Dari
dua film Perahu Kertas yang sudah tayang di bioskop, tentu tanggapan masyarakat
yang masuk pun beragam. Ada yang puas dan nggak sedikit juga yang kecewa karena
menganggap film ini tidak jauh berbeda dari FTV. Bagaimana tanggapan Mbak
tentang beragam feedback yang masuk?
Dalam semua karya, itu pasti terjadi. Jangankan film yang range penontonnya lebih lebar, pembaca buku pun sepert itu. Jadi, saya sudah mengantisipasi keragaman feedback tersebut, dan menganggap hal itu sangat wajar. Nggak lebih baik atau nggak lebih buruk, sih. Karena menurut saya opini seseorang sangat subjektif, apalagi terhadap film. Yang suka tidak bisa dijadikan patokan, yang tidak suka pun tidak bisa dijadikan patokan.
Dari sisi Mbak sebagai penulis naskah asli Perahu Kertas (novel), apakah memang ada yang sengaja diubah (dari beragam segi, terutama esensi cerita) ketika Perahu Kertas dipindahkan ke layar lebar?
Sepertinya hal ini yang perlu disadari oleh pembaca, bahwa skenario dan novel adalah dua format yang berbeda. Dalam novel ada keleluasaan struktur maupun jumlah halaman, dalam film kedua hal tersebut terbatas. Jadi, saya memang sengaja mengubah beberapa hal supaya struktur film tidak terganggu oleh novel. Apalagi dalam film, banyak aspek yang tidak perlu diperhitungkan seperti di buku, misalnya aspek sinematografi, teknis pengambilan gambar, bujet, kepentingan produser, segmen penonton yang dituju, dsb. Yang jelas, esensi cerita tidak mungkin diubah. Premis tetap sama. Yang diubah adalah detail-detail pendukung saja.
Berapa persen perubahan yang terjadi pada Perahu Kertas versi layar lebar dibandingkan dengan Perahu Kertas versi novel?
Tidak tahu persis matematisnya berapa persen, karena tidak dihitung dengan cara seperti itu. Yang jelas, struktur besarnya sama, premisnya sama, dialog setengahnya sama. Ada sedikit perbedaan penekanan pada karakter pendukung (karakter Banyu dan Siska), ada sedikit perbedaan timeline. Tidak semua detail novel dimasukkan.
Dan Mbak Dee sebagai pemilik Perahu Kertas (penulis novel), apakah Mbak puas terhadap adaptasi yang dilakukan Mas Hanung terhadap karya tulis Mbak?
Cukup puas, walaupun tentu banyak aspek yang bisa lebih maksimal seharusnya. Tapi, ya, itu, dalam film banyak sekali faktor yang bermain, terutama karena begitu banyaknya pihak yang terlibat untuk mewujudkan sebuah adegan, dari mulai kru, cast, sampai pascaproduksi yang melibatkan editor, penata musik, dan produser.
Jika ada kemungkinan untuk mengubah bagian-bagian tertentu film Perahu Kertas, adakah yang Mbak mau ubah dari karya Mas Hanung?
Ada beberapa eksekusi adegan dan dialog yang interpretasinya berbeda dengan interpretasi saya saat menulis skenario. Juga detail-detail artistik yang interpretasinya berbeda dengan saya sebagai penulis buku. Tapi, menurut saya, pengandai-andaian mengubah ini-itu hanya menjadi pemborosan waktu dan energi. Justru di sinilah seorang kreator mendapat pembelajaran dan pendewasaan mental, saat dia menerima "ketidaksempurnaan" dalam karyanya menjadi bagian dari "kesempurnaan" karya tersebut. Jadi, biarkan saja apa adanya.
Setelah Perahu Kertas ini, apakah ada rencana lagi untuk memberikan novel Mbak kepada sutradara sebagai bahan adaptasi untuk film mereka?
