Baiklah, saya ingin mulai dengan
satu pertanyaan. Semacam konfirmasi saja, dari petikan Milan Kundera. Dia
bilang, "Spirit novel adalah spirit kontinuitas: setiap karya adalah
jawaban karya terdahulu; setiap karya mengandung pengalaman novel
sebelumnya." Saya kira yg dimaksud Kundera, selain novel yang kita tulis
sendiri, adalah juga karya penulis lain yang kita baca. Secara sengaja, atau
tidak sengaja, spirit karya siapakah yang Anda "lanjutkan"? Atau Anda tak
setuju dan tak peduli pada Kundera tadi?
Sepertinya
pendapat saya senada, walau tak persis sama. Saya sendiri percaya bahwa
pengetahuan yang kita miliki, demikian juga opini dan persepsi, sesungguhnya
merupakan "kain perca" yang terdiri dari pecahan pengetahuan, opini,
dan persepsi orang lain yang kita baca, dan seterusnya. Jadi, segala ide yang
dimiliki oleh setiap orang selalu merupakan kontinuitas dari ide-ide yang hadir
sebelumnya. Supernova, bagi saya pribadi, adalah bukti nyata dari kenyataan
itu. Dia adalah karya yang organik, yang tumbuh bersama dengan penulisnya.
Tidak ada pemikiran maupun karya tunggal yang saya teruskan, melainkan banyak
karya dari banyak penulis. Agak sukar saya sebutkan terperinci satu demi satu.
Untuk contoh saja, novel terbaru saya "Partikel", mengusung pemikiran
Dr. Birute Galdikas, Graham Hancock, Andrew Collins, Terrence McKenna, Albert
Hoffman, dan masih banyak lagi yang karya-karyanya menjadi bahan riset saya.
Tanpa mengabaikan Filosofi Kopi, Perahu Kertas, Madre dan Rectoverso (yg terakhir ini satu-satunya karya Anda yang belum saya baca), empat seri Supernova menunjukkan kelas Anda sebagai novelis. Apa dan atau siapa yang membuat Anda menulis? Saya curiga jangan-jangan Anda menulis karena muak dengan novel-novel yang pernah Anda baca? Semacam wujud kemarahan 'hei, begini seharusnya sebuah novel ditulis!'?
Tanpa mengabaikan Filosofi Kopi, Perahu Kertas, Madre dan Rectoverso (yg terakhir ini satu-satunya karya Anda yang belum saya baca), empat seri Supernova menunjukkan kelas Anda sebagai novelis. Apa dan atau siapa yang membuat Anda menulis? Saya curiga jangan-jangan Anda menulis karena muak dengan novel-novel yang pernah Anda baca? Semacam wujud kemarahan 'hei, begini seharusnya sebuah novel ditulis!'?
Cukup
tepat, sebetulnya. Walaupun energi yang muncul bukan kemarahan, melainkan gemas
dan penasaran. Topik-topik yang selama ini saya angkat di Supernova adalah
topik-topik yang selalu mengusik rasa ingin tahu saya, dan sangat minim
diangkat dalam pustaka Indonesia. Setidaknya sejauh yang saya temukan. Karena
itulah, saya setuju benar dengan apa yang dibilang penulis Amitav Gosh: "Tulislah
buku yang ingin kita baca." Ketika saya mendengar kalimat tersebut,
rasanya itu merangkum semua yang saya lakukan selama ini. Baik di bidang musik
maupun sastra. Saya semata-mata menulis buku yang ingin saya baca, dan membuat musik
yang ingin saya dengar.
Menelisik empat seri Supernova, saya
yakin banyak sekali perjalanan yang harus Anda lakukan untuk novel-novel Anda.
Pertanyaan saya, perjalanan itu Anda lakukan mengikut rancangan kisah dalam
novel Anda atau sebaliknya, Anda bepergian saja ke berbagai sudut dunia, lalu
dari sana tumbuh gagasan-gagasan, tokoh-tokoh dalam cerita Anda?
Sayangnya,
tidak banyak perjalanan fisik yang saya lakukan. Sungguh, saya amat berharap
bisa mengunjungi tempat-tempat yang saya tulis. Kenyataannya, sebagian besar
tempat tersebut belum saya kunjungi langsung. Tapi, saya merasa dianugerahi
bakat untuk menulis dengan cukup meyakinkan, hehe. Menurut saya itu tergantung angle dan porsi deskripsi yang tepat.
