Tuesday, December 23, 2014

FAQ: Film Supernova KPBJ (Soraya Intercine, 2014)


Supernova Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh (KPBJ) adalah buku pertama Anda. Mengapa baru sekarang difilmkan? Sementara buku-buku Anda sesudahnya sudah difilmkan lebih dulu?

Kendali untuk mengatur buku mana yang duluan difilmkan sebetulnya bukan ada di tangan saya. Mungkin banyak orang yang menyangka bahwa penulis buku yang bukunya diadaptasi menjadi film lantas akan berada di posisi tertinggi dan bisa mengatur segala-galanya tentang bukunya yang difilmkan. Yang sesungguhnya terjadi tidak seperti itu. Mana buku yang difilmkan lebih dulu tergantung ada atau tidaknya produser yang tertarik untuk memfilmkan, dan karena produser bukan cuma satu melainkan banyak dan berbeda-beda, kita tidak bisa dengan gampangnya “janjian” dalam mengatur buku mana duluan yang difilmkan karena keputusan untuk membuat film bergantung dari banyak faktor dan kepentingan. Jadi, sebagai penulis, saya lebih berada di posisi menunggu. Saya tidak aktif menawar-nawarkan buku saya jadi film, karena memang bukan itu prioritas utama saya berkarya. Sebagai penulis, tugas saya adalah menulis buku. Kalau memang ada yang tertarik memfilmkan buku saya, itu saya anggap bonus, bukan tujuan. 

Bagaimana perasaan Anda dengan difilmkannya Supernova KPBJ?

Selalu ada rasa senang dan penasaran ketika karya saya akan diinterpretasikan oleh kreator lain dalam format berbeda. Ketika ada tawaran untuk memfilmkan buku saya, perasaan seperti itulah yang hadir. Supernova KPBJ juga sama. Tentu ada rasa penasaran ekstra karena kompleksitas Supernova berbeda dengan karya-karya saya yang lain. 

Banyak dari pembaca buku yang kemudian merasa kecewa ketika buku kesayangannya difilmkan dan ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi mereka, bagaimana Anda menyikapinya? 

Setelah berkali-kali buku saya difilmkan, kesimpulan saya satu: membuat film dari buku sebaiknya jangan ditujukan untuk memuaskan pembaca. Kalau tujuannya sekadar itu saja, jelas tidak mungkin dilakukan. Tugas utama pembuat film adalah bikin film bagus. Itu saja. Cerita bisa diadaptasi dari buku atau naskah orisinal, tidak masalah. Setiap karya, mau itu film atau buku, pasti akhirnya akan ada yang suka dan tidak. Jadi, bagi saya, sama-sama saja. 

Bisa diceritakan bagaimana prosesnya hingga Supernova KPBJ difilmkan? 

Produsernya, Sunil Soraya, sudah menghubungi saya sejak 6 tahun yang lalu. Tapi saat itu saya masih belum tertarik karena saya merasa Supernova adalah cerita yang belum selesai. Setelah sekian lama, perspektif saya berubah. Sama seperti bukunya, saya rasa Supernova bisa dinikmati setiap episodenya secara terpisah-pisah. Jadi, ketika tahun 2012 Sunil menghubungi saya lagi, mind set saya sudah berbeda. Dan saya melihat keseriusan niatnya dalam menggarap film Supernova. Setelah beberapa kali berbincang-bincang, akhirnya saya memutuskan untuk melepas hak adaptasinya. 

Apakah Anda ikut menentukan siapa sutradara dan para pemain KPBJ?

Saya tidak menentukan sutradara. Itu sepenuhnya keputusan produser. Untuk pemain, saya sebatas memberikan masukan di awal-awal proses casting, dan produser memberikan update tentang proses casting-nya, khususnya untuk peran-peran utama. Tapi, saya tidak berada di posisi penentu, hanya sebatas diinformasikan saja.   

Sejauh apa keterlibatan Anda dalam produksi Supernova KPBJ? Apa alasannya?

Saya tidak punya peran apa pun secara formal dalam produksi film Supernova, saya bukan produser maupun penulis skenarionya. Jadi, bisa dibilang saya hampir tidak terlibat sama sekali, dan itu sudah saya komunikasikan sejak jauh hari ke pihak produser. Produksi film Supernova berbarengan dengan periode saya menyelesaikan buku Supernova episode kelima, Gelombang. Saya harus memprioritaskan Gelombang karena tidak ada yang bisa menggantikan saya untuk menulis Gelombang. Tapi saya merasa peran saya dalam film Supernova tidak sekrusial itu, sudah ada orang-orang yang memang ahli di bidangnya. Produser mengajak saya berdiskusi di awal-awal praproduksi mengenai konsep penceritaan dan casting, dan saya sempat memberikan masukan untuk draf skenario. Begitu produksi dimulai, saya sudah tidak mengikuti. Jadi sebatas itu saja. 

Apakah Anda terlibat dalam penggarapan musik / soundtrack film Supernova KPBJ?

Tidak. 

Apakah Anda puas dengan hasil film Supernova KPBJ?

Sampai saat posting FAQ ini diunggah, saya belum menonton filmnya sama sekali, jadi saya tidak bisa menjawab soal ini (akan di-update). 

Belakangan, industri film Indonesia banyak sekali mengangkat kisah dari buku-buku bestseller. Apa pendapat pendapat Anda mengenai tren tersebut? 

Ketimbang naskah orisinal yang belum dikenal, cerita dari buku laris otomatis sudah punya pembaca dan massanya sendiri. Setidaknya film itu nanti sudah akan menarik perhatian para pembaca buku. Jadi, saya rasa itu memang pilihan yang dinilai strategis oleh para produser. Tentu, memfilmkan dari buku punya risiko tersendiri juga, karena penonton yang sudah baca bukunya biasanya datang untuk membandingkan, jadi agak lebih sulit untuk menikmati film apa adanya. 

