Thursday, January 15, 2015

SatuHarapan.Com | Film Filosofi Kopi & Sastra | Januari, 2015 | by Fransisca Christy Rosana


Film Filosofi Kopi

Sejauh mana sih keterlibatan Dee sebagai penulis cerpen dalam pembuatannya?

Peran saya di Filosofi Kopi semacam produser konsultan. Dari mulai pembangunan cerita awal, supervisi skenario, hingga datang ke reading. Angga Sasongko (sutradara/produser film Filosofi Kopi) sangat membuka diri dan memang ingin melibatkan saya dalam proses penggarapan cerita. Saya tidak ikut di produksi yang sifatnya teknis, jadi fokus di penceritaan saja.

Apakah Dee juga akan masuk frame seperti film Perahu Kertas 1?

Sejauh ini belum ada rencana. Tapi kemungkinan besar enggak.

Dalam film, dimunculkan tokoh El atau tokoh yg sebelumnya tidak ada dalam cerpen. Apakah Dee yang memberi rekomendasi atau memang sudah menjadi keputusan tim produksi? Apa sebenarnya alasan dimunculkannya El dalam film Filosofi Kopi? Apakah agar cerita menjadi 'segar' atau memang ada isu lain yg ingin diangkat melalui tokoh El?

Dari awal saya sudah mengusulkan adanya “orang ketiga” dalam konstelasi karakter Filosofi Kopi. Tujuannya sih supaya cerita bisa berkembang lebih kaya dan dramatis. Ini memang tipikal kalau film diadaptasi dari cerpen, biasanya terjadi pengembangan. Pada novel, yang terjadi biasanya sebaliknya, pengurangan. Kebetulan, Angga dan Jenny (penulis skenario) juga berpikir sejalan. Jadi, dari masih tahap sinopsis, tokoh ini sudah kita putuskan bakal ada. Tentu, masuknya tokoh El harus punya tujuan kuat untuk membangun cerita, jadi nggak hanya pemanis saja.

Hampir seluruh karya Dee kini diangkat menjadi film, apakah rencananya Petir, Akar, Partikel, dan Gelombang juga akan difilmkan?

Belum ada kontrak apa-apa untuk serial Supernova berikutnya. We’ll see.

Adakah kekhawatiran Dee akan adanya reaksi 'mainstream' penonton yg biasanya berkomentar "filmnya nggak sesuai sama cerpennya" atau "lebih bagus cerpennya daripada filmnya" mengingat penonton Indonesia saat ini kurang dapat memaknai ungkapan 'adaptasi novel atau cerpen' dalam sebuah film?

Itu sepertinya sudah rutinitas yang harus dijalani, sih. Film itu pasti ada yang suka dan tidak. Terlepas itu diangkat dari buku atau bukan. Jadi, film dari buku pun sama saja pada dasarnya, bakal ada yang suka dan enggak, cuma ada variasi komentar “lebih bagus” atau “lebih jelek” atau “mirip” sama bukunya. Ada komparasi. Saya rasa, di seluruh dunia juga sama, nggak hanya di Indonesia. Itu memang sudah nasibnya film hasil adaptasi. Saya nggak terlalu khawatir mirip/enggak dengan buku sih, lebih khawatir kalau filmnya jelek.


Karya Sastra

Beberapa kritikus sastra beranggapan karya-karya Dee masuk dalam genre abu-abu, antara karya sastra dan karya populer. Bagaimana Dee menanggapinya?

Sepertinya memang posisi saya demikian. Sejujurnya, saya tidak menyengajakannya juga. Dikotomi karya sastra dan karya pop adalah hal yang tidak menjadi pertimbangan ketika saya berkarya. Saya lebih tertarik ke persoalan membangun cerita dan cara bercerita. Mungkin, pendekatan saya demikian karena begitu jugalah ekspektasi saya terhadap sebuah buku. Ceritanya memikat atau tidak. Itu saja. Mau itu sastra atau bukan, saya nggak peduli. Dan kayaknya itu memang lebih baik jadi tugas kritikus. Tidak usah menjadi beban penulis.

Apakah menurut Dee pengelompokan genre sastra itu menjadi penting dalam kiblat penulisan sebuah karya?

Penting bagi telaah sastra dan kategorisasi di toko buku. Kalau kiblat penulisan, yang saya lihat hanya konten. Ketertarikan saya sangat acak, dari mulai komik Jepang, kajian UFO, sampai buku puisi Sapardi. Saya nggak pernah fanatik terhadap satu genre tertentu.

Apakah menurut Dee segmentasi pembaca juga pada akhirnya akan berpengaruh terhadap dikamar-kamarkannya karya sastra?

Segmentasi pembaca itu banyak basisnya, bisa dari usia, gender, kelas ekonomi, dsb. Saya nggak tahu persis bagaimana kausalitas segmentasi pembaca dengan kategori buku, pengaruh sih pasti ada, tapi kayaknya ini lebih relevan bagi pelaku industri buku seperti penerbit, toko buku, dan sebagainya. Kritikus juga punya tugas dan sudut pandangnya sendiri. Kalau buat saya pribadi, semua itu tidak mempengaruhi proses kreatif saya. Dibuat “kamar-kamar” boleh, tidak juga tidak apa-apa.