Friday, April 3, 2020

Tempo.Co | Aroma Karsa | Jan, 2018 | Aisha Shaidra


Sejak kapan akhirnya Dewi Lestari memutuskan untuk kembali menulis novel pasca merampungkan Supernova? Apakah tema yang diangkat kali ini sudah muncul sejak lama, atau memang ide baru yang hadir?

Pasca Supernova 6 sebenarnya sudah ada beberapa calon kisah yang ingin saya garap, yang mengantre sejak lama bahkan sebelum menulis Supernova 1. Waktu itu saya dihadapkan ke beberapa pilihan. Aroma Karsa sebenarnya justru ide yang paling baru, tapi saya merasa dorongan terkuat justru untuk menulis Aroma Karsa terlebih dahulu. Idenya sudah mulai diinkubasi sejak 2015. Setelah Supernova 6, saya rehat dulu sekitar sembilan bulan sebelum memulai proses riset Aroma Karsa. Saya mulai riset akhir tahun 2016 sambil mulai menyusun ide ceritanya.

Apakah ada peristiwa atau mungkin orang yang menginspirasi pembuatan novel ini?

Pada dasarnya, yang menggerakkan saya menulis Aroma Karsa adalah tema aroma itu sendiri. Penciuman menurut saya adalah indra yang jarang digarap di fiksi, deskripsi penciuman juga kalah banyak dibandingkan deskripsi visual. Padahal indra penciuman itu paling kuat mendorong imajinasi. Akhirnya, saya berpikir untuk membuat cerita yang tema besarnya tentang aroma, tentang penciuman.

Boleh diceritakan seperti apa proses penelusuran dan penggalian ide novel terbaru ini? Melihat dari update IG, banyak hal dilakukan untuk penggarapan novel Aroma Karsa. Ada obsesi apa yang ingin dipenuhi?

Sebenarnya, proses penulisan Aroma Karsa tidak jauh berbeda dengan bagaimana menggarap buku-buku saya yang lain, termasuk Supernova. Hanya saja, pada Aroma Karsa saya memang meniatkan untuk mendokumentasi lebih rinci proses risetnya. Selama ini cara saya meriset menjadi hal yang paling sering ditanyakan oleh pembaca, mereka ingin tahu caranya, prosesnya bagaimana, dsb. Berhubung buku-buku yang lalu saya sudah telat untuk mendokumentasi, di Aroma Karsa ini saya berusaha untuk selengkap mungkin mendokumentasikan. Ini juga jadi edukasi bagi publik tentang bagaimana profesi penulis dan bagaimana proses kreatif di balik sebuah tulisan.
Riset Aroma Karsa kebetulan memang melibatkan banyak bidang karena kebutuhan ceritanya demikian. Riset saya bergantung plot. Di Aroma Karsa, sesuai plotnya, saya perlu ke beberapa tempat yang menjadi kanvas penting dalam cerita, seperti pabrik kosmetik, Bantar Gebang, dan Gunung Lawu. Saya juga perlu referensi untuk berbagai profesi, seperti peracik parfum, pembalap, kolektor anggrek, dsb. Saya butuh acuan sejarah untuk merancang legenda, untuk itu saya berkonsultasi dengan ahli epigrafi dan ahli Jawa Kuno dari UI. Untuk tempat yang saya tuliskan tapi sulit dikunjungi karena jarak seperti Grasse, Prancis, maka saya pakai riset pustaka/video.

Berapa lama proses penggalian bahan untuk melengkapi kebutuhan cerita novel ini?
Saya lakukan sambil berjalan menulis naskah. Kurang lebih setahun sambil menulis.


Hal apa yang ingin ditawarkan Dewi Lestari kepada pembaca lewat karya baru ini?
Tujuan saya ketika menulis sebetulnya satu saja, membuat cerita yang sememikat dan mengikat mungkin. Saya ingin pembaca bisa tenggelam dalam cerita, dalam karakter, sekaligus beroleh banyak info dan pengetahuan menarik. Tentu ini akan kembali ke selera masing-masing pembaca. Ada yang bakal suka dan tidak. Yang jelas, setiap karya, termasuk Aroma Karsa, saya rancang untuk mencapai tujuan tadi: memikat, mengikat, dan memperkaya. Itu juga yang saya kejar dalam pengalaman membaca buku lain. Selain itu, saya ingin menghadirkan tema aroma kepada pembaca, yang mana saya rasa agak jarang fiksi mengulas tema tersebut.

Apakah ada habit penulisan yang cukup berbeda (atau malah baru) yang dilakukan khusus untuk penulisan novel ini dari proses kreatif sebelumnya?
Untuk saya pribadi, saya merasa menulis Aroma Karsa ini menjadi penyegaran karena inilah novel stand-alone saya kedua setelah Perahu Kertas. Sepanjang enam buku Supernova saya bercerita dengan perspektif serial. Menulis kumpulan cerpen seperti Filosofi Kopi dan Madre juga rasanya berbeda. Belum lagi tema yang saya angkat di Aroma Karsa adalah tema yang bagi saya sendiri fresh dan menarik. Berbeda dengan Supernova yang karakter dan tempatnya di berbagai belahan dunia, Aroma Karsa ini Indonesia banget.


Hal apa yang paling sulit dihadapi saat melakukan riset dan proses penulisan novel Aroma Karsa?
Yang paling menantang bagi saya adalah mengkonstruksi cerita itu sendiri. Jalan ceritanya intricate, jadi saya harus benar-benar jeli menyusunnya. Meski tema besarnya aroma, banyak elemen dalam Aroma Karsa yang harus saya pelajari, mulai dari anggrek, dekomposisi, kimia, belum lagi setting cerita yang berbeda-beda.

Kenapa merilis versi digital lebih dulu dan diberikan dalam format bersambung?
Sejak kecil saya sangat menyukai format cerbung. Sampai sekarang saya juga penyuka serial, baik film, buku fiksi, dan komik. Mungkin karena itu juga saya jadi punya kecenderungan bikin sesuatu yang berseri, semisal Supernova dan Perahu Kertas (yang dulu juga terbit digital dan bersambung). Saya ingin kembali menghadirkan sensasi baca cerbung itu di pembaca. Hanya saja sulit mencari platform-nya sekarang karena medium orang membaca sudah jauh berubah dibandingkan dulu. Untuk itu, saya mencari platform yang memungkinkan untuk saya merilis naskah saya secara bersambung. Kebetulan, sebuah penerbit digital, Bookslife, memang membuat sistem penjualan bukunya secara “part”. Bagi saya itu jadi solusi. Dan kenapa dirilis duluan? Karena kalau sudah ada versi cetaknya, yang pastinya harus terbit sekaligus dan tidak bisa dicicil, maka tidak mungkin lagi membuat format cerbung. Jadi, memang harus terbit duluan yang versi digitalnya. Bagi saya ini juga bukan situasi “either or” yang mana pembaca harus memilih. Keduanya menghadirkan sensasi yang berbeda. Karena itulah saya dan penerbit, baik Bookslife untuk versi digital maupun Bentang Pustaka untuk versi cetak, berusaha membuat penawaran yang sebaik mungkin untuk pembaca yang hendak mengalami keduanya. Digital, meski nggak ada fisiknya, sensasi cerbung ini nggak akan terulang dua kali. Sementara versi cetak, tentu punya keunggulan tersendiri seperti booksigning, romantisme kert