Alasan menghadirkan buku
kumpulan cerita Madre?
Untuk membuat kumpulan cerita, butuh waktu tahunan bagi saya mengumpulkannya, karena saya menulis cerpen itu biasanya insidental. Beda dengan novel. Sejak Filosofi Kopi dan Rectoverso rilis, saya sudah punya lagi "tumpukan" karya pendek dalam kurun waktu 2006-2011, yang setelah saya hitung-hitung, volumenya cukup untuk membuat kumpulan cerita. Jadilah Madre.
Menyoal cerita Madre, ada latar belakang apa yang membuat Anda tertarik dengan roti? Ada riset khusus yang dilakukan?
Beberapa tahun terakhir saya hobi memasak, juga baking. Ingin sekali menulis tentang dunia memasak. Ide baru muncul ketika saya ikut kursus bikin roti, di sana saya dapat informai tentang ragi instan vs adonan biang. Seketika saya tertarik. Dan setelah saya riset, ternyata memang ada dimensi cerita yang saya bisa gali dan kembangkan dari sana.
Kopi sudah. Kini roti. Anda sedang tertarik dalam wacana kuliner?
Sejak dulu, sih. Kuliner selalu jadi minat saya sejak kecil. Cuma memang baru intensif saya lakukan ketika sudah berumah tangga.
Madre jadi buku kumpulan cerita ketiga selain Filosofi Kopi dan Rectoverso. Dari Anda sendiri, ada alasan tersendiri menghadirkan buku kumpulan cerita selain novel?
Seperti jawaban nomor 1 di atas, secara insidental saya cukup sering membuat karya pendek, baik itu cerpen maupun prosa. Otomatis peluang untuk membuat kumpulan cerita jadi ada. Saya ini kan penulis, bukan cuma novelis, hehe, jadi berkaryanya bukan hanya dalam bentuk novel.
Cerita yang beragam. Buku ini menjadi ajang luapan segala unek-unek Anda atas segala tema, mulai dari cinta, hubungan ibu dan janinnya, tuhan, dan lainnya. Sengaja untuk tidak mengkhususkan pada satu bahasan? Ada alasan menghadirkan sejumlah sajak dalam buku ini?
Seperti yang saya jelaskan tadi, menulis cerpen/karya pendek lainnya bagi saya insidental, tema apa yang menginspirasi saya pada momen itu, ya itulah yang saya jadikan tulisan. Baik itu cerpen atau prosa (atau yang disebut di pertanyaan sebagai sajak). Jadi tentunya tidak ada frame work untuk menyambungkan semuanya dalam satu tema, karena proses penulisannya tidak seperti itu.
Jujur saja, menurut saya, cerita yang Anda hadirkan sederhana. Tokoh yang diciptakan sederhana. Tapi kenapa Anda selalu berhasil membuat kejutan dan membikin penasaran. Menurut Anda sendiri apa kunci keberhasilan Anda?
Sejujurnya, saya sendiri nggak tahu persis apa kuncinya. Saya selalu percaya tidak ada rumusan baku di balik keberhasilan sebuah buku. Rumus dasar saya dalam berkarya cuma satu: menulis buku yang ingin saya baca. Mungkin apa yang ingin saya baca atau temukan dalam sebuah buku ternyata juga menjadi pencarian bagi banyak orang. Mengenai "sederhana" tadi, bagi saya justru keindahan lebih banyak bisa kita dapatkan dari hal-hal yang sederhana. Jadi faktor kejutan atau penasaran bukan ditentukan oleh sederhana/tidak, tapi seberapa kuat cerita itu bisa mengikat pembaca.
Harus diakui, keberhasilan buku satu menyulut tuntutan keberhasilan di buku-buku selanjutnya. Pembaca setia selalu menanti kejutan dari Anda. Bagaimana Anda menyikapi situasi ini? Bagaimana menghadapi pembaca-pembaca Anda yang over-expectation?
Saya dengarkan, kadang dijadikan pertimbangan, sekaligus evaluasi. Tapi saya nggak pernah menjadikan keinginan pembaca sebagai benchmark dalam berkarya. Seperti yang saya bilang tadi, pada dasarnya saya hanya ingin menulis buku yang ingin saya baca. Dalam posisi tersebut, saya menjadikan diri saya sebagai pembaca: apa yang ingin saya cari dari sebuah buku, metafora seperti apa yang bisa menyentuh saya, dsb, itulah yang saya terapkan dalam semua karya saya.
Kenapa memilih menulis?
