Monday, December 15, 2014

Wawancara Disertasi | Energi Supernova PETIR Dalam Industri Penerbitan Sastra | April, 2009 | by Sugiarti


Kapan Anda memulai aktivitas menulis karya sastra?

Sejak buku pertama saya diluncurkan (Supernova “Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh”), tahun 2001.

Pengalaman/energi  apa yang mendorong Anda untuk terus melakukan kegiatan menulis karya sastra (novel)?

Sekadar ingin berbagi buah pikir.

Ide apa yang mendasari Anda menulis novel Supernova (Petir)?

Pada dasarnya PETIR merupakan kelanjutan dari dua episode Supernova sebelumnya (KPBJ dan AKAR), jadi ide yang mendasari PETIR merupakan kesinambungan dari seluruh serial Supernova secara keseluruhan. Pada PETIR, saya berusaha mengangkat profil sederhana yang bisa ditemui sehari-hari di sekeliling kita, tapi dalam sosok yang sederhana itu ternyata ada potensi yang sangat besar.

Pesan apa yang ingin disampaikan kepada penikmat/pembaca?

Dalam PETIR saya bercerita tentang transformasi, meditasi, dan penyembuhan.

Strategi apa yang dilakukan oleh Anda agar karya sastra disegani pembaca?

‘Disegani’? Saya tidak punya strategi apa-apa, selain menuliskan apa yang saya suka dan apa yang ingin saya baca. Selebihnya saya menjalankan apa yang saya pikir baik untuk buku tsb, seperti mengadakan peluncuran, promosi, dsb. Saya rasa karya yang baik akan berbicara dengan sendirinya tanpa harus banyak strategi dari produsennya.

Bagaimana proses kreatif dalam penciptaan karya sastra dilakukan?

Biasanya saya sudah punya ide kasar di benak saya, lalu saya tuangkan sedikit demi sedikit ke dalam tulisan. Sejauh ini, saya agak jarang bikin outline yang serius. Lebih banyak unsur spontan dan mengalir saja.

Apakah benar dikatakan bahwa perempuan pengarang dalam menulis novel lebih sering mengimprovisasi pengalamannya sendiri?

Menurut saya, semua pengarang, mau itu laki-laki atau pun perempuan pasti sedikit banyak akan berbicara dari pengalaman mereka sendiri. Ada banyak unsur-unsur lain tentunya; pengamatan, pengalaman orang lain, imajinasi, dsb. Bagi saya sendiri, yang saya tumpangkan dalam karya adalah ide dan perenungan saya, tidak melulu pengalaman pribadi secara harfiah. Untuk jalan cerita saya lebih banyak bersandar pada imajinasi.

Bagaimana tanggapan Anda jika dikatakan dalam menghadirkan/mengungkapkan karya sastra lebih menekankan persoalan seksualitas atau seputar persoalan perempuan?

Saya tidak tahu dengan penulis lain, kalau saya sendiri kebetulan tidak ‘bermain-main’ di ranah seksualitas ataupun persoalan perempuan secara eksklusif. Jadi saya tidak bisa mengatakan setuju kalau karya sastra yang dibuat oleh penulis perempuan hanya bicara soal seksualitas atau feminisme saja. Tema yang saya suka lebih banyak tentang spiritualitas dan humanisme.

Sejauh mana perubahan sosial budaya selalu mewarnai dalam proses penciptaan karya sastra?

Setiap karya sastra adalah saksi sejarah dari kondisi sosial budaya. Ibarat rahim tempat ia lahir. Jadi, walaupun sebuah karya tidak secara eksplisit mengangkat soal sosial budaya, ia tidak akan pernah terlepas dari konteks sosial budaya di mana sang penulisnya berada.

Kerangka pikir apa yang ingin disampaikan Anda melalui karya sastra yang dihasilkan?

Cara berpikir holistik, yang tidak melihat sesuatu secara terpisah-pisah atau parsial atau hitam-putih.

Bagaimana tanggapan Anda terhadap industri penerbitan sastra?

Sekarang ini, menurut saya, ada geliat baru dalam dunia penerbitan. Terbukti dari banyaknya penulis baru bermunculan, penerbit baru bermunculan, taman bacaan dan komunitas pembaca yang bermunculan. Buku saat ini adalah media ekspresi seni yang berkembang secara di baik di masyarakat.

Menurut pengalaman Anda, apakah keberadaan penerbitan memberikan kontribusi pada distribusi novel kepada pembaca?

Tanpa penerbitan, penulis tidak punya saluran untuk mencapai pembacanya. Jadi bukan hanya kontribusi, tapi penerbitan adalah elemen utama (selain penulis, toko buku, dan distributor) yang mewujudkan industri buku.

Apakah perkembangan teknologi komunikasi berpengaruh terhadap minat baca sastra (novel)?

Saya rasa iya. Banyak komunitas sastra virtual yang sekarang tercipta, marketing online maupun pembelian online juga mulai dilirik oleh banyak pemain buku. Penulis pun bisa memanfaatkan teknologi untuk menggaungkan karya-karyanya.

Sejauh mana hubungan Anda dengan penerbit dan pembaca sastra?

Kebetulan hampir semua karya saya diterbitkan sendiri. Dengan pembaca, saya berkomunikasi lewat blog, lewat Facebook, dan saat saya memang bertemu langsung dengan mereka di acara-acara temu penulis, bedah buku, dll.

Bagaimana tanggapan Anda terhadap hubungan  karya sastra (novel) dengan pembaca? Mohon komentar?

Sebuah karya dan pembaca terkadang memiliki hubungan yang lebih erat dan personal ketimbang antara pembaca dan penulis, karena lewat karya itulah mereka terinspirasi, bercermin, merenung, dsb. Seorang pembaca bisa menyukai sebuah karya tanpa harus ikut menyukai bahkan mengenal penulisnya. Mungkin itu juga yang membuat ungkapan “pengarang sudah mati” menjadi populer. Karena karya berbicara lebih lama dan bisa jadi abadi, ketimbang penulisnya.