Bagaimana proses awal
dari Perahu Kertas menjadi sebuah film?
Pada tahun 2009, saat Perahu Kertas masih menjadi naskah dan
saya mencari penerbit, Bentang Pustaka adalah salah satu penerbit yang ikut pitching, dan sejak awal mereka sudah
datang bersama Mizan Production yang tertarik untuk memfilmkan novel. Jadi
ketertarikan mereka bahkan sebelum naskahnya diterbitkan menjadi buku.
Sementara sudah menjadi keinginan lama saya untuk melihat Perahu Kertas
difilmkan. Kebetulan, Mizan pun punya kondite bagus, dengan Laskar Pelangi,
dsb. Saya melihat mereka sebagai perusahaan yang kompeten. Baru dalam prosesnya
Mizan mengajak Starvision untuk join
sebagai produser. Terakhir, Hanung Bramantyo dan Dapur Film juga ikut join. Jadi Perahu Kertas ini adalah
kerja sama dari tiga PH sekaligus.
Gimana perasaan Dee
ketika melihat Keenan dan Kugy menjelma menjadi sosok asli di layar lebar?
Perasaan yang menyenangkan. Saya merasa siklusnya jadi utuh.
Tadinya saya yang bercerita kisah Perahu Kertas pada pembaca. Sekarang, melalui
Hanung, Kugy dan Keenan mengisahkan sendiri Perahu Kertas kepada penonton,
termasuk saya.
Kenapa tertarik untuk
menulis naskah Perahu Kertas, kenapa tidak diberikan ke penulis lain?
Saya rasa, jika ada orang yang tega memutilasi Perahu Kertas
tanpa menghilangkan spiritnya, ya orang itu adalah saya. Saya menyadari format
novel dan skenario adalah hal yang berbeda, sebagaimana halnya buku beda dengan
film. Dan saya sama sekali tidak "fanatik" untuk segalanya harus
persis novel. Menurut saya itu hal yang mustahil diwujudkan. Namun, untuk bisa
memahami mana-mana yang menjadi spirit ataupun esensi kisah, saya rasa sayalah
yang bisa melihat itu dengan paling jeli. Karenanya saya memutuskan untuk
menulis skenarionya.
Setelah Perahu Kertas,
akan segera rilis Rectoverso dan Madre menyusul dilayarlebarkan. Kenapa memilih
dua novel ini? Kenapa bukan Supernova yang pastinya sudah ditunggu-tunggu penggemar
Dee?
Prosesnya nggak seperti itu. Bukan saya yang memutuskan untuk
memfilmkan buku-buku saya kemudian menjualnya ke para produser. Tapi sayalah
orang yang ditawari untuk menjual hak adaptasi. Jadi, di sini saya hanya
sekadar menanggapi tawaran yang masuk. Bisa dibilang, ya, itu gimana nasib
bukunya saja, ada yang menawari atau enggak. Tawaran pembelian hak adaptasi ini
juga sebetulnya nggak berdekatan. Perahu Kertas sudah dari tahun 2009,
Rectoverso dan Madre di 2011, Filosofi Kopi di 2012. Dan sebetulnya Supernova
sudah dibeli juga rights-nya, akhir 2011 kemarin.
Di Perahu Kertas, Dee
jadi penulis naskah. Apakah tertarik lebih dalam mengenai film misalnya menjadi
sutradara?
Tidak menutup kemungkinan ke arah penyutradaraan. Tapi saya
yakin investasi energi dan waktu untuk menjalaninya sangatlah besar. Saya nggak
yakin punya keleluasaan itu dalam waktu dekat ini. Saya masih ingin fokus di
menulis.
Gimana tanggapan Dee mengenai
kritik terhadap Perahu Kertas, di mana ada yang beranggapan bahwa filmnya
terasa datar kurang konflik?
Kendala terbesar sebetulnya adalah pemecahan Perahu Kertas
menjadi dua bagian. Jika dilihat secara keseluruhan, Perahu Kertas sangat padat
konflik. Tapi itu semua munculnya di bagian kedua. Sementara di bagian pertama
ini, masih build-up konflik, belum
benar-benar pecah. Di lain sisi, Perahu Kertas 1 menurut saya lebih akrab
kepada penonton muda, remaja. Bagian 2 nanti jauh lebih dewasa. Sementara
kritikus film kebanyakan orang dewasa, mungkin mereka jadi merasa tidak
mendapatkan apa yang mereka cari di Perahu Kertas 1. Jadi, tergantung siapa
yang menilai. Saya nggak kaget kalau penonton remaja malah merasa Perahu Kertas
1 lebih seru, walaupun konflik justru banyak terjadi di bagian ke-2.
Dengan banyaknya penulis
pemula yang ingin menembus dunia penerbitan, apakah Anda merasa jalur Anda
menerbitkan buku lebih lancar karena faktor bahwa Anda pernah terlibat di dunia
entertainment?
Berlatar belakang penyanyi menurut saya cuma berguna untuk
tambahan buzzing di awal menerbitkan
buku saja. Sisanya kita tidak lagi dinilai dari dulunya kita siapa, tapi lebih
kepada karyanya. Bukan cuma saya penulis yang berlatar belakang dunia
entertainment, ada banyak sekali. Tapi pada akhirnya yang diuji adalah karya,
bukan keartisan atau faktor popularitas seseorang.
Novel Dee sudah cukup lama beredar, tapi kenapa baru sekarang
terpikir untuk difilmkan?
Kembali ke jawaban sebelumnya. Bukan masalah saya terpikir atau
enggak, tapi ada yang menawari atau tidak. Jadi, pertanyaan itu lebih tepat
ditujukan ke para produser film, kenapa baru tertariknya sekarang? Hehe.
Adakah tema tertentu yang
ingin diangkat oleh Dee ke dalam novelnya? Horor misalnya?
Tema penulisan saya sejauh ini kental di tema spiritualitas.
Belum tertarik genre horor sama sekali. Kita lihat saja nanti. Bisa saja
berubah.