Kapan Anda
memulai aktivitas menulis karya sastra?
Sejak buku
pertama saya diluncurkan (Supernova “Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh”),
tahun 2001.
Pengalaman/energi apa yang mendorong Anda untuk terus melakukan kegiatan menulis karya sastra (novel)?
Sekadar ingin
berbagi buah pikir.
Ide apa yang
mendasari Anda menulis novel Supernova (Petir)?
Pada dasarnya
PETIR merupakan kelanjutan dari dua episode Supernova sebelumnya (KPBJ dan
AKAR), jadi ide yang mendasari PETIR merupakan kesinambungan dari seluruh
serial Supernova secara keseluruhan. Pada PETIR, saya berusaha mengangkat
profil sederhana yang bisa ditemui sehari-hari di sekeliling kita, tapi dalam
sosok yang sederhana itu ternyata ada potensi yang sangat besar.
Pesan apa yang
ingin disampaikan kepada penikmat/pembaca?
Dalam PETIR
saya bercerita tentang transformasi, meditasi, dan penyembuhan.
Strategi apa
yang dilakukan oleh Anda agar karya sastra disegani pembaca?
‘Disegani’?
Saya tidak punya strategi apa-apa, selain menuliskan apa yang saya suka dan apa
yang ingin saya baca. Selebihnya saya menjalankan apa yang saya pikir baik
untuk buku tsb, seperti mengadakan peluncuran, promosi, dsb. Saya rasa karya
yang baik akan berbicara dengan sendirinya tanpa harus banyak strategi dari
produsennya.
Bagaimana
proses kreatif dalam penciptaan karya sastra
dilakukan?
Biasanya saya
sudah punya ide kasar di benak saya, lalu saya tuangkan sedikit demi sedikit ke
dalam tulisan. Sejauh ini, saya agak jarang bikin outline yang serius. Lebih banyak unsur
spontan dan mengalir saja.
Apakah benar
dikatakan bahwa perempuan pengarang dalam menulis novel lebih sering mengimprovisasi
pengalamannya sendiri?
Menurut saya,
semua pengarang, mau itu laki-laki atau pun perempuan pasti sedikit banyak akan
berbicara dari pengalaman mereka sendiri. Ada banyak unsur-unsur lain tentunya;
pengamatan, pengalaman orang lain, imajinasi, dsb. Bagi saya sendiri, yang saya
tumpangkan dalam karya adalah ide dan perenungan saya, tidak melulu pengalaman
pribadi secara harfiah. Untuk jalan cerita saya lebih banyak bersandar pada
imajinasi.
Bagaimana
tanggapan Anda jika dikatakan dalam menghadirkan/mengungkapkan
karya sastra lebih menekankan persoalan seksualitas atau seputar persoalan
perempuan?
Saya tidak tahu
dengan penulis lain, kalau saya sendiri kebetulan tidak ‘bermain-main’ di ranah
seksualitas ataupun persoalan perempuan secara eksklusif. Jadi saya tidak bisa
mengatakan setuju kalau karya sastra yang dibuat oleh penulis perempuan hanya
bicara soal seksualitas atau feminisme saja. Tema yang saya suka lebih banyak
tentang spiritualitas dan humanisme.
Sejauh mana
perubahan sosial budaya selalu mewarnai dalam proses penciptaan karya sastra?
Setiap karya
sastra adalah saksi sejarah dari kondisi sosial budaya. Ibarat rahim tempat ia
lahir. Jadi, walaupun sebuah karya tidak secara eksplisit mengangkat soal
sosial budaya, ia tidak akan pernah terlepas dari konteks sosial budaya di mana
sang penulisnya berada.
Kerangka pikir
apa yang ingin disampaikan Anda melalui karya sastra yang
dihasilkan?
Cara berpikir
holistik, yang tidak melihat sesuatu secara terpisah-pisah atau parsial atau
hitam-putih.
Bagaimana
tanggapan Anda terhadap industri penerbitan sastra?
Sekarang ini,
menurut saya, ada geliat baru dalam dunia penerbitan. Terbukti dari banyaknya
penulis baru bermunculan, penerbit baru bermunculan, taman bacaan dan komunitas
pembaca yang bermunculan. Buku saat ini adalah media ekspresi seni yang
berkembang secara di baik di masyarakat.
Menurut
pengalaman Anda, apakah keberadaan penerbitan memberikan kontribusi pada distribusi
novel kepada pembaca?
Tanpa
penerbitan, penulis tidak punya saluran untuk mencapai pembacanya. Jadi bukan
hanya kontribusi, tapi penerbitan adalah elemen utama (selain penulis, toko
buku, dan distributor) yang mewujudkan industri buku.
Apakah
perkembangan teknologi komunikasi berpengaruh terhadap minat baca sastra
(novel)?
Saya rasa iya.
Banyak komunitas sastra virtual yang sekarang tercipta, marketing online maupun pembelian online juga mulai dilirik oleh banyak pemain
buku. Penulis pun bisa memanfaatkan teknologi untuk menggaungkan karya-karyanya.
Sejauh mana
hubungan Anda dengan penerbit dan pembaca sastra?
Kebetulan
hampir semua karya saya diterbitkan sendiri. Dengan pembaca, saya berkomunikasi
lewat blog, lewat Facebook, dan saat saya memang bertemu langsung dengan mereka
di acara-acara temu penulis, bedah buku, dll.
Bagaimana
tanggapan Anda terhadap hubungan
karya sastra (novel) dengan
pembaca? Mohon komentar?
Sebuah karya
dan pembaca terkadang memiliki hubungan yang lebih erat dan personal ketimbang
antara pembaca dan penulis, karena lewat karya itulah mereka terinspirasi,
bercermin, merenung, dsb. Seorang pembaca bisa menyukai sebuah karya tanpa
harus ikut menyukai bahkan mengenal penulisnya. Mungkin itu juga yang membuat
ungkapan “pengarang sudah mati” menjadi populer. Karena karya berbicara lebih
lama dan bisa jadi abadi, ketimbang penulisnya.