Tanpa terlalu berlebihan membeberkan, atau terlalu minim deskripsi. Jika pas,
maka pembaca akan merasa mereka berada di sana, dan imbasnya mereka juga ikut
percaya bahwa saya pasti pernah berada di sana. Plot saya selalu berjalan
sesuai dengan kebutuhan gagasan yang ingin saya sampaikan ke pembaca. Jika
gagasan tersebut kemudian membutuhkan perjalanan tertentu, ya, akan saya buat. Terlepas
saya pernah melakukan perjalanan yang sama atau tidak. Sering kali juga cerita
bertumbuh saat ditulis. Kalau tiba-tiba tokoh saya butuh kedalaman psikologis
tertentu, dan untuk itu dia harus
melakukan perjalanan ke satu tempat atau bertemu karakter yang spesifik, ya,
akan saya ciptakan.
Bagaimana Anda menemukan atau menciptakan tokoh dalam cerita Anda, memilih dari (saya yakin ada) sekian banyak, mengembangkan karakternya, menjaga konsistensinya, dan nanti bagaimana menghabisi mereka? Adakah tokoh yang merupakan "pecahan" dari diri Anda? Atau diri Anda yang Anda inginkan seperti karakter cerita Anda tersebut?
Ketika
sudah ditulis, sejujurnya saya tidak bisa lagi membedakan. Kadang-kadang dengan
sadar dan sengaja saya mencomot orang-orang di sekeliling saya, yang saya kenal
baik atau cuma kenal sekilas, atau bahkan hanya fisiknya saja tanpa saya kenal
sama sekali. Namun, kadang-kadang proses itu sudah tidak disadari lagi. Pastinya
ada bagian-bagian diri saya yang masuk ke dalam karakter, tapi tidak pernah
seutuhnya. Bagi saya, itu otobiografi terselubung, dan bukan itu saya inginkan
dalam fiksi-fiksi saya. Sama seperti plot, tokoh pun bertumbung seiring dengan
ditulisnya cerita. Kadang ada yang tiba-tiba jadi antagonis, padahal niat awal
saya tidak demikian. Hanya ketika ditulis, secara intuitif saya merasa tokoh
tersebut harus membuat "twist". Ada juga tokoh yang di rencana awal
saya hanya jadi pelengkap, tapi ketika ditulis mendadak dia punya dimensi
menarik yang akhirnya menuntut saya untuk memperbesar porsinya. Kejutan-kejutan
seperti itulah yang membuat proses menulis menjadi sangat menarik dan seru.
Ini teknis, saya yakin Anda
mewawancarai banyak orang-orang untuk novel-novel Anda, seperti jurnalis untuk
sebuah liputan investigasi. Atau lebih daripada itu. Bagaimana Anda mengatur
hasil wawancara itu: data, foto-foto (yang tak akan ditampilkan di novel),
rekaman, juga kesan-kesan yg terekam di hati. Anda mencicil pekerjaan menulis
Anda? Atau menumpuknya untuk dituntaskan setelah mengaanggap semua bahan telah
cukup?
Ya,
karena saya tidak punya banyak kesempatan untuk mengunjungi berbagai macam
tempat secara langsung, akhirnya saya banyak melakukan wawancara. Saya tidak
pernah persis tahu apa yang saya butuhkan untuk cerita hingga tiba waktu menuliskannya.
Saya paling hanya terbayang garis besarnya saja. Untuk itu saya selalu bertanya
sebanyak-banyaknya. Untuk mengetahui sebuah tempat, misalnya, saya bertanya
sampai ke rasa udaranya bagaimana, lembap atau kering; air di sana bagaimana,
jernih atau keruh; bagaimana rupa pepohonan dan tetumbuhan di sana, dsb. Untuk
riset pustaka kurang lebih begitu juga, saya baca sebanyak-banyaknya. Satu buku
bisa mencabangkan saya ke banyak buku lain, dan saya cerap saja semua
informasinya di memori. Begitu tiba saatnya saya menulis, biasanya pengetahuan
tersebut akan terseleksi, mana yang dituangkan dan mana yang tidak. Untuk
Partikel, saking sudah lamanya saya mengumpulkan materi, saya harus membuat
outline dulu. Berdasarkan panduan plot tersebut, maka dipilihlah informasi yang
sekiranya menunjang cerita. Tapi, tentu pada pelaksanaannya proses tersebut
berjalan organik dan banyak unsur spontanitas.
"... Supernova hanya menjamin
satu hal: perubahan cara pandang kita terhadap dunia akan berdampak besar pada
dunia, melampaui apa yang bisa kita bayangkan." Ini petikan dari
"kredo" Supernova. Saya melihat itu tersirat amat sublim dalam empat
rangkaian karya Anda: ajakan untuk lebih arif, mengubah cara pandang, melihat
dunia dgn cara yg lebih luas. Sejauh mana ajakan itu disambut oleh pembaca
Anda?
