1.
Boleh ceritakan awal
karier di dunia entertainment?
Saya sudah
mulai berkarier di musik sejak mulai kuliah, tahun 1993, awalnya jadi backing vocal, antara lain untuk (alm)
Chrisye, Iwa K, Padhyangan Project, Java Jive, Harvey Malaiholo, dan banyak
lagi. Setelah dua tahun menjadi backing
vocal, saya berkesempatan rekaman dengan trio Rida Sita Dewi yang
diproduseri oleh Adjie Soetama dan Adi Kla Project. Saya merilis empat album
bersama Rida Sita Dewi. Hobi menulis lagu dan menulis fiksi juga sudah dari
kecil. Saya mulai bikin lagu dan mencoba menulis novel dari kelas 5 SD, dan
hobi itu berlanjut sampai besar. Lagu ciptaan saya pertama yang masuk ke dapur
rekaman adalah Satu Bintang di Langit
Kelam, yang ada di album perdana Rida Sita Dewi. Awalnya saya hanya menulis
cerita buat dikonsumsi sendiri, atau dibagi ke teman-teman dan keluarga. Baru
tahun 2000 saya berniat serius untuk menerbitkan karya pertama saya, Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang
Jatuh. Sejak itu, saya dikenal sebagai penulis hingga sekarang.
2.
Seperti yang sudah
diketahui, selain bernyanyi, Mbak Dee kini dikenal sebagai penulis serta
pencipta lagu. Lantas, jika harus memilih lebih tertarik profesi yang mana?
Saya punya kebutuhan
berbeda-beda untuk setiap pendekatan bercerita. Bagi saya fiksi dan lagu itu
komplementer sifatnya, tidak saling menggantikan. Kepuasan yang dihasilkan
masing-masing format juga berbeda, meski pada intinya sama-sama bagian dari
seni bercerita.
3.
Mbak Dee dikenal sebagai
sosok multitalenta, apakah ada hal baru yang hingga kini belum tercapai dan
segera ingin diwujudkan?
Masih banyak jenis buku yang ingin saya tulis, mulai
dari buku resep, buku anak, fiksi remaja, dsb. Saya juga ingin berkarya lagi di
musik, entah dalam bentuk single, atau
album. Tapi, karena waktu saya terbatas, saya hanya bisa fokus kepada satu atau
dua proyek kreatif per tahunnya.
4.
Adakah buku karya Mbak Dee
yang paling memorable?
Saya
merasa paling dekat dengan karya yang saya tulis paling akhir. Pada saat ini,
karya terasa paling dekat bagi saya adalah Aroma
Karsa. Cukup banyak alasan lain mengapa Aroma
Karsa paling memorable, salah
satunya adalah proses risetnya yang saya dokumentasikan paling rapi
dibandingkan buku-buku saya sebelumnya. Karena itu, saya bisa menerbitkan buku “behind-the-scenes”-nya,
yakni Di Balik Tirai Aroma Karsa. Buku
Di Balik Tirai Aroma Karsa sejauh ini
baru terbit dalam format digital. Isinya mengenai proses kreatif, proses riset,
dan berbagai strategi pemasaran yang saya lakukan saat menerbitkan Aroma Karsa.
5.
Apakah Mbak Dee merasa
nyaman apabila karyanya dituang ke dalam sebuah film? Lalu, film apa saja yang membuat
Mbak Dee merasa puas karena karyanya benar-benar terealisasikan?
Ketika
penulis sudah bersepakat dengan produser dan menjual hak adaptasi karyanya,
otomatis harus sepenuhnya menerima segala konsekuensi. Bagi saya persoalannya
bukan nyaman atau tidak nyaman. Memang tidak semua adaptasi memuaskan bagi
kreatornya, termasuk saya. Namun, saya harus melihatnya sebagai karya adaptasi,
bukan lagi karya saya pribadi. Jadi, ketika saya melihat film yang diangkat
dari karya saya, sebisa mungkin saya memandangnya sebagai karya film bukan lagi
buku. Ada pakem dan aturan yang berbeda, ada banyak faktor penentu di balik
pilihan kreatif sutradara dan produser. Jadi, dalam hal posisi itu, saya
kembali menjadi penonton, dan menilai film yang ditonton, bukan lagi buku yang
saya tulis.
6.
Berkaitan dengan Hari
Musik Nasional yang jatuh pada tanggal 9 Maret. Apa harapan Mbak Dee bagi
industri musik Indonesia?
Saat
ini ada keresahan dari banyak insan musisi tentang RUU Permusikan. Saya harap
RUU tersebut dapat dibatalkan, atau setidak direvisi dan dipertimbangkan ulang
dengan memperhitungkan aspirasi para musisi yang khawatir dengan potensi
implementasi RUU itu kelak. Yang dibutuhkan para musisi adalah kejelasan tata
niaga industri musik, bukan aturan yang mengatur dan mengekang kreativitas
seniman.
7.
Pengalaman traveling yang mengesankan
bagi Mbak Dee?