Apakah pesan utama dari film Supernova KPBJ?

Saya hanya bisa bercerita dari sebatas buku, bahwa Supernova KPBJ bercerita tentang evolusi spiritual yang terjadi pada tokoh-tokohnya melalui beberapa konflik—antara lain cinta segitiga dan jejaring misterius yang dijalin tokoh cyber bernama Supernova—yang kemudian mengubah pandangan mereka tentang eksistensi dan jatidiri mereka. 

Apa harapan Anda atas film Supernova KPBJ?

Semoga filmnya berkualitas, ditonton banyak orang, dan semoga film Supernova KPBJ tidak sekadar menghibur tapi bisa memicu perenungan penonton akan hal-hal yang lebih besar. 

Apakah sekuel buku Supernova setelah KPBJ juga akan difilmkan?

Sejauh ini belum ada rencana. Kontrak saya dengan Soraya Intercine hanya sebatas Supernova KPBJ. 

Adakah proyek film lain yang diangkat dari buku Dee dalam waktu dekat? 

Filosofi Kopi saat ini sudah praproduksi dan rencananya akan mulai syuting awal tahun depan dengan perkiraan rilis April 2015. Filosofi Kopi digarap oleh rumah produksi Visinema, diproduseri dan disutradarai oleh Angga Sasongko, sementara skenario ditulis oleh Jenny Jusuf. Para pemain yang akan terlibat antara lain adalah Chicco Jerikho, Rio Dewanto, dan Julie Estelle.

FAQ: Seperti Kemarin - NOAH (Musica Studio, 2014)


Bagaimana awalnya bisa terlibat dalam proses pembuatan lagu Seperti Kemarin? 

Publisher saya dari Trinity Optima yang terlebih dulu terlibat pembicaraan dengan pihak Musica, bahwa ada calon single Noah yang belum berlirik dan Musica sedang mencari penulis lagu yang bisa membuatkan liriknya. Sampel lagu kemudian dikirimkan kepada saya untuk didengarkan. Saya juga sudah memberi tahu dari awal bahwa saya harus menemukan kecocokan dulu dengan lagunya, jadi kalau saya merasa tidak cocok atau tidak suka dengan lagunya saya tidak akan memaksakan diri untuk mengerjakan. Ketika saya dengarkan sampel itu berkali-kali, saya pun merasa cocok dan sanggup menulis liriknya. Barulah saya mengiyakan. 

Apa yang menjadi inspirasi lirik Seperti Kemarin? Apa tema yang diangkat? Kenapa memilih tema tersebut? 

Prinsip saya dalam menulis lirik adalah prosody, yakni kecocokan mood melodi dengan bunyi lirik. Begitu saya mendengar melodi dalam sampel Seperti Kemarin, saya merasa melodinya memiliki mood yang penuh harapan, pembebasan, uplifting, dan suasana lepas landas. Jadi, saya memilih lirik berdasarkan mood itu. Tema yang langsung terpikir adalah “back with vengeance”. Saya rasa tema itu bisa cocok dengan banyak orang karena kita sering berada dalam situasi terpuruk atau terjebak dan ketika kita berhasil bebas dari itu, ada semangat baru yang ingin kita nyatakan, dan saya rasa lagu ini bisa mewakili perasaan itu. 

Apakah lirik lagu Seperti Kemarin diangkat dari kisah nyata atau cerita pribadi seseorang? 

Tidak. Saya cuma merasakan spirit yang ada dalam melodi dan memilih kata dan kalimat yang sesuai dengan pergerakan nada. Saya cukup memutuskan tema apa yang ingin saya angkat dan cerita lagu bergulir dari situ. 

Adakah komunikasi / konsultasi dengan Ariel atau Noah selama pembuatan lirik? 

Sampel lagu yang dikirim ke saya sudah diberi judul Seperti Kemarin, dan di demonya Ariel cuma menyanyikan kata-kata “seperti kemarin” sementara sisanya “nanana…”. Saya hanya sempat menanyakan kepada Ariel via Whatsapp apakah kata-kata “seperti kemarin” ingin dipertahankan dalam lagu, dan menurut Ariel itu memang kalimat spontan yang tercipta saat lagu itu terbuat. Karena itulah saya pertahankan dan tetap saya jadikan judul. Bagi saya, spontanitas seperti itu menjadi semacam pertanda bahwa memang “nyawa” lagu berpusat di kalimat itu, jadi saya tinggal mengembangkan cerita besarnya saja.

Adakah kesulitan dalam proses membuat lirik Seperti Kemarin?

Yang paling menantang dalam membuat lirik adalah menentukan tema. Begitu temanya udah ketemu, cerita lagu biasanya mulai terbentuk, kata-kata pun mulai mengalir. Jadi, berhari-hari saya mendengar lagunya berulang-ulang untuk merasakan “spirit” melodinya dulu. Dan karena saya penyanyi, saya bisa merasakan susunan kata-kata yang enak dinyanyikan itu seperti apa. Prinsipnya, saya harus enak dulu menyanyikannya supaya penyanyinya nanti nyaman. Jadi, saya kirim juga sampel suara saya menyanyikan Seperti Kemarin ke Ariel biar dia kebayang bagaimana lirik tersebut disuarakan. 

Berapa lama proses pembuatan liriknya? 

Mungkin intensifnya sekitar seminggu, ya. Sampelnya sih dikirim ke saya lebih lama dari itu, dan saya dengarkan sekali-sekali. Begitu temanya sudah terbayang, baru saya dengarkan intensif dan menyusun kata per kata. 

Bagaimana perasaannya berkolaborasi dengan Noah? 

Senang dan excited. Saya selalu melihat Noah sebagai band yang progresif, berkualitas, dan pada saat yang sama mereka memiliki magnet kuat untuk menjaring begitu banyak fans. Bisa berkolaborasi dengan mereka adalah suatu kebanggaan tersendiri, juga menjadi pengalaman baru buat saya karena jarang-jarang saya berkolaborasi dengan pencipta lagu lain.