Bagi saya yang utama adalah bercerita. Saya bercerita lewat tulisan dan lagu. Barangkali inti dari semua itu adalah dorongan untuk ingin berbagi. Menulis hanyalah saluran atau cara yang pas bagi saya.
Dalam proses kreatif penulisan, utamanya berkenaan dengan tema ilmiah dan historis yang kerap Anda ungkap, riset menjadi proses terbesar dan terpenting yang melatari kelahiran buku-buku Anda. Apa yang biasanya Anda lakukan? Apa kendala yang dihadapi?
Riset pustaka, wawancara, riset internet, dan apa pun yang bisa membantu saya menggali sebuah tema. Yang paling besar tentunya adalah riset pustaka alias baca buku. Kendala saat ini adalah waktu. Banyak yang saya perlu urus di rumah, terutama anak-anak, jadi harus lihai mencuri-curi waktu, dan realistis bikin target biar nggak terlalu ngoyo.
Di balik semua perdebatan, berkat Supernova Anda didaulat sebagai pengusung sains fiction. Adakah gelar tersebut menjadi beban dalam proses penulisan Anda selanjutnya?
Saya nggak pernah setuju dengan penyebutan Supernova sebagai science fiction. Genre science fiction yang saya tahu itu nggak seperti Supernova. Dalam science fiction ada realitas yang diolah dan dimanipulasi dengan sains, sementara di Supernova yang ada hanyalah tokoh yang kebetulan suka sains. Jadi sudah beda definisi sebetulnya. Tapi mungkin karena saat itu nggak ada lagi cerita lain yang ada unsur sains, jadi dengan ringannya Supernova dikategorikan sebagai science fiction.
Menulis buku (cerita pendek atau panjang) sedianya memiliki tantangan. Anda sendiri, kala menulis novel atau cerita-cerita pendek, tantangan apa yang dihadapi?
Dalam cerita pendek yang menjadi tantangan adalah plot, bagaimana kita bisa membuat grafik cerita yang bagus dan dinamis dalam ruang yang ketat. Begitu juga dalam membentuk karakter, dengan cepat kita harus membuat pembaca mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh utama. Kita punya waktu panjang untuk itu dalam novel, tapi dalam cerpen efisiensi harus kita perhitungkan dengan matang.
Apa yang menjadi tolok ukur keberhasilan Anda dalam menulis?
Pertama, jika saya puas dengan hasilnya, bisa terbawa suasana oleh ceritanya, dan bisa sejiwa dengan karakter-karakternya. Kedua, jika ada pembaca yang juga merasakan sama.
Apa proyek selanjutnya? Buku atau musik?
Supernova 4 yang berjudul Partikel.
Bagaimana dengan urusan tarik suara dan menulis lagu? Masih berhasrat menyalurkan talenta tersebut dalam album?
Masih, tapi tidak sekarang. Saat ini saya ingin fokus dulu membesarkan anak-anak, apalagi yang bungsu belum genap dua tahun. Musik itu lebih demanding ketimbang menulis karena ada jadwal promo yang lebih padat serta melelahkan. Bagi saya hal itu nggak realistis untuk saya kejar saat ini.
Banyak orang bisa menulis. Banyak yang bisa menerbitkan buku. Banyak juga yang sekadar one-hit-wonder lantas hilang. Bagaimana tanggapan Anda dengan penulis-penulis yang demikian? Faktor apa yang menjadi aral?
Banyak faktor. Bisa jadi mentok di ide, bisa jadi tertarik pada karier lain sehingga nggak ada lagi waktu untuk menulis, bisa jadi juga persaingan dalam industri. Hal seperti itu selalu terjadi dalam berbagai industri. Ya menulis, ya musik. Seleksi alam selalu ada. Saya sih yang penting industrinya yang tetap maju dan sehat supaya bisa terus men-support penulis-penulis baru, memapankan penulis yang sudah established, dan terus mengembangkan pembaca.
Selebritas, popularitas, musik, buku, keluarga, anak-anak, dan lain-lain. Masih ada impian yang ingin diraih?
Kursus merangkai bunga. Dari dulu belum kesampaian.
Menyoal teknologi komunikasi digital dan social media. Bagaimana perannya dalam mendukung kreatif Anda dan pemasaran karya Anda?
Untuk pemasaran, promosi, dan interaksi dengan pembaca, social media sangat membantu, khususnya Twitter. Namun untuk proses kreatif, bisa jadi pedang bermata dua. Terkadang saya terbantu juga oleh masukan atau input dari pembaca seputar nama karakter, informasi, dsb. Tapi Twitter adalah distraksi besar jika sudah memasuki proses nulis. Walaupun sepertinya nggak signifikan, tapi media seperti Twitter itu menyedot atensi dan energi kita.