Wah,
banyak. Kalau luar Indonesia, saya sangat suka dengan Jepang. Saya mengagumi
etos kerja masyarakat Jepang yang tercerminkan dari segala hal yang mereka
kerjakan, mulai dari kualitas makanan, cara menjaga toko, cara menyambut tamu,
dsb. Kalau domestik, perjalanan ke Papua salah satu yang paling berkesan. Alam
Papua itu benar-benar berbeda dari belahan Indonesia lainnya. Saya
memperhatikan mulai dari warna tanah, serangga, tanamannya, semuanya luar biasa
unik.
8.
Adakah pengalaman terseru
konser pertama dan konser terakhir yang Mbak Dee tonton?
Konser
pertama yang saya tonton kalau tidak salah konser BB King, di Hardrock Café
Jakarta, tahun 1992. Saya masih SMA waktu itu, di Bandung, bela-belain ke
Jakarta naik kereta api yang penuh dan tidak dapat tempat duduk, jadi setengah
perjalanan berdiri atau duduk di bordes. Pulangnya naik travel (dulu adanya
4848). Saya paling rajin nonton konser waktu masih SMA dan kuliah. Sekarang
sudah jarang. Konser terakhir yang saya tonton adalah Konser Salute Erwin
Gutawa di ICE BSD. Kenapa saya tonton? Karena Konser Salut tersebut
didedikasikan untuk tiga penulis lagu-penyanyi perempuan, yakni Melly Goeslaw,
Dewiq, dan saya. Hehe, jadi tidak mungkin saya tidak nonton.
9.
Penulis novel favorit Mbak
Dee?
Sejujurnya
saya belum menetapkan siapa novelis favorit saya, karena saya jarang mengikuti
dengan setia karya seorang penulis fiksi. Saya bacanya cabutan. Dan, setiap
penulis itu punya ciri khas masing-masing yang sulit saya putuskan siapa atau
gaya mana yang lantas menjadi favorit saya. Kalau penulis nonfiksi, saya malah
cukup banyak punya favorit. Salah satu yang lagi saya sukai banget adalah Yuval
Noah Harari, saya baca ketiga bukunya.
1. Tips menulis yang baik dan berkualitas dari Mbak Dee?
Menulis
yang baik dan berkualitas itu butuh pembelajaran seumur hidup. Sulit dirangkum
dalam tips singkat. Yang jelas, kalau kamu suka menulis, yang perlu dikejar
adalah menamatkan karya kita terlebih dahulu. Dengan menamatkan, kita jadi
semakin mengenal proses kreatif itu seperti apa, dan kita lebih berani untuk
mencoba. Setelah berhasil punya beberapa karya yang tamat, kejarlah kualitas.
Parameter “kualitas” itu subjektif, ada yang ukurannya popularitas, ada yang
ukurannya oplah, ada yang ukurannya penghargaan, ada juga yang bukan semua itu
tapi lebih kepada kepuasan pribadi. Apa pun itu, kualitas dikejar dengan itikad
dan upaya untuk menulis lebih baik—lebih rapi, lebih jelas, lebih jernih, lebih
memikat. Belajarlah dari tulisan orang lain, banyak membaca, dan sering
berlatih.
11 Bagaimana Mbak Dee menggeluti passion menulis hingga dapat
memberikan karya yang begitu sukses?
Sama
seperti yang saya tulis di atas. Saya menulis karena menyukai seni bercerita,
dan dalam setiap buku, saya selalu berusaha memperbaiki dan mengejar cara
bercerita yang menurut saya lebih baik: lebih efektif, lebih jelas, lebih
memikat, lebih mengikat, dan seterusnya. Sukses dalam arti laku atau tidak,
sangat sulit untuk dikendalikan. Kita tidak pernah tahu. Jadi, kalau bagi saya
pribadi, saya berusaha untuk tidak mengejar “laku” atau “dapat penghargaan”,
karena itu hal-hal yang tidak bisa saya kendalikan. Lebih memuaskan jika saya
menulis karena saya mengejar cara bercerita yang bagi saya pribadi lebih baik
daripada sebelumnya. Saya sebut itu “kaizen writing”, menulis dengan mengejar
kemajuan yang berkesinambungan.
12 Apa perbedaan membangun karakter dalam lagu dan dalam novel?
Pada
dasarnya, dalam lagu kita tidak punya ruang gerak yang banyak. Karakter tidak
bisa dibangun dalam lagu seperti halnya membangun karakter dalam novel. Yang
bisa kita lakukan adalah agar pendengar mengidentifikasi dirinya menjadi
karakter dalam lagu. Dengan demikian, yang kita ceritakan dalam lagu menjadi
ceritanya sang pendengar. Tentu saja itu juga subjektif. Belum tentu semua
orang otomatis ‘relate’ dengan lagu
kita. Namun, membuat cerita lagu sebaik mungkin dengan melodi yang sinergis
dengan kata-kata, bagi saya adalah pintu masuk agar orang bisa menemukan
kisahnya dalam lagu.
1 Tiga destinasi wisata paling favorit?
Bali,
Bandung, Jepang.
1 Adakah kebiasaan tertentu sebelum menulis yang selalu
dilakukan Mbak Dee?
Mandi.
Mandi bagi saya seperti tombol “reset”. Saya selalu menulis pagi hari, jadi
sebelum memulai hari, sebelum mulai menulis, saya “reset” tubuh dan pikiran
saya dulu dengan mandi.