Saturday, April 4, 2020

Kompas | Profesi Penulis | Juli, 2018 | Melati


Menurut Anda, bagaimana melihat beberapa penulis yang memilih pensiun dari dunia kepenulisan? Apa yang terjadi? Itu menunjukan fenomena apa?
 
Saya rasa, terlepas dari renjana kita apa, pada dasarnya kita punya kebutuhan ekonomi yang harus dipenuhi, dan pemenuhan itu biasanya datang dari apa yang kita kerjakan, yang kita sebut profesi. Ketika profesi tersebut tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan ekonomi kita, tentunya kita harus mencari cara lain. Dalam kasus penulis, yang biasanya pendapatan utamanya dari royalti bukunya, ketika seorang penulis tidak bisa lagi mengandalkan royalti sebagai penopang hidup, ia harus memikirkan cara lain. Sebetulnya sesederhana itu. Kita tahu memang hanya segelintir penulis di Indonesia yang bisa menyandarkan hidupnya dari royalti buku. Negara ini  tingkat literasinya masih rendah dan industri bukunya masih terbilang kecil dibandingkan sektor ekonomi kreatif lain. Fenomena tersebut menurut saya tak lain adalah potret realistis dari kondisi tersebut.

Menurut Anda, apakah memungkinkan di Indonesia menjadikan profesi menulis itu  menghidupkan perekonomian? Alasannya?
 
Mungkin, tetapi prosentasenya kecil. Pertama, volume penjualan bukunya harus besar alias laris di pasaran. Kedua, penulis harus produktif. Karena hanya dengan menulis terus, penulis dapat menjadikan karyanya tetap relevan di pasar, dan royalti yang ia peroleh merupakan akumulasi dari judul yang terus bertambah. Buku baru yang laris sekalipun biasanya masa keemasannya hanya empat bulan, setelah itu mulai terjadi tren penurunan, terkecuali kalau ada faktor lain seperti dibuat film, dsb. Untuk itu, penulis harus produktif agar buku barunya dapat menjadi sumber income yang segar serta mendongkrak buku-buku terbitan sebelumnya.

Bagaimana melihat bisnis penulisan di Indonesia? Apa yang sebaiknya perlu diubah dalam budaya bisnis penulisan? 
 
PPn dihapus untuk semua buku tanpa kecuali, “kue” PPn tersebut dapat dibagi ekstra ke penulis agar prosentase royaltinya lebih besar. Rabat toko kalau bisa ditekan, karena saat ini sangat tinggi, bisa mencapai 50-55% dari harga jual buku. Toko buku online dan direct selling bisa menjadi solusi alternatif karena rabatnya lebih rendah. Harga buku pun bisa ditekan, dengan cara meringankan pajak impor bagi bahan baku, maupun pemberian subsidi bagi produksi buku. Di level institusi pendidikan, keahlian membaca distrukturkan menjadi mata pelajaran, yang sifatnya inquiry. Membaca sebenarnya lebih dari sekadar mengeja atau memahami huruf, tapi memaknai konteks, dan ini pembelajaran penting yang barangkali lebih berguna daripada banyak pelajaran yang diajarkan di sekolah saat ini. Membaca sebagai kemampuan analisis dan pemahaman akan meningkatkan budaya literasi, bukan cuma sekadar bebas buta huruf.

Melihat tren minat baca di Indonesia ini bagaimana? Apakah cukup tinggi atau sebaliknya? Apakah berpengaruh pada royalti penulis? 
 
Sulit mengukur royalti hanya dari minat baca. Minat tinggi tapi buku tak terjangkau, misalnya, atau tidak ada akses ke buku. Royalti pada dasarnya merefleksikan pendapatan, dan untuk itu ada banyak faktor yang perlu ditinjau. Perlakuan pajak yang tepat atas royalti dapat mengubah skema pendapatan penulis secara signifikan. Begitu pula prosentase dari harga jual yang selama ini berlaku dan dianggap baku, yakni sekitar 7,5% - 15 % dari harga jual. Apa benar harus segitu terus? Kalau PPn dihapus, kalau rabat toko ditekan, bisakah penulis bisa jadi punya royalti lebih besar?

Mengapa Anda tetap menulis buku? (Meskipun ada karya Anda yang mungkin dibajak ataupun mungkin ada peraturan pajak atau royalti yang tidak sejalan dengan yang Anda harapkan?
 
Sederhananya karena saya menyukainya. Saya termasuk segelintir yang beruntung, yang pendapatan royaltinya cukup signifikan untuk menopang hidup. Tapi, kalau satu hari kondisi berubah, dan royalti buku tidak lagi cukup, tentu saya pun harus mencari cara lain. Ada banyak diversifikasi yang bisa dijalani penulis sebenarnya, tergantung minat dan talenta masing-masing. Menjadi narasumber untuk talkshow / seminar / workshop menulis, mengerjakan proyek-proyek menulis honorer, dsb. Royalti buku bisa jadi tidak selamanya menjadi sumber pendapatan utama, tapi saya yakin akan terus menulis. Apa pun bentuknya.

Harapan ke depannya untuk para penulis?
 
Ekosistem perbukuan yang lebih baik, apresiasi masyarakat yang lebih tinggi serta pemahaman yang lebih dalam terhadap profesi penulis, serta penulis dapat memiliki kehidupan yang lebih makmur.

Tanggapannya tentang penerbit indie dan harapan pada penerbit buku arusutama (mainstream)?
 
Penerbit indie dan penerbit besar punya kekurangan dan kelebihan masing-masing, bergantung kebutuhan dan prioritas kita. Penerbit indie, biasanya lebih bisa fokus karena tidak menangani judul buku terlalu banyak. Namun, secara kapital terbatas. Sementara penerbit mainstream biasanya tidak bisa memberikan perhatian lebih kepada sebuah judul buku (kecuali jika sangat laku), karena begitu banyak judul yang harus dikelola secara bersamaan. Tapi, kapital penerbit mainstream lebih besar, jaringan lebih kuat, dan posisi tawar di toko lebih tinggi. Manuver penerbit indie biasanya lebih fleksibel sehingga bisa melakukan inovasi-inovasi pemasaran, meski tidak tertutup kemungkinan inovasi pun lahir dari penerbit mainstream, biasanya penerbit mainstream sudah punya pakem yang lebih baku untuk promosi dan pemasaran. Dengan mengetahui perbedaan karakteristik tersebut, penulis bisa tahu kurang lebih apa yang dihadapinya, dan menyesuaikan ekspektasinya.

Apakah ada rencana untuk menerbitkan karya lewat penerbit indie atau tetap menerbitkan karya di penerbit umum? Kenapa?
 
Karena buku saya sudah harus dicetak dalam volume besar, penerbit yang saya ajak kerja sama sudah harus siap dengan kapital yang besar juga. Sudah sulit bagi saya bekerja sama dengan penerbit indie, ataupun menerbitkan sendiri, karena modal serta SDM yang dibutuhkan untuk mengelola volume cetak yang sedemikian besar sudah terlalu mahal dan kompleks.
Saat ini saya sebetulnya ada kerja sama dengan penerbit yang bisa dibilang penerbit baru, bukan penerbit mainstream, yakni Bookslife (untuk judul Aroma Karsa dan Di Balik Tirai Aroma Karsa), tapi hanya dalam format digital. Format digital tidak membutuhkan modal cetak, jadi kerja sama tersebut masih memungkinkan. Untuk versi cetak, saya harus bekerja sama dengan penerbit mainstream.