Saturday, April 4, 2020

Media Indonesia | Buku di Era Digital | Mei, 2018 | Suryani Wandari


Di zaman serba digital ini banyak kekhawatiran terjadi pasalnya sejumlah toko buku akhirnya tutup karena perubahan perilaku masyarakat. Bagaimana Dee melihat kondisi ini? Beberapa penerbit buku sudah mati, tapi menurut IKAPI minat baca masyarakat Indonesia justru semakin meningkat. Menurut Dee mengapa hal tersebut bisa terjadi?

Perubahan tren pasar berbelanja buku secara online, dalam pengamatan saya, sebetulnya hanya mengubah outlet fisik menjadi outlet digital, tapi minat baca maupun ketertarikan masyarakat terhadap bacaan belum tentu ikut mati dengan matinya beberapa toko buku fisik. Tutupnya banyak rantai toko buku fisik besar di Amerika misalnya, tetap saja dibarengi dengan peningkatan volume penjualan buku secara keseluruhan. Artinya, bukan penjualan bukunya yang turun, outletnya yang berubah. Itu terefleksikan juga pada bisnis retail, bukan daya beli masyarakat yang menurun dengan tutupnya banyak department store, hanya masyarakat lebih cenderung membeli online.
Untuk penerbit kurang lebih serupa kondisinya. Karena penerbit banyak bergantung kepada outlet fisik dan memproduksi buku secara fisik, sementara rabat dari toko buku terus meningkat dan bahan baku produksi buku semakin mahal. Tentu tidak mudah untuk menghidupkan bisnis jika judul-judul bukunya tidak laku. Jadi, dalam hal ini hukum pasar yang mendasar tetap berlaku, entah bukunya yang harus laris, bisnisnya harus lebih ramping, mencari alternatif penjualan yang lebih bisa menghemat profit, atau gabungan semua itu.
Sementara, sebagai kreator konten yang bergerak di hulu seperti saya, sebetulnya tidak banyak yang perlu dikhawatirkan, karena masyarakat tetap membutuhkan konten, hanya cara mendapatkannya saja yang berbeda.

Apa dampak dari masifnya teknologi informasi di berbagai bidang ini berpengaruh pula terhadap penjualan buku yang Dee tulis?

Sejauh ini tidak. Bahkan lebih baik, karena sekarang ada outlet tambahan, yakni toko buku online yang menjual fisik, dan toko buku digital yang menjual format digital.

Apakah pernah mengalami ditolak oleh beberapa penerbit?

Belum, karena latar belakang saya dari self-publishing.

Dee sendiri lebih memilih mencetak buku di penerbit indie atau penerbit mayor? Alasannya?

Keduanya punya keuntungan dan tantangan masing-masing. Menerbitkan sendiri lebih punya keleluasaan, termasuk keuntungan yang bukan hanya datang dari royalti melainkan juga dari profit penjualan. Penerbit indie biasanya lebih punya sedikit penulis jadi bisa lebih fokus, tapi modal dan SDM-nya belum tentu kuat. Penerbit mayor biasanya punya modal dan SDM kuat, meski keleluasaan penulis, pembagian royalti, relatif lebih ketat dibandingkan self-publishing ataupun penerbit indie. Karena saat ini volume penjualan buku-buku saya selalu dalam jumlah besar, modal dan SDM penerbitnya harus kuat, untuk itu saat ini saya lebih merasa pas dengan penerbit mayor.

Dengan fenomena ini tidak sedikit toko buku yang sengaja mengobral buku agar terjual. Ini bagaikan bertolak belakang, satu sisi miris karena buku yang merupakan seni berfikir ini dihargai rendah. Satu sisi lainnya menjadi keuntungan pembeli bisa membeli buku harga murah. Bagaimana Dee melihatnya?