Apa harapan Dee untuk single Seperti Kemarin? 

Pada prinsipnya, menulis lirik dan menulis buku hakikatnya sama bagi saya, yakni story telling. Kita menyampaikan cerita. Dengan single Seperti Kemarin, saya menyampaikan cerita lewat musikalitas Noah. Bagi saya ini menjadi pengalaman artistik yang menarik. Dan, sebagaimana saya menulis buku, saya pun berharap banyak orang yang bisa terwakili dan merasakan keterhubungan dengan lagu ini.

Apakah ada rencana berkolaborasi lagi dengan Noah ke depannya? 

Menulis lagu selalu menjadi salah satu passion saya dalam berkesenian, selain menulis fiksi dan menyanyi. Pada prinsipnya, kalau memang saya merasa cocok, saya bisa berkolaborasi dengan siapa pun.

FAQ: Kumpulan Cerita MADRE (2011, Bentang Pustaka)


Madre ini buku yang keberapa?

Yang ketujuh, setelah Perahu Kertas (2009). 

Kenapa memilih kembali menghadirkan bentuk antologi? 

Karya-karya saya termasuk cukup beragam bentuknya, tidak hanya novel. Ada cerita pendek, novelet, puisi, dan lain-lain. Jadi, format antologi ini saya gunakan untuk menampung karya-karya non-novel, yang ketika sudah berjalan sekian tahun, volumenya semakin banyak dan bisa diterbitkan menjadi buku. Filosofi Kopi, misalnya, adalah kumpulan variasi karya saya selama satu dekade. Madre juga seperti itu bentuknya,  yakni kumpulan variasi karya saya selama lima tahun terakhir. 

Ada berapa cerita pendek dalam antologi Madre? 

13 cerita. 

Berapa lama menyelesaikan Madre? 

Karena Madre berbentuk antologi selama lima tahun terakhir, beberapa di antaranya sudah banyak yang selesai, meski semua naskah tetap harus disunting ulang. Tapi ada juga naskah baru yang memang dibuat tahun ini, yakni Madre itu sendiri. Selain itu ada juga beberapa naskah lama yang saya tulis ulang dan selesaikan, seperti "Menunggu Layang-layang" dan "Have You Ever?". 

Mengapa terpikir untuk meminta Sitok Srengenge sebagai editor untuk Madre? Ada pertimbangan khusus? 

Saya kenal Mas Sitok secara pribadi, dan mengagumi karya-karyanya. Sebetulnya waktu itu saya justru tanya ke Mas Sitok, editor mana yang ia rekomendasikan. Mas Sitok tahu-tahu malah menawarkan diri, padahal jadwal beliau sangat padat. Bagi saya, ini kesempatan yang sangat istimewa. Mas Sitok punya kepekaan bahasa yang baik, dan karena beliau juga bergerak di bidang penerbitan, ia terbiasa jeli menghadapi naskah. Jadi, kemampuan beliau sangat unik. 

Kisah Madre sendiri, mengapa tergerak membuat cerita tentang roti? 

Saya senang masak dan makan. Sejak dulu ingin sekali membuat cerita tentang makanan. Memilih roti sebenarnya tidak diniatkan sejak awal. Ide itu baru terpicu ketika saya ikut kursus membuat roti, dan instruktur saya bercerita tentang bedanya ragi instan dan ragi yang dikulturkan, yang biasanya disebut starter dough atau adonan biang. Saya langsung tertarik. Setelah saya riset, saya makin kagum. Bayangkan, adonan biang bisa bertahan ratusan tahun dan menjadi ibu bagi entah berapa banyak roti, seperti Boudin Bakery di San Fransisco. Waktu kecil, saya pun pernah berlangganan roti seperti itu. Sayangnya, toko roti tersebut tergusur zaman dan sekarang tutup. Bagi saya semua hal tadi memiliki elemen yang sangat kaya untuk diwujudkan dalam cerita. 

Kalau melihat secara keseluruhan, kisah paling favorit dari antologi Madre? 

Itu pertanyaan sulit, karena bagi saya semua cerita punya pemicu, kenangan, dan proses kreatif yang berbeda-beda. Kisah berjudul "Madre" tentunya istimewa karena saya memang sudah lama ingin membuat cerita tentang makanan, dan "Madre" memang menjadi cerita utama di buku. Saya juga punya kesan mendalam pada cerita "Semangkok Acar untuk Cinta dan Tuhan", bagi saya cerita itu sangat merepresentasikan apa yang saya rasakan dan alami secara spiritual. 

Apa yang membuat Madre berbeda dari karya-karya Dee sebelumnya? 

Sejauh ini, setiap buku saya memang beda-beda, ya. Madre, misalnya, walaupun mirip formatnya dengan Filosofi Kopi, tapi jika ditelaah isinya "citarasa"-nya berbeda. Menurut saya, yang "khas" dari Madre ini adalah tema-tema yang diangkat. Benang merahnya cukup jelas. Tema spiritualitas, re-birth, reinkarnasi, banyak muncul dalam antologi Madre. 

Sudah adakah rencana untuk buku berikutnya? 

Untuk 2-3 tahun ke depan, saya memang berencana untuk menulis marathon. Jadi proses kerja saya hampir tak terputus. Sesudah ini saya mau menyelesaikan serial Supernova, Sudah setahun ini, sejak mempersiapkan Madre, saya mengurangi aktivitas di luar untuk fokus menulis dulu. Target saya sesudah ini adalah buku keempat Supernova yakni "Partikel". 

Apakah buku Madre juga berencana dibuat film? 

Untuk produksi film tidak pernah menjadi target buat saya. Kalau ada yang tertarik, dan rasanya berjodoh, ya mungkin bisa jalan. Tapi kalau tidak pun tidak apa-apa. 

Apakah buku Madre ini juga punya karya musik pendamping, misalnya soundtrack? 

