Thursday, April 2, 2020

Tirto.ID | Pajak Royalti | Mei, 2017 | Aulia Adam


1.     Waktu ketemu Presiden di BEKRAF 2015, masih ingat dialog yang terjadi? Apa yang Mbak Dee bilang tentang pajak royalti penulis dan bagaimana tanggapan Presiden?

Waktu itu, Presiden pada dasarnya menampung masukan tersebut karena saat itu bukan saya saja yang bicara, ada juga beberapa pekerja kreatif lain dari berbagai bidang. Yang jelas, setahun setelah dialog tersebut, saya mendengar bahwa sudah disusun aturan NPPN bagi para penulis, yang akhirnya berlaku mulai 2017 ini.

2.     Bisa ceritakan maksud dari 'mengkapitalisasi diri'? Apa saja yang biasanya dilakukan penulis untuk tetap dapat pemasukan lain selain menunggu royalti?

Mengajar seminar, mengisi talkshow, kasih workshop, jadi motivator, menulis lepasan (dibayar putus dan bukan royalti) untuk order dari perusahan maupun perorangan, dsb.

3.     Mbak Dee sendiri harus berapa lama menunggu pembayaran royalti? Sekali per semester?

Setahun dua kali, setiap enam bulan.


4.     Mbak Dee juga pernah melakukan self-publishing. Bisa ceritakan pengalaman itu? Bagaimana hasilnya?


Self-publish intinya kita berperan jadi penerbit. Artinya, segala modal, tugas, dan profit penerbit menjadi porsinya penulis. Keuntungannya adalah kita fleksibel menentukan konten, jadwal, maupun cara promosi dan distribusi, tapi tantangannya tentu kita harus punya modal dan SDM yang kuat untuk menjalankan bisnisnya.

5.     Menurut Mbak Dee, seberapa penting penerbit bagi penulis Indonesia? Tolong ilustrasikan.

Pada dasarnya, penerbit dan penulis sama-sama membidani lahirnya buku, dengan tugas yang dibagi-bagi. Penulis setor konten, dan penerbit mengolahnya hingga produk jadi. Elemen tugas yang dikerjakan penerbit cukup banyak, dari mulai berurusan dengan percetakan, distributor, toko buku, promosi, dsb. Jadi, kalau dibilang penting ya sangat penting. Karena belum tentu semua penulis punya kapasitas untuk melakukan itu semua. Tugas utama penulis adalah mengolah konten. Kalau memang ada penulis yang kuat menjalankan bisnisnya, ya silakan saja. Profitnya pasti lebih besar, tapi tanggung jawabnya juga besar.

6.     Apakah mencabut buku dari penerbit sebagai protes terhadap pajak adalah laku yang bijak, menurut Mbak Dee? Bukankah penerbit sendiri sudah kena pajak di sana-sini?

Menurut saya, keputusan Tere Liye mencabut buku dari penerbit bukanlah yang difokuskan kepada penerbit, melainkan kondisi ekonomi perbukuan secara keseluruhan termasuk komponen pajaknya. Jatah penerbit dari sebuah buku tidak terlalu besar, kok. Jauh di bawah toko buku. Dalam kasus Tere Liye, saya melihat upayanya sebagai upaya membebaskan diri dari rantai perdagangan buku konvensional yang di dalamnya melibatkan kebijakan pajak yang tidak ia setujui. Toh, beliau sendiri menyatakan bahwa ia akan mencari cara lain untuk menulis.

7.     Di luar masalah pajak penulis, gimana pandangan Mbak Dee tentang regenerasi penulis di Indonesia?

Sebetulnya saat ini regenerasi penulis cukup cepat karena diterimanya berbagai macam variasi genre oleh penerbit dan pasar. Kita punya pasar teenlit, Wattpad, maupun platform self-publish yang lebih bervariasi. Para penulis muda sekarang jauh lebih mudah untuk bisa berkarya. Pada akhirnya, mereka yang serius akan terus menekuni bidang ini. Seleksi alam akan berlaku. Yang jelas, ada pasar besar untuk para penulis muda.

8.     Perkembangan teknologi membawa perubahan tabiat membaca. Generasi lebih muda punya karakter lebih senang bacaan singkat, grafis yang banyak. Buku dituntut untuk mengimbangi teknologi hiburan lainnya yang menunjukkan kenaikan peminat, misalnya di sektor musik atau film streaming (https://tirto.id/revolusi-gaya-menonton-ala-gen-z-ctUd). Apa pendapat Mbak Dee tentang hal ini?

Perubahan zaman tidak bisa ditolak, hanya bisa dirangkul. Betul, tabiat membaca secara umum berubah, tapi kebutuhan orang akan konten menurut saya akan terus berjalan. Buku fisik bisa jadi bergeser jadi buku digital, tapi kebutuhan orang akan fiksi, akan cerita, terus berjalan. Maksud saya, jangan sampai tertukar antara medium dan konten. Perubahan medium bisa ke mana saja, tapi konten yang bagus akan tetap dibutuhkan. Jadi, penulis jangan dipusingkan soal medium dulu, fokus pada konten. Hanya karena orang senang baca cerita bergambar, tidak berarti saya juga harus bikin cerita bergambar karena tren. Hanya karena orang senang baca cerita singkat, tidak berarti saya berhenti bikin cerita panjang. Tetaplah mengolah konten yang kita sukai.


9.     Bagaimana pengalaman Mbak Dee sebagai penulis yang menghadapi pembaca secara langsung?

Saya kurang paham pertanyaan ini.

10.   Apakah perubahan tabiat ini juga memengaruhi penulis-penulis muda yang ingin masuk ke industri? Akankah lebih mudah atau susah?

Ini hubungannya dengan nomor 8 ya? Saya rasa nggak terlalu berpengaruh ke susah atau mudah. Filter untuk masuk ke industri biasanya kualitas naskah, dan relevansi dengan visi penerbit.


11.   Menurut Mbak Dee, apakah book fairs (misalnya IIBF, Beijing International Book Fair, Frankfurt Book Fair, atau LBF) masih relevan dikunjungi dan berpengaruh pada penjualan buku?

Book Fair sifatnya lebih ke perdagangan lisensi, bukan soal volume retail. Jadi, sebetulnya book fair semacam itu fungsinya lebih “B to B” (business to business) bukan “B to C” (business to consumer). Yang diperdagangkan lebih ke hak penerjemahan. Tentu penting untuk memperkenalkan karya-karya penulis kita ke luar, dan juga sebaliknya.