Saat ini sudah ada dua hak adaptasi yang saya lepas, yakni untuk Madre (disutradarai dan ditulis oleh Benny Setiawan), dan Rectoverso (diproduseri Marcella Zalianty, disutradarai lima artis perempuan dan ditulis oleh empat penulis skenario). Keduanya tayang Februari 2013.
Dalam semua karya, itu pasti terjadi. Jangankan film yang range penontonnya lebih lebar, pembaca buku pun sepert itu. Jadi, saya sudah mengantisipasi keragaman feedback tersebut, dan menganggap hal itu sangat wajar. Nggak lebih baik atau nggak lebih buruk, sih. Karena menurut saya opini seseorang sangat subjektif, apalagi terhadap film. Yang suka tidak bisa dijadikan patokan, yang tidak suka pun tidak bisa dijadikan patokan.
Dari sisi Mbak sebagai penulis naskah asli Perahu Kertas (novel), apakah memang ada yang sengaja diubah (dari beragam segi, terutama esensi cerita) ketika Perahu Kertas dipindahkan ke layar lebar?
Sepertinya hal ini yang perlu disadari oleh pembaca, bahwa skenario dan novel adalah dua format yang berbeda. Dalam novel ada keleluasaan struktur maupun jumlah halaman, dalam film kedua hal tersebut terbatas. Jadi, saya memang sengaja mengubah beberapa hal supaya struktur film tidak terganggu oleh novel. Apalagi dalam film, banyak aspek yang tidak perlu diperhitungkan seperti di buku, misalnya aspek sinematografi, teknis pengambilan gambar, bujet, kepentingan produser, segmen penonton yang dituju, dsb. Yang jelas, esensi cerita tidak mungkin diubah. Premis tetap sama. Yang diubah adalah detail-detail pendukung saja.
Berapa persen perubahan yang terjadi pada Perahu Kertas versi layar lebar dibandingkan dengan Perahu Kertas versi novel?
Tidak tahu persis matematisnya berapa persen, karena tidak dihitung dengan cara seperti itu. Yang jelas, struktur besarnya sama, premisnya sama, dialog setengahnya sama. Ada sedikit perbedaan penekanan pada karakter pendukung (karakter Banyu dan Siska), ada sedikit perbedaan timeline. Tidak semua detail novel dimasukkan.
Dan Mbak Dee sebagai pemilik Perahu Kertas (penulis novel), apakah Mbak puas terhadap adaptasi yang dilakukan Mas Hanung terhadap karya tulis Mbak?
Cukup puas, walaupun tentu banyak aspek yang bisa lebih maksimal seharusnya. Tapi, ya, itu, dalam film banyak sekali faktor yang bermain, terutama karena begitu banyaknya pihak yang terlibat untuk mewujudkan sebuah adegan, dari mulai kru, cast, sampai pascaproduksi yang melibatkan editor, penata musik, dan produser.
Jika ada kemungkinan untuk mengubah bagian-bagian tertentu film Perahu Kertas, adakah yang Mbak mau ubah dari karya Mas Hanung?
Ada beberapa eksekusi adegan dan dialog yang interpretasinya berbeda dengan interpretasi saya saat menulis skenario. Juga detail-detail artistik yang interpretasinya berbeda dengan saya sebagai penulis buku. Tapi, menurut saya, pengandai-andaian mengubah ini-itu hanya menjadi pemborosan waktu dan energi. Justru di sinilah seorang kreator mendapat pembelajaran dan pendewasaan mental, saat dia menerima "ketidaksempurnaan" dalam karyanya menjadi bagian dari "kesempurnaan" karya tersebut. Jadi, biarkan saja apa adanya.
Setelah Perahu Kertas ini, apakah ada rencana lagi untuk memberikan novel Mbak kepada sutradara sebagai bahan adaptasi untuk film mereka?
Saat ini sudah ada dua hak adaptasi yang saya lepas, yakni untuk Madre (disutradarai dan ditulis oleh Benny Setiawan), dan Rectoverso (diproduseri Marcella Zalianty, disutradarai lima artis perempuan dan ditulis oleh empat penulis skenario). Keduanya tayang Februari 2013.