Saturday, April 4, 2020

Kompas | Pajak Royalti & Pembajakan Buku | Juli, 2018 | Sekar Gandhawangi


Apa pendapat Dee tentang pajak royalti bagi penulis yang tinggi?
Sesungguhnya saat ini perlakuan pajak royalti kepada penulis sudah ada perbaikan, antara lain pencantuman profesi penulis dalam daftar pemakaian norma, dan karena sempat ramai dibincangkan, ada semacam klarifikasi dari Ditjen Pajak kepada KPP maupun masyarakat tentang norma ini. Namun, apakah masih perlu ada perbaikan? Tentu ada. Pertama, menurut saya norma yang digunakan saat ini (50%) masih terlalu tinggi dan belum mencerminkan sifat profesi penulis yang siklus produksinya panjang dan terjadi penundaan pembayaran royalti diakibatkan oleh sistem keuangan dan pencatatan stok di toko buku. Penulis, tidak seperti penyanyi yang jika pentas dibayar cash-and-carry dan sama-sama berada di kategori norma seniman, harus menunggu lama untuk bisa merasakan pendapatan royaltinya. Kedua, jika norma diturunkan, efeknya adalah kecenderungan lebih bayar pajak, karena pajak royalti dipungut duluan oleh pemerintah (dalam hal ini pemerintah “berutang kepada penulis), dan baru dikalklasi ulang saat penghitungan pendapatan di pelaporan tahunan. Sementara, kita tahu, karena sistem retribusi pajak selama ini belum terkomputerisasi dan masih harus diajukan manual, banyak kendala di lapangan bagi mereka yang mengurus kelebihan bayar pajak di KPP. Apalagi kalau jumlah lebih bayarnya besar, repot juga jika harus bolak-balik audit setiap tahun. Ketiga, PPh 15% sangat tinggi. Setahu saya (mohon dikonfirmasi), besaran royalti 15% ini berbasiskan industri tambang. Sementara, sebagai produk intelektual, saya rasa harus ada kebijakan yang segar dan kondusif untuk meringankan royalti penulis. Jika royalti dan norma bisa sama-sama turun, baru hasil akhirnya bisa lebih seimbang. 

Bagaimana pajak royalti penulis yang tinggi ini memengaruhi kreativitas dan produktivitas para penulis di Indonesia?
Pertama-tama, perihal pajak ini masih merupakan topik “gelap” bagi banyak penulis. Banyak sekali penulis yang tidak tahu hak dan kewajibannya yang berkenaan dengan pajak. Jadi, penulis harus terlebih dahulu “dimelekkan” soal pajak, yang mungkin bisa dibantu dengan sosialisasi lebih gencar. Saat ini hanya segelintir penulis yang bisa hidup murni dari royalti bukunya. Produktivitas dan kreativitas tentu merupakan hal yang kompleks, ditentukan oleh skill dan motivasi individual, juga atmosfer kreativitas yang melingkupinya. Namun, peran pemerintah untuk menyokong itu bisa dilakukan dengan memberi insentif, salah satunya lewat perlakuan pajak yang lebih kondusif. Semua profesi punya keistimewaan, tapi untuk kondisi Indonesia ini, saya rasa profesi penulis patut diberi dukungan lebih karena berkenaan dengan kondisi literasi kita yang memerlukan banyak perbaikan. Saya percaya, dengan pajak yang lebih menarik, otomatis profesi penulis juga jadi lebih menarik, dan banyak orang yang akhirnya bisa bekerja penuh sebagai penulis. Otomatis, karya-karya yang muncul akan lebih berpotensi untuk berkualitas. 

Bagaimana cara Dee secara personal menyikapi pajak royalti yang tinggi? Dee dapat dikatakan sebagai salah satu penulis yang produktif dalam berkarya, apakah isu pajak itu tidak memengaruhi kreativitas Dee? Bagaimana pandangan Dee mengenai hal ini?
Saya berkarya memang bukan karena pajak atau royalti, tapi pertamanya karena kecintaan. Jadi, tentu apa pun kondisinya, saya akan tetap berkarya. Namun, ketika sudah jelas terlihat ada masalah, menurut saya akan menjadi salah jika kita berdiam diri. Jadi, upaya saya adalah bersuara mengenai isu tersebut lewat saluran apa pun yang saya bisa.