Tidak ada, karena memang konsepnya Madre ini murni buku fiksi saja. 

Apakah sekarang berencana lebih fokus ke menulis saja, ketimbang di bidang musik? 

Meski musik merupakan minat dan profesi saya, dalam menetapkan prioritas saya lebih melihat situasi. Saat ini saya sedang ingin lebih banyak di rumah, membesarkan anak-anak, terutama Atisha yang belum 2 tahun. Untuk itu, saat ini saya lebih condong ke menulis karena saya dimungkinkan lebih banyak di rumah ketimbang jika saya beraktivitas di musik. 

Seberapa jauh efektivitas media sosial yang Dewi gunakan untuk meluncurkan buku terbaru kali ini? 

Media sosial, khususnya Twitter, sekarang adalah sarana utama saya berkomunikasi dengan pembaca. Lewat media sosial, saya bisa kasih informasi, bikin kuis, berinteraksi, dari yang sifatnya pekerjaan sampai ngalor ngidul. Bahkan untuk Madre, melalui Twitter saya dan penerbit bisa membuat momen pre-sale yang cukup sukses. 

Bagaimana selama ini menyeimbangkan waktu dan tenaga antara proses menulis dengan merawat bayi, terutama waktu membuat Madre? 

Jujur saja, tidak terlalu mudah. Saya harus membiasakan diri kerja dengan interval pendek-pendek karena nggak bisa meninggalkan anak saya terlalu lama. Padahal kalau menulis itu saya terbiasa menghabiskan waktu berjam-jam sekali duduk. Tapi saat ini, sih, sudah mulai terbiasa dengan itu. Konsekuensinya ya saya nggak terima pekerjaan di luar rumah dulu. 

Baru-baru ini Supernova edisi pertama diterbitkan dalam bahasa Inggris.  Bagaimana ceritanya, apakah memang ditargetkan karya-karya lain juga akan dibuat versi Inggrisnya? 

Untuk penerjemahan juga tidak menjadi target saya, karena memang hal tersebut sifatnya situasional. Artinya, jika ada penerbit yang merasa sebuah naskah asing memiliki pangsa pasar dan bisa memasarkan, maka tawaran itu datang. Hal tersebut juga berkaitan dengan ketertarikan masyarakat internasional pada karya sastra Indonesia. Tentunya saya akan merasa sangat senang jika ada tawaran penerjemahan karya-karya saya, tapi bagi saya itu bukan hal yang jadi prioritas.

Tabloid Wanita Indonesia | Rubrik: Bincang | Desember, 2014 | by Dewi Syafrianis

 
Halo Dee, apa kabar? Lagi sibuk apa? 

Kabar baik. Saya sedang terlibat beberapa penjurian lomba menulis dan merampungkan jadwal promosi Gelombang untuk akhir 2014 ini. 

Oh ya, Dee kan sudah nonton filmnya ya (waktu preskon, Sabtu 6 Des 2014). Puas nggak dengan hasilnya? Sudah sesuai dengan ekspektasikah? 

Menurut saya, filmnya cukup membanggakan, digarap dengan sangat serius dan produksinya luar biasa. Angin segar bagi perfilman Indonesia karena cerita dan penggarapannya yang tidak biasa. Tentunya, bukan tanpa catatan. Apalagi bagi saya yang nulis, ya. Tapi secara keseluruhan menurut saya filmnya amat layak ditonton. 

Boleh cerita lagi dong tentang ide awal menulis Supernova ini. Kan, katanya bisa dibilang ini tentang spiritual Dee yang diangkat dalam bentuk fiksi ya. Seperti apa tuh... 

Supernova saya tulis tahun 2000. Kira-kira setahun sebelumnya saya mengalami peristiwa yang mungkin bisa disebut “epifani” atau pencerahan kecil, yang mengubah pandangan saya tentang hidup. Dan sejak itu saya tertarik menyelami spiritualitas dan bagaimana hubungannya dengan dunia sains. Saya menulis Supernova karena ingin berbagi apa yang saya pikirkan. Karena saya bisanya ya nulis fiksi. 

Kesibukan Dee selain nulis novel apa lagi nih? Masih menekuni dunia menyanyi nggak sih?  Maksudnya di luar mencipta lagu ya. Apakah masih terima tawaran off air? 

Sedang enggak. Lagi fokus menulis saja. 

Seperti apa sih keasyikan menulis untuk Dee? 

Bagi saya, menulis adalah saluran berekspresi, jadi bukan sekadar asyik tapi juga kebutuhan. 

Sudah ada belum sih buku yang Dee buat bersama suami (Reza Gunawan)? Belakangan kan ada juga tuh penulis berkolaborasi dalam membuat novel. 

Belum. 

Olahraga kesukaan Dee apa sih? Apa manfaat yang didapat?

Saya cenderung suka olahraga yang cardio, seperti Body Combat, Taebo. Belakangan lagi coba interval training juga, kombinasi lari dan jalan. 

Apakah olahraga tersebut juga bagian dari me time? Kalau bukan, me time-nya apa tuh? 

Kalau buat saya, olahraga memang buat jaga kesehatan dan metabolisme. “Me time” lebih ke hal-hal yang relaks seperti membaca, melamun, meditasi, jalan-jalan, atau spa. 

Seperti apa bentuk dukungan suami terhadap karya-karya Dee selama ini? 

Dia seperti produser saya. Bukan soal kreatifnya, tapi soal jadwal. Soalnya peran saya kan bukan cuma penulis, tapi ibu dan istri. Jadi, dia ikut bantu menyusun jadwal kerja saya, dari mulai ngitung deadline sampai jam menulis, supaya peran saya yang lain nggak keteteran. Dan sejauh ini, peran dia sangat besar. Madre, Partikel, dan Gelombang nggak akan beres tepat waktu kalau bukan karena bantuannya.

