Thursday, April 2, 2020

Grand Magazine | Perkembangan Literasi | Juni, 2017 | Fiqih A. Dennoto


Bagaimana pandangan narasumber tentang perkembangan literasi di Indonesia mengingat menurut beberapa riset yang dilakukan, literasi di Indonesia masih cukup rendah?

Kalau kita melihat fenomena pameran buku, seperti Big Bad Wolf baru-baru ini yang mampu meraup target pengunjung di atas ekspektasi, bagaimana orang bisa membeli dan memborong buku sampai subuh, berarti semangat dan ketertarikan kepada buku sebenarnya besar. Tapi, kalau kita memotret Indonesia secara keseluruhan, tentu kita juga harus memasukkan profil masyarakat yang pergi ke sekolah saja susah, akses perpustakaan dan buku terbatas, dan akhirnya secara keseluruhan kita jadi punya angka literasi (berapa banyak buku yang dibaca setahun oleh rata-rata penduduk Indonesia) menjadi rendah. Berarti untuk bisa meningkatkan literasi butuh perbaikan yang sistemik dan menyeluruh. Dari mulai kebijakan pajak buku, menekan harga produksi buku, penyebaran perpustakaan, menggairahkan pemain-pemain industri buku seperti outlet, penerbit, dan juga menyokong para penulis agar kesejahteraannya meningkat. Jadi, ini pe-er besar, dan tidak bisa dilakukan oleh segelintir orang, tapi sudah harus skala kebijakan pemerintah dan industri.

Bagaimana pandangan narasumber tentang media-media apa saja yang bisa digunakan untuk mempopulerkan literasi?

Sesungguhnya, literasi itu sudah populer, kok. Kehidupan manusia sudah melibatkan kegiatan menulis, story-telling, dsb. Film-film Indonesia saat ini banyak sekali yang bersumber dari adaptasi buku. Jadi, bukannya masyarakat tidak kenal atau aware dengan pentingnya buku. Cuma, belum menjadi lahan subur saja, beda jika kita bandingkan dengan kuliner, misalnya. Masih sedikit yang tergerak terlibat menjadi pemain serius, baik dari kalangan bisnisnya maupun kreatifnya. Yang bisa hidup benar-benar dari menulis itu masih sedikit. Industri buku masih jadi penyumbang sangat kecil terhadap ekonomi kreatif Indonesia. Caranya seperti yang saya ungkap tadi. Menulis dan membaca harus menjadi satu paket kegiatan yang didorong sejak kecil. Selain itu, secara industri, harus bisa dibuat ekosistem yang subur.

Sebagai seorang penulis, penyanyi, serta pencipta lagu, bagaimana pandangan narasumber tentang literasi yang diaplikasikan melalui musik?

Format karya yang menggabungkan literasi dan lagu sudah pernah saya buat tahun 2008 saat saya membuat Rectoverso. Sekarang ini juga cukup banyak yang membuat karya gabungan semacam itu, seperti Fahd Pahdepie dan Sudjiwo Tejo, misalnya. Tapi, tentu itu bukan satu-satunya format. Saya rasa dari mulai komposisi lagu pun sudah harus melibatkan kemampuan literasi. Jadi, kalau dilihat secara umum, sebenarnya kemampuan menulis/literasi itu bersinggungan dengan banyak sekali industri.

Supernova, Perahu Kertas, Filosofi Kopi merupakan karya dari narasumber yang sangat dikenal di kalangan masyarakat Indonesia. Pandangan narasumber tentang pencapaiannya sebagai seorang penulis, penyanyi, sekaligus pencipta lagu yang membawa nama Dewi Lestari sampai ke luar negeri.

Jalur kreatif saya sejak kecil memang selalu dua itu, musik dan menulis. Dan, benang merah antara keduanya adalah story-telling atau seni bercerita. Baik dalam format buku maupun lirik lagu, yang saya kedepankan selalu adalah cerita. Saya merasa beruntung dapat menjadikan seni bercerita sebagai karier, identitas, maupun kontribusi saya bagi masyarakat. Pada titik ini saya pun merasa masih banyak sekali hal yang perlu saya pelajari tentang seni bercerita. Itu jugalah yang membuat saya amat mencintai pekerjaan saya, karena ruang untuk terus belajar selalu ada. Pencapaian terbesar yang saya rasakan adalah ketika banyak pembaca mengatakan bahwa mereka jadi menyukai fiksi, menyukai membaca, setelah bertemu dengan karya saya. Bagi saya, itu menjadi indikasi bahwa kecintaan saya terhadap seni bercerita mampu menular dan tersebar ke pihak lain.

Bagaimana pandangan narasumber tentang musisi serta penulis di Indonesia yang mempopulerkan literasi melalui media populer seperti musik dan novel serta seberapa besar perannya dalam mengajak anak muda untuk mulai mencintai literasi?

Saya ini sebetulnya lebih banyak berada di jalur yang soliter, di mana saya berkarya dan kemudian itu menjadi kontribusi saya. Tapi ada penulis-penulis lain yang memang mendedikasikan diri dan waktunya untuk mengembangkan komunitas, mendidik dan membina penulis-penulis muda, seperti Helvy Tiana Rosa dan Gola Gong. Juga ada orang-orang seperti Janet de Neefe penggagas Ubud Writers Festival dan Lily Farid penggagas Makassar Writers Festival, misalnya. Mereka ini menurut saya sungguh luar biasa. Terus terang, saya belum punya kapasitas ke arah sana saat ini. Kita membutuhkan orang-orang semacam mereka, karena mereka memegang peranan penting dalam regenerasi penulis dan juga pengembangan ekosistem kreatif.

Apa yang seharusnya dilakukan anak muda yang ingin mengembangkan budaya literasi agar bisa dinikmati berbagai kalangan?

Yang bisa dilakukan secara langsung dan nyata tentunya adalah dengan menciptakan karya. Sekadar menulis, semua banyak yang bisa. Tapi, ketika kita berkomitmen untuk menciptakan karya, bagi saya itu levelnya sudah beda. Ada banyak implikasi. Kita belajar bagaimana menjadi seorang kreator, kita merasakan pengalaman ketika karya kita berinteraksi dengan pembaca, dsb. Jalur untuk berkarya ini juga tentunya tidak mutlak harus lewat penerbit mapan. Banyak cara untuk berkarya sekarang ini. Lewat self-publishing, lewat perlombaan, atau bahkan lewat platform seperti Wattpad. Intinya, harus mencoba untuk berkarya.

Harapan narasumber sebagai penulis, penyanyi, serta pencipta lagu untuk generasi muda agar lebih peka terhadap literasi.

Tulislah buku yang ingin kamu punya. Tulislah cerita yang ingin kamu baca. Menulis adalah otot yang harus dilatih sesering mungkin untuk bisa menjadi tangguh. Dan, membacalah agar kita terus berkembang.