Sebetulnya itu hukum pasar saja. Daripada menumpuk di gudang dan jadi barang mati, tentu lebih baik diobral ketimbang menahannya demi gengsi seni. Bagaimanapun sebuah buku, ketika sudah diproduksi masif, menjadi produk. Mungkin miris bagi penulisnya ketika melihat bukunya dijual murah, tapi ia pun harus memahami bahwa ketika bukunya diterbitkan, maka buku tersebut menjadi barang dagangan. Dan, bukankah lebih baik jika ide dalam buku itu disebar ketimbang menumpuk di gudang? Semua penerbit pasti punya stok buku yang tidak bergerak. Supaya bisnisnya hidup, tentu ia harus melakukan berbagai strategi.

Apa yang dilakukan untuk menjadikan buku buatan Dee laku di pasaran? Apakah memanfaatkan medsos sendiri untuk melakukan branding juga?

Medsos memegang peranan sampai batas tertentu untuk mempopulerkan sebuah produk, tapi tidak ada artinya jika produknya tidak bagus. Menurut saya, yang paling mendasar harus berangkat dari kualitas konten. Saya hampir tidak pernah berpikir soal pasar ketika menulis buku. Fokus utama saya hanya menulis sebaik mungkin.  Tentu di titik ini saya punya kemudahan karena sudah berkarier 17 tahun sebagai penulis profesional dan sudah punya basis pembaca. Tapi, tidak jaminan juga kalau memang buku yang saya hasilkan tidak berkualitas, karena orang lantas akan menilai dan bersuara. Branding lebih kepada pemeliharaan medsos kita sebagai sebuah portofolio, di mana kita mengasosiasikan diri, menampilkan diri, dsb. Hal itu membantu, tapi sekali lagi, inti pekerjaan saya ada pada kreasi saya. Jadi, tugas saya terpenting adalah menghasilkan karya yang berkualitas.

Kabarnya, novel terbaru berjudul Aroma Karsa dirilis melalui format digital, bahkan versi cetak dibuat menyusul. Mengapa?

Saya lampirkan FAQ / Media Highlights untuk menjawab pertanyaan ini.

Bagaimana format bagi hasil dengan penerbit buku digital tersebut?

Formatnya sama dengan penerbit buku fisik, ada pembagian royalti, hanya saja porsinya bisa lebih besar karena beberapa komponen hilang, seperti biaya percetakan, distribusi, dan rabat toko. Jadi, hanya antara penerbit dan penulis saja.

Sejauh ini hasil penjualannya seperti apa? Adakah perbedaan yang signifikan antara penjualan digital dan cetak sebelumnya?

Penjualan cetak tetap jauh lebih besar. Digital kurang lebih 10-12% dari jumlah penjualan cetak. Tapi, faktor lain yang harus diperhitungkan adalah, royalti dari produk digital lebih besar. Jadi, meski secara angka penjualan lebih kecil, itu bisa dikompensasi dari besaran royaltinya.

Apa saja tantangan penulis buku di era digital? Bagaimana pula strategi untuk terus berkarya?

Berkarya menjadi keputusan sepenuhnya dari pembuat karya, dalam era seperti apa pun. Industrinya yang kemudian berubah dan berkembang. Di era digital, penulis punya “channel” lain untuk dipelihara dan dimanfaatkan, yakni medsos. Penulis juga punya banyak “mainan baru” untuk bereksperimen seperti blog, self-publishing, penerbit digital, dll. Tergantung mau dimanfaatkan atau tidak. Yang jelas saat ini kita punya lebih banyak pilihan.

Menjadi penulis dan melihat buku terpampang di rak toko buku menjadi mimpi Dee sejak lama. Bagaimana Dee kembali melihat mimpi tersebut di era digital sekarang ini?

Sama saja sebetulnya. Kalau dulu hanya bisa di rak toko buku, sekarang bisa juga di laman situs toko digital di layar komputer .

Harapannya terhadap industri perbukuan  di tanah air?

Menjadi lebih baik, lebih sehat, buku lebih murah dan mudah diakses.