Jawa Pos | Film Supernova KPBJ | Desember, 2014 | by Shika Arimasen


Seberapa besar keterlibatan Dee dalam proses produksi film Supernova? Apa dilepas begitu aja? Kalau iya, kok bisa percaya banget mengingat novel Supernova termasuk "berat" utk difilmkan?

Bisa dibilang hampir tidak terlibat sama sekali. Waktu masih membuat konsep dan draft awal saya beberapa kali diajak diskusi oleh produser, tapi secara teknis saya tidak terlibat. Secara waktu memang tidak mengizinkan karena berbarengan dengan saya menulis Gelombang. Tentunya saya harus memprioritaskan Gelombang karena peran saya sebagai penulis Gelombang tidak ada yang bisa menggantikan. Namun, di film Supernova saya merasa memang itu adalah proyeknya produser dan sutradara, bukan saya. Kecuali kalau saya terlibat secara formal, entah itu sebagai produser atau penulis skenario, ya baru saya harus ikut proses produksi dan punya suara untuk menentukan ini-itu. Tapi posisi saya dari awal memang tidak bisa terlibat karena saya tidak bisa meluangkan waktu untuk itu. “Berat” atau “tidak” menurut saya itu relatif, sih. Pada prinsipnya film ya film. Beda format dengan buku. Buku yang “berat” belum tentu harus ikutan berat kalau jadi film. Yang penting sebagai film, ya, dia harus jadi film yang bagus dari tolok ukur film. Bukan buku. Bagi saya, prinsipnya itu saja. Tidak berarti film harus memvisualkan setiap halaman dan bagian dari buku. Film harus punya identitasnya sendiri, meski ceritanya diadaptasi dari buku.

Gimana menurut Dee pemeran-pemeran tokoh Supernova? Cocok nggak sih dengan visualisasi penulis saat mengembangkan karakternya dulu?

Secara fisik sih menurut saya cocok. Bagaimana mereka memerankannya saya belum bisa menilai karena belum nonton.

Sudah sesuai ekspektasikah garapan sutradara Rizal buat Supernova dari sudut pandang Dee?

Pada saat wawancara ini dilakukan, saya belum nonton jadi tidak bisa menilai. Yang jelas, saya yakin kalau Rizal gambarnya pasti bagus.

Sebenarnya pesan yang berusaha disampaikan novel Supernova: Ksatria, Putri & Bintang Jatuh apa sih? Apakah sama dengan pesan yang disampaikan versi filmnya?

Sekali lagi saya belum nonton film jadi saya tidak bisa mengetahui sama atau tidaknya. Yang jelas, novel Supernova itu adalah novel yang bercerita tentang evolusi spiritual yang terjadi pada karakter-karakternya. Pemahaman mereka akan hidup, cinta, dan jatidiri mereka akan berubah akibat konflik-konflik yang mereka alami sepanjang cerita. Jadi, setidaknya itu yang harus terlihat nanti di film.

Apakah ada rencana Supernova seri lain utk difilmkan juga?

Sejauh ini belum. Kontrak saya dengan Soraya hanya sebatas episode pertama (Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh) saja, dan belum ada pembicaraan apa-apa lagi mengenai episode-episode berikutnya.

Majalah Cita Cinta | Rubrik Intermezzo | Desember, 2014 | by Dian Probowati


Bagaimana perasaan Anda saat ada yang tertarik meminang novel Anda untuk diangkat ke layar lebar?

Biasanya sih yang pertama muncul adalah rasa penasaran. Ingin tahu apa jadinya ketika kreativitas saya diolah oleh orang lain menjadi format yang berbeda.

Bagaimana proses terpilihnya Supernova untuk dijadikan film? Sempatkah tebersit keraguan untuk mengiyakan tawaran tersebut?

Produsernya, Sunil Soraya, sudah menghubungi saya sejak 6 tahun yang lalu. Tapi saat itu saya masih belum tertarik karena saya merasa Supernova adalah cerita yang belum selesai. Setelah sekian lama, perspektif saya berubah. Sama seperti bukunya, saya rasa Supernova bisa dinikmati setiap episodenya secara terpisah-pisah. Jadi, ketika tahun 2012 Sunil menghubungi saya lagi, mind set saya sudah berbeda. Dan saya melihat keseriusan niatnya dalam menggarap film Supernova. Setelah beberapa kali berbincang-bincang, akhirnya saya melepas hak adaptasinya.

Setelah film Supernova selesai digarap, apakah Anda puas dengan hasilnya?

Saat wawancara ini dilakukan, saya belum melihat, jadi untuk hal ini saya belum bisa komentar.

Apakah Anda terlibat langsung dalam memilih aktor-aktor yang akan memerankan tokoh dalam novel Anda? (Beberapa waktu lalu saya sempat wawancara Arifin Putra, katanya Mbak Dee sendiri yang meminta dia membaca novelnya karena menurut Anda ada karakter yang cocok dimainkan untuknya.)

Terlibat langsung sih, tidak. Tapi awal-awal ketika proses casting baru dimulai saya sempat diajak diskusi oleh Sunil perihal casting. Pada akhirnya tentu dia yang memutuskan karena itu sesuai kapasitas dia sebagai produser. Saya sebatas kasih usulan saja. Arifin Putra adalah salah satu aktor Indonesia favorit saya. Saya memang pernah mengusulkan Arifin, tapi sebenarnya bukan sebagai Reuben (perannya yang sekarang), melainkan sebagai Ferre. Hanya saja peran Ferre sudah dikunci di Herjunot Ali. Saya sih oke-oke saja dengan itu. Tahunya, setelah The Raid 2 keluar, Arifin diundang casting lagi, tapi kali ini sebagai Reuben. Karena saya tahu dia aktor bagus, saya sih menyambut positif. Saya yakin dia bisa memerankan Reuben dengan baik.

