarnya adalah produk hibrida, jadi nggak bisa cuma dilihat sebagai album saja, atau buku saja, melainkan kedua-duanya seperti “saudara kembar”. Itu yang sangat membedakan Rectoverso dari karya-karya saya yang lain.

2. Selain kumpulan cerpen Mbak Dewi juga mengeluarkan album lagu terbaru, apakah ini menjadi semacam satu paket? Dalam artian masih ada keterkaitan antara kumpulan cerpen yang diterbitkan dan album yang dikeluarkan, secara esensi mungkin?

Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, lagu dan kisah di Rectoverso saling melengkapi dan saling bercermin. Jadi bukan sekadar satu paket, tapi buku dan album Rectoverso itu seperti dua sisi dari koin yang sama. Esensinya, ide dan inspirasi untuk album dan buku Rectoverso itu satu dan sama, hanya saja mengambil dua bentuk yang berbeda.

3. Bagaimana tanggapan publik terhadap “Rectoverso”?

Sejauh ini sangat bagus. Kurang dari lima bulan sejak peluncuran, buku sudah memasuki cetakan ke-4, CD juga sudah memasuki tiga kali duplikasi. Tapi di luar dari itu, saya merasa banyak orang yang tersentuh hatinya, dan itulah efek yang ingin saya timbulkan dari Rectoverso.

4. Adakah seorang Dewi mengkhususkan waktu dalam penciptaan ide kreatifnya? Contoh, Senin dikhususkan untuk cerpen, sedangkan Selasa untuk menciptakan lagu?

Nggak juga. Prinsipnya buat saya, saya nggak cari inspirasi, inspirasilah yang menemukan saya. Jadi saya nggak bisa terlalu menjadwal dan mengatur kapan saya nulis cerpen dan lagu. Pokoknya saya tetapkan rentang waktu secara kasar aja, misalnya: saya mau menyelesaikan proyek ini dalam enam bulan. Nah, bagaimana penjadwalan detail enam bulan itu saya nggak tentukan, pokoknya ya selesai. Bisa satu hari selesai dua cerpen, lalu sebulan nggak ngapa-ngapain, dst.

5. Sulit mana, membuat karya sastra atau membuat lagu?

Faktornya bukan sulit sih, tapi lagu lebih “susah” dikendalikan kapan munculnya. Benar-benar kayak kesambar petir. Saya nggak bisa ke piano lalu bilang ‘saya mau bikin lagu’ lalu lagu muncul. Saya masih bisa begitu dengan tulisan. Tapi begitu inspirasi untuk bikin lagu muncul, pengerjaannya biasanya sangat cepat. Sementara menulis buku bisa makan waktu berbulan-bulan, bahkan tahunan.

6. Sosok Dewi mulai dikenal sebagai seorang penulis melalui “Supernova”. Apa ide kreatif yang melatarbelakangi lahirnya “Supernova”? Apa juga yang melatarbelakangi seorang Dewi yang lebih dikenal sebagai seorang penyanyi berani untuk merambah ke dunia sastra?

Saya ingin berbagi saja perenungan dan pengalaman saya tentang hidup, dan juga penelusuran saya tentang spiritualitas. Saya memang hobi menulis sejak kecil, bahkan lebih dulu sebelum nyanyi. Pertimbangan semisal “banting setir” atau “merambah dunia sastra dari menyanyi” tidak ada dalam pemikiran saya sama sekali waktu itu, karena saya semata-mata hanya menjalankan hobi saya saja.

7. Belakangan kehidupan pribadi Mbak Dewi cukup menjadi sorotan di media massa, adakah hal itu cukup menggangu proses kreatif Mbak dalam berkarya?

Kebetulan waktu ribut-ribut di media massa, saya sudah menyelesaikan materi untuk album dan buku Rectoverso, jadi tinggal nunggu diterbitkan saja. Jadi, untuk proses kreatif sih nggak terganggu. Lebih mengganggu kenyamanan hidup saja, hehe. Karena saya orangnya cenderung private dan nggak suka kehidupan pribadi saya diutak-utik oleh orang-orang yang tidak saya kenal.

8. Apa rencana ke depan, setelah peluncuran kumpulan cerpen dan album terbaru belakangan?

Saya mau menyelesaikan manuskrip “Supernova: Partikel” dan juga meluncurkan novel digital saya, “Perahu Kertas”, dalam bentuk cetak. Tapi mungkin baru tengah tahun ini.

9. Khusus untuk lagu “Malaikat Juga Tahu” bisa diceritakan sedikit proses kreatifnya?

Sama halnya lagu-lagu saya yang lain, prosesnya mirip “kesambar petir”. Jadi nggak ada persiapan, tahu-tahu muncul melodi dan kata-kata di kepala. Saya ingat ide “Malaikat Juga Tahu” muncul di kamar mandi waktu sikat gigi.

10. Setelah sukses dikenal sebagai seorang penyanyi, sastrawan, apakah impian lainnya yang masih ingin digapai seorang Dewi?

Dua bidang inilah, musik dan kepenulisan, yang memang saya bisa. Jadi secara profesi saya sudah menemukan jalan saya. Di luar dari itu, saya lebih ingin memperdalam hobi dan minat-minat saya pribadi, seperti memasak, meditasi, traveling, dsb.