Untuk membuat kumpulan cerita, butuh waktu tahunan bagi saya mengumpulkannya, karena saya menulis cerpen itu biasanya insidental. Beda dengan novel. Sejak Filosofi Kopi dan Rectoverso rilis, saya sudah punya lagi "tumpukan" karya pendek dalam kurun waktu 2006-2011, yang setelah saya hitung-hitung, volumenya cukup untuk membuat kumpulan cerita. Jadilah Madre.
Menyoal cerita Madre, ada latar belakang apa yang membuat Anda tertarik dengan roti? Ada riset khusus yang dilakukan?
Beberapa tahun terakhir saya hobi memasak, juga baking. Ingin sekali menulis tentang dunia memasak. Ide baru muncul ketika saya ikut kursus bikin roti, di sana saya dapat informai tentang ragi instan vs adonan biang. Seketika saya tertarik. Dan setelah saya riset, ternyata memang ada dimensi cerita yang saya bisa gali dan kembangkan dari sana.
Kopi sudah. Kini roti. Anda sedang tertarik dalam wacana kuliner?
Sejak dulu, sih. Kuliner selalu jadi minat saya sejak kecil. Cuma memang baru intensif saya lakukan ketika sudah berumah tangga.
Madre jadi buku kumpulan cerita ketiga selain Filosofi Kopi dan Rectoverso. Dari Anda sendiri, ada alasan tersendiri menghadirkan buku kumpulan cerita selain novel?
Seperti jawaban nomor 1 di atas, secara insidental saya cukup sering membuat karya pendek, baik itu cerpen maupun prosa. Otomatis peluang untuk membuat kumpulan cerita jadi ada. Saya ini kan penulis, bukan cuma novelis, hehe, jadi berkaryanya bukan hanya dalam bentuk novel.
Cerita yang beragam. Buku ini menjadi ajang luapan segala unek-unek Anda atas segala tema, mulai dari cinta, hubungan ibu dan janinnya, tuhan, dan lainnya. Sengaja untuk tidak mengkhususkan pada satu bahasan? Ada alasan menghadirkan sejumlah sajak dalam buku ini?
Seperti yang saya jelaskan tadi, menulis cerpen/karya pendek lainnya bagi saya insidental, tema apa yang menginspirasi saya pada momen itu, ya itulah yang saya jadikan tulisan. Baik itu cerpen atau prosa (atau yang disebut di pertanyaan sebagai sajak). Jadi tentunya tidak ada frame work untuk menyambungkan semuanya dalam satu tema, karena proses penulisannya tidak seperti itu.
Jujur saja, menurut saya, cerita yang Anda hadirkan sederhana. Tokoh yang diciptakan sederhana. Tapi kenapa Anda selalu berhasil membuat kejutan dan membikin penasaran. Menurut Anda sendiri apa kunci keberhasilan Anda?
Sejujurnya, saya sendiri nggak tahu persis apa kuncinya. Saya selalu percaya tidak ada rumusan baku di balik keberhasilan sebuah buku. Rumus dasar saya dalam berkarya cuma satu: menulis buku yang ingin saya baca. Mungkin apa yang ingin saya baca atau temukan dalam sebuah buku ternyata juga menjadi pencarian bagi banyak orang. Mengenai "sederhana" tadi, bagi saya justru keindahan lebih banyak bisa kita dapatkan dari hal-hal yang sederhana. Jadi faktor kejutan atau penasaran bukan ditentukan oleh sederhana/tidak, tapi seberapa kuat cerita itu bisa mengikat pembaca.
Harus diakui, keberhasilan buku satu menyulut tuntutan keberhasilan di buku-buku selanjutnya. Pembaca setia selalu menanti kejutan dari Anda. Bagaimana Anda menyikapi situasi ini? Bagaimana menghadapi pembaca-pembaca Anda yang over-expectation?
Saya dengarkan, kadang dijadikan pertimbangan, sekaligus evaluasi. Tapi saya nggak pernah menjadikan keinginan pembaca sebagai benchmark dalam berkarya. Seperti yang saya bilang tadi, pada dasarnya saya hanya ingin menulis buku yang ingin saya baca. Dalam posisi tersebut, saya menjadikan diri saya sebagai pembaca: apa yang ingin saya cari dari sebuah buku, metafora seperti apa yang bisa menyentuh saya, dsb, itulah yang saya terapkan dalam semua karya saya.
Kenapa memilih menulis?
Bagi saya yang utama adalah bercerita. Saya bercerita lewat tulisan dan lagu. Barangkali inti dari semua itu adalah dorongan untuk ingin berbagi. Menulis hanyalah saluran atau cara yang pas bagi saya.