Sejauh apa keterlibatan Anda sebagai penulis dalam proses produksi film?
Bisa dibilang hampir tidak terlibat sama sekali. Hanya berupa diskusi di awal saja. Atau kalau ada yang Sunil ragu-ragu mengenai makna dalam cerita Supernova, dia tanya saya.

Durasi film yang terbatas (90-120 menit) akan sulit menggambarkan keseluruhan cerita pada ratusan halaman buku. Sering kali pembaca novel kecewa ketika menonton film adaptasi novel favorit mereka. Bagaimana cara Anda agar hal itu nggak terjadi pada film yang diadaptasi dari novel Anda?

Sayangnya, kendali itu bukan di saya. Dan, saya rasa bukan itu tugas utama sebuah film yang diadaptasi dari buku. Kalau bikin film dari buku hanya sekadar untuk memuaskan pembacara, jelas itu nggak mungkin dilakukan. Setiap orang punya persepsi dan “theatre of mind”-nya masing-masing. Tugas utama pembuat film adalah bikin film bagus. Itu saja. Cerita bisa diadaptasi dari buku atau naskah orisinal, nggak masalah. Dan setiap karya, mau itu film atau buku, pasti akan ada yang suka dan tidak. Jadi, menurut saya sama-sama saja.

Apakah ada kekhawatiran tersendiri soal filmnya karena novel Anda menyandang title Best Seller?

Saat ini, enggak sih.

Apa kendala terbesar bagi Anda dalam proses pembuatan film adaptasi ini?

Karena saya nggak ikutan produksi, saya tidak merasakan kendala apa-apa.

Saat ini mulai banyak film di Indonesia yang merupakan adaptasi dari novel Best Seller, seperti 5 CM, Refrain, Mika, Laskar pelangi, dsb. Bagaimana Anda melihat fenomena film adaptasi novel di Indonesia?

Saya rasa itu memang pilihan yang dinilai strategis oleh para produser. Ketimbang naskah orisinal yang belum dikenal, cerita dari buku laris otomatis sudah punya pembaca dan massanya sendiri. Setidaknya film itu nanti sudah akan menarik perhatian para pembaca buku.

Ada nggak film adaptasi favorit Anda (dalam dan luar negeri). Sertakan alasannya.

Serial The Lord of the Rings adalah favorit saya sejauh ini, karena saya lebih bisa menikmati filmnya ketimbang bukunya. The Hunger Games juga efeknya sama di saya, bagi saya filmnya lebih charming ketimbang bukunya. Saya juga cukup suka The Giver tanpa baca bukunya.

Lebih seru mana, menulis buku atau proses membuat filmnya?

Saya lebih suka menulis buku, karena cuma sendirian dan nggak harus melalui persetujuan banyak orang.

Next, apakah sudah ada lagi yang tertarik memfilmkan novel Anda lainnya? Ataukah sekuel Supernova akan dibuat juga?

Filosofi Kopi akan difilmkan, rencana rilis April 2015, proses praproduksinya sudah dimulai. Untuk sekuel Supernova sejauh ini belum ada rencana. Kontrak saya dengan Soraya Intercine hanya sebatas episode pertama Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh saja.

Provoke Magazine | Person of the Month | November, 2014 | by Rizki Ramadan


Minggu lalu, saya baru menyelesaikan baca Gelombang, dan perasaan saya saat baca selalu sama seperti saat baca seri Supernova sebelumnya. Semesta yang ada di buku itu begitu jelas dan detail. Saya seperti mebaca ensiklopedia versi fun tentang Kalimantan, Bogor, Sianjur Mula-Mula sampai New York.  Nah, tiap mau nulis buku itu proses riset Mbak Dewi itu seperti apa, sih? Lantas, apa sih yang bisa bikin Mbak Dee gemar berimajinasi, berkhayal sampai akhirnya diejewantahkan pada novel-novelnya ini?

Pada dasarnya saya menulis berdasarkan kebutuhan cerita dan konteks. Misalnya, tradisi spiritual di dunia yang menekankan pentingnya mimpi adalah tradisi spiritual Tibet dan secara kontekstual cocok dengan cerita saya, akhirnya saya memutuskan untuk membuat setting di Tibet, yang konsekuensinya saya harus riset tentang Tibet. Lalu, kenapa Alfa pergi ke Amerika, karena saya punya keluarga yang juga menjadi imigran di sana, dan mereka keluarga Batak. Kenapa New York, karena ada kaitan yang kontras antara Alfa yang tak bisa tidur dengan kota New York yang konon tak pernah tidur. Jadi, semua yang saya ceritakan selalu berada dalam konteks yang interdependensi, saling terkait. Riset hanyalah konsekuensi dari interdependensi bagian-bagian dalam cerita.

Ngomong-ngomong soal riset, riset yang mendalam ini karena rasa ingin tahu, Mbak Dee, yang memang gedenya bisa ngalahin T-Rex,  yah? Hehe. Biasanya kalau tiba-tiba penasaran dan pengin tahu tentang sesuatu, apa yang dilakukan?

Haha! Karena “curiosity kills the cat” terlalu mainstream! Well, saya pada dasarnya memang orang yang punya banyak ketertarikan. Ketertarikan kalau digali lebih dalam bisa jadi passion. Nah, passion hanya bakal jadi “panas yang kosong” kalau tidak diberi skill. Jadi, prinsip saya, kalau punya ketertarikan, berikan dia kesempatan menjadi passion dengan cara menggalinya lebih dalam. Kalau sudah jadi passion, kasihlah skill maka passion itu bisa jadi punya nilai lebih. Kalau saya tertarik sesuatu, pertama saya akan cari tahu lebih banyak, entah lewat baca banyak buku atau riset tentang topik tersebut. Kalau ternyata benar-benar menarik, saya akan cari kursusnya. Untuk menulis Zarah, saya kursus fotografi. Untuk menulis Alfa, saya ikut workshop Meditasi Mimpi dengan seorang rinpoche dari Tibet. Menulis Madre, terinspirasi dari ketika saya ikut kursus membuat roti. Jadi, saya ini ratu kursus sebenarnya.

