Friday, April 3, 2020

Sahabat Guru | Kegiatan Literasi | Maret, 2018 | Agung Yuswanto

 Adakah pengalaman literasi menarik (dikasih hadiah buku oleh ibu/ayah/paman/guru)? Apa latar belakang pengalaman menarik itu?

Saya anak keempat dari lima bersaudara, dan tiga kakak saya gemar membaca, jadi saya banyak membaca buku-buku maupun majalah milik mereka. Bacaan saya semasa kecil tergolong ringan dan sesuai usia. Keluarga kami pelanggan Donal Bebek bertahun-tahun, kami suka komik, cergam, dan fiksi-fiksi terjemahan seperti karya Enid Blyton, Alfred Hitchcock, Sydney Sheldon, dsb, yang populer pada zamannya. Saya senang mengkhayal dan menulis dari kecil. Salah satu pengalaman berkesan adalah ketika dipuji oleh ibu saya. Beliau bilang saya berbakat menulis. Ucapan beliau menyemangati saya untuk terus menulis meski cuma sebatas iseng dan kebanyakan disimpan sendiri.

Siapa tokoh literasi idola Dee?

Saya tidak punya tokoh tertentu yang diidolakan, tapi saya kagum pada para rekan penulis yang punya komitmen dan dedikasi untuk tidak sekadar menulis tapi juga membina komunitas penulis dan pembaca, seperti Gola Gong dan Helvy Tiana Rossa. Saya belum sanggup seperti mereka.

Apa penilaian Dee terhadap gerakan literasi di sekolah dan di masyarakat pada hari ini? Apa yang kurang? Bagaimana sebaiknya sekolah dan masyarakat (khususnya orangtua) dalam upaya membangun kultur literasi? Apa pendapat Dee soal subsidi buku?

Akar masalah kita bukan hanya industri melainkan juga kultur. Tradisi lisan di masyarakat kita ketimbang tulisan. Namun, dengan tuntutan zaman, mau tak mau kita harus memperkuat tradisi tulisan. Upaya perbaikan itu tentu butuh waktu panjang dan menyeluruh, tidak cuma dari pemerintah dan sekolah, tapi dari unit keluarga. Sedini mungkin keluarga mengenalkan bacaan kepada anak lebih baik. Kita bisa dedikasikan sebuah sudut di rumah untuk menjadi semacam sudut baca dan sudut kreativitas, di mana ada rak buku dan tempat nyaman bagi anak bisa membaca.
Akses kepada bacaan perlu dipermudah. Kesadaran akan pentingnya membaca perlu terus digaungkan. Dan, industri buku perlu diberi insentif agar lebih bergairah dan produksi buku lebih murah. Berkaitan dengan subsidi buku, menurut saya perlu ada perluasan kategori subsidi buku, tidak cuma sebatas buku pelajaran atau agama tapi termasuk buku populer, karena pengajaran bahasa dan ilmu tidak berbatas pada buku pendidikan saja.

Apa dampaknya bagi masa depan Indonesa bila warga bangsa tidak memiliki tradisi literasi?

SDM kita jalan di tempat dan kalah saing dibandingkan dengan negara-negara yang tradisi literasinya lebih kuat.

Adakah hubungan antara gerakan literasi yg lambat dan dinamika sastra pada bangsa ini? Mengapa dunia sastra kita lemah? Sejak kapan itu terjadi?

Saya tidak merasa dunia sastra kita lemah, tetapi industri bukunya yang kurang berkembang pesat. Ini termasuk ke regenerasi penulis dan harga buku. Jadi, bicara sastra tidak bisa lepas dari industri buku secara keseluruhan. Saya tidak bisa jelaskan kapan persisnya terjadi karena itu bukan keahlian saya. Namun, dari sebatas yang saya tahu dari rekan-rekan di industri buku, baik dari penerbit, penulis, maupun toko buku, selama buku masih mahal dan tidak mudah diakses secara merata, yang bergerak lambat bukan hanya dunia sastra saja, tapi tingkat literasi bangsa ini. Sastra hanya sebagian dari dunia literasi. Saya rasa kita tidak kekurangan kreativitas maupun talenta, hanya untuk bisa mengembangkannya sampai ke taraf  “excellent” baik dari segi kualitas maupun kemapanan hidup, hanya segelintir yang bisa. Ini perlu diperbaiki secara sistemik dan menyeluruh.

Apa kesibukan Dee paling menarik/gres pada belakangan ini? Terkait literasi? Kegiatan sosial?

Sedang mempersiapkan rilis buku terbaru saya Aroma Karsa yang rencananya terbit pertengahan Maret. Saat ini Aroma Karsa versi digital sudah bisa dinikmati dalam format cerita bersambung melalui platform Bookslife (www.bookslife.co). Tentang Aroma Karsa bisa disimak di website saya www.deelestari.com. Di luar itu, saya masih aktif mengajar workshop dan seminar tentang kepenulisan.

Bagaimana Dee menjaga etos literasi selama ini?

Saya kurang paham yang dimaksud dengan “etos literasi”. Intinya, saya berkomitmen untuk berkarya setiap 1,5 – 2 tahun sekali. Dan dalam setiap karya saya coba menggarapnya semaksimal mungkin dan memberikan diri saya sendiri tantangan-tantangan baru, entah dari tema, kebutuhan riset, maupun format cerita dan cara marketing yang belum pernah saya coba.

Apa mimpi Dee yang belum tercapai?

Menulis buku resep masakan dan buku cerita anak-anak.