Bagaimana pendapat Dee tentang buku-buku bajakan yang banyak dijual, khususnya yang dijual secara daring?
Semua buku bajakan, daring atau tidak, merugikan penulis. Di buku bajakan, yang ada hanyalah keuntungan penjual. Tidak ada komponen apresiasi terhadap penulis, penerbit, dan pihak-pihak yang bekerja keras untuk melahirkan sebuah buku. Bajakan daring sesungguhnya sedikit lebih mudah karena bisa ditelusuri dan bisa ditegur. Akan lebih sulit melakukan itu ke buku bajakan yang berada di pasar-pasar dan asongan. Tentunya peran pembaca sangat penting di sini. Kita perlu mengedukasi pembaca untuk menghargai hak intelektual penulis dengan tidak membeli bajakan dan mau menabung demi buuku, jika isunya tidak mampu, ada solusi perpustakaan dan taman bacaan.

Apa langkah Dee dan komunitas penulis untuk menyikapi buku-buku bajakan yang dijual di pasaran?
Saya dan suami sempat menelusuri buku-buku bajakan saya yang dijual di lapak-lapak daring. Kami tegur satu-satu dan kami jelaskan bahwa perbuatan mereka merugikan. Dalam tiga hari, sekitar 50 toko akhirnya menurunkan judul-judul buku saya. Tapi, itu baru buku saya, belum buku-buku lain. Jadi, bisa dibayangkan upayanya jika tidak ada yang mau meluangkan waktu untuk memberi teguran. Suami saya juga sempat mengontak para founder tiga besar pasar daring di Indonesia yang di dalamnya banyak lapak buku bajakan. Satu sudah menyambut baik, yakni Tokopedia. Saat ini di aturan Tokopedia sudah disebutkan larangan menjual buku bajakan. Kami berharap pasar-pasar daring besar lainnya ikut menyusul. Jadi, jika terjadi pelanggaran – dan saya yakin ada – setidaknya ada perangkat aturan yang bisa dijadikan dasar. Selama ini larangan tersebut hanya disebutkan untuk produk musik, belum buku. 

Menurut Dee, bagaimana pemerintah seharusnya bersikap mengenai pajak bagi penulis dan buku bajakan? Apakah ada usulan?
Pembajakan buku ada salah satunya karena pembiaran. Pemerintah harus menyiapkan aturan dan strategi efektif untuk mencegah, meniadakan, dan minimal mempersempit ruang gerak pembajak. Mungkin tidak semua penulis mau turun tangan menegur satu demi satu lapak, untuk itu harus ada sumber daya yang disediakan oleh penerbit dan pihak-pihak berkepentingan lain untuk mengawasi, menegur, dan melaporkan. Karena terlalu lama didiamkan, akhirnya kondisi buku bajakan ini dianggap sebagai “the new normal”. Dan, itu salah menurut saya.

Apakah Dee sedang menyiapkan proyek menulis dalam waktu dekat? Proyek apakah itu? Jika ada proyek menulis dalam waktu dekat, bagaimana persiapan yang sudah dilakukan?
Setelah Aroma Karsa dilansir bulan Maret lalu, sebentar lagi saya akan melansir buku nonfiksi saya pertama, yakni Di Balik Tirai Aroma Karsa, sebuah buku tentang proses kreatif, riset, dan teknik penulisan Aroma Karsa.

Mengenai Supernova, bagaimana persiapan dari kelanjutan buku Inteligensi Embun Pagi?
Kemungkinan akan menjadi agenda kerja saya berikutnya, walau belum ingin saya pastikan sekarang.

Dalam setiap buku yang ditulis, Dee selalu melakukan riset mendalam untuk memperkaya cerita. Bagaimana cara Dee membagi waktu antara riset, menulis, dan menyediakan waktu untuk keluarga?
Jika sudah berkomitmen untuk melahirkan satu karya, biasanya saya memang mendedikasikan waktu panjang dan intens untuk itu. Pada saat seperti itu, prioritas saya hanya dua, keluarga dan berkarya. Konsekuensinya, di luar dari kegiatan menulis, saya mengurangi drastis porsi pekerjaan saya yang lain seperti tampil di media, mengisi seminar, talkshow, dll. Saya juga tidak membuka ikatan kerja kreatif intensif lainnya dengan pihak lain. Otomatis pada saat berkarya saya jadi lebih banyak di rumah.

Bagaimana bentuk dukungan dari keluarga terhadap pekerjaan Dee sebagai penulis?
Di luar dari dukungan moril, suami saya, Reza Gunawan, membantu saya secara manajerial. Kami mendiskusikan dan menyusun berbagai strategi pemasaran, komunikasi, dan promosi. Anak-anak saya, dengan cara dan kapasitasnya masing-masing, juga sangat suportif. Tiap kali harus menandatangani ribuan buku di rumah, mereka ikut membantu menata lembarnya, menyusun, dll. Sungguh saya merasa bersyukur bisa berkarya dalam atmosfer yang saya dapatkan di rumah. Keluarga adalah penyeimbang sekaligus penyokong utama bagi saya.