Satu judul lagi, Supernova akan rampung. Setelahnya, Mbak Dewi berencana bikin apa lagi nih? Bikin novel bersambung lagi dooong... hmm, atau ada rencana nulis novel renyah kayak Perahu Kertas lagikah? Oh ya, ada rencana mau rilis Inteligensi Embun Pagi kapan, mbak?

Saat ini saya memprioritaskan untuk menyelesaikan serial Supernova dulu, mungkin setelah itu baru mengerjakan proyek menulis lainnya. Perkiraan waktu rilis Inteligensi Embun Pagi belum bisa saya kasih tahu, yang jelas saya akan mulai mengerjakannya dalam waktu dekat.

Apa yang bikin Mbak Dee nulis Supernova?  Saat awal-awal mau bikin Supernova proses kreatifnya gimana, sampai akhirnya pun langsung ngeluarin judulnya sampe seri yang keenam?

Sejak pertama menulis Supernova pertama memang sudah rencana jadi serial. Titik baliknya adalah ketika memutuskan untuk memunculkan empat tokoh baru. Dan karena untuk masing-masing tokoh saya bikinkan satu buku, otomatis jadi 6 buku. KPBJ sebagai pembuka, Akar hingga Gelombang untuk memperkenalkan empat tokoh utama, dan Inteligensi Embun Pagi sebagai buku penutup.

Novel-novelmu kan udah banyak yang difilmkan, Mbak. Nah, kami para pembaca kadang merasa waswas tiap kali ada novel yang kami suka dibuatkan film. Di satu sisi penasaran dan excited pengen liat bagaimana jadinya kalau cerita di buku jadi berwujud, tapi di satu sisi takut film nggak bisa mewujudkan sensasi yang diharapkan, takut nggak sesuai dengan ekspektasi lah pokoknya. Nah, apakah perasaan kayak gitu Mbak rasakan juga? terus pertimbangan apa sih yang biasa dilakukan sebelum akhirnya setuju untuk memfilmkan buku? (Misal: script-nya harus Mbak yang tulis sendiri, dll)

Tadinya begitu, sekarang sih sudah cukup santai. Setelah pengalaman di Perahu Kertas di mana saya jadi penulis skenario, tetap saja kadang-kadang ada hal-hal yang di luar dugaan. Ekspektasi dan reaksi pembaca juga beragam. Jadi, menurut saya sih hampir sama-sama saja antara ikut terlibat atau tidak. Yang barangkali bisa membedakan secara signifikan adalah kalau saya berperan sebagai produser dan penyandang dana, nah, barulah di situ saya punya kuasa penuh. Selama belum bisa begitu, ya saya harus menerima fakta bahwa film adalah karya kolaboratif dan bukan datang dari pemikiran tunggal seorang penulis sebagaimana layaknya buku, jadi pasti keduanya berbeda. Dengan tidak lagi membandingkan, saya jadi lebih santai sebagai penonton.

Ceritain dong, Mbak, masa SMA-mu seperti apa? Saat SMA sudah suka nulis kan pasti? Saat itu biasanya nulis apa, Mbak?

Saya hobi nulis fiksi sejak kecil, dari SD. Waktu SMA, saya sudah mulai bikin artikel untuk mading, bahkan pernah bikin koran yang isinya tulisan saya semua. Saya juga rajin nulis jurnal / buku harian dari SMP kelas 1, terus sampai dewasa, termasuk masa SMA. Beberapa kali bikin cerpen dan novel pendek, yang biasanya nggak tamat. 

Sebut lima judul buku yang Mbak baca saat masa SMA dan itu berkesan.

Komik Topeng Kaca, Candy-candy, Popcorn, dan buku-buku Sydney Sheldon.

Menulis dan mengiati kegiatan kreatif lainnya kan pasti banyak godaannya, seperti bosan, mentok atau disktraksi lainnya, bagaimana cara Mbak Dewi mengatasinya?

Punya deadline. Kalau sudah jadi penulis profesional, memiliki deadline tidak sulit lagi karena biasanya sudah jadi konsekuensi. Buat yang belum profesional, bikinlah deadline untuk diri sendiri. Publikasikan deadline kalian secara online, kasih tahu teman-teman, keluarga, dsb. Jadi ada tekanan untuk menyelesaikan. Distraksi, mentok, bosan, dan sebagainya, akan teratasi dengan sendirinya begitu kalian punya deadline yang nyata.

Mbak tertarik dengan alien (di Akar dan Partikel), dan di buku Gelombang ini tentang mimpi. Nah, di edisi depan kan Provoke! bertema capture the future ini, apa yang mbak bayangkan tentang masa depan? Ada hal yang ditakuti (atau malah ditunggu) dari masa depan nggak, Mbak?

Ketika sudah berkeluarga, bicara tentang masa depan biasanya sudah lebih memikirkan tentang anak ketimbang diri sendiri. Berkaitan dengan masa depan anak, saya lebih sering terpikir mengenai masa depan bumi dengan segala perubahan drastis yang terjadi akibat ulah manusia, dari mulai kepunahan spesies sampai pemanasan global. Saya berharap manusia bisa menemukan cara koeksistensi yang lebih harmonis dengan alam dan makhluk lainnya.

Apa yang Mbak Dee suka dari menulis buku?

Menciptakan dunia, kehidupan, dan karakter baru, tenggelam di dalamnya dan berinteraksi dengan alam imajinasi. Bagi saya itu semua adalah kepuasan dan rekreasi.

Minta tips dong untuk kita-kita yang lagi belajar jadi penulis ini.

Menulis adalah keahlian yang butuh proses panjang dan jam terbang tinggi. Jadi, berlatihlah dari sekarang. Just keep it small. Have small targets, but keep doing them. Bisa satu artikel blog satu minggu, satu cerpen satu bulan, satu novel satu tahun, dsb. Tapi teruslah berlatih. Miliki wawasan dengan banyak membaca.


