Sunday, December 14, 2014

Cinemags | Film Perahu Kertas | September, 2012 | by Haryanto


Bagaimana proses awal dari Perahu Kertas menjadi sebuah film?

Pada tahun 2009, saat Perahu Kertas masih menjadi naskah dan saya mencari penerbit, Bentang Pustaka adalah salah satu penerbit yang ikut pitching, dan sejak awal mereka sudah datang bersama Mizan Production yang tertarik untuk memfilmkan novel. Jadi ketertarikan mereka bahkan sebelum naskahnya diterbitkan menjadi buku. Sementara sudah menjadi keinginan lama saya untuk melihat Perahu Kertas difilmkan. Kebetulan, Mizan pun punya kondite bagus, dengan Laskar Pelangi, dsb. Saya melihat mereka sebagai perusahaan yang kompeten. Baru dalam prosesnya Mizan mengajak Starvision untuk join sebagai produser. Terakhir, Hanung Bramantyo dan Dapur Film juga ikut join. Jadi Perahu Kertas ini adalah kerja sama dari tiga PH sekaligus.

Gimana perasaan Dee ketika melihat Keenan dan Kugy menjelma menjadi sosok asli di layar lebar?

Perasaan yang menyenangkan. Saya merasa siklusnya jadi utuh. Tadinya saya yang bercerita kisah Perahu Kertas pada pembaca. Sekarang, melalui Hanung, Kugy dan Keenan mengisahkan sendiri Perahu Kertas kepada penonton, termasuk saya.

Kenapa tertarik untuk menulis naskah Perahu Kertas, kenapa tidak diberikan ke penulis lain?

Saya rasa, jika ada orang yang tega memutilasi Perahu Kertas tanpa menghilangkan spiritnya, ya orang itu adalah saya. Saya menyadari format novel dan skenario adalah hal yang berbeda, sebagaimana halnya buku beda dengan film. Dan saya sama sekali tidak "fanatik" untuk segalanya harus persis novel. Menurut saya itu hal yang mustahil diwujudkan. Namun, untuk bisa memahami mana-mana yang menjadi spirit ataupun esensi kisah, saya rasa sayalah yang bisa melihat itu dengan paling jeli. Karenanya saya memutuskan untuk menulis skenarionya.

Setelah Perahu Kertas, akan segera rilis Rectoverso dan Madre menyusul dilayarlebarkan. Kenapa memilih dua novel ini? Kenapa bukan Supernova yang pastinya sudah ditunggu-tunggu penggemar Dee?

Prosesnya nggak seperti itu. Bukan saya yang memutuskan untuk memfilmkan buku-buku saya kemudian menjualnya ke para produser. Tapi sayalah orang yang ditawari untuk menjual hak adaptasi. Jadi, di sini saya hanya sekadar menanggapi tawaran yang masuk. Bisa dibilang, ya, itu gimana nasib bukunya saja, ada yang menawari atau enggak. Tawaran pembelian hak adaptasi ini juga sebetulnya nggak berdekatan. Perahu Kertas sudah dari tahun 2009, Rectoverso dan Madre di 2011, Filosofi Kopi di 2012. Dan sebetulnya Supernova sudah dibeli juga rights-nya, akhir 2011 kemarin.

Di Perahu Kertas, Dee jadi penulis naskah. Apakah tertarik lebih dalam mengenai film misalnya menjadi sutradara?

Tidak menutup kemungkinan ke arah penyutradaraan. Tapi saya yakin investasi energi dan waktu untuk menjalaninya sangatlah besar. Saya nggak yakin punya keleluasaan itu dalam waktu dekat ini. Saya masih ingin fokus di menulis.

Gimana tanggapan Dee mengenai kritik terhadap Perahu Kertas, di mana ada yang beranggapan bahwa filmnya terasa datar kurang konflik?

Kendala terbesar sebetulnya adalah pemecahan Perahu Kertas menjadi dua bagian. Jika dilihat secara keseluruhan, Perahu Kertas sangat padat konflik. Tapi itu semua munculnya di bagian kedua. Sementara di bagian pertama ini, masih build-up konflik, belum benar-benar pecah. Di lain sisi, Perahu Kertas 1 menurut saya lebih akrab kepada penonton muda, remaja. Bagian 2 nanti jauh lebih dewasa. Sementara kritikus film kebanyakan orang dewasa, mungkin mereka jadi merasa tidak mendapatkan apa yang mereka cari di Perahu Kertas 1. Jadi, tergantung siapa yang menilai. Saya nggak kaget kalau penonton remaja malah merasa Perahu Kertas 1 lebih seru, walaupun konflik justru banyak terjadi di bagian ke-2.

Dengan banyaknya penulis pemula yang ingin menembus dunia penerbitan, apakah Anda merasa jalur Anda menerbitkan buku lebih lancar karena faktor bahwa Anda pernah terlibat di dunia entertainment?

Berlatar belakang penyanyi menurut saya cuma berguna untuk tambahan buzzing di awal menerbitkan buku saja. Sisanya kita tidak lagi dinilai dari dulunya kita siapa, tapi lebih kepada karyanya. Bukan cuma saya penulis yang berlatar belakang dunia entertainment, ada banyak sekali. Tapi pada akhirnya yang diuji adalah karya, bukan keartisan atau faktor popularitas seseorang.

Novel Dee sudah cukup lama beredar, tapi kenapa baru sekarang terpikir untuk difilmkan?

Kembali ke jawaban sebelumnya. Bukan masalah saya terpikir atau enggak, tapi ada yang menawari atau tidak. Jadi, pertanyaan itu lebih tepat ditujukan ke para produser film, kenapa baru tertariknya sekarang? Hehe.

Adakah tema tertentu yang ingin diangkat oleh Dee ke dalam novelnya? Horor misalnya?

Tema penulisan saya sejauh ini kental di tema spiritualitas. Belum tertarik genre horor sama sekali. Kita lihat saja nanti. Bisa saja berubah.