Saya
tidak pernah mengadakan riset atau polling resmi jadi tidak bisa menjawab secara
pasti, hehe. Yang jelas, dari apa yang disampaikan pembaca saat kami bertemu,
atau via internet, media sosial, dan lain-lain, banyak yang merasa hidupnya
ikut diubah karena membaca buku-buku saya. Kadarnya sudah pasti berbeda-beda.
Dan tentu bukan saya yang mengubah hidup seseorang secara langsung, melainkan
persepsi merekalah yang kemudian bergeser atau berubah akibat apa yang mereka
baca. Itu juga apa yang saya sebut di Supernova, bahwa cara pandang kita
terhadap hidup otomatis mengubah hidup kita. Life is all about perception.
Apakah sejak awal memang Supernova
dirancang jadi enam seri? Kenapa enam? Anda menyisakan dua seri lagi. Sekarang
kalau boleh buka rahasia sebagai pengarang, apakah Anda sudah punya cara menutup
rangkaian serial ini?
Sebetulnya
mengapa Supernova menjadi enam adalah perkembangan yang terjadi ketika proses
menulis berjalan. Sejujurnya, konsep awal saya adalah tiga buku. Trilogi. Buku
kedua akan bercerita tentang 4 tokoh baru yakni: Akar, Petir, Partikel, dan
Gelombang. Namun, ketika saya mulai menulis Bodhi, saya sadar bahwa materi
Bodhi sendiri volumenya sudah cukup untuk satu buku. Dan untuk menjaga
konsistensi, maka ketiga teman lainnya pun juga harus masing-masing ditulis
dalam satu buku. Akhirnya episode kedua berubah menjadi empat buku. Dan yang
tadinya trilogi menjadi heksalogi. Bagaimana saya menutupnya? Saya sendiri
tidak tahu persis, hehe. Sudah ada bayangan, tapi sifatnya masih sangat cair,
jadi masih bisa berubah walaupun saya sudah punya ancer-ancer. Untuk sementara
ini saya rasa lebih baik soal penutup dibiarkan menjadi misteri.
Baluran sains dalam karya Anda sebenarnya berpotensi untuk bikin "tidak laku". Pembaca kita tak akrab dgn isu-isu sains, bukan? Ini saya kira pertaruhan besar di edisi awal Supernova. Dan Anda memenangkan pertaruhan itu. Keberhasilan itu apakah kemudian ini ada pengaruhnya dalam proses penulisan serial berikutnya?
Memang awalnya saya sendiri tidak peduli buku itu akan laku atau tidak.
Saya menulis Supernova untuk kado ulang tahun saya yang ke-25, jadi menghadiahi
diri sendiri. Saya sudah senang menulis sejak kecil, dan sering berkhayal bahwa
satu saat akan punya buku sendiri. Saya menerbitkan Supernova untuk memenuhi
impian itu. Waktu itu, saya nggak peduli apakah 7000 buku yang saya cetak itu
akan habis dalam setahun atau sepuluh tahun. Topik sains dan spiritualitas
memang menjadi ketertarikan saya. Namun, saya tidak mengulang sains di Akar
karena memang kebutuhan cerita Bodhi tidak ke sana arahnya. Demikian juga pada Petir.
Baru pada Partikel, unsur sains muncul kembali. Jadi, ciri khas Supernova
memang bukan pada sainsnya, melainkan penelusuran spiritualnya.
Apakah Supernova sekarang jadi beban atau berkah bagi kepengarangan Anda? Maksud
saya, ketika nanti Anda merencanakan menulis karya lain diluar rangkaian
Supernova.
Saya
sudah menulis karya lain selain Supernova sejak 2006, melalui Filosofi Kopi.
Dan sesudah itu saya mengeluarkan tiga buku lain yang juga tidak dalam
rangkaian Supernova. Jadi, isu tersebut sepertinya sudah tidak relevan. Waktu
akan merilis Filosofi Kopi memang sempat deg-degan, karena itulah kali pertama
saya menulis di luar dari Supernova. Namun, ternyata sambutannya cukup baik.
Malah Filosofi Kopi menjadi lima besar di Khatulistiwa Award dan menjadi karya
sastra terbaik tahun 2006 pilihan majalah Tempo. Saya, sih, tidak ada beban
untuk berkarya apa pun. Cuma saya nggak tahu apakah akan menulis serial sejenis
Supernova lagi atau tidak.