RAPID QUESTION

Hutan atau laut?
Laut.

Kopi atau es krim?
Kopi.

Masa depan atau masa lalu?
Masa depan.

Buku harian atau Twitter?
Buku harian.

Alien atau UFO?
Alien.

The Jakarta Globe | Frankfurt Book Fair | November, 2014 | by Jaime Adams


What were your impressions from Frankfurt Book Fair 2014?

It was bigger than I expected. I’ve heard about FBF as one of the biggest book fairs in the world, but to actually be there and saw the size of the event was an entirely different experience. When I saw the Guest of Honor building I immediately imagined how it would be like if it was the Indonesian flag, Indonesian sign, and Indonesian books presented there. It was thrilling.

How did you experience the symbolic handover ceremony, where Indonesia was officially named Guest of Honour country for next year?

It was touching. We all could see how emotional it was for Finland, knowing how hard they have prepared and their volumes of work for being the Guest of Honor in 2014. The stark contrast between the cool Finland and hot Indonesia was also very interesting. It was like we were taken to travel to another side of the globe and experience the colorful world of culture and literature. I was more than proud to be one of delegates, introducing Indonesia the best way I could, from the talk to the ikat dress I wore from Ikat Indonesia. I know it was a literature event, but at that moment it really felt it was way more than that. It’s cultural. Book became a meeting point where people from all over the world meet and be in touched with the beauty of diversity.

You traveled to Berlin afterwards to have a reading at Dussmann. Could you share with me how the event went? Who were the people in the crowd, did you think there was much interest in you/ Indonesian literature in general?

First of all, I’m so impressed with Berlin. I found the city was very charming. And Dussmann has the perfect venue for writer’s event. That night, we had Berlin locals and Indonesians, including the ambassador Mr. Fauzi Bowo. The talk was lively with many interesting questions from the audience. We talked about the literature scene in Indonesia; the challenges and also the new hope. We also talked about the importance of Indonesia’s creative economy; its future and potential. We now have a new government and how the timing coincided with Frankfurt Book Fair 2015 nevertheless brought a new energy to our book industry, I hope we can seize the moment and use it as a momentum to bring Indonesian literature to a new level and recognition.

When you came back, you immediately published your new novel, and I see that it has created quite some buzz; even though you are a "seasoned" writer, do you still get very excited when publishing a new book, and seeing the reactions of your readers?

For me, each book is different. Even though my new book, Gelombang (The Wave) is a part of Supernova series, I still feel each episode carried a new spirit and created different dynamic with the readers. So, it always got me excited. The first Supernova episode came out almost 14 years ago, but with each episode, the series keep attracting first time readers. So, it’s always got me excited. Each episode always feels like a first book for me.

How do you personally prepare for next year's Frankfurt Book Fair? What remains to be done?

So many things to be done. After I’m done with my new book promotion,  I’ll be working closely with my publisher to prepare the translations for my books. I’m pretty sure Indonesia can bring out solid cultural shows and performances for FBF ’15. I’m still concerned on the massive book translations Indonesia has to prepare, considering how short the time we have. I think that is our biggest homework.

Majalah Univ Mercu Buana | Supernova GELOMBANG | November, 2014


Selain project penerbitan buku, kesibukan apa lagi yang sedang dijalani lainnya?

Sedang ikut jadi juri untuk kompetisi yang diadakan oleh produsen gadget dan provider selular, dan baru saja selesai roadshow untuk produsen perawatan rambut.
Setahun ke depan ini saya juga akan membantu Kemendikbud dan IKAPI untuk sosialisasi peran Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015.

Apa saja yang dipersiapkan untuk peluncuran buku terbarunya?

Bentang Pustaka menyiapkan gimmick figur bernama Si Jaga Portibi yang akan berkeliling ke toko-toko buku. Selain itu, persiapan stok yang cukup tentunya.

Di mana peluncurannya?

Tidak ada event peluncuran. Konsepnya hanya serentak distribusi untuk sebagian besar wilayah Indonesia pada tanggal yang sama.

Roadshow peluncuran buku tersebut ke kota mana saja?

Masih akan disusun. Pastinya ke kota-kota besar di Indonesia.

Apa yang membedakan Supernova 5 (Gelombang) dengan Supernova sebelumnya?

Ada satu tokoh utama yang baru diperkenalkan di Supernova 5. Episode ini juga menjelaskan banyak hal yang akan menautkan semua episode. Konsep besar serial Supernova akan lebih jelas terbaca dalam episode ini.

Berapa lama proses penulisannya?

Intensifnya lima bulan, di luar dari editing dan riset.

Kendala apa yang ditemui saat proses penulisan?

Sebenarnya proses menulis Gelombang cenderung lancar sih, tidak ada kendala yang berarti. Malah ini proses penulisan yang paling sistematis dibandingkan yang sebelum-sebelumnya, karena akhirnya saya menemukan mekanisme kerja yang paling pas.

Ada rencana untuk difilmkan?

Untuk Gelombang, belum.

Apa harapan dari karya terbarunya ?

Setiap episode Supernova memiliki karakter yang berbeda-beda. Saya berharap Gelombang akan menemukan penggemarnya dan Alfa, tokoh utamanya, menjadi salah satu tokoh utama yang disukai dan meninggalkan kesan dalam.

Pesan apa yang ingin disampaikan dari Supernova (Gelombang) ini?

Saya nggak menyisipkan pesan. Nikmati ceritanya saja.

Dalam produksi film Supernova (Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh) Mbak Dewi ada keterlibatan produksi atau tidak?

Tidak ada. Hanya sebatas diskusi di awal-awal, tapi begitu produksi berjalan saya nggak terlibat.

Seberapa besar kontribusi Mbak Dewi dalam penggarapan film Supernova pertama?

Hanya berdiskusi dua-tiga kali dengan produser dan kasih komentar untuk draft skenarionya.