Dalam proses kreatif penulisan, utamanya berkenaan dengan tema ilmiah dan historis yang kerap Anda ungkap, riset menjadi proses terbesar dan terpenting yang melatari kelahiran buku-buku Anda. Apa yang biasanya Anda lakukan? Apa kendala yang dihadapi?
Riset pustaka, wawancara, riset internet, dan apa pun yang bisa membantu saya menggali sebuah tema. Yang paling besar tentunya adalah riset pustaka alias baca buku. Kendala saat ini adalah waktu. Banyak yang saya perlu urus di rumah, terutama anak-anak, jadi harus lihai mencuri-curi waktu, dan realistis bikin target biar nggak terlalu ngoyo.
Di balik semua perdebatan, berkat Supernova Anda didaulat sebagai pengusung sains fiction. Adakah gelar tersebut menjadi beban dalam proses penulisan Anda selanjutnya?
Saya nggak pernah setuju dengan penyebutan Supernova sebagai science fiction. Genre science fiction yang saya tahu itu nggak seperti Supernova. Dalam science fiction ada realitas yang diolah dan dimanipulasi dengan sains, sementara di Supernova yang ada hanyalah tokoh yang kebetulan suka sains. Jadi sudah beda definisi sebetulnya. Tapi mungkin karena saat itu nggak ada lagi cerita lain yang ada unsur sains, jadi dengan ringannya Supernova dikategorikan sebagai science fiction.
Menulis buku (cerita pendek atau panjang) sedianya memiliki tantangan. Anda sendiri, kala menulis novel atau cerita-cerita pendek, tantangan apa yang dihadapi?
Dalam cerita pendek yang menjadi tantangan adalah plot, bagaimana kita bisa membuat grafik cerita yang bagus dan dinamis dalam ruang yang ketat. Begitu juga dalam membentuk karakter, dengan cepat kita harus membuat pembaca mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh utama. Kita punya waktu panjang untuk itu dalam novel, tapi dalam cerpen efisiensi harus kita perhitungkan dengan matang.
Apa yang menjadi tolok ukur keberhasilan Anda dalam menulis?
Pertama, jika saya puas dengan hasilnya, bisa terbawa suasana oleh ceritanya, dan bisa sejiwa dengan karakter-karakternya. Kedua, jika ada pembaca yang juga merasakan sama.
Apa proyek selanjutnya? Buku atau musik?
Supernova 4 yang berjudul Partikel.
Bagaimana dengan urusan tarik suara dan menulis lagu? Masih berhasrat menyalurkan talenta tersebut dalam album?
Masih, tapi tidak sekarang. Saat ini saya ingin fokus dulu membesarkan anak-anak, apalagi yang bungsu belum genap dua tahun. Musik itu lebih demanding ketimbang menulis karena ada jadwal promo yang lebih padat serta melelahkan. Bagi saya hal itu nggak realistis untuk saya kejar saat ini.
Banyak orang bisa menulis. Banyak yang bisa menerbitkan buku. Banyak juga yang sekadar one-hit-wonder lantas hilang. Bagaimana tanggapan Anda dengan penulis-penulis yang demikian? Faktor apa yang menjadi aral?
Banyak faktor. Bisa jadi mentok di ide, bisa jadi tertarik pada karier lain sehingga nggak ada lagi waktu untuk menulis, bisa jadi juga persaingan dalam industri. Hal seperti itu selalu terjadi dalam berbagai industri. Ya menulis, ya musik. Seleksi alam selalu ada. Saya sih yang penting industrinya yang tetap maju dan sehat supaya bisa terus men-support penulis-penulis baru, memapankan penulis yang sudah established, dan terus mengembangkan pembaca.
Selebritas, popularitas, musik, buku, keluarga, anak-anak, dan lain-lain. Masih ada impian yang ingin diraih?
Kursus merangkai bunga. Dari dulu belum kesampaian.
Menyoal teknologi komunikasi digital dan social media. Bagaimana perannya dalam mendukung kreatif Anda dan pemasaran karya Anda?
Untuk pemasaran, promosi, dan interaksi dengan pembaca, social media sangat membantu, khususnya Twitter. Namun untuk proses kreatif, bisa jadi pedang bermata dua. Terkadang saya terbantu juga oleh masukan atau input dari pembaca seputar nama karakter, informasi, dsb. Tapi Twitter adalah distraksi besar jika sudah memasuki proses nulis. Walaupun sepertinya nggak signifikan, tapi media seperti Twitter itu menyedot